"Mbok! Aisyah dan anak-anak mana?" tanya Farhan begitu sampai di rumahnya, dan menemukan rumah dalam keadaan sepi, hanya ada Mbok Jum yang terlihat sedang membersihkan dapur, dan mengepelnya.
Mbok Jum yang sudah tahu dengan permasalahan majikannya itu, menatap penuh benci ke arah Farhan.Mbok Jum begitu menyayangi Aisyah dan anak-anak, karena perlakuan Aisyah yang begitu baik kepadanya.Bahkan tadi sebelum pergi, Aisyah masih sempat memberikannya uang yang cukup banyak, dan sebuah gelang emas, sebagai kenang-kenangan, katanya."Maafkan Aisyah ya Mbok, Aisyah tidak bisa memperkerjakan Mbok lagi, karena kami akan pergi." ucapnya tadi, sekitar 1 jam yang lalu."Tapi kenapa Mbak Aisyah? Mbok harus kerja dimana kalau Mbak Aisyah sudah tidak disini lagi?" tanya Mbok Jum, sangat sedih."Mbok bisa bilang ke Mas Farhan dan istri barunya nanti, buat tetap lanjutin kerja disini." ucap Aisyah tersenyum getir.Mbok Jum langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Gak Mbak! Mbok jadi sangat benci sama Pak Farhan, apalagi istri barunya! lebih baik Mbok jadi pemulung saja, daripada kerja sama mereka." geleng Mbok Jum, ikut merasa sakit hati, dengan perbuatan suami majikannya."Jangan begitu Mbok, kita tidak boleh terlalu benci dengan seseorang, bisa-bisa nanti Mbok malah suka lo.." goda Aisyah, masih sempat mencandai perempuan paruh baya itu, sambil terkekeh geli."Ya Allah Mbak, kenapa bisa ya, Pak Farhan menikah lagi, padahal Mbak Aisyah cantik, sabar, baik, pinter masak lagi. Mbok sumpahin, Pak Farhan bakalan nyesel, karena sudah menduakan cinta Mbak Aisyah!" Mbok Jum malah menangis tergugu, karena majikannya masih sempat menggodanya.Aisyah hanya dapat menghela nafasnya pelan, kemudian memeluk wanita paruh baya yang sudah 3 tahun ini, membantunya di rumah."Saya pasti akan merindukan Mbok Jum, kelak." ucap Aisyah, lantas mengeluarkan amplop yang sudah ia sediakan tadi, untuk gaji dan pesangon Art nya itu."Jangan Mbak Aisyah, Mbok rela tidak di bayar. Lebih baik gunakan uang itu untuk bekal Mbak Aisyah dan anak-anak di sana." tolaknya tulus."Nggak Mbok, saya masih ada tabungan kok. Terima saja Mbok, bisa mbok gunakan untuk modal dagang makanan, seperti cita-cita Mbok selama ini." Aisyah memaksa Mbok Jum untuk menerimanya."Terimakasih banyak Mbak Aisyah, semoga Allah memberikan Mbak Aisyah dan anak-anak kesehatan dan rejeki yang melimpah.." doa tulus wanita paruh baya itu, menatap haru majikannya."Aamiin.. sudah ya Mbok, mobilnya sudah nungguin di depan. Jangan lupa, sebelum pergi, bersihkan dulu rumahnya Mbok, jangan sampai Mas Farhan merasa tak nyaman berada di rumah nya sendiri, karena kotor." ucapnya lirih.Mbok Jum mengangguk sambil mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.Segera ia peluk Akbar dan Arash, anak-anak pintar yang sering ia asuh selama ini.Aisyah pun masuk ke mobil. Akbar dan Arash tampak melambaikan tangan pada Mbok Jum, yang masih terus mengusap air matanya dengan kain yang ia bawa."Mbok, ambil ini sebagai kenang-kenangan." Aisyah menurunkan kaca jendela, dan memberikan sebuah gelang emasnya, ke tangan Mbok Jum, yang langsung kaget dengan pemberian majikannya itu."Jalan Pak..!" Aisyah langsung menutup kaca jendelanya, tanpa memberikan kesempatan kepada Mbok Jum, untuk menolak."Mbak Aisyah! terimakasih banyak Mbak!" **"Mbok! ditanya kok malah diem? Aisyah dan anak-anak mana?" ulang Farhan, saat pertanyaannya seakan di abaikan begitu saja oleh pembantunya itu."Mbak Aisyah dan anak-anak sudah pergi dari rumah ini, dan tidak akan pernah kembali! Pak Farhan puas sekarang?! karena telah melukai hati Mbak Aisyah yang sangat baik seperti itu, sampai nekat pergi dari sini?!" seru Mbok Jum, yang selama ini tak pernah bersikap seperti itu.Jangankan bicara kasar, berbicara pada Farhan saja, ia sangat jarang, karena merasa sungkan.Entah mendapatkan keberanian dari mana, sehingga ia nekat berkata kasar pada majikannya.Gendis terbelalak melihat sikap pembantu suaminya itu."Eh! jadi pembantu yang sopan dong! sama majikannya berani bentak-bentak begitu? mau di pecat kamu?!" Gendis tampak kesal sekaligus heran, karena berani juga pembantu suaminya itu, bersikap frontal seperti tadi.Mbok Jum tak menjawab, dan segera membereskan barang-barang nya yang ada di rumah itu.Sedangkan Farhan tak menanggapi, ia justru berlari ke kamar utama, dan kamar anak-anak untuk memastikan.Dan benar saja, lemari pakaian istri dan anak-anaknya telah kosong, hanya menyisakan beberapa pakaian yang sudah tidak pernah di pakai lagi."Kemana mereka Mbok? Kapan perginya? Sama siapa?" tanya Farhan beruntun, mencekal kedua pundak Mbok Jum, meminta jawaban secepatnya.Dada Farhan bergemuruh hebat, saat melihat kenyataan istrinya yang telah pergi, lelaki itu terlihat begitu panik.Mbok Jum segera melepaskan cengkraman tangan Farhan dari pundaknya."Saya tidak tahu Mbak Aisyah mau kemana, karena dia juga tidak bilang.Sekarang saya mau pulang Pak, dan maaf, saya juga sudah tidak akan bekerja disini lagi. Permisi." pamit Mbok Jum, tanpa menunggu jawaban dari Farhan.Farhan tak dapat berkata apa-apa lagi.Ia biarkan Mbok Jum pergi begitu saja, tanpa bertanya apapun lagi."Kemana kamu Aisyah...?" ucapnya, mengusap wajahnya kasar.Gendis yang melihat suaminya terlihat begitu kehilangan itu, segera mengajak Farhan duduk."Tidak usah bingung Mas. Pasti sekarang ini ia pulang ke rumah orangtuanya, aku jamin itu." ucap Gendis, mencoba menenangkan ."Kalau dia tidak ke sana bagaimana, Dis..?" tanya Farhan, tak yakin dengan ucapan istrinya itu."Coba sekarang Mas ingat-ingat, jika Aisyah sedang marah atau merajuk, dia perginya kemana?" tanya Gendis.Farhan tampak tengah berpikir dan mengingat-ingat."Aisyah tidak pernah seperti itu Ndis, selama ini ia tak pernah pergi kemanapun, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadaku." jawab Farhan menggeleng Gendis tampak terbelalak mendengar itu."Walaupun sedang marah, ataupun merajuk?" tanya Gendis, tak percaya."Aisyah tidak pernah marah berlebihan, apalagi merajuk Ndis, dia itu lain daripada yang lain, dia istimewa dan sholeha." ucap Farhan, membuat Gendis seakan tersengat ribuan tawon, sakit dan perih, mendengar suaminya tampak begitu memuja istrinya , yang menurutnya sangat sempurna itu."Ya udah?! kalau gitu kemana dong, istri Sholeha kamu itu Mas? Masih sah jadi istri, tapi pergi tanpa pamit kepada suaminya. Apa sekarang masih bisa di sebut sebagai istri Sholeha, kalau seperti itu?" nyinyir Gendis, tampak dongkol dan kesal."Aku akan coba ke rumah Abah dan Ummi, mungkin dia pulang ke sana, karena setahuku, dia tidak punya kerabat di daerah sini." jawab Farhan, kemudian menghubungi Mamanya, untuk mengabarkan bahwa Aisyah sudah tidak ada di rumah.Bersambung...Farhan berkali-kali mencoba menghubungi nomor istrinya, untuk menanyakan posisinya sekarang."Bagaimana Farhan? bisa di hubungi tidak istrimu itu?" tanya Ambar, yang langsung meluncur bersama suaminya ke rumah dinas putranya.Farhan tampak menggeleng dengan lemah."Nomornya tidak bisa di hubungi Mah.." jawab lelaki berhidung mancung itu, juga terlihat sangat khawatir."Dia ada tinggalkan surat atau pesan gitu, sama kamu?" tanya Drajat, yang juga terlihat panik.Karena bagaimanapun, selain sebagai menantu, Aisyah juga adalah putri dari sahabatnya.Jika sampai terjadi apa-apa kepada Aisyah, apa yang akan dia katakan nanti, kepada mereka."Iya, Aisyah tidak meninggalkan pesan?" Ambar menatap putranya."Tidak ada Mah, bahkan tadi Mbok Jum yang biasa bantu-bantu disini juga tidak tahu, Aisyah mau pergi kemana." jawab Farhan.Ambar terduduk di kursi sofa ruang tengah, dan tampak begitu terpukul dengan kepergian menantunya itu."Aisyah pasti kecewa kepada Mama sekarang ini. Pasti dia pikir,
"Tapi Aisyah.. bukan aku bermaksud menggurui, sebaiknya kamu berterus terang saja kepada Abah dan Ummi mu di rumah. Aku dari tadi jadi kepikiran lo, bagaimana kalau keluarga suami kamu pergi ke rumah Abah dan Ummi mu, terus menanyakan keberadaan kamu?Bukankah mereka akan semakin kepikiran, jika tahu kamu sedang ada masalah, dan tidak tahu keberadaan kamu dan anak-anak ada di mana?" ucap Aminah, yang merasa tak setuju jika Aisyah sama sekali tidak mengabari kondisinya, kepada keluarga besarnya, terutama kedua orangtuanya.Aisyah terdiam mendengar itu. Apa yang di katakan oleh sahabatnya itu benar.Kenapa dia bisa melupakan itu?Dia terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu, hampir saja dia malah membuat kedua orangtuanya cemas, dengan bertingkah seperti ini."Baiklah, aku akan telepon Abah dan Ummi dulu." jawab Aisyah mengangguk setuju."Terimakasih Aminah, untung saja kamu mengingatkan aku.." "Sama-sama Aisyah, itulah salah satu fungsi sahabat, saling mengingatkan, dan saling bantu, y
Waktu terus berlalu, Farhan yang kebingungan setelah Aisyah pergi bersama anak-anaknya, masih tetap tak berhenti mencari keberadaan istrinya itu."Sudah 7 bulan Farhan, seharusnya sekarang kita sedang mengadakan syukuran untuk kehamilan Aisyah." ucap Ambar malam itu, masih duduk di teras bersama suami, dan putranya.Sedangkan Gendis ada di rumah dinas milik Farhan sekarang, menggantikan posisi Aisyah, yang hingga sekarang belum juga memberikan kabar.Farhan terdiam mendengar ucapan Mamanya, hatinya sedih dan juga sangat rindu, setiap kali memikirkan Aisyah dan anak-anaknya.Apalagi sekarang Aisyah juga sedang mengandung buah hati nya."Satu bulan lalu kita telah mengadakan 7 bulanan untuk anak dalam perut Gendis, dan Minggu depan, Mama akan adakan 7 bulanan untuk Aisyah, meskipun dia tidak ada disini. Setidaknya doa tulus yang kita kirimkan, bisa sampai kepadanya " Ucap Ambar lagi."Iya Ma, Farhan setuju. Mama bilang saja nanti, butuh uang berapa untuk biayanya, biarkan Farhan yang me
"Aisyah, kamu sebentar lagi mau melahirkan lo, kamu beneran gak mau hubungi suami kamu, atau mertua kamu ya?" tanya Amina siang itu, berkunjung ke rumah yang di tinggali oleh Aisyah dan kedua anaknya.Aisyah yang sedang sibuk mengemas nasi bungkus pesanan salah satu pengajar, yang juga mengajar di pondok pesantren itu, menggeleng tegas."Tidak Aminah, biarkanlah takdir kelak yang akan mempertemukan kami, tapi yang jelas, begitu anak ini lahir, aku akan segera melayangkan surat gugatan kepada Mas Farhan." jawab Aisyah, sambil tetap sibuk membungkus aneka sayur yang sudah ia buat tadi, ke dalam sterofom."Kamu sudah hamil besar begini, kok masih sibuk terus sih.." Amina mulai mengalihkan pembicaraan mereka, karena percuma saja, Aisyah tetap akan kekeh pada keputusannya, yang ingin segera bercerai dari Farhan.Bukan Amina membela Farhan, hanya saja ia kasihan kepada sahabatnya itu, karena harus bekerja keras membanting tulang, untuk menghidupi anak-anaknya.Apalagi Aminah juga tahu, jika
["Farhan! cepat pulang! Gendis di larikan ke rumah sakit sekarang!"] ucap Ambar, menelepon Farhan, yang sedang berada di luar kota karena pekerjaan.["Maaf Ma, tapi setelah ini Farhan harus presentasi, sudah ditunggu sama yang lainnya. Mama bisa jagain Gendis dulu kan, Ma? nanti setelah selesai, Farhan langsung nyusul ke sana."][Ya sudah, biar Mama temani dulu, sepertinya sudah mau lahiran. Kamu buruan ya Nak..?] Klik! Sambungan pun terputus.Farhan mendesah pelan, Gendis sudah mau melahirkan sekarang, berarti Aisyah sebentar lagi juga akan melahirkan..Pikirannya menjadi tidak tenang sekarang, bukan memikirkan Gendis yang hendak melahirkan, justru dia kepikiran dengan Aisyah."Aisyah... dimana sebenarnya kamu sekarang? apakah kalian baik-baik saja?" gumamnya, teringat dengan kedua anaknya.Farhan merasa semakin sesak dadanya, karena justru dia meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan, di akhir perjumpaannya dengan kedua putranya itu.Masih terngiang di telinganya, saat Akbar me
Waktu terus berlalu dengan sangat cepat."Fatimah! jangan berlarian seperti itu Sayang!" seru Aisyah, yang baru selesai mengajar di madrasah sore, dan membiarkan Fatimah yang baru berusia 2 tahun itu berlarian di halaman madrasah yang luas."Huwaaaa ummi.." tiba-tiba gadis kecil itu menangis, karena menabrak kaki seseorang, yang tengah berjalan menuju kantor madrasah."Fatimah?!" seru Aisyah, segera berlari saat melihat putrinya jatuh terduduk di tanah.Lelaki yang di tabrak kakinya oleh Fatimah tadi, segera berjongkok, dan mengambil Fatimah ke dalam gendongannya, sambil sibuk menenangkan Fatimah yang menangis."Ah, maafkan putri saya." ucap Fatimah, segera meminta putrinya, dari gendongan lelaki tadi."Ooh, tidak apa-apa ukhti, namanya juga anak-anak, lagi senang-senangnya berlarian dan bermain." jawab lelaki bertubuh jangkung itu, tersenyum lebar.Wajah pemuda itu begitu tampan, dengan cambang tipis, dan hidung yang mancung, membuat Aisyah segera mengalihkan pandangannya, dan segera
"Kita ke tempat Ustadzah Aisyah dulu ya, Bang." ajak Ghufron, berbelok ke kanan, saat mereka sampai di persimpangan gang."Baiklah, kebetulan aku juga ingin melihat panti itu sekarang, kata Ummi sekarang pantinya rame." Jawab Hanan, setuju."Rame banget Bang, banyak anak-anak yatim dan dhuafa, yang di titipkan disini." ungkap Ghufron.Dan benar saja, dari kejauhan, sudah terdengar celotehan anak-anak yang ramai bermain di halaman panti yang luas. Ada yang bernyanyi, ada juga yang menggambar di teras.Sedangkan anak-anak yang sudah lumayan besar, terlihat sedang melipat kotak-kotak Snack.Seorang perempuan dengan kerudung lebar, terlihat keluar dari rumah yang ada di sebelah panti, sambil membawa talam berukuran lebar, menuju teras panti "Anak-anak! ayo makan camilan dulu!" teriaknya, menghentikan kegiatan anak-anak yang rata-rata masih di bawah 10 tahunan itu, dan segera berhamburan menuju perempuan tadi."Nana mau Ummi!""Tyo juga!""Sisi mau juga!" seru anak-anak saling bersahutan,
"Jadi Gendis dan Putra mau ikut juga, Farhan?" tanya Ambar, saat mereka tengah sarapan.."Iya Ma, kasihan Putra, beberapa hari ini Farhan jarang menemaninya bermain, karena sibuk luar biasa di kantor. Jadi biar mereka ikut, sekalian berjalan-jalan." jawab Farhan."Mama jadi kesepian dong, kalau begini." ucap Ambar, terlihat lesu.Drajat yang melihat itu terkekeh. "Ya sudah, Mama ikut juga sana!" cebiknya, menggoda sang istri."Ish, Papa ini!" serunya kesal."Masa iya Mama ikut, harusnya Papa dong, ajak Mama jalan-jalan. Kita kemana kek!" ketusnya, sebal."Tuh Pa, Mama sepertinya pengen di ajak bulan madu lagi tuh.." goda Gendis, terkikik geli."Wah, boleh juga itu idenya, ya udah, Mama pengen Papa ajak kemana? sok atuh Ma." Drajat terkekeh."Beneran? Mama udah lama banget lo gak jalan-jalan Pa." rajuknya, terdengar manja.Farhan yang melihat kedua orangtuanya itu, hanya dapat menggelengkan kepalanya.Dalam hatinya, ia tiba-tiba merasa perih, melihat keharmonisan kedua orangtuanya itu
Sore itu Hanan langsung mengantar sang istri ke dokter spesialis kandungan, untuk periksa. Umi Hanan dan Aminah juga ikut, ingin mengantar dan mengetahui perkembangan kandungan Aisyah. "Semoga saja kembar Ya Mi, Abang kan dulu anak kembar kan?" ucap Aminah, kepada Uminya. Umi Hanan mengangguk, Aisyah yang duduk di sebelah ibu mertuanya itu, segera menoleh. "Benarkah Umi?" tanya Aisyah, yang baru mendengar hal itu. "Iya Nak, dulu suami kamu ini, adalah anak kembar. Tapi sayang, adik kembarnya meninggal dalam kandungan." ucap Umi Hanan, teringat dengan masa lalunya dulu. Aisyah mengangguk-angguk. Di selingi obrolan, tak terasa kini mereka telah sampai di tempat praktek dokter. Aminah dan Umi nya tampak antusias menggandeng lengan Aisyah, hingga membuat Aisyah merasa tak enak sendiri. Hanan hanya terkekeh melihat pemandangan itu di depannya. Setelah mengantri sebentar, akhirnya Aisyah di panggil masuk. "Alhamdulillah, semuanya baik, dan usia kandungan sudah memasuki 4 minggu."
"Silahkan tunggu disini, sebentar lagi Pak Roy akan hadir bersama istrinya." ucap asisten sang bos, mempersilahkan Farhan dan rekannya, untuk duduk menunggu di tempat makan hotel. Farhan dan para rekannya mengangguk, mengerti. Selama ini mereka belum pernah tahu siapa istri sebenarnya bos mereka itu, karena setahu mereka, sang bos selalu membawa perempuan yang berbeda saat acara keluar, seperti ini. "Kira-kira kali ini siapa ya yang jadi istri si Bos.. " ucap bu Leni, yang menjadi rekan kerja Farhan di kantor baru, dan sudah cukup lama menjadi anak buah Roy. Johan dan Anita menggedikkan bahu mereka, karena memang sudah bukan rahasia lagi, tentang kelakuan bos mereka itu, yang selalu bergonta ganti pasangan. Farhan tak menggubris pembicaraan para rekannya, dan memilih sibuk dengan ponselnya, menanyakan kabar kedua orang tuanya. "Selamat malam teman-teman! Maaf sudah menunggu lama." suara bariton Pak Roy terdengar, membuat semua orang yang ada di situ seketika mengangkat kepalanya,
Farhan akhirnya memutuskan untuk hadir di acara pernikahan mantan istrinya, karena tak ingin di anggap tidak menghargai undangan mereka.Karena setelah Hanan memberinya surat undangan, Aisyah juga mengundang dirinya, dan juga Papa Mamanya untuk hadir, melalui sambungan telepon.Walau dengan hati yang hancur berkeping keping, tapi Farhan berusaha keras untuk terlihat kuat, dan biasa saja.Sengaja ia tidak memberi tahu Papa Mamanya, tentang pernikahan Aisyah.Ia takut, Mamanya akan bersedih mendengar berita itu, mengingat Mamanya itu masih sangat berharap, jika Aisyah mau kembali menjadi menantunya.Dengan mengenakan hem yang dulu di pilihkan oleh Aisyah ketika masih menjadi istrinya dulu, Farhan berangkat menuju kota tempat Aisyah dan anak-anak nya berada.Ia berharap, setidaknya Aisyah bisa mengenang kebersamaan mereka dulu, tentang kehidupan mereka yang membahagiakan, dan juga harmonis.Sungguh, Farhan sangat merindukan masa-masa indah saat bersama Aisyah dulu.Andai ia tahu, jika de
"Mas Farhan cepat pulang! Bapak Mas, Bapak!" seru Mbok Karsih pembantu di rumah Mama Papanya, meneleponnya dengan panik."Papa kenapa Mbok?!" seru Farhan yang tadinya baru bangun tidur dan masih di dalam mobilnya, karena semalaman tak pulang, hanya berkeliling tak tentu arah tujuan, segera membuka matanya dengan sempurna, saat Mbok Karsih dengan panik, menelepon dan mengabarkan tentang kondisi Papanya sekarang."Bapak di bawa ke rumah sakit Mas, gara-gara jatuh di kamar mandi subuh tadi." ucap Mbok Karsih, terdengar hendak menangis dari suaranya.Tanpa bertanya lagi, Farhan segera mematikan ponselnya, dan menyalakan mesin mobilnya, untuk segera berangkat pulang, menuju rumahnya.Pikirannya benar-benar kalut sekarang, dengan kecepatan tinggi, dia melajukan mobil Pajero keluaran terbaru miliknya, dengan rasa cemas yang menyelimuti dirinya."Ya Allah, apa lagi ini..?" keluhnya dalan hati, berharap sang Papa baik-baik saja.Selama ini Papanya jarang sakit, dan selalu terlihat bugar.Baru
Gendis masih belum tahu, akan pergi kemana dia sekarang?Ia sudah tak lagi mempunyai siapa-siapa, karena kedua orangtuanya juga sudah tidak ada.Ada rasa menyesal, kenapa harus pergi dari rumah mertuanya.Haruskah sekarang ia kembali saja,? "Tidak! aku tidak akan pernah kembali lagi ke rumah itu!" geramnya masih merasa sangat jengkel terhadap sikap Farhan kepada nya."Mau kemana ini Mbak?" tanya sopir taksi, yang belum juga mendapatkan perintah arah tujuan.Gendis segera teringat dengan salah satu sahabatnya dulu, sahabat SMA nya, yang konon telah sukses di kota ini.Ia masih ingat, sahabatnya itu tinggal di sebuah kawasan elit, di pusat kota."Apa aku coba hubungi Salsa aja ya?" gumamnya, merasa buntu karena tak punya saudara di kota ini.Gendis segera mengambil ponselnya dalam tas, dan mencari kontak teman lamanya itu."Ah..ini dia!" serunya saat menemukan nomor kontak Salsa, teman nongkrong nya dulu.Teman yang sudah lama tidak saling kontak, karena kesibukan masing-masing.Sebena
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Farhan jadi kepikiran dengan ucapan istrinya tadi."Benarkah Gendis sedang hamil?!" gumamnya merasa jengkel sendiri, hingga memukul kemudi mobilnya keras."Bagaimana jika dia benar-benar hamil? itu artinya aku tidak bisa segera menceraikan nya, dan kembali rujuk kepada Aisyah!" gumamnya, bermonolog sendiri.Ia segera teringat, kapan terakhir kalinya mereka melakukan hubungan suami istri. Saat itu mereka melakukan nya di hotel Singapore, saat mengantarkan Putra berobat.Farhan tak dapat menahan hasratnya kala itu, dan mengajak istrinya bercinta, walau sedang lelah mengurus Putra yang sakit.Shiit!! Kenapa waktu itu aku harus menyentuhnya!Dengan kesal, Farhan melajukan mobilnya, menuju kantor.Untung nya, meski saat ini ia sedang banyak beban pikiran, tapi ia masih bisa menghandel semua pekerjaan nya dengan baik.Sesampainya di kantor, Farhan menatap lama ke foto keluarga nya dulu, saat masih bersama Aisyah.Sedang apa mereka sekarang? gumamnya, mera
"Ada yang ingin Farhan bicarakan Pa, Ma." ucap Farhan malam itu, ingin segera masalah nya dengan Gendis selesai.Gendis juga terlihat duduk, sambil menunduk. Belum hilang rasa sedihnya karena Putra sudah di ambil oleh Ayah kandungnya, kini Farhan memaksanya, untuk segera membicarakan perceraian kepada Mama Papanya."Ada apa Nak? Apakah ini soal Putra lagi?" tanya Ambar, karena kemarin baru saja menjenguk Putra di rumah sakit."Kalian berdua kemari, terus yang jaga Putra siapa?" tanya Drajat, menatap heran kedua anak mantunya itu.Farhan terlihat menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan, supaya merasa lebih tenang.Ia berharap Mamanya akan baik-baik saja setelah ia mengatakan yang sebenarnya nanti.Karena ia sudah tidak mau berlarut-larut lagi, hidup bersama Gendis."Sebenarnya, Putra bukanlah darah daging Farhan Ma, Pa.." ucap lelaki itu, tanpa berani menatap wajah kedua orangtuanya.Mendengar itu, Ambar dan juga suaminya sangat terkejut."Apa maksud uca
"Gendis?!" seru Alex terdengar terkejut, saat tahu siapa yang menelepon."Mas, bisakah kita bertemu..,? ini tentang anak yang kamu tinggalkan dalam rahimku, dulu." ucap Gendis, langsung pada tujuan.Tak terdengar jawaban dari seberang telepon, tapi sambungan panggilan mereka masih menyala."Apa yang kau katakan tadi?!" desis Alex, kembali membuka suaranya."Aku mohon Mas, bantu aku kali ini saja." ucap Gendis, terdengar menghiba kepada mantan kekasih gelapnya itu."Katakanlah!" "Anak kita itu bernama Putra, kamu harus melihatnya Mas! Dia sangat mirip denganmu!" mohon Gendis, demi putra terkasihnya."Dia sekarang sakit, anak kita terkena kanker darah Mas! dan dia membutuhkan donor sum-sum tulang belakang, untuk kelangsungan hidupnya." ucap Gendis, mulai menangis, memohon kepada Alex, supaya mau membantunya kali ini.Alex sungguh terkejut mendengar itu, dia pikir dulu Gendis akan menggugurkan kandungannya, begitu istrinya memecat dan mengusirnya, dari perusahaan miliknya."Aku akan dis
"Mau kemana, Bang?" tanya Aisyah, melihat suaminya yang berjalan ke depan.Aisyah yang baru selesai menyuapi Fatimah sore itu, menyusul sang suami ke depan."Jalan-jalan keliling kampung yuk? Abang pengen lihat tempat istri Abang ini tumbuh besar, menghabiskan masa-masa kecilnya dulu." ajak Hanan, yang tidak tahu harus melakukan apa di rumah sang mertua, karena Abah dan Umi mertuanya, selalu melarang ia untuk membantu apapun disana."Boleh, mau jalan kaki?" tanya Aisyah tersenyum, membuat Hanan selalu merasa gemas, dengan wajah cantiknya."Boleh, Akbar sama Arash mana?" tanya Hanan, yang mulai tadi tidak melihat kedua anak sambungnya itu."Main Bang, kalau pulang kemari, mereka pasti akan main di dekat sungai sana!" tunjuk Aisyah, ke arah kiri rumahnya.Hanan merasa tertarik mendengar itu."Kalau begitu kita kesana yuk! sini Fatimah, gendong sama Abi aja." ajak Hanan, kepada gadis kecilnya itu.Aisyah mengangguk, kemudian mengambil sandalnya, yang tersimpan di rak, di ujung teras.Sam