"Ayo bawa Bunga ke rumah sakit!" Mas Arif ikut menyuruh.Gading membimbing Bunga untuk keluar gedung. Aku dan Mas Arif mengekor."Mas!" Sarita memanggil melihat suaminya berlalu.Mas Arif balik badan. "Apa?""Kasih kuncinya sama Gading saja. Biar dia yang bawa mobilnya sendiri. Kamu masih harus menemui tamu," perintah Sarita tanpa perasaan.Nona menghampiri. Wanita itu menyincing gaun pengantinnya yang melambai itu. "Iya, acara masih lama, Yah. Masih dua jam lagi rampungnya. Pokoknya Ayah harus mendampingi aku di pelaminan saat salaman nanti," pintanya setengah merajuk.Mas Arif mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaghfirullah hal adzim!" Mas Arif menekan suara kesalnya, "adikmu mau lahiran, Non. Ayah dan ibu harus menemaninya.""Lho yang berkewajiban menemani Bunga kan si Gading sama Ibu Rini." Nona yang egois menyanggah dengan cuek."Lebih tepatnya Gading dan ibumu," tukas Mas Arif."Oh gak bisa, Mas. Ada banyak kolega yang mesti aku temui." Sarita langsung menolak."Kalo Ibu gak ma
Bunga dan bayinya hanya tiga hari dirawat di rumah sakit. Di hari keempat keduanya sudah diizinkan pulang. Aku menyambut kedatangan menantu dan cucu pertama dengan bahagia.Di hari ketujuh Gading dan Bunga mengadakan syukuran aqiqah serta pemberian nama. Kedua orang tua baru itu sepakat menamai anak mereka dengan sebutan Fawwaz. Di mana arti dari nama Fawwaz adalah pemenang.Keluarga Bunga hanya berkunjung pada saat acara tersebut. Baik Sarita maupun Mas Arif beralasan sama-sama sibuk. Namun, Juragan Amir menyumbangkan cukup materi pada acara aqiqah cicit mereka kemarin. Sehingga aku tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya. Karena hingga kini gaji Gading sebagai tenaga honorer dan guru privat memang belum bisa memenuhi semua kebutuhan.Begitu acara aqiqah anak Gading selesai, keluarga Bunga langsung pamit pulang. Namun, tidak dengan Nona. Perempuan yang sudah menjadi menantuku itu meminta menginap di rumah ini pada Galang.Tentu Galang bahagia mendengarnya. Karena semewah apapun griya
"Kopi. Aku harus menyingkirkan minuman itu mulai dari sekarang," tekadku kemudian.Niat masuk kamar sendiri aku urungkan. Lebih baik pergi ke dapur dulu. Toples berisi kopi ada di kabinet dapur atas.Gegas kuambil toples tersebut. Lantas menuang seluruh isinya ke bak cucian piring. Seketika bubuk kopi tersebut larut saat kubuka keran air. Air dalam bak cucian berubah menjadi hitam.Sebenarnya agak sayang juga melihatnya. Karena aku baru beli bubuk kopi tersebut tiga hari lalu atas permintaan Galang. Isi toplesnya masih cukup penuh.Kubersihkan bak cucian hingga tidak ada lagi bubuk kopi yang tersisa. Semuanya sudah kembali bersih. Setelah itu baru kukembalikan toples kopi pada tempatnya lagi."Lho ... Ibu sudah balik?"Aku terkejut mendengar teguran dari belakang. Ketika balik badan sosok Nona menatapku datar."Iya baru saja," jawabku pelan."Nyari apa, Bu?" tanya Nona melihat aku tadi tengah membuka kabinet dapur atas guna menaruh toples."Eum ...." Aku berpikir sejenak, "ibu lumayan
Nona mendengkus kasar. "Iya kami mau sholat bersama." Akhirnya dia mengalah.Kami sholat berempat. Bunga absen karena masih dalam masa nifas. Seperti biasa Gading yang memimpin ibadah.Selepas sholat Maghrib kami langsung menuju meja makan. Lagi-lagi Galang dan Nona memilih tidak ikut bergabung."Kami mau makan di luar saja, Bu," jelas Galang sekalian pamit, "Nona gak suka menu masakan yang Ibu buat."Walau pun dada ini terasa sesak. Namun, aku tetap mengizinkan dengan anggukan."Maafkan Embak aku ya, Bu," ucap Bunga ketika Galang dan Nona berlalu pergi. Bunga tampak tidak enak hati melihat kelakuan sang kakak."Mbak Nona emang selalu begitu. Anak dan cucu pertama. Dari kecil dia selalu dimanja oleh semua. Selalu terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan. Makanya egois gitu," tutur Bunga dengan wajah prihatin, "aku saja sebagai adik dituntut sering mengalah sama dia," pungkasnya gusar.Aku menanggapi dengan tersenyum miris. "Watak seseorang memang tidak bisa dirubah. Tetapi perilaku bi
Ketukan itu terdengar begitu keras. Aku dan Gading saling berpandangan. Karena Galang terus berteriak, lekas kubuka pintu dari kayu jati itu."Ibu lama banget sih buka pintunya," bentak Galang kasar."Ada apa sih?" Gading menatap adiknya dengan sebal, "pulang-pulang langsung main gedor," tegurnya sembari bersidekap.Aku sendiri walau sesak dengan bentakan Galang, tetap berusaha bersikap tenang. "Ada apa, Lang?""Ibu ngumpetin toples kopi?" tuding Galang tanpa basa-basi."Jangan sembarang kalo ngomong sama ibu, yang sopan kan bisa!" Suara Gading mulai terdengar keras."Ya habisnya kopi yang masih penuh tiba-tiba gak ada," sahut Galang masih meradang.Perkara kopi rupanya."Udah kamu periksa?" Kembali aku bertanya dengan lembut."Adanya toples gula sama toples kosong, Bu," balas Galang ketus."Ya berarti sudah habis itu.""Nona bilang tadi pagi masih penuh, Bu," sergah Galang terlihat berang."Aku yang habisi, kenapa memang?" timpal Gading dengan sikap menantang."Bohong banget!" sergah
"Kalo kamu lagi bercanda itu gak lucu, Ding!" Nona sontak meradang, "kamu pikir aku ini wanita apa?" Sifat aslinya keluar lagi."Iya. Punya mulut itu direm kalo bicara, jangan asal main celoteh!" Galang membela sang istri."Lho-lho kenapa pada sensi?" Gading mendongak untuk menatap Galang dan Nona secara bergantian, "orang kalo enggak ngelakuin itu santai. Bukan senewen begini.""Habisnya kamu asal main tuduh, Ding." Galang menyahut cepat."Gak asal main tuduh." Gading mengelak tenang, "setahuku kamu itu paling anti sama kopi karena punya maag. Ditraktir minum di Starbucks saja kamu nolak kok, mosok tiba-tiba jadi doyan kopi buatan Nona. Yang menurut aku biasa-biasa saja dulu. Ingat sebelum kamu jadi suaminya Nona, aku terlebih dulu sering minum kopi buatan dia."Galang dan Nona terbungkam tidak bisa membantah argumen Gading yang cukup panjang itu."Setiap orang kan punya selera tersendiri. Mungkin bagi kamu, kopi buatan aku biasa saja. Tapi di lidah Galang nikmat itu kan bisa saja t
"Anak ayah kan bukan cuma aku saja. Kenapa mesti harus aku yang pulang?" protes Nona terlihat enggan. Ketika tangan Galang menggenggamnya, Nona malah bersandar pada pundak sang suami."Soalnya kan Mbak Nona yang masih bebas. Kalo Mbak Bunga kan sudah repot dengan bayinya." Pelayan Nona memberi alasan yang tepat."Lagian tempat kerja Gading lebih dekat dari sini. Sementara tempat kerja kamu jauh lebih dekat jika kalian tinggal di rumah sana," ujarku ikut menambahkan."Gimana, Lang?" Nona meminta persetujuan dari sang suami."Terserah kamu ... kalo kamu kerasan tinggal di sini kita bisa balik kalo ayahmu udah sembuh," balas Galang terlihat bijak sekaligus penurut sekali."Aku juga ikut kalo pulang ke rumah, Mbak. Mau nginep sehari dua hari di sana," pinta Bunga sambil memangku Fawwaz."Ya sudahlah kita pulang hari ini," putus Nona kemudian. "Kita beres-beres dulu, ya." Usai pamit wanita itu menyeret lengan suaminya menuju kamar."Mas, kamu ikut nginap di rumah ayah gak?" tanya Bunga pad
Hari berlalu. Sudah tujuh hari Galang meninggalkan rumah. Anak itu sama sekali tidak memberikan kabar.Sebagai seorang ibu tentu aku merasakan rindu. Dulu sewaktu masih ngekost kami memang berpisah. Namun, baik aku ataupun Galang akan selalu kirim kabar lewat telepon setiap harinya.Hari ini aku mengalah untuk menghubungi anak itu duluan. Aku melakukan panggilan video. Wajah Galang tampak datar.Tidak ada raut kangen padaku. Ketika kutanyakan kabar, Galang menjawab baik-baik saja. Anak itu terlihat buru-buru mengakhiri percakapan kami. Dan aku tidak dapat mencegah. Apalagi di sampingnya ada Nona yang mengawasi.Tidak disangka dua hari kemudian, Galang muncul di rumah. Anak itu datang seorang diri dengan menaiki ojek. Motornya memang berada di sini, sedangkan mobil Pajero mahar dulu memang sudah hak menjadi milik Nona.Galang tidak banyak cakap. Anak itu memilih diam saat kami makan malam bersama. Baik aku dan Gading tidak mau menegurnya dulu."Ini sudah malam, Lang. Kamu gak pulang ke
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den