"Kita ke tempat Ustadzah Aisyah dulu ya, Bang." ajak Ghufron, berbelok ke kanan, saat mereka sampai di persimpangan gang."Baiklah, kebetulan aku juga ingin melihat panti itu sekarang, kata Ummi sekarang pantinya rame." Jawab Hanan, setuju."Rame banget Bang, banyak anak-anak yatim dan dhuafa, yang di titipkan disini." ungkap Ghufron.Dan benar saja, dari kejauhan, sudah terdengar celotehan anak-anak yang ramai bermain di halaman panti yang luas. Ada yang bernyanyi, ada juga yang menggambar di teras.Sedangkan anak-anak yang sudah lumayan besar, terlihat sedang melipat kotak-kotak Snack.Seorang perempuan dengan kerudung lebar, terlihat keluar dari rumah yang ada di sebelah panti, sambil membawa talam berukuran lebar, menuju teras panti "Anak-anak! ayo makan camilan dulu!" teriaknya, menghentikan kegiatan anak-anak yang rata-rata masih di bawah 10 tahunan itu, dan segera berhamburan menuju perempuan tadi."Nana mau Ummi!""Tyo juga!""Sisi mau juga!" seru anak-anak saling bersahutan,
"Jadi Gendis dan Putra mau ikut juga, Farhan?" tanya Ambar, saat mereka tengah sarapan.."Iya Ma, kasihan Putra, beberapa hari ini Farhan jarang menemaninya bermain, karena sibuk luar biasa di kantor. Jadi biar mereka ikut, sekalian berjalan-jalan." jawab Farhan."Mama jadi kesepian dong, kalau begini." ucap Ambar, terlihat lesu.Drajat yang melihat itu terkekeh. "Ya sudah, Mama ikut juga sana!" cebiknya, menggoda sang istri."Ish, Papa ini!" serunya kesal."Masa iya Mama ikut, harusnya Papa dong, ajak Mama jalan-jalan. Kita kemana kek!" ketusnya, sebal."Tuh Pa, Mama sepertinya pengen di ajak bulan madu lagi tuh.." goda Gendis, terkikik geli."Wah, boleh juga itu idenya, ya udah, Mama pengen Papa ajak kemana? sok atuh Ma." Drajat terkekeh."Beneran? Mama udah lama banget lo gak jalan-jalan Pa." rajuknya, terdengar manja.Farhan yang melihat kedua orangtuanya itu, hanya dapat menggelengkan kepalanya.Dalam hatinya, ia tiba-tiba merasa perih, melihat keharmonisan kedua orangtuanya itu
Aisyah segera menundukkan kepalanya, saat melihat ada mantan suaminya ternyata, di ruangan itu."Jadi Mas Farhan juga mengikuti acara ini?" gumam Aisyah, merasa masih belum siap jika bertemu dengan lelaki yang telah memberinya 3 anak itu.Aisyah rasanya ingin segera pulang saja, dan pergi dari tempat itu.Tapi walau bagaimanapun, ia juga harus bersikap profesional, karena sudah di percaya untuk mengurus konsumsi makan, di acara itu.Bahkan Bu Leni sang pemilik acara, memintanya sendiri kepadanya, tempo hari."Acara itu sangat penting Bu Aisyah, jadi saya mohon, saya ingin Bu Aisyah sendiri yang menanganinya nanti.Tak mau terlihat oleh mantan suaminya, Aisyah beranjak pergi ke belakang, berkumpul bersama dengan pekerjanya yang lain.Acara terus berjalan, dan kini tibalah waktu untuk makan siang.Farhan yang pagi tadi hanya sempat sarapan sekedarnya saja, sudah merasa sangat lapar.Saat memasuki ruang prasmanan, aroma masakan yang lezat, segera menguar, menerbitkan liur dalam mulutnya,
Akhirnya Aisyah menyerah, melihat putranya yang sakit dan terus memanggil Abinya, hatinya serasa hancur."Apa yang telah aku lakukan terhadap putraku? kenapa aku tak pernah menanyakan bagaimana perasaan mereka, yang jauh dari Abinya sendiri?" tangisnya, pilu."Sudah Aisyah, semua sudah terjadi. Sekarang anak-anak sudah mulai tumbuh besar, sudah waktunya kau pertemukan mereka dengan Abinya.Cobalah sekarang kamu hubungi mantan suamimu itu.Aku yakin, sekarang ini Abinya juga pasti sangat merindukan anak-anaknya." ucap Aminah, mengusap punggung sahabatnya itu, untuk menenangkan.Aisyah mengangguk, kemudian segera mengusap wajahnya yang basah, karena air matanya sendiri, dan mengambil ponselnya.Dari luar ruangan, Hanan tampak memperhatikan segala gerak-gerik Aisyah.Lelaki itu merasa iba dengan ibu tiga anak itu.Ia sudah mendengar semua tentang nya, dari Aminah dan juga uminya."Aisyah adalah wanita sholeha, tapi suaminya sungguh tega menyakitinya, hingga sedemikian rupa." ucap uminya
"Tolong suster!" teriak Hanan, yang tengah membopong Aisyah yang masih belum juga sadar.Dua orang perawat dengan sigap segera membawakan brankar, dan membawa Aisyah ke ruang ugd.Arash yang mengikuti Uminya dari belakang, tidak di perbolehkan masuk ke ruangan oleh para perawat, karena segera menutup pintunya."Ini istrinya kenapa Pak?" tanya perawat yang memberikan tindakan..Dikatakan istrinya, Hanan tampak sedikit memerah wajahnya."Tidak tahu suster." jawab Hanan, sambil memperhatikan suster yang tengah memeriksa."Tolong kerudung istrinya di buka dulu Pak, biar tidak terlalu gerah." perintah salah satu suster yang sedang mencari urat pergelangan tangan Aisyah, untuk ia pasangkan jarum infus."Tttapi.." Hanan tampak ragu untuk melakukan itu, tapi ia lihat kedua perawat itu tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing.Hanan menghela nafasnya panjang."Maafkan aku Aisyah. Aku terpaksa melakukannya. Andai kamu tidak terima jika aku telah melihatmu tak berhijab, aku bersedia kok, untu
Keesokan harinya, Aisyah sudah mendingan, jadi dia meminta kepada suster, untuk mencabut jarum infusnya.Semalaman Hanan tak pulang, karena kasihan kepada Arash, yang terus menjaga Uminya itu."Beneran sudah tidak apa-apa Ustadzah?" tanya Hanan, menatap Aisyah yang bersikeras ingin segera melihat kondisi Akbar.Aisyah mengangguk, "Iya Ustadz, saya sudah sehat kok." jawab Aisyah, segera menunduk, saat Hanan terus memperhatikan dirinya."Ya sudah, nanti saya antar ke ruangan Akbar, karena tadi malam, dia sudah di pindahkan ke ruang paviliun oleh Abinya." ucap Hanan, yang belum memberitahukan hal itu, kepada Aisyah."Ooh, jadi sudah di pindahkan ya?" Aisyah mengulang ucapan Hanan, dan merasa maklum, mantan suaminya pasti merasa tak nyaman berada di ruang perawatan kelas 2 tadi malam."Arash mana?" tanya Hanan, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan UGD, yang terlihat kosong."Katanya mau mandi tadi, Ustadz." jawab Aisyah, merasa canggung karena hanya berduaan saja dengan Hanan."Ust
Akhirnya Akbar pun sembuh, tapi begitu sembuh, dia meminta kepada Uminya, untuk pulang ke rumah Abinya yang dulu."Kita ikut pulang ke rumah Abi kan, Umi?" tanya Akbar dengan wajah polosnya.Farhan yang mendengar itu, hanya diam tak berani berkomentar apapun, takut salah di mata Aisyah.Aisyah menghela nafasnya sejenak."Akbar sayang? Akbar ingin ikut pulang ke rumah Abi?" tanya Aisyah, kemudian duduk di hadapan putranya itu, dan mengelus kepalanya lembut.Akbar segera mengangguk dengan cepat."Mainan Akbar kan masih di rumah Abi semua.." ucapnya."Jadi karena mainan? kalau hanya karena mainan? Umi juga bisa belikan Akbar mainan yang baru." jawab Aisyah, sedikit merasa lega.Akbar segera menggeleng."Tapi Akbar juga kangen dengan kamar Akbar yang dulu, terus kangen teman-teman Akbar juga." jawab anak 9 tahun itu, tampak memohon kepada Uminya.Farhan sangat senang, karena putranya itu ingin ikut dia pulang. Tapi dia tak berani berkomentar apapun, sementara ini, ia ingin tahu, apa jawab
"Putra gak di ajak Mas?" tanya Gendis, yang melihat suaminya itu tengah bersiap, untuk mengajak Akbar dan Arash, jalan-jalan sore itu.Akbar dan Arash sudah hampir satu minggu berada di rumah Abinya, dan dua hari lagi mereka sudah harus kembali bersama Uminya, karena sekolah sudah akan kembali masuk."Ikut saja kalau kamu mau." jawab Farhan, sembari menyisir rambutnya, kemudian mengenakan jaket, hadiah ulang tahun dari Aisyah dulu."Jaket sudah kusam begitu, masih saja di pakai." ucap Gendis, terlihat tak suka dengan penampilan suaminya."Kamu mau ikut atau tidak?! Aku mau ajak Akbar dan Arash untuk mencari peralatan sekolah mereka, dan juga nonton pertandingan bola di stadion!" ucap Farhan kesal, karena istrinya mencela penampilannya.Gendis mengerucutkan bibirnya malas. Ia paling tidak suka dengan pertandingan bola, dan lagi suaminya hanya akan mencarikan peralatan sekolah untuk anak-anaknya."Jangan terlalu malam pulangnya Mas!" peringat Gendis, kemudian keluar dari kamar, dan meli
Sore itu Hanan langsung mengantar sang istri ke dokter spesialis kandungan, untuk periksa. Umi Hanan dan Aminah juga ikut, ingin mengantar dan mengetahui perkembangan kandungan Aisyah. "Semoga saja kembar Ya Mi, Abang kan dulu anak kembar kan?" ucap Aminah, kepada Uminya. Umi Hanan mengangguk, Aisyah yang duduk di sebelah ibu mertuanya itu, segera menoleh. "Benarkah Umi?" tanya Aisyah, yang baru mendengar hal itu. "Iya Nak, dulu suami kamu ini, adalah anak kembar. Tapi sayang, adik kembarnya meninggal dalam kandungan." ucap Umi Hanan, teringat dengan masa lalunya dulu. Aisyah mengangguk-angguk. Di selingi obrolan, tak terasa kini mereka telah sampai di tempat praktek dokter. Aminah dan Umi nya tampak antusias menggandeng lengan Aisyah, hingga membuat Aisyah merasa tak enak sendiri. Hanan hanya terkekeh melihat pemandangan itu di depannya. Setelah mengantri sebentar, akhirnya Aisyah di panggil masuk. "Alhamdulillah, semuanya baik, dan usia kandungan sudah memasuki 4 minggu."
"Silahkan tunggu disini, sebentar lagi Pak Roy akan hadir bersama istrinya." ucap asisten sang bos, mempersilahkan Farhan dan rekannya, untuk duduk menunggu di tempat makan hotel. Farhan dan para rekannya mengangguk, mengerti. Selama ini mereka belum pernah tahu siapa istri sebenarnya bos mereka itu, karena setahu mereka, sang bos selalu membawa perempuan yang berbeda saat acara keluar, seperti ini. "Kira-kira kali ini siapa ya yang jadi istri si Bos.. " ucap bu Leni, yang menjadi rekan kerja Farhan di kantor baru, dan sudah cukup lama menjadi anak buah Roy. Johan dan Anita menggedikkan bahu mereka, karena memang sudah bukan rahasia lagi, tentang kelakuan bos mereka itu, yang selalu bergonta ganti pasangan. Farhan tak menggubris pembicaraan para rekannya, dan memilih sibuk dengan ponselnya, menanyakan kabar kedua orang tuanya. "Selamat malam teman-teman! Maaf sudah menunggu lama." suara bariton Pak Roy terdengar, membuat semua orang yang ada di situ seketika mengangkat kepalanya,
Farhan akhirnya memutuskan untuk hadir di acara pernikahan mantan istrinya, karena tak ingin di anggap tidak menghargai undangan mereka.Karena setelah Hanan memberinya surat undangan, Aisyah juga mengundang dirinya, dan juga Papa Mamanya untuk hadir, melalui sambungan telepon.Walau dengan hati yang hancur berkeping keping, tapi Farhan berusaha keras untuk terlihat kuat, dan biasa saja.Sengaja ia tidak memberi tahu Papa Mamanya, tentang pernikahan Aisyah.Ia takut, Mamanya akan bersedih mendengar berita itu, mengingat Mamanya itu masih sangat berharap, jika Aisyah mau kembali menjadi menantunya.Dengan mengenakan hem yang dulu di pilihkan oleh Aisyah ketika masih menjadi istrinya dulu, Farhan berangkat menuju kota tempat Aisyah dan anak-anak nya berada.Ia berharap, setidaknya Aisyah bisa mengenang kebersamaan mereka dulu, tentang kehidupan mereka yang membahagiakan, dan juga harmonis.Sungguh, Farhan sangat merindukan masa-masa indah saat bersama Aisyah dulu.Andai ia tahu, jika de
"Mas Farhan cepat pulang! Bapak Mas, Bapak!" seru Mbok Karsih pembantu di rumah Mama Papanya, meneleponnya dengan panik."Papa kenapa Mbok?!" seru Farhan yang tadinya baru bangun tidur dan masih di dalam mobilnya, karena semalaman tak pulang, hanya berkeliling tak tentu arah tujuan, segera membuka matanya dengan sempurna, saat Mbok Karsih dengan panik, menelepon dan mengabarkan tentang kondisi Papanya sekarang."Bapak di bawa ke rumah sakit Mas, gara-gara jatuh di kamar mandi subuh tadi." ucap Mbok Karsih, terdengar hendak menangis dari suaranya.Tanpa bertanya lagi, Farhan segera mematikan ponselnya, dan menyalakan mesin mobilnya, untuk segera berangkat pulang, menuju rumahnya.Pikirannya benar-benar kalut sekarang, dengan kecepatan tinggi, dia melajukan mobil Pajero keluaran terbaru miliknya, dengan rasa cemas yang menyelimuti dirinya."Ya Allah, apa lagi ini..?" keluhnya dalan hati, berharap sang Papa baik-baik saja.Selama ini Papanya jarang sakit, dan selalu terlihat bugar.Baru
Gendis masih belum tahu, akan pergi kemana dia sekarang?Ia sudah tak lagi mempunyai siapa-siapa, karena kedua orangtuanya juga sudah tidak ada.Ada rasa menyesal, kenapa harus pergi dari rumah mertuanya.Haruskah sekarang ia kembali saja,? "Tidak! aku tidak akan pernah kembali lagi ke rumah itu!" geramnya masih merasa sangat jengkel terhadap sikap Farhan kepada nya."Mau kemana ini Mbak?" tanya sopir taksi, yang belum juga mendapatkan perintah arah tujuan.Gendis segera teringat dengan salah satu sahabatnya dulu, sahabat SMA nya, yang konon telah sukses di kota ini.Ia masih ingat, sahabatnya itu tinggal di sebuah kawasan elit, di pusat kota."Apa aku coba hubungi Salsa aja ya?" gumamnya, merasa buntu karena tak punya saudara di kota ini.Gendis segera mengambil ponselnya dalam tas, dan mencari kontak teman lamanya itu."Ah..ini dia!" serunya saat menemukan nomor kontak Salsa, teman nongkrong nya dulu.Teman yang sudah lama tidak saling kontak, karena kesibukan masing-masing.Sebena
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Farhan jadi kepikiran dengan ucapan istrinya tadi."Benarkah Gendis sedang hamil?!" gumamnya merasa jengkel sendiri, hingga memukul kemudi mobilnya keras."Bagaimana jika dia benar-benar hamil? itu artinya aku tidak bisa segera menceraikan nya, dan kembali rujuk kepada Aisyah!" gumamnya, bermonolog sendiri.Ia segera teringat, kapan terakhir kalinya mereka melakukan hubungan suami istri. Saat itu mereka melakukan nya di hotel Singapore, saat mengantarkan Putra berobat.Farhan tak dapat menahan hasratnya kala itu, dan mengajak istrinya bercinta, walau sedang lelah mengurus Putra yang sakit.Shiit!! Kenapa waktu itu aku harus menyentuhnya!Dengan kesal, Farhan melajukan mobilnya, menuju kantor.Untung nya, meski saat ini ia sedang banyak beban pikiran, tapi ia masih bisa menghandel semua pekerjaan nya dengan baik.Sesampainya di kantor, Farhan menatap lama ke foto keluarga nya dulu, saat masih bersama Aisyah.Sedang apa mereka sekarang? gumamnya, mera
"Ada yang ingin Farhan bicarakan Pa, Ma." ucap Farhan malam itu, ingin segera masalah nya dengan Gendis selesai.Gendis juga terlihat duduk, sambil menunduk. Belum hilang rasa sedihnya karena Putra sudah di ambil oleh Ayah kandungnya, kini Farhan memaksanya, untuk segera membicarakan perceraian kepada Mama Papanya."Ada apa Nak? Apakah ini soal Putra lagi?" tanya Ambar, karena kemarin baru saja menjenguk Putra di rumah sakit."Kalian berdua kemari, terus yang jaga Putra siapa?" tanya Drajat, menatap heran kedua anak mantunya itu.Farhan terlihat menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan, supaya merasa lebih tenang.Ia berharap Mamanya akan baik-baik saja setelah ia mengatakan yang sebenarnya nanti.Karena ia sudah tidak mau berlarut-larut lagi, hidup bersama Gendis."Sebenarnya, Putra bukanlah darah daging Farhan Ma, Pa.." ucap lelaki itu, tanpa berani menatap wajah kedua orangtuanya.Mendengar itu, Ambar dan juga suaminya sangat terkejut."Apa maksud uca
"Gendis?!" seru Alex terdengar terkejut, saat tahu siapa yang menelepon."Mas, bisakah kita bertemu..,? ini tentang anak yang kamu tinggalkan dalam rahimku, dulu." ucap Gendis, langsung pada tujuan.Tak terdengar jawaban dari seberang telepon, tapi sambungan panggilan mereka masih menyala."Apa yang kau katakan tadi?!" desis Alex, kembali membuka suaranya."Aku mohon Mas, bantu aku kali ini saja." ucap Gendis, terdengar menghiba kepada mantan kekasih gelapnya itu."Katakanlah!" "Anak kita itu bernama Putra, kamu harus melihatnya Mas! Dia sangat mirip denganmu!" mohon Gendis, demi putra terkasihnya."Dia sekarang sakit, anak kita terkena kanker darah Mas! dan dia membutuhkan donor sum-sum tulang belakang, untuk kelangsungan hidupnya." ucap Gendis, mulai menangis, memohon kepada Alex, supaya mau membantunya kali ini.Alex sungguh terkejut mendengar itu, dia pikir dulu Gendis akan menggugurkan kandungannya, begitu istrinya memecat dan mengusirnya, dari perusahaan miliknya."Aku akan dis
"Mau kemana, Bang?" tanya Aisyah, melihat suaminya yang berjalan ke depan.Aisyah yang baru selesai menyuapi Fatimah sore itu, menyusul sang suami ke depan."Jalan-jalan keliling kampung yuk? Abang pengen lihat tempat istri Abang ini tumbuh besar, menghabiskan masa-masa kecilnya dulu." ajak Hanan, yang tidak tahu harus melakukan apa di rumah sang mertua, karena Abah dan Umi mertuanya, selalu melarang ia untuk membantu apapun disana."Boleh, mau jalan kaki?" tanya Aisyah tersenyum, membuat Hanan selalu merasa gemas, dengan wajah cantiknya."Boleh, Akbar sama Arash mana?" tanya Hanan, yang mulai tadi tidak melihat kedua anak sambungnya itu."Main Bang, kalau pulang kemari, mereka pasti akan main di dekat sungai sana!" tunjuk Aisyah, ke arah kiri rumahnya.Hanan merasa tertarik mendengar itu."Kalau begitu kita kesana yuk! sini Fatimah, gendong sama Abi aja." ajak Hanan, kepada gadis kecilnya itu.Aisyah mengangguk, kemudian mengambil sandalnya, yang tersimpan di rak, di ujung teras.Sam