"Habis dari mana aja sih lo?" "Gue mau sholat isya!" cuek pria yang kembali menggunakan hoodie abu-abu nya setelah beberapa menit yang lalu memakai baju operasi, dia membalas dengan pemberitahuan. "Idih, belum sholat isya lo? Aneh bener! Enam jam ngilang ngapain aja sih kok gak sholat?" cerocos pria berambut lurus kecoklatan di depannya. "Pikirin aja sendiri!" Sekarang yang berhadapan dan bercakap itu adalah dua pria yang bersaudara kembar, yang terakhir berkata adalah Ya'qub yang menampilkan wajah datarnya selalu sampai kini. "Yaudah buruan sholat gih!" suruh Yusuf bersedekap dada, sehingga agar terlihat memaksa. "Gua mau bicara dulu sama bang Raskal!" Ya'qub berujar sembari berjalan menuju sofa. "Sholat aja dulu, abang nunggu dengan sabar kok, terlalu banyak penjelasan yang ada, jika kamu menunda sholat bisa beneran ketinggalan!" celetuk pria berambut pirang yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap di dada. Raskal namanya, pria yang bertemu dengan Ya'qub beberapa menit yan
"Mau lihat rekamannya sekarang?" tawar pria yang sentiasa mengenakan pakaian formal tersebut, yakni jas dan celana berwarna biru gelap, tidak lupa pula dilapisi tuxedo berwarna hitam di luarnya. Pria yang diajaknya bicara tidak langsung menjawab, bukannya tidak ingin, tetapi pria itu belum mampu, dirinya terlebih dahulu tertegun sambil menggosokkan dagunya dengan telapak tangannya, secepat ini kah? Semudah inikah? Ekspresi Ya'qub belum terbaca, senang dan tidak menyangka tergambar jelas di matanya beberapa detik setelahnya. "Tentu saja," sahut Ya'qub akhirnya setelah mampu mengendalikan gejolak emosi ketidaksabaran nya. Pria berambut pirang di sampingnya Ya'qub yakni Raskal itu merogoh saku jasnya bagian dalam, pria itu kemudian mengeluarkan dua buah benda pipih dari dalamnya, dua-duanya adalah benda yang sama yaitu handphone, mulai dari mereknya tipe HP nya terbukti dari kameranya yang sama bentukannya. Keduanya sama-sama merk handphone paling canggih yang ada di dunia, tipenya pu
Ketimbang tidur di ruangan ini, yang mana di sini ada seorang gadis yang tidak punya hubungan apa pun dengannya, putra pertama abi Yasser dan umi Yasmin ini tentu saja lebih memilih keluar untuk pindah ke ruang rawat orang tuanya sendiri. Selama berjalan hingga sampai ke tujuan pikiran Ya'qub tidaklah kosong, malahan cenderung penuh, dari sudut ke sudut permasalahan nya ia pikirkan, keadaan sekitarnya yang sepi membuat pikirannya Ya'qub semakin terdorong untuk melamun lebih seksama. Setelah mengantarkan Raskal pulang sampai lift sebagai bentuk penghormatan, Ya'qub sempat melirik sebentar ruangan Nayyara, gadis itu masih sentiasa menutup matanya di kasur miliknya juga. Lengkapnya CCTV di sini membuat Ya'qub tidak perlu risau meninggalkan Nayyara benar-benar sendirian di ruangan ini. Melihat tiga orang insan di ruangan itu tertidur lelap Ya'qub dibuat mengulas senyum tipis di bibirnya, tidak bisa dia elakkan kedua matanya pun jadi berkaca-kaca menyusul. Cukup Ya'qub yang nanggung beb
"Keluarga kamu mana? Nyusul kah? Aku udah ngasih kabar kan di chat kalau kita ngadain akad nikah hari ini aja? Soalnya ini ada temenku yang ngasih tau kalau penerbangan Jakarta ke Swiss ada diskon, dan mau tau kabar baiknya apa? Dia gratiskan penerbangannya serta hotel bintang lima di sana selama empat malam sebagai hadiah pernikahan kita!""Gue muak!" ketus Ya'qub melepaskan pegangan tangan seorang gadis yang ada di lengannya. Bagaimana Ya'qub bisa bersikap ramah dan sabar mengingat segala hal yang telah dilakukan gadis ini kepadanya? Adapun gegara mendengar cerocosan panjang dan lebar gadis itu barusan hanyalah sekedar alasan tambahan mengapa Ya'qub menyentak tangannya, alasan utamanya tetaplah kekejian gadis itu yang begitu tega menuduhnya, entah apa tujuan dan keuntungannya menuduh Ya'qub begitu, padahal hanya membuang-buang waktunya waktu mereka saja. "Aduh suamiku sok-sokan malu nih yee!" goda Hanna, seakan-akan tidak mendengar betapa ketusnya intonasi bicara Ya'qub barusan ke
"ANSEL!""Astaghfirullahalazim!" Pekikan kemudian istighfar reflek diucapkan oleh orang yang sama, yakni seorang gadis yang berposisi terbaring miring di atas hamparan sajadah, dialah Medina. Tangannya dengan reflek mencubit pangkal hidungnya, yang mana entah kenapa mampu membuat pandangan matanya menjadi lebih fokus. "Astaghfirullah kok sampe ketiduran sih," gumamnya sambil bangkit dari berbaring nya, Medina ingat kok dia belum ada melakukan takhiyat akhir, itu artinya dia melakukan prosesi sholatnya hanya sampai bagian sujud terakhir dan tertidur di sana, tidak sampai selesai yakni salam. Dikarenakan sholat witir itu jumlahnya harus ganjil tetapi yang sudah dilakukan Medina hanya sampai dua rakaat karena rakaat ketiga dia tidak rampung, jadilah dia harus menambah sholatnya minimal satu rakaat, agar ia mencapai pahala sholat witir. Akhirnya Medina bangkit dari duduknya dan melepas semua mukena yang dia kenakan, gadis itu berjalan ke kamar mandi ruang rawat untuk melakukan wudhu k
"Sepandai-pandai nya tupai melompat pasti akan jatuh juga, Hanna. Kamu kira akal saya memikirkan sebatas rekaman CCTV saja? Lalu jika tidak ada maka saya tidak bisa membela diri dan mengelak dari tuduhanmu itu?""Muak saya mendengarkan, berlagak diam seolah menerima tuduhan dan kekalahan itu dengan senang hati, sekarang saya buktikan kebohongan tidak akan pernah menang dari kebenaran yang sejati!" kata Ya'qub panjang lebar dan penuh retorika, gaya bahasanya yang eksotis tidak ketinggalan. Pria itu masih menatap satu persatu orang yang ada di ruangan, termasuk Hanna yang berada di tengah-tengah tepat di depan layar tancap, sehingga gadis itu pasti menatap jelas rekaman CCTV ruang IGD beberapa hari yang lalu. Ekspresi Hanna tidak terbaca, dari awal menonton rekaman yang ditunjukkan Ya'qub gadis itu menatap dengan mata terbuka lebar. Tidak ada keraguan di mata Ya'qub untuk memberikan tatapan tajam kepada Hanna, meski sebenarnya tatapan gadis itu terlihat kosong, tetapi tidak berlangsun
Dua pria dengan tinggi badan yang serupa berjalan bersampingan di koridor rumah sakit, mereka bersepakat tidak berbincang hingga sampai di tempat yang benar-benar aman untuk berbincang, yakni mobil, satu-satunya lokasi yang mereka percayai aman tidak ada orang yang bisa mendengar isi percakapan mereka berdua. Mengenai ruangan pribadi sebenarnya di rumah sakit ini Ya'qub punya ruangan pribadi, tetapi tetap saja baik Ya'qub si empu ruangan sendiri apalagi Raskal yang tidak mengenal sama sekali bagaimana ruangannya Ya'qub tentu saja akan ragu dan tidak mau jika diajak bicara di sana, bisa saja bukan ada yang mendengarkan pembicaraan mereka dari luar. "Terima kasih atas segala-galanya, bang," ungkap Ya'qub to the point begitu ia mendudukkan diri di kursi mobil di sampingnya Raskal, ini adalah mobil Raskal makanya terparkir di parkiran pengunjung rumah sakit, bukan parkiran khusus tenaga medis di bagian halaman samping kanan rumah sakit. "Sama-sama tapi santai saja," balas Raskal langsu
"Kok kamu gak ngasih tau kita sih Ya'qub kalau nak Nayyara dirawat di ruang sebelah?"Pertanyaan menginterupsi begitu lagi yang terdengar di telinga Ya'qub, baru beberapa menit yang lalu pertanyaan dengan nada begitu juga yang dia dengar, bedanya hanyalah orang yang mengucapkannya saja. Bingung sempat melanda pikirannya Ya'qub yakni harus menjawab apa atas pertanyaan sang umi barusan, akhirnya sebuah kata tercetus di otaknya untuk dilontarkan sebagai jawaban, "Lupa," jawabnya akhirnya. "Lo bohong."Terdengar dua kata di telinganya Ya'qub dengan intonasi berbisik, tetapi ia memilih mengabaikan, bukan orang yang berbisik itu yang penting untuk dia tanggapi kata-katanya sekarang. "Nayyara sakit apa? Kok dirawat juga? Banyak alat medis juga lagi di ruangan itu yang katanya sempat digunakan dia sebelum diculik?"Jadi, pihak rumah sakit belum ada yang memberitahu tentang Nayyara? batin Ya'qub agak terkejut mendengar pertanyaan dari umi nya barusan. Apakah Ya'qub harus jujur sekarang? Y
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,