Aisyah menangis di kamarnya, meratapi nasibnya, dan juga anak-anak nya.
Dia sungguh tidak menyangka, lelaki yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi panutannya, menjadi tempat dia bersandar, dan menggantungkan harapan, baik itu di dunia maupun di akhirat, nyatanya adalah seorang pendosa besar, yang berani melakukan dosa zina, hingga membuat wanita itu hamil.Ia elus perlahan, perutnya yang masih datar, sembari berbisik sedih."Maafkan lah ummi mu ini, Nak. Ummi tidak bisa menjaga Abi, agar selalu bisa bersama-sama dengan kita." bisiknya pelan."Semoga dosa yang telah di perbuat oleh Abi, tidak akan berpengaruh apapun terhadap anak-anak. Jagalah anak-anak hamba ya Allah, semoga mereka tidak mengikuti jejak salah, Abi mereka.." bisiknya lagi.Di dalam kamarnya itu, Aisyah berpikir untuk pergi jauh dari suaminya itu, tapi kemana?Ia tidak mau pulang ke rumah kedua orangtuanya, dengan keadaan seperti ini. Ia tak mau membebani pikiran kedua orangtuanya, yang sudah mulai sakit-sakitan.Seandainya pulang pun, kedua mertuanya dan juga Farhan pasti akan datang untuk menyusulnya.Aisyah tidak mau bertemu dengan mereka dulu untuk sementara ini.Saat ini dia hanya ingin menyendiri dulu, dari seluruh anggota keluarganya, dan menenangkan diri.Apalagi ada janin yang harus ia jaga, di dalam rahimnya.Aisyah ingin melupakan semua kenangan, tentang hubungannya dengan Farhan, karena pastinya akan sangat sulit untuk melupakannya dengan cepat, karena dari hubungan nya itu, sudah ada dua orang anak, dan satu lagi yang sedang ia kandung.Tapi kemana ia harus pergi?? Rasanya ia sudah tidak bisa mentolerir perbuatan suaminya, dan hidup bersama dengannya lagi. Apalagi suaminya itu bukanlah orang awam, yang tidak mengetahui hukum agama, dan pasti tahu, betapa besar dosa dari perbuatannya itu. 'Amina!' gumam Aisyah, teringat dengan salah seorang sahabatnya yang tinggal di kota sebelah.Amina adalah putri seorang pemilik pondok pesantren yang cukup besar, dan memiliki lembaga pendidikan sampai jenjang Aliyah.Dulu Amina sempat menawarinya untuk ikut mengajar di sekolah nya, karena Aisyah dulu adalah seorang santriwati yang cukup berprestasi, dan pandai mengajar."Apa aku hubungi Amina saja ya?" gumamnya sedikit ragu, karena sudah cukup lama tak bersilaturahmi.Karena pikirannya yang buntu, Aisyah akhirnya nekat menghubungi Amina, yang nomor kontaknya masih tersimpan dalam ponselnya.["Assalamualaikum Amina .."] sapanya, walau sedikit merasa canggung.[Waalaikumussalam warrahmah..] jawab suara dari seberang telepon, terdengar ceria.[Masya Allah Aisya! lama sekali tidak terdengar kabarnya? bagaimana, apakah kalian sekeluarga sehat?] tanya Amina, yang terdengar sangat senang, saat Aisyah menelepon nya.[Alhamdulillah baik Amina, kamu sendiri bagaimana? pasti juga baik dan sehat kan?] balas Aisya, juga merasa senang saat mendengar suara sahabat satu kamarnya itu dulu, saat masih di pesantren.Walau mereka tidak ada hubungan kerabat, tapi Aisyah dan Amina dulu sangat dekat, melebihi seorang sahabat, boleh di bilang bagai saudara kandung sendiri.Tapi akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi, karena kesibukan Amina yang seorang pemilik lembaga pendidikan.Setelah cukup lama berbasa-basi, bercerita ngalor-ngidul, Aisyah akhirnya tak dapat menahan emosinya, untuk tak menceritakan apa yang tengah di alaminya, dan juga kebingungannya, yang hendak pergi dari rumah, tapi tak tahu harus kemana.Maklum saja, kampung halaman Aisyah sendiri, juga sangat jauh dari daerah suaminya tinggal, dia harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 8 jam, untuk bisa sampai ke kampung halamannya itu.Kedua orangtuanya sendiri, dulu mengenal orang tua Farhan suaminya, karena dulu mereka adalah rekan kerja, sekaligus sahabat.Tapi sayangnya, kedua mertuanya kemudian di pindah tugaskan di daerah ini, hingga akhirnya menetap sampai sekarang.Aminah terdengar sangat prihatin, mendengar masalah yang sedang menimpa sahabatnya."[Aku harus apa Amina? aku tidak bisa hidup bersama lagi dengan Mas Farhan, karena perbuatannya itu, tapi aku juga belum bisa mengajukan gugatan cerai, karena kondisiku yang sedang hamil."] ucap Aisyah, meminta pendapat sahabatnya itu.Sebagai seorang perempuan, yang juga sudah mempunyai anak dan suami, Amina bisa merasakan apa yang tengah di alami oleh sahabatnya itu.Hatinya ikut sakit, dan juga marah, atas apa yang di lakukan oleh Farhan.[Datang saja kemari Aisyah! bawa anak-anak mu juga, aku sungguh ikut kesal dengan sikap keluarga suami kamu itu, bisa-bisanya mereka menutupi kebusukan anaknya, dan menginginkanmu tetap tinggal disana! benar-benar egois!"] Amina terdengar jengkel, dan uring-uringan setelah mendengar cerita lengkap Aisyah.[Ya sudah, jangan ragu lagi, cepatlah bersiap. Nanti aku sharelok, rumah aku.] ucap Aminah, malah merasa sangat antusias jika Aisyah mau tinggal di tempat nya.*****"Cepat kamu susul Aisyah Farhan! Mama tidak mau tahu, pokoknya kamu harus berbaikan dengan Aisyah!" seru Ambar, terus mendesak putranya untuk menyusul menantunya yang tiba-tiba pergi, setelah mendengar percakapan mereka tadi.Gendis mengikuti suaminya yang keluar."Mas, buat apa sih masih urusin Aisyah. Lagian gak mungkin juga dia akan pergi dari kamu. Bisa apa dia tanpa kamu?Bukannya istri kamu itu cuma ibu rumah tangga saja ya? Pasti dia akan sangat bergantung denganmu, apalagi ada anak juga kan?" ucap Gendis, merasa tak suka dengan sikap mertuanya, yang ia anggap terlalu berlebihan itu.Farhan tak menjawab ucapan Gendis, dan terus mengemudikan mobilnya, menuju rumah dinasnya, yang berjarak sekitar 30 menit saja, jika perjalanan lancar.Sebenarnya apa yang di katakan oleh Gendis ada benarnya, tapi entah mengapa, kali ini Farhan merasa sangat cemas, jika sampai Aisyah benar-benar pergi meninggalkannya, apalagi jika perginya dengan membawa anak-anak turut serta."Mas, kamu kok diem aja sih? Jangan bilang kamu takut kalau Aisyah beneran pergi, seperti yang Mama bilang?!" Gendis menatap kesal suaminya, yang terlihat tetap fokus menyetir."Lagian ya Mas, menurut aku Aisyah itu tidak sepolos yang kamu kira. Coba kamu ingat-ingat lagi, bagaimana bisa dia tiba-tiba datang ke rumah pribadi kamu, kalau bukan karena sudah memata-matai kamu, selama ini?! Pake bawa-bawa anak segala lagi!" ucap Gendis, mencoba mempengaruhi Farhan."Dia pasti hanya ingin mendapatkan simpati penuh dari Mama saja, supaya Mama semakin membenciku! Benar-benar munafik, sangat licik!" ucap Gendis, terus saja menjelekkan Aisyah di depan Farhan.Mendengar itu, entah kenapa hati lelaki bertubuh tegap itu malah merasa tak nyaman. Dia seakan tak terima jika Gendis menjelekkan istrinya."Aku lebih tahu siapa Aisyah! dia bukan perempuan munafik seperti yang kamu tuduhkan tadi, Gendis.." jawab Farhan, terlihat tak suka, dan kesal.Gendis seketika menoleh ke arah suaminya itu."Jangan bilang kalau kamu lebih cinta dia, daripada aku ya, Mas?!" ketus perempuan berwajah oriental itu, tampak tersinggung, dan cemburu.Farhan tak berkata lagi, memang susah jika berdebat dengan perempuan.Walau benarpun, akan tetap salah di matanya.Saat ini, Farhan hanya ingin segera berjumpa dengan Aisyah, dan memohon kepadanya, agar mau memaafkan semua kesalahan fatalnya itu, dan tidak bercerai.Farhan sungguh merasa tak akan sanggup jika berpisah dari Aisyah, perempuan sabar, dan lembut, yang selalu menenangkannya selama ini.Bersambung..."Mbok! Aisyah dan anak-anak mana?" tanya Farhan begitu sampai di rumahnya, dan menemukan rumah dalam keadaan sepi, hanya ada Mbok Jum yang terlihat sedang membersihkan dapur, dan mengepelnya.Mbok Jum yang sudah tahu dengan permasalahan majikannya itu, menatap penuh benci ke arah Farhan.Mbok Jum begitu menyayangi Aisyah dan anak-anak, karena perlakuan Aisyah yang begitu baik kepadanya.Bahkan tadi sebelum pergi, Aisyah masih sempat memberikannya uang yang cukup banyak, dan sebuah gelang emas, sebagai kenang-kenangan, katanya."Maafkan Aisyah ya Mbok, Aisyah tidak bisa memperkerjakan Mbok lagi, karena kami akan pergi." ucapnya tadi, sekitar 1 jam yang lalu."Tapi kenapa Mbak Aisyah? Mbok harus kerja dimana kalau Mbak Aisyah sudah tidak disini lagi?" tanya Mbok Jum, sangat sedih."Mbok bisa bilang ke Mas Farhan dan istri barunya nanti, buat tetap lanjutin kerja disini." ucap Aisyah tersenyum getir.Mbok Jum langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Gak Mbak! Mbok jadi sangat benci s
Farhan berkali-kali mencoba menghubungi nomor istrinya, untuk menanyakan posisinya sekarang."Bagaimana Farhan? bisa di hubungi tidak istrimu itu?" tanya Ambar, yang langsung meluncur bersama suaminya ke rumah dinas putranya.Farhan tampak menggeleng dengan lemah."Nomornya tidak bisa di hubungi Mah.." jawab lelaki berhidung mancung itu, juga terlihat sangat khawatir."Dia ada tinggalkan surat atau pesan gitu, sama kamu?" tanya Drajat, yang juga terlihat panik.Karena bagaimanapun, selain sebagai menantu, Aisyah juga adalah putri dari sahabatnya.Jika sampai terjadi apa-apa kepada Aisyah, apa yang akan dia katakan nanti, kepada mereka."Iya, Aisyah tidak meninggalkan pesan?" Ambar menatap putranya."Tidak ada Mah, bahkan tadi Mbok Jum yang biasa bantu-bantu disini juga tidak tahu, Aisyah mau pergi kemana." jawab Farhan.Ambar terduduk di kursi sofa ruang tengah, dan tampak begitu terpukul dengan kepergian menantunya itu."Aisyah pasti kecewa kepada Mama sekarang ini. Pasti dia pikir,
"Tapi Aisyah.. bukan aku bermaksud menggurui, sebaiknya kamu berterus terang saja kepada Abah dan Ummi mu di rumah. Aku dari tadi jadi kepikiran lo, bagaimana kalau keluarga suami kamu pergi ke rumah Abah dan Ummi mu, terus menanyakan keberadaan kamu?Bukankah mereka akan semakin kepikiran, jika tahu kamu sedang ada masalah, dan tidak tahu keberadaan kamu dan anak-anak ada di mana?" ucap Aminah, yang merasa tak setuju jika Aisyah sama sekali tidak mengabari kondisinya, kepada keluarga besarnya, terutama kedua orangtuanya.Aisyah terdiam mendengar itu. Apa yang di katakan oleh sahabatnya itu benar.Kenapa dia bisa melupakan itu?Dia terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu, hampir saja dia malah membuat kedua orangtuanya cemas, dengan bertingkah seperti ini."Baiklah, aku akan telepon Abah dan Ummi dulu." jawab Aisyah mengangguk setuju."Terimakasih Aminah, untung saja kamu mengingatkan aku.." "Sama-sama Aisyah, itulah salah satu fungsi sahabat, saling mengingatkan, dan saling bantu, y
Waktu terus berlalu, Farhan yang kebingungan setelah Aisyah pergi bersama anak-anaknya, masih tetap tak berhenti mencari keberadaan istrinya itu."Sudah 7 bulan Farhan, seharusnya sekarang kita sedang mengadakan syukuran untuk kehamilan Aisyah." ucap Ambar malam itu, masih duduk di teras bersama suami, dan putranya.Sedangkan Gendis ada di rumah dinas milik Farhan sekarang, menggantikan posisi Aisyah, yang hingga sekarang belum juga memberikan kabar.Farhan terdiam mendengar ucapan Mamanya, hatinya sedih dan juga sangat rindu, setiap kali memikirkan Aisyah dan anak-anaknya.Apalagi sekarang Aisyah juga sedang mengandung buah hati nya."Satu bulan lalu kita telah mengadakan 7 bulanan untuk anak dalam perut Gendis, dan Minggu depan, Mama akan adakan 7 bulanan untuk Aisyah, meskipun dia tidak ada disini. Setidaknya doa tulus yang kita kirimkan, bisa sampai kepadanya " Ucap Ambar lagi."Iya Ma, Farhan setuju. Mama bilang saja nanti, butuh uang berapa untuk biayanya, biarkan Farhan yang me
"Aisyah, kamu sebentar lagi mau melahirkan lo, kamu beneran gak mau hubungi suami kamu, atau mertua kamu ya?" tanya Amina siang itu, berkunjung ke rumah yang di tinggali oleh Aisyah dan kedua anaknya.Aisyah yang sedang sibuk mengemas nasi bungkus pesanan salah satu pengajar, yang juga mengajar di pondok pesantren itu, menggeleng tegas."Tidak Aminah, biarkanlah takdir kelak yang akan mempertemukan kami, tapi yang jelas, begitu anak ini lahir, aku akan segera melayangkan surat gugatan kepada Mas Farhan." jawab Aisyah, sambil tetap sibuk membungkus aneka sayur yang sudah ia buat tadi, ke dalam sterofom."Kamu sudah hamil besar begini, kok masih sibuk terus sih.." Amina mulai mengalihkan pembicaraan mereka, karena percuma saja, Aisyah tetap akan kekeh pada keputusannya, yang ingin segera bercerai dari Farhan.Bukan Amina membela Farhan, hanya saja ia kasihan kepada sahabatnya itu, karena harus bekerja keras membanting tulang, untuk menghidupi anak-anaknya.Apalagi Aminah juga tahu, jika
["Farhan! cepat pulang! Gendis di larikan ke rumah sakit sekarang!"] ucap Ambar, menelepon Farhan, yang sedang berada di luar kota karena pekerjaan.["Maaf Ma, tapi setelah ini Farhan harus presentasi, sudah ditunggu sama yang lainnya. Mama bisa jagain Gendis dulu kan, Ma? nanti setelah selesai, Farhan langsung nyusul ke sana."][Ya sudah, biar Mama temani dulu, sepertinya sudah mau lahiran. Kamu buruan ya Nak..?] Klik! Sambungan pun terputus.Farhan mendesah pelan, Gendis sudah mau melahirkan sekarang, berarti Aisyah sebentar lagi juga akan melahirkan..Pikirannya menjadi tidak tenang sekarang, bukan memikirkan Gendis yang hendak melahirkan, justru dia kepikiran dengan Aisyah."Aisyah... dimana sebenarnya kamu sekarang? apakah kalian baik-baik saja?" gumamnya, teringat dengan kedua anaknya.Farhan merasa semakin sesak dadanya, karena justru dia meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan, di akhir perjumpaannya dengan kedua putranya itu.Masih terngiang di telinganya, saat Akbar me
Waktu terus berlalu dengan sangat cepat."Fatimah! jangan berlarian seperti itu Sayang!" seru Aisyah, yang baru selesai mengajar di madrasah sore, dan membiarkan Fatimah yang baru berusia 2 tahun itu berlarian di halaman madrasah yang luas."Huwaaaa ummi.." tiba-tiba gadis kecil itu menangis, karena menabrak kaki seseorang, yang tengah berjalan menuju kantor madrasah."Fatimah?!" seru Aisyah, segera berlari saat melihat putrinya jatuh terduduk di tanah.Lelaki yang di tabrak kakinya oleh Fatimah tadi, segera berjongkok, dan mengambil Fatimah ke dalam gendongannya, sambil sibuk menenangkan Fatimah yang menangis."Ah, maafkan putri saya." ucap Fatimah, segera meminta putrinya, dari gendongan lelaki tadi."Ooh, tidak apa-apa ukhti, namanya juga anak-anak, lagi senang-senangnya berlarian dan bermain." jawab lelaki bertubuh jangkung itu, tersenyum lebar.Wajah pemuda itu begitu tampan, dengan cambang tipis, dan hidung yang mancung, membuat Aisyah segera mengalihkan pandangannya, dan segera
"Kita ke tempat Ustadzah Aisyah dulu ya, Bang." ajak Ghufron, berbelok ke kanan, saat mereka sampai di persimpangan gang."Baiklah, kebetulan aku juga ingin melihat panti itu sekarang, kata Ummi sekarang pantinya rame." Jawab Hanan, setuju."Rame banget Bang, banyak anak-anak yatim dan dhuafa, yang di titipkan disini." ungkap Ghufron.Dan benar saja, dari kejauhan, sudah terdengar celotehan anak-anak yang ramai bermain di halaman panti yang luas. Ada yang bernyanyi, ada juga yang menggambar di teras.Sedangkan anak-anak yang sudah lumayan besar, terlihat sedang melipat kotak-kotak Snack.Seorang perempuan dengan kerudung lebar, terlihat keluar dari rumah yang ada di sebelah panti, sambil membawa talam berukuran lebar, menuju teras panti "Anak-anak! ayo makan camilan dulu!" teriaknya, menghentikan kegiatan anak-anak yang rata-rata masih di bawah 10 tahunan itu, dan segera berhamburan menuju perempuan tadi."Nana mau Ummi!""Tyo juga!""Sisi mau juga!" seru anak-anak saling bersahutan,
Sore itu Hanan langsung mengantar sang istri ke dokter spesialis kandungan, untuk periksa. Umi Hanan dan Aminah juga ikut, ingin mengantar dan mengetahui perkembangan kandungan Aisyah. "Semoga saja kembar Ya Mi, Abang kan dulu anak kembar kan?" ucap Aminah, kepada Uminya. Umi Hanan mengangguk, Aisyah yang duduk di sebelah ibu mertuanya itu, segera menoleh. "Benarkah Umi?" tanya Aisyah, yang baru mendengar hal itu. "Iya Nak, dulu suami kamu ini, adalah anak kembar. Tapi sayang, adik kembarnya meninggal dalam kandungan." ucap Umi Hanan, teringat dengan masa lalunya dulu. Aisyah mengangguk-angguk. Di selingi obrolan, tak terasa kini mereka telah sampai di tempat praktek dokter. Aminah dan Umi nya tampak antusias menggandeng lengan Aisyah, hingga membuat Aisyah merasa tak enak sendiri. Hanan hanya terkekeh melihat pemandangan itu di depannya. Setelah mengantri sebentar, akhirnya Aisyah di panggil masuk. "Alhamdulillah, semuanya baik, dan usia kandungan sudah memasuki 4 minggu."
"Silahkan tunggu disini, sebentar lagi Pak Roy akan hadir bersama istrinya." ucap asisten sang bos, mempersilahkan Farhan dan rekannya, untuk duduk menunggu di tempat makan hotel. Farhan dan para rekannya mengangguk, mengerti. Selama ini mereka belum pernah tahu siapa istri sebenarnya bos mereka itu, karena setahu mereka, sang bos selalu membawa perempuan yang berbeda saat acara keluar, seperti ini. "Kira-kira kali ini siapa ya yang jadi istri si Bos.. " ucap bu Leni, yang menjadi rekan kerja Farhan di kantor baru, dan sudah cukup lama menjadi anak buah Roy. Johan dan Anita menggedikkan bahu mereka, karena memang sudah bukan rahasia lagi, tentang kelakuan bos mereka itu, yang selalu bergonta ganti pasangan. Farhan tak menggubris pembicaraan para rekannya, dan memilih sibuk dengan ponselnya, menanyakan kabar kedua orang tuanya. "Selamat malam teman-teman! Maaf sudah menunggu lama." suara bariton Pak Roy terdengar, membuat semua orang yang ada di situ seketika mengangkat kepalanya,
Farhan akhirnya memutuskan untuk hadir di acara pernikahan mantan istrinya, karena tak ingin di anggap tidak menghargai undangan mereka.Karena setelah Hanan memberinya surat undangan, Aisyah juga mengundang dirinya, dan juga Papa Mamanya untuk hadir, melalui sambungan telepon.Walau dengan hati yang hancur berkeping keping, tapi Farhan berusaha keras untuk terlihat kuat, dan biasa saja.Sengaja ia tidak memberi tahu Papa Mamanya, tentang pernikahan Aisyah.Ia takut, Mamanya akan bersedih mendengar berita itu, mengingat Mamanya itu masih sangat berharap, jika Aisyah mau kembali menjadi menantunya.Dengan mengenakan hem yang dulu di pilihkan oleh Aisyah ketika masih menjadi istrinya dulu, Farhan berangkat menuju kota tempat Aisyah dan anak-anak nya berada.Ia berharap, setidaknya Aisyah bisa mengenang kebersamaan mereka dulu, tentang kehidupan mereka yang membahagiakan, dan juga harmonis.Sungguh, Farhan sangat merindukan masa-masa indah saat bersama Aisyah dulu.Andai ia tahu, jika de
"Mas Farhan cepat pulang! Bapak Mas, Bapak!" seru Mbok Karsih pembantu di rumah Mama Papanya, meneleponnya dengan panik."Papa kenapa Mbok?!" seru Farhan yang tadinya baru bangun tidur dan masih di dalam mobilnya, karena semalaman tak pulang, hanya berkeliling tak tentu arah tujuan, segera membuka matanya dengan sempurna, saat Mbok Karsih dengan panik, menelepon dan mengabarkan tentang kondisi Papanya sekarang."Bapak di bawa ke rumah sakit Mas, gara-gara jatuh di kamar mandi subuh tadi." ucap Mbok Karsih, terdengar hendak menangis dari suaranya.Tanpa bertanya lagi, Farhan segera mematikan ponselnya, dan menyalakan mesin mobilnya, untuk segera berangkat pulang, menuju rumahnya.Pikirannya benar-benar kalut sekarang, dengan kecepatan tinggi, dia melajukan mobil Pajero keluaran terbaru miliknya, dengan rasa cemas yang menyelimuti dirinya."Ya Allah, apa lagi ini..?" keluhnya dalan hati, berharap sang Papa baik-baik saja.Selama ini Papanya jarang sakit, dan selalu terlihat bugar.Baru
Gendis masih belum tahu, akan pergi kemana dia sekarang?Ia sudah tak lagi mempunyai siapa-siapa, karena kedua orangtuanya juga sudah tidak ada.Ada rasa menyesal, kenapa harus pergi dari rumah mertuanya.Haruskah sekarang ia kembali saja,? "Tidak! aku tidak akan pernah kembali lagi ke rumah itu!" geramnya masih merasa sangat jengkel terhadap sikap Farhan kepada nya."Mau kemana ini Mbak?" tanya sopir taksi, yang belum juga mendapatkan perintah arah tujuan.Gendis segera teringat dengan salah satu sahabatnya dulu, sahabat SMA nya, yang konon telah sukses di kota ini.Ia masih ingat, sahabatnya itu tinggal di sebuah kawasan elit, di pusat kota."Apa aku coba hubungi Salsa aja ya?" gumamnya, merasa buntu karena tak punya saudara di kota ini.Gendis segera mengambil ponselnya dalam tas, dan mencari kontak teman lamanya itu."Ah..ini dia!" serunya saat menemukan nomor kontak Salsa, teman nongkrong nya dulu.Teman yang sudah lama tidak saling kontak, karena kesibukan masing-masing.Sebena
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Farhan jadi kepikiran dengan ucapan istrinya tadi."Benarkah Gendis sedang hamil?!" gumamnya merasa jengkel sendiri, hingga memukul kemudi mobilnya keras."Bagaimana jika dia benar-benar hamil? itu artinya aku tidak bisa segera menceraikan nya, dan kembali rujuk kepada Aisyah!" gumamnya, bermonolog sendiri.Ia segera teringat, kapan terakhir kalinya mereka melakukan hubungan suami istri. Saat itu mereka melakukan nya di hotel Singapore, saat mengantarkan Putra berobat.Farhan tak dapat menahan hasratnya kala itu, dan mengajak istrinya bercinta, walau sedang lelah mengurus Putra yang sakit.Shiit!! Kenapa waktu itu aku harus menyentuhnya!Dengan kesal, Farhan melajukan mobilnya, menuju kantor.Untung nya, meski saat ini ia sedang banyak beban pikiran, tapi ia masih bisa menghandel semua pekerjaan nya dengan baik.Sesampainya di kantor, Farhan menatap lama ke foto keluarga nya dulu, saat masih bersama Aisyah.Sedang apa mereka sekarang? gumamnya, mera
"Ada yang ingin Farhan bicarakan Pa, Ma." ucap Farhan malam itu, ingin segera masalah nya dengan Gendis selesai.Gendis juga terlihat duduk, sambil menunduk. Belum hilang rasa sedihnya karena Putra sudah di ambil oleh Ayah kandungnya, kini Farhan memaksanya, untuk segera membicarakan perceraian kepada Mama Papanya."Ada apa Nak? Apakah ini soal Putra lagi?" tanya Ambar, karena kemarin baru saja menjenguk Putra di rumah sakit."Kalian berdua kemari, terus yang jaga Putra siapa?" tanya Drajat, menatap heran kedua anak mantunya itu.Farhan terlihat menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan, supaya merasa lebih tenang.Ia berharap Mamanya akan baik-baik saja setelah ia mengatakan yang sebenarnya nanti.Karena ia sudah tidak mau berlarut-larut lagi, hidup bersama Gendis."Sebenarnya, Putra bukanlah darah daging Farhan Ma, Pa.." ucap lelaki itu, tanpa berani menatap wajah kedua orangtuanya.Mendengar itu, Ambar dan juga suaminya sangat terkejut."Apa maksud uca
"Gendis?!" seru Alex terdengar terkejut, saat tahu siapa yang menelepon."Mas, bisakah kita bertemu..,? ini tentang anak yang kamu tinggalkan dalam rahimku, dulu." ucap Gendis, langsung pada tujuan.Tak terdengar jawaban dari seberang telepon, tapi sambungan panggilan mereka masih menyala."Apa yang kau katakan tadi?!" desis Alex, kembali membuka suaranya."Aku mohon Mas, bantu aku kali ini saja." ucap Gendis, terdengar menghiba kepada mantan kekasih gelapnya itu."Katakanlah!" "Anak kita itu bernama Putra, kamu harus melihatnya Mas! Dia sangat mirip denganmu!" mohon Gendis, demi putra terkasihnya."Dia sekarang sakit, anak kita terkena kanker darah Mas! dan dia membutuhkan donor sum-sum tulang belakang, untuk kelangsungan hidupnya." ucap Gendis, mulai menangis, memohon kepada Alex, supaya mau membantunya kali ini.Alex sungguh terkejut mendengar itu, dia pikir dulu Gendis akan menggugurkan kandungannya, begitu istrinya memecat dan mengusirnya, dari perusahaan miliknya."Aku akan dis
"Mau kemana, Bang?" tanya Aisyah, melihat suaminya yang berjalan ke depan.Aisyah yang baru selesai menyuapi Fatimah sore itu, menyusul sang suami ke depan."Jalan-jalan keliling kampung yuk? Abang pengen lihat tempat istri Abang ini tumbuh besar, menghabiskan masa-masa kecilnya dulu." ajak Hanan, yang tidak tahu harus melakukan apa di rumah sang mertua, karena Abah dan Umi mertuanya, selalu melarang ia untuk membantu apapun disana."Boleh, mau jalan kaki?" tanya Aisyah tersenyum, membuat Hanan selalu merasa gemas, dengan wajah cantiknya."Boleh, Akbar sama Arash mana?" tanya Hanan, yang mulai tadi tidak melihat kedua anak sambungnya itu."Main Bang, kalau pulang kemari, mereka pasti akan main di dekat sungai sana!" tunjuk Aisyah, ke arah kiri rumahnya.Hanan merasa tertarik mendengar itu."Kalau begitu kita kesana yuk! sini Fatimah, gendong sama Abi aja." ajak Hanan, kepada gadis kecilnya itu.Aisyah mengangguk, kemudian mengambil sandalnya, yang tersimpan di rak, di ujung teras.Sam