"Edaaan kamu!" bentak Mas Arif terlihat kesal pada sang istri, "kamu mau menikahkan Nona atau pengen menjual dia dengan mobil baru?" Manik Mas Arif mendelik tajam."Lho kenapa memangnya?" Sarita berlagak acuh, "Nona itu cantik dan terpelajar. Kariernya bagus. Sebentar lagi mau diangkat sebagai manager di bank tempatnya bekerja. Wajar kalo kita minta mahar yang sepadan.""Masalahnya calonnya Nona kerja saja belum, Sar. Bagaimana dia mampu mewujudkannya?" tangkis Mas Arif terlihat geregetan."Ya sudah ... kalo gak mampu mundur saja," sahut Sarita melengos."Otakmu ki di mana sih?" Mas Arif mendengkus kasar, "masalahnya ini Nona dan Galang sudah gak bisa dicegah lagi. Kemarin anakmu itu sempat ngancem bunuh diri kalo kita gak ngerestui," paparnya tampak gusar."Alahhh ... itu cuma gertakan Nona ae," tanggap Sarita cuek."Kamu ki kayak gak kenal Nona." Mas Arif menggeleng heran. "Wataknya dia itu keras. Gak bisa dinasihati dan itu akibat kamu terlalu memanjakan dia," kecamnya keras."Ohhh
Masih capek, Sayang. Ini baru sampai rumah sepuluh menitan."[ ... ]"Ho'oh. Tar habis Magrib aku datang. Bye! Muachhh!"Galang menutup telepon. Dia menaruh benda tipis itu ke meja. "Ibu?" sapanya begitu melihatku."Kamu suka dibuatkan kopi sama Nona?" tanyaku sembari melangkah masuk, lalu duduk di tepi ranjang."Iya, kenapa emang?" sahut Galang sedikit ketus. Anak itu duduk di meja belajarnya."Ya kamu kan punya maag, Lang.""Tapi perutku baik-baik saja kok."Aku mendengkus perlahan. "Tadi ayah dan ibunya Nona nemuin ibu," laporku pelan."Bagus. Kalian setuju kan?" cecar Galang datar."Setuju, cuma Ibu Sarita minta mahar sebuah mobil baru, Lang.""Tolong Ibu jangan ngadi-ngadi dech!" seru Galang terdengar kesal."Ibu bukan tipe orang yang suka membuat drama, Lang." Aku menukas tenang, "syarat itu diajukan Bu Sarita untuk mengukur seberapa serius dan siapnya kamu menikahi Nona.""Aku siap lahir dan batin kok, Bu.""Gak! Kamu ki cuma siap batin ae. Lahirnya belum, lha wong biaya perni
Galang keluar dari ruangan Nona dengan wajah yang basah. Mata dan hidungnya masih merah. Isakan tertahan keluar dari bibirnya.Anak itu melangkah pelan. Ternyata dia mendekati Sarita. Tidak kusangka Galang tiba-tiba meraih tangan ibu dari Nona itu, lalu dia berjongkok."Bu Sari, aku dan Nona saling mencintai. Tolong restui kami," mohon Galang dramatis. Dia mendongak untuk menatap Sarita. "Tolong jangan halangi hubungan suci kami dengan syarat yang terlalu berlebihan itu." Saat dia mengerjap, air mata Galang turun mengalir. Aku terpaku menyaksikan itu. Sejak kecil Galang tidak pernah sentimentil begini."Saya tahu Anda tidak menyukai ibu saya lantaran miskin dan mantan kekasih Pak Arif, tapi tolong jangan egois dengan mengorbankan hubungan kami," tutur Galang masih setia jongkok."Kamu ki ngomong apa, Lang?" Sarita mencebik sebal, "ayo berdiri!" suruhnya sambil menyeret lengan Galang. "Saya itu sengaja kasih mahar sebesar itu ki biar kamu giat belajar terus nanti semangat cari kerja.
Dua hari selanjutnya aku mengajak Galang berkunjung ke rumah Utinya. Jaraknya sekitar empat jam dari rumah yang kami tempati sekarang. Itulah sebabnya jarang berkunjung kalau tidak ada kepentingan.Bukan karena apa, hanya saja sekarang aku sudah tidak semuda dulu. Sudah gampang lelah. Sekarang rumah itu hanya ditinggali Ibu bersama keluarga adikku yang terakhir. Bapak dan kakek-nenek sudah berpulang beberapa tahun silam."Jadi Galang mau nikah?" tanya Ibu agak terlihat sangsi."Iya, Mak. Dan maksud kedatangan saya ke sini selain ngabari soal ini juga mau ngomong tentang sawah yang dikelola suaminya Jani," tuturku menyebut nama adik kedua."Kenapa, Mbak?" Jani adikku ikut mendekat.Aku lantas menceritakan tentang mahar yang Sarita ajukan."Aku lihat koyok ada yang aneh karo si Galang, Rin," ungkap Ibu terus menatap cucunya."Iyo, jadi dingin sama kita. Padahal dulu dia anak sing ceria lho." Jani ikut menimpali."Iya, memang semenjak kenal anaknya Sarita jadi dingin gitu, Mak," balasku
"Ayo bawa Bunga ke rumah sakit!" Mas Arif ikut menyuruh.Gading membimbing Bunga untuk keluar gedung. Aku dan Mas Arif mengekor."Mas!" Sarita memanggil melihat suaminya berlalu.Mas Arif balik badan. "Apa?""Kasih kuncinya sama Gading saja. Biar dia yang bawa mobilnya sendiri. Kamu masih harus menemui tamu," perintah Sarita tanpa perasaan.Nona menghampiri. Wanita itu menyincing gaun pengantinnya yang melambai itu. "Iya, acara masih lama, Yah. Masih dua jam lagi rampungnya. Pokoknya Ayah harus mendampingi aku di pelaminan saat salaman nanti," pintanya setengah merajuk.Mas Arif mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaghfirullah hal adzim!" Mas Arif menekan suara kesalnya, "adikmu mau lahiran, Non. Ayah dan ibu harus menemaninya.""Lho yang berkewajiban menemani Bunga kan si Gading sama Ibu Rini." Nona yang egois menyanggah dengan cuek."Lebih tepatnya Gading dan ibumu," tukas Mas Arif."Oh gak bisa, Mas. Ada banyak kolega yang mesti aku temui." Sarita langsung menolak."Kalo Ibu gak ma
Bunga dan bayinya hanya tiga hari dirawat di rumah sakit. Di hari keempat keduanya sudah diizinkan pulang. Aku menyambut kedatangan menantu dan cucu pertama dengan bahagia.Di hari ketujuh Gading dan Bunga mengadakan syukuran aqiqah serta pemberian nama. Kedua orang tua baru itu sepakat menamai anak mereka dengan sebutan Fawwaz. Di mana arti dari nama Fawwaz adalah pemenang.Keluarga Bunga hanya berkunjung pada saat acara tersebut. Baik Sarita maupun Mas Arif beralasan sama-sama sibuk. Namun, Juragan Amir menyumbangkan cukup materi pada acara aqiqah cicit mereka kemarin. Sehingga aku tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya. Karena hingga kini gaji Gading sebagai tenaga honorer dan guru privat memang belum bisa memenuhi semua kebutuhan.Begitu acara aqiqah anak Gading selesai, keluarga Bunga langsung pamit pulang. Namun, tidak dengan Nona. Perempuan yang sudah menjadi menantuku itu meminta menginap di rumah ini pada Galang.Tentu Galang bahagia mendengarnya. Karena semewah apapun griya
"Kopi. Aku harus menyingkirkan minuman itu mulai dari sekarang," tekadku kemudian.Niat masuk kamar sendiri aku urungkan. Lebih baik pergi ke dapur dulu. Toples berisi kopi ada di kabinet dapur atas.Gegas kuambil toples tersebut. Lantas menuang seluruh isinya ke bak cucian piring. Seketika bubuk kopi tersebut larut saat kubuka keran air. Air dalam bak cucian berubah menjadi hitam.Sebenarnya agak sayang juga melihatnya. Karena aku baru beli bubuk kopi tersebut tiga hari lalu atas permintaan Galang. Isi toplesnya masih cukup penuh.Kubersihkan bak cucian hingga tidak ada lagi bubuk kopi yang tersisa. Semuanya sudah kembali bersih. Setelah itu baru kukembalikan toples kopi pada tempatnya lagi."Lho ... Ibu sudah balik?"Aku terkejut mendengar teguran dari belakang. Ketika balik badan sosok Nona menatapku datar."Iya baru saja," jawabku pelan."Nyari apa, Bu?" tanya Nona melihat aku tadi tengah membuka kabinet dapur atas guna menaruh toples."Eum ...." Aku berpikir sejenak, "ibu lumayan
Nona mendengkus kasar. "Iya kami mau sholat bersama." Akhirnya dia mengalah.Kami sholat berempat. Bunga absen karena masih dalam masa nifas. Seperti biasa Gading yang memimpin ibadah.Selepas sholat Maghrib kami langsung menuju meja makan. Lagi-lagi Galang dan Nona memilih tidak ikut bergabung."Kami mau makan di luar saja, Bu," jelas Galang sekalian pamit, "Nona gak suka menu masakan yang Ibu buat."Walau pun dada ini terasa sesak. Namun, aku tetap mengizinkan dengan anggukan."Maafkan Embak aku ya, Bu," ucap Bunga ketika Galang dan Nona berlalu pergi. Bunga tampak tidak enak hati melihat kelakuan sang kakak."Mbak Nona emang selalu begitu. Anak dan cucu pertama. Dari kecil dia selalu dimanja oleh semua. Selalu terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan. Makanya egois gitu," tutur Bunga dengan wajah prihatin, "aku saja sebagai adik dituntut sering mengalah sama dia," pungkasnya gusar.Aku menanggapi dengan tersenyum miris. "Watak seseorang memang tidak bisa dirubah. Tetapi perilaku bi