Galang keluar dari ruangan Nona dengan wajah yang basah. Mata dan hidungnya masih merah. Isakan tertahan keluar dari bibirnya.Anak itu melangkah pelan. Ternyata dia mendekati Sarita. Tidak kusangka Galang tiba-tiba meraih tangan ibu dari Nona itu, lalu dia berjongkok."Bu Sari, aku dan Nona saling mencintai. Tolong restui kami," mohon Galang dramatis. Dia mendongak untuk menatap Sarita. "Tolong jangan halangi hubungan suci kami dengan syarat yang terlalu berlebihan itu." Saat dia mengerjap, air mata Galang turun mengalir. Aku terpaku menyaksikan itu. Sejak kecil Galang tidak pernah sentimentil begini."Saya tahu Anda tidak menyukai ibu saya lantaran miskin dan mantan kekasih Pak Arif, tapi tolong jangan egois dengan mengorbankan hubungan kami," tutur Galang masih setia jongkok."Kamu ki ngomong apa, Lang?" Sarita mencebik sebal, "ayo berdiri!" suruhnya sambil menyeret lengan Galang. "Saya itu sengaja kasih mahar sebesar itu ki biar kamu giat belajar terus nanti semangat cari kerja.
Dua hari selanjutnya aku mengajak Galang berkunjung ke rumah Utinya. Jaraknya sekitar empat jam dari rumah yang kami tempati sekarang. Itulah sebabnya jarang berkunjung kalau tidak ada kepentingan.Bukan karena apa, hanya saja sekarang aku sudah tidak semuda dulu. Sudah gampang lelah. Sekarang rumah itu hanya ditinggali Ibu bersama keluarga adikku yang terakhir. Bapak dan kakek-nenek sudah berpulang beberapa tahun silam."Jadi Galang mau nikah?" tanya Ibu agak terlihat sangsi."Iya, Mak. Dan maksud kedatangan saya ke sini selain ngabari soal ini juga mau ngomong tentang sawah yang dikelola suaminya Jani," tuturku menyebut nama adik kedua."Kenapa, Mbak?" Jani adikku ikut mendekat.Aku lantas menceritakan tentang mahar yang Sarita ajukan."Aku lihat koyok ada yang aneh karo si Galang, Rin," ungkap Ibu terus menatap cucunya."Iyo, jadi dingin sama kita. Padahal dulu dia anak sing ceria lho." Jani ikut menimpali."Iya, memang semenjak kenal anaknya Sarita jadi dingin gitu, Mak," balasku
"Ayo bawa Bunga ke rumah sakit!" Mas Arif ikut menyuruh.Gading membimbing Bunga untuk keluar gedung. Aku dan Mas Arif mengekor."Mas!" Sarita memanggil melihat suaminya berlalu.Mas Arif balik badan. "Apa?""Kasih kuncinya sama Gading saja. Biar dia yang bawa mobilnya sendiri. Kamu masih harus menemui tamu," perintah Sarita tanpa perasaan.Nona menghampiri. Wanita itu menyincing gaun pengantinnya yang melambai itu. "Iya, acara masih lama, Yah. Masih dua jam lagi rampungnya. Pokoknya Ayah harus mendampingi aku di pelaminan saat salaman nanti," pintanya setengah merajuk.Mas Arif mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaghfirullah hal adzim!" Mas Arif menekan suara kesalnya, "adikmu mau lahiran, Non. Ayah dan ibu harus menemaninya.""Lho yang berkewajiban menemani Bunga kan si Gading sama Ibu Rini." Nona yang egois menyanggah dengan cuek."Lebih tepatnya Gading dan ibumu," tukas Mas Arif."Oh gak bisa, Mas. Ada banyak kolega yang mesti aku temui." Sarita langsung menolak."Kalo Ibu gak ma
Bunga dan bayinya hanya tiga hari dirawat di rumah sakit. Di hari keempat keduanya sudah diizinkan pulang. Aku menyambut kedatangan menantu dan cucu pertama dengan bahagia.Di hari ketujuh Gading dan Bunga mengadakan syukuran aqiqah serta pemberian nama. Kedua orang tua baru itu sepakat menamai anak mereka dengan sebutan Fawwaz. Di mana arti dari nama Fawwaz adalah pemenang.Keluarga Bunga hanya berkunjung pada saat acara tersebut. Baik Sarita maupun Mas Arif beralasan sama-sama sibuk. Namun, Juragan Amir menyumbangkan cukup materi pada acara aqiqah cicit mereka kemarin. Sehingga aku tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya. Karena hingga kini gaji Gading sebagai tenaga honorer dan guru privat memang belum bisa memenuhi semua kebutuhan.Begitu acara aqiqah anak Gading selesai, keluarga Bunga langsung pamit pulang. Namun, tidak dengan Nona. Perempuan yang sudah menjadi menantuku itu meminta menginap di rumah ini pada Galang.Tentu Galang bahagia mendengarnya. Karena semewah apapun griya
"Kopi. Aku harus menyingkirkan minuman itu mulai dari sekarang," tekadku kemudian.Niat masuk kamar sendiri aku urungkan. Lebih baik pergi ke dapur dulu. Toples berisi kopi ada di kabinet dapur atas.Gegas kuambil toples tersebut. Lantas menuang seluruh isinya ke bak cucian piring. Seketika bubuk kopi tersebut larut saat kubuka keran air. Air dalam bak cucian berubah menjadi hitam.Sebenarnya agak sayang juga melihatnya. Karena aku baru beli bubuk kopi tersebut tiga hari lalu atas permintaan Galang. Isi toplesnya masih cukup penuh.Kubersihkan bak cucian hingga tidak ada lagi bubuk kopi yang tersisa. Semuanya sudah kembali bersih. Setelah itu baru kukembalikan toples kopi pada tempatnya lagi."Lho ... Ibu sudah balik?"Aku terkejut mendengar teguran dari belakang. Ketika balik badan sosok Nona menatapku datar."Iya baru saja," jawabku pelan."Nyari apa, Bu?" tanya Nona melihat aku tadi tengah membuka kabinet dapur atas guna menaruh toples."Eum ...." Aku berpikir sejenak, "ibu lumayan
Nona mendengkus kasar. "Iya kami mau sholat bersama." Akhirnya dia mengalah.Kami sholat berempat. Bunga absen karena masih dalam masa nifas. Seperti biasa Gading yang memimpin ibadah.Selepas sholat Maghrib kami langsung menuju meja makan. Lagi-lagi Galang dan Nona memilih tidak ikut bergabung."Kami mau makan di luar saja, Bu," jelas Galang sekalian pamit, "Nona gak suka menu masakan yang Ibu buat."Walau pun dada ini terasa sesak. Namun, aku tetap mengizinkan dengan anggukan."Maafkan Embak aku ya, Bu," ucap Bunga ketika Galang dan Nona berlalu pergi. Bunga tampak tidak enak hati melihat kelakuan sang kakak."Mbak Nona emang selalu begitu. Anak dan cucu pertama. Dari kecil dia selalu dimanja oleh semua. Selalu terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan. Makanya egois gitu," tutur Bunga dengan wajah prihatin, "aku saja sebagai adik dituntut sering mengalah sama dia," pungkasnya gusar.Aku menanggapi dengan tersenyum miris. "Watak seseorang memang tidak bisa dirubah. Tetapi perilaku bi
Ketukan itu terdengar begitu keras. Aku dan Gading saling berpandangan. Karena Galang terus berteriak, lekas kubuka pintu dari kayu jati itu."Ibu lama banget sih buka pintunya," bentak Galang kasar."Ada apa sih?" Gading menatap adiknya dengan sebal, "pulang-pulang langsung main gedor," tegurnya sembari bersidekap.Aku sendiri walau sesak dengan bentakan Galang, tetap berusaha bersikap tenang. "Ada apa, Lang?""Ibu ngumpetin toples kopi?" tuding Galang tanpa basa-basi."Jangan sembarang kalo ngomong sama ibu, yang sopan kan bisa!" Suara Gading mulai terdengar keras."Ya habisnya kopi yang masih penuh tiba-tiba gak ada," sahut Galang masih meradang.Perkara kopi rupanya."Udah kamu periksa?" Kembali aku bertanya dengan lembut."Adanya toples gula sama toples kosong, Bu," balas Galang ketus."Ya berarti sudah habis itu.""Nona bilang tadi pagi masih penuh, Bu," sergah Galang terlihat berang."Aku yang habisi, kenapa memang?" timpal Gading dengan sikap menantang."Bohong banget!" sergah
"Kalo kamu lagi bercanda itu gak lucu, Ding!" Nona sontak meradang, "kamu pikir aku ini wanita apa?" Sifat aslinya keluar lagi."Iya. Punya mulut itu direm kalo bicara, jangan asal main celoteh!" Galang membela sang istri."Lho-lho kenapa pada sensi?" Gading mendongak untuk menatap Galang dan Nona secara bergantian, "orang kalo enggak ngelakuin itu santai. Bukan senewen begini.""Habisnya kamu asal main tuduh, Ding." Galang menyahut cepat."Gak asal main tuduh." Gading mengelak tenang, "setahuku kamu itu paling anti sama kopi karena punya maag. Ditraktir minum di Starbucks saja kamu nolak kok, mosok tiba-tiba jadi doyan kopi buatan Nona. Yang menurut aku biasa-biasa saja dulu. Ingat sebelum kamu jadi suaminya Nona, aku terlebih dulu sering minum kopi buatan dia."Galang dan Nona terbungkam tidak bisa membantah argumen Gading yang cukup panjang itu."Setiap orang kan punya selera tersendiri. Mungkin bagi kamu, kopi buatan aku biasa saja. Tapi di lidah Galang nikmat itu kan bisa saja t