Sudah tiga puluh hari Gading resmi menyandang status sebagai suami dari Bunga. Namun, dalam rentang waktu tersebut kulihat belum pernah sekalipun lelaki itu berkunjung ke sang istri. Kini bahkan dia tidak lagi mengajarkan les pada Bunga."Kenapa setelah jadi suami kamu malah menjauh dari Bunga, Ding?" tegurku suatu pagi."Bukan menjauh, Bu, tapi lebih menjaga perasaan Nona saja," elak Gading kalem. Dia mengunyah nasi uduk yang kubeli dengan pelan. "Sampai sekarang Nona masih terlihat membenciku."Aku menghirup udara. "Beruntung kamu gak jadi nikahi dia, Ding," ujarku ikut sarapan."Lha bisa Ibu bilang begitu?" Mata Gading menatapku dengan pandangan tidak terima."Lah dia kekanak-kanakan begitu," sahutku tenang, "sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Wong pepatah juga bilang cinta itu tidak harus memiliki kok."Gading mendesah. "Ibu bilang begitu karena gak pernah merasakan patah hati.""Kisah cinta Ibu dengan mertuamu lebih tragis dari kisah cintamu dengan Mbak Nona lho, Mas." Gala
"Kamu diam saja, apa gak kasihan?" Aku menegur pelan."Memang aku harus gimana, Bu?""Suruh Bunga gak usah ikut pengayaan. Kamu privat dia lagi," suruhku serius. Setelah menjadi suami istri, Gading justru tidak lagi memberikan Bunga privat. "Lho ... kamu mau ke mana?" tegurku begitu melihat Gading bangun."Mandi, Bu.""Sehabis makan malam kita tengok Bunga ya, Ding."Gading sontak menghentikan langkahnya. Dia berbalik lagi untuk menghadapku. "Aku capek banget, Bu." Anak itu menghela napas panjang, "habis ini juga masih sibuk membuat materi," imbuhnya meyakinkan."Tapi ibu sudah kadung beli mangga muda banyak untuk Bunga, Ding.""Bisa dimakan sendiri.""Ibu kan gak suka mangga muda," balasku mengingatkan, "sekalian nganter baju hamil buat Bunga.""Maaf, Bu, aku lagi sibuk dan sangat lelah," tolak Gading tidak bisa lagi dibujuk.Anak itu melangkah lagi menuju kamar pribadinya. Di jalan dia berpapasan dengan adiknya."Kenapa, Bu? Kok muka Mas Gading butek bangat?" tanya Galang saat mende
EHEM-EHEMDehamanku membuat Galang menoleh. Pemuda itu terlihat salah tingkah."Ya udah nanti aku hubungi lagi," kata anak itu di telepon.[ ... ]Karena Galang tidak menyalakan loud speaker ponselnya, tentu aku tidak dapat mendengar suara dari seberang."Iya, nanti." Sekali lagi Galang terdengar berjanji. "Iyaaa ...." Galang kembali mendengarkan si penelepon. Sesekali dia tersenyum tipis padaku. "Bye!" Anak itu memutuskan sambungan teleponnya, lantas memasukkan benda pipih tersebut ke saku celananya."Ada apa, Bu?" tanya Galang menghadap ke cermin besar."Enggak, kebetulan lewat. Lihat kamu telepon dan rapi, memang mau pergi ke mana?" selidikku lembut."Ada mau ketemu teman, Bu." Galang terlihat tersipu. Anak itu menatap tatanan rambutnya, "biasanya Sabtu sore ibu nengok Bunga. Hari ini juga kan?""Hari ini ibu mau ajak Gading.""Memang Mas Gading mau?""Harus mau. Mosok sudah dua bulan nikah masih belum bisa menerima Bunga. Nona saja ibu lihat sudah muv-muv ...." Aku terdiam sejenak
Tidak lama Bunga menyusul. Anak itu langsung menatap sang suami dan kakaknya secara bergantian."Kenapa kamu menangis, Mbak?" Bunga menegur dengan dingin."Gak ada." Suara Nona terdengar parau."Masih belum terima kenyataan kalo Mas Gading adalah suamiku?" ejek Bunga terdengar sinis."Iya, kenapa? Masalah?" Tidak kusangka Nona akan menyergah sekasar itu."Masalah dong, lah Mas Gading suamiku," sahut Bunga tidak mau kalah. "Ingat, dia adik iparmu sekarang.""Iya itu karena kamu yang merebut dia dari aku!" Nona mengecam dengan berang. Matanya tampak merebak lagi, "silakan kamu kuasai karena aku sudah punya penggantinya!"Setelah itu Nona beranjak pergi dengan sedikit menghentakkan kaki.Aku sendiri lumayan terhenyak melihat tingkah laku saudara kandung ini. Memang wajar kakak dan adik itu terlibat cekcok. Tetapi tidak sepanas ini. Apalagi keduanya sama-sama perempuan.Tiba-tiba aku teringat Mas Arif. Dia orang yang bijak dan kalem. Kenapa kedua anak tidak ada satu pun yang mewarisi wata
"Galang, ibu gak salah denger kan?" Aku menukas, tetapi tetap dengan nada pelan."Gak, apa yang Ibu dengar adalah kebenaran," jawab Galang tegas. Tidak tampak sama sekali gurauan pada parasnya. "Aku dan Nona saling mencintai, Bu, dan kami ingin segera menghalalkan hubungan ini."Aku terkesima mendengar penuturan tegas Galang. Tatapannya juga terlihat beda. Galang tidak pernah sedingin ini padaku.Dia anak yang hangat dan punya rasa humor yang baik. Dibandingkan Gading yang memang pendiam, Galang merupakan sosok yang ceria. Dia jarang bisa marah. Sekesal apa pun dia padaku, anak itu tidak pernah berani bersikap seperti ini. Selain dingin, hari ini Galang terlihat beda dari biasanya. Ada kesan berani dari cara pandangnya padaku. Seolah tengah menantang."Galang---"Baru sempat menepuk pelan bahunya, Galang sudah terlebih dulu memotong omonganku."Ibu menyetujui hubungan kami kan?" "Iya, tapi--""Kalo setuju, gak ada kata tapi, Bu."Aku menatap anak itu perlahan. Sembilan belas tahun u
Gaaak ... Gading gak seperti itu." Aku membela putra sulung."Mas Gading seperti itu, Buuuu," sergah Bunga penuh penekanan. Air matanya kian berderai, "kalo dia gak menghina harga diriku, harusnya dia mau ngantar aku periksa hamil, Bu. Toh ini darah dagingnya kok. Atau juga kenapa Mas Gading pernah mau ngajak aku saat pergi kondangan. Itu sama artinya melukai harga diriku, Bu," tutur Bunga mengebu-gebu dan terdengar berlebihan. Lebay kata anak jaman sekarang.Ketika anak itu terus bercerocos menjelekan Gading, aku hanya bisa memijit kepala dan pura-pura mengiyakan. Namun, jika Bunga sudah melewati batas, aku akan menyela. Sebagai seorang ibu tentu saja aku tidak rela anakku dijelek-jelekkan oleh menantu. Walau sebagian besar omongan Bunga adalah fakta. Ya ... nasib Bunga yang diabaikan Gading sama persis dengan nasibku yang juga dicuekin oleh Mas Anjar.*Galang tidak kembali setelah membuat keributan sore itu. Saat kutelepon anak itu dengan datar menjawab, jika dia sudah berada di k
"Tolong jangan halangi hubungan kami, Bu," kata Nona tenang. Kulihat tangannya terus menggenggam jemari Galang. "Kami saling mencintai. Kami cuma butuh restu dari Ibu." Tatapannya terlihat begitu berani."Kita bicara di dalam, ya," pintaku dengan tangan mempersilakan.Galang dan Nona bangkit. Keduanya bergandengan masuk ke ruang tamu. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul mereka.Setelah merasa cukup kuat, aku melangkah. Galang dan Nona duduk berdempetan. Tangan keduanya masih saling bertaut.Aku memilih duduk tepat di hadapan mereka. Sedikit trenyuh melihat Galang dana sekali tidak memedulikan aku. Ada yang aneh dengan anak itu. Sungguh ...."Nona sayang, bukannya ibu gak merestui hubungan kalian, hanya saja Galang masih terlalu muda untuk mengimami kamu," tuturku sehalus mungkin.Nona tersenyum simpul. "Kedewasaan seseorang tidak diukur dari umurnya, Bu," ujarnya berlagak anggun, "dan bagiku cara berpikir Galang jauh lebih dewasa dibandingkan usianya. Bahkan lebih matang di
Nona tersenyum menang. "Aku harap janji ibu bisa dipegang." Dia menggandeng lengan Galang kembali, "aku akan menyuruh ayah untuk menemui ibu," lanjutnya sambil membetulkan anak rambutnya. "Sekarang antar aku pulang, Lang!""Aku antar Nona dulu, Bu," pamit Galang kaku.Anak itu melangkah terseret oleh tarikan Nona."Tahu gak? Amarahmu tadi negasin kalo kamu masih mencintai kakakku," celetuk Bunga tiba-tiba.Aku dan Gading menoleh pada wanita mungil berperut buncit itu."Pandangan dan cara bicara kamu itu kentara banget kalo kamu lagi cemburu."Gading menunduk untuk menatap sang istri. "Yang cemburu itu kamu.""Kalo aku emang iya, cemburu lihat kamu masih perhatian sama Mbak Nona," balas Bunga cuek."Grrr!" Gading hanya mengerang tertahan. Setelah itu dia bergegas pergi."Kebiasaan! Orang belum selesai ngomong sudah main pergi saja," omel Bunga menggerutu."Bunga ...." Aku memanggil pelan."Ya, Bu." Anak itu menatapku."Tolong, ya, kalo Gading lagi tersulut emosi itu kamu tenangkan. Buk