"Galang, ibu gak salah denger kan?" Aku menukas, tetapi tetap dengan nada pelan."Gak, apa yang Ibu dengar adalah kebenaran," jawab Galang tegas. Tidak tampak sama sekali gurauan pada parasnya. "Aku dan Nona saling mencintai, Bu, dan kami ingin segera menghalalkan hubungan ini."Aku terkesima mendengar penuturan tegas Galang. Tatapannya juga terlihat beda. Galang tidak pernah sedingin ini padaku.Dia anak yang hangat dan punya rasa humor yang baik. Dibandingkan Gading yang memang pendiam, Galang merupakan sosok yang ceria. Dia jarang bisa marah. Sekesal apa pun dia padaku, anak itu tidak pernah berani bersikap seperti ini. Selain dingin, hari ini Galang terlihat beda dari biasanya. Ada kesan berani dari cara pandangnya padaku. Seolah tengah menantang."Galang---"Baru sempat menepuk pelan bahunya, Galang sudah terlebih dulu memotong omonganku."Ibu menyetujui hubungan kami kan?" "Iya, tapi--""Kalo setuju, gak ada kata tapi, Bu."Aku menatap anak itu perlahan. Sembilan belas tahun u
Gaaak ... Gading gak seperti itu." Aku membela putra sulung."Mas Gading seperti itu, Buuuu," sergah Bunga penuh penekanan. Air matanya kian berderai, "kalo dia gak menghina harga diriku, harusnya dia mau ngantar aku periksa hamil, Bu. Toh ini darah dagingnya kok. Atau juga kenapa Mas Gading pernah mau ngajak aku saat pergi kondangan. Itu sama artinya melukai harga diriku, Bu," tutur Bunga mengebu-gebu dan terdengar berlebihan. Lebay kata anak jaman sekarang.Ketika anak itu terus bercerocos menjelekan Gading, aku hanya bisa memijit kepala dan pura-pura mengiyakan. Namun, jika Bunga sudah melewati batas, aku akan menyela. Sebagai seorang ibu tentu saja aku tidak rela anakku dijelek-jelekkan oleh menantu. Walau sebagian besar omongan Bunga adalah fakta. Ya ... nasib Bunga yang diabaikan Gading sama persis dengan nasibku yang juga dicuekin oleh Mas Anjar.*Galang tidak kembali setelah membuat keributan sore itu. Saat kutelepon anak itu dengan datar menjawab, jika dia sudah berada di k
"Tolong jangan halangi hubungan kami, Bu," kata Nona tenang. Kulihat tangannya terus menggenggam jemari Galang. "Kami saling mencintai. Kami cuma butuh restu dari Ibu." Tatapannya terlihat begitu berani."Kita bicara di dalam, ya," pintaku dengan tangan mempersilakan.Galang dan Nona bangkit. Keduanya bergandengan masuk ke ruang tamu. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul mereka.Setelah merasa cukup kuat, aku melangkah. Galang dan Nona duduk berdempetan. Tangan keduanya masih saling bertaut.Aku memilih duduk tepat di hadapan mereka. Sedikit trenyuh melihat Galang dana sekali tidak memedulikan aku. Ada yang aneh dengan anak itu. Sungguh ...."Nona sayang, bukannya ibu gak merestui hubungan kalian, hanya saja Galang masih terlalu muda untuk mengimami kamu," tuturku sehalus mungkin.Nona tersenyum simpul. "Kedewasaan seseorang tidak diukur dari umurnya, Bu," ujarnya berlagak anggun, "dan bagiku cara berpikir Galang jauh lebih dewasa dibandingkan usianya. Bahkan lebih matang di
Nona tersenyum menang. "Aku harap janji ibu bisa dipegang." Dia menggandeng lengan Galang kembali, "aku akan menyuruh ayah untuk menemui ibu," lanjutnya sambil membetulkan anak rambutnya. "Sekarang antar aku pulang, Lang!""Aku antar Nona dulu, Bu," pamit Galang kaku.Anak itu melangkah terseret oleh tarikan Nona."Tahu gak? Amarahmu tadi negasin kalo kamu masih mencintai kakakku," celetuk Bunga tiba-tiba.Aku dan Gading menoleh pada wanita mungil berperut buncit itu."Pandangan dan cara bicara kamu itu kentara banget kalo kamu lagi cemburu."Gading menunduk untuk menatap sang istri. "Yang cemburu itu kamu.""Kalo aku emang iya, cemburu lihat kamu masih perhatian sama Mbak Nona," balas Bunga cuek."Grrr!" Gading hanya mengerang tertahan. Setelah itu dia bergegas pergi."Kebiasaan! Orang belum selesai ngomong sudah main pergi saja," omel Bunga menggerutu."Bunga ...." Aku memanggil pelan."Ya, Bu." Anak itu menatapku."Tolong, ya, kalo Gading lagi tersulut emosi itu kamu tenangkan. Buk
"Edaaan kamu!" bentak Mas Arif terlihat kesal pada sang istri, "kamu mau menikahkan Nona atau pengen menjual dia dengan mobil baru?" Manik Mas Arif mendelik tajam."Lho kenapa memangnya?" Sarita berlagak acuh, "Nona itu cantik dan terpelajar. Kariernya bagus. Sebentar lagi mau diangkat sebagai manager di bank tempatnya bekerja. Wajar kalo kita minta mahar yang sepadan.""Masalahnya calonnya Nona kerja saja belum, Sar. Bagaimana dia mampu mewujudkannya?" tangkis Mas Arif terlihat geregetan."Ya sudah ... kalo gak mampu mundur saja," sahut Sarita melengos."Otakmu ki di mana sih?" Mas Arif mendengkus kasar, "masalahnya ini Nona dan Galang sudah gak bisa dicegah lagi. Kemarin anakmu itu sempat ngancem bunuh diri kalo kita gak ngerestui," paparnya tampak gusar."Alahhh ... itu cuma gertakan Nona ae," tanggap Sarita cuek."Kamu ki kayak gak kenal Nona." Mas Arif menggeleng heran. "Wataknya dia itu keras. Gak bisa dinasihati dan itu akibat kamu terlalu memanjakan dia," kecamnya keras."Ohhh
Masih capek, Sayang. Ini baru sampai rumah sepuluh menitan."[ ... ]"Ho'oh. Tar habis Magrib aku datang. Bye! Muachhh!"Galang menutup telepon. Dia menaruh benda tipis itu ke meja. "Ibu?" sapanya begitu melihatku."Kamu suka dibuatkan kopi sama Nona?" tanyaku sembari melangkah masuk, lalu duduk di tepi ranjang."Iya, kenapa emang?" sahut Galang sedikit ketus. Anak itu duduk di meja belajarnya."Ya kamu kan punya maag, Lang.""Tapi perutku baik-baik saja kok."Aku mendengkus perlahan. "Tadi ayah dan ibunya Nona nemuin ibu," laporku pelan."Bagus. Kalian setuju kan?" cecar Galang datar."Setuju, cuma Ibu Sarita minta mahar sebuah mobil baru, Lang.""Tolong Ibu jangan ngadi-ngadi dech!" seru Galang terdengar kesal."Ibu bukan tipe orang yang suka membuat drama, Lang." Aku menukas tenang, "syarat itu diajukan Bu Sarita untuk mengukur seberapa serius dan siapnya kamu menikahi Nona.""Aku siap lahir dan batin kok, Bu.""Gak! Kamu ki cuma siap batin ae. Lahirnya belum, lha wong biaya perni
Galang keluar dari ruangan Nona dengan wajah yang basah. Mata dan hidungnya masih merah. Isakan tertahan keluar dari bibirnya.Anak itu melangkah pelan. Ternyata dia mendekati Sarita. Tidak kusangka Galang tiba-tiba meraih tangan ibu dari Nona itu, lalu dia berjongkok."Bu Sari, aku dan Nona saling mencintai. Tolong restui kami," mohon Galang dramatis. Dia mendongak untuk menatap Sarita. "Tolong jangan halangi hubungan suci kami dengan syarat yang terlalu berlebihan itu." Saat dia mengerjap, air mata Galang turun mengalir. Aku terpaku menyaksikan itu. Sejak kecil Galang tidak pernah sentimentil begini."Saya tahu Anda tidak menyukai ibu saya lantaran miskin dan mantan kekasih Pak Arif, tapi tolong jangan egois dengan mengorbankan hubungan kami," tutur Galang masih setia jongkok."Kamu ki ngomong apa, Lang?" Sarita mencebik sebal, "ayo berdiri!" suruhnya sambil menyeret lengan Galang. "Saya itu sengaja kasih mahar sebesar itu ki biar kamu giat belajar terus nanti semangat cari kerja.
Dua hari selanjutnya aku mengajak Galang berkunjung ke rumah Utinya. Jaraknya sekitar empat jam dari rumah yang kami tempati sekarang. Itulah sebabnya jarang berkunjung kalau tidak ada kepentingan.Bukan karena apa, hanya saja sekarang aku sudah tidak semuda dulu. Sudah gampang lelah. Sekarang rumah itu hanya ditinggali Ibu bersama keluarga adikku yang terakhir. Bapak dan kakek-nenek sudah berpulang beberapa tahun silam."Jadi Galang mau nikah?" tanya Ibu agak terlihat sangsi."Iya, Mak. Dan maksud kedatangan saya ke sini selain ngabari soal ini juga mau ngomong tentang sawah yang dikelola suaminya Jani," tuturku menyebut nama adik kedua."Kenapa, Mbak?" Jani adikku ikut mendekat.Aku lantas menceritakan tentang mahar yang Sarita ajukan."Aku lihat koyok ada yang aneh karo si Galang, Rin," ungkap Ibu terus menatap cucunya."Iyo, jadi dingin sama kita. Padahal dulu dia anak sing ceria lho." Jani ikut menimpali."Iya, memang semenjak kenal anaknya Sarita jadi dingin gitu, Mak," balasku
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den