Bingung menimpa perasaan Ya'qub mendengar satu kata pertama dari Nayyara barusan. DOYAM? Kata apa itu? Dia yakin tidak salah dengar semisal sebenarnya kata itu adalah doyan? Tidak tidak tidak, telinga Ya'qub masih berfungsi dengan sangat baik, Nayyara memang mengatakan DOYAM beberapa detik yang lalu. Dibalik kebingungannya, tanpa bisa Ya'qub elakkan terjadi di dalam hatinya perasaan menghangat, ia nyaris tersenyum malu-malu seandainya tidak ingat bagaimana karakternya tumbuh serta juga teringat masalah yang menimpanya kini. Alasannya Ya'qub menghangat baginya sedikit aneh, padahal itu wajar, yakni karena merasa senang istrinya telah menciptakan panggilan tersendiri untuknya, panggilan yang tidak pernah Ya'qub kira akan dia dapatkan. Meskipun sebenarnya kata-kata di panggilan itu terdengar aneh dan Ya'qub juga tidak tahu apa kepanjangan dan apa artinya. "Gue juga tidak pernah memaksa lo untuk menikahi gue! Jadi atas segalanya jangan pernah menyalahkan gue! Lo sendiri yang membuat hu
Sudah dari awal ingin memulai pembicaraan sebenarnya dia ragu untuk menyampaikan pertanyaan itu, dan sekarang gegara pertanyaan balik dari lawan bicaranya semakin membuat Medina menyesal mengapa dia mengabaikan keraguan beberapa menit yang lalu dengan tetap bertanya, walhasil sekarang Ansel bisa menebaknya. Lantas, kini Medina bisa menjawab apa? Berbohong? Atau malah memberikan kejujuran yang sempurna dengan mengisahkan segala-galanya? Medina tidak ingin benar-benar jujur, ntahlah, mungkin juga bisa dikatakan tidak siap, terlebih lagi jika jujurnya kepada Ansel, Medina juga tidak tahu dia seperti merasa tak tega. Namun, cerita Medina setengahnya sudah tertebak oleh pria itu, jika Medina tidak menceritakan yang sejujurnya Ansel memiliki celah untuk salah paham. Sebab kebohongan atas suatu fakta bisa meninggalkan luka selamanya. Tetapi juga Medina pernah mendengar dari bundanya yang juga mendengar dari seorang pengacara yang namanya pernah disebutkan bunda nya sayangnya Medina tidak m
Dokter Ya'qub menikahi saya? Tidak mungkin suara itu dari laki-laki, suara feminim nya saja terdengar kental sekali pastinya dari perempuan. Tubuh Nayyara ambruk ke lantai dingin rumah sakit bersamaan dengan akalnya yang meyakini bahwasanya kalimat barusan yang dia dengar dilontarkan di luar ruangan adalah dari perempuan. Apakah itu dari calon istri Ya'qub yang dulu? tanya Nayyara dalam hati. "Baby Yara, kamu kenapa?"Arthan si mantan Nayyara ternyata masih sama, masih sentiasa memanggil dirinya dengan panggilan kesayangan mereka ketika masih pacaran yakni baby Yara, dan Nayyara biasanya membalasnya dengan pangggilan baby Arthan. Memang tidak ada juga alasan yang sepertinya bisa mengubah Arthan yang dulu menjadi Arthan yang sekarang. Gelengan kepala Nayyara tampilkan sebagai jawaban, dia pun juga berujar bertanya, "Memangnya baby Yara ini tampak kenapa?""Kamu tampak rapuh."Deg... Apa aku rapuh? tanya Nayyara kepada dirinya sendiri di dalam hatinya. Tapi karena apa? Kenapa juga
Allahu akbarr... Allahu akbarr... Lafaz azan terdengar begitu merdu di telinga Ya'qub, ada rasa rindu di dalam hatinya untuk mengumandangkan kalimat pujian kepada Sang Khaliq, seakan-akan sudah begitu lama rasanya dia tidak beribadah kepadaNya. Sebagai pria dewasa di rumahnya, Ya'qub cukup sering mengumandangkan azan, bahkan terkadang menjadi imam bergantian dengan Yusuf di rumah mereka. Ada tenang di dalam hati Ya'qub tiap kali mendengar nama Allah, baik itu di dalam azan, zikir, ataupun tahlil. Pria itu sedang mencoba mengingat-ingat dia serasa melupakan sesuatu. Apa ya? Astaghfirullah! pekik Ya'qub di dalam hatinya. Dia baru teringat suatu hal, Ya'qub lupa melaksanakan sholat isya dan maghrib tadi malam. Ya Allah, astagfirullah! Pantas saja sejak tadi masalah dan kisah tidak menyenangkan terus menerus ia dapatkan dan tidak kunjung juga diberikan kelonggaran, ternyata karena dia sendiri yang lalai dari Tuhannya. Beruntungnya Allah menegurnya dengan ditimpa masalah begini, sehingg
"Apasih mau lo?!" tanya pria berambut ikal berwarna hitam itu tidak kalah ngegas. "Gue tidak memiliki hak untuk mau terhadap sesuatu! Sebab segala kemauan ada di kepemilikan lo seluruhnya! Tidak tersisa sedikit pun celah untuk gue!" "Lo mau nikah? Mau melakukan apa pun tidak harus bilang ke gue! Kenapa? Karena itu kemauan lo yang mana tidak perlu bahkan mungkin tidak boleh gue tahu apalagi ikut campur di dalamnya!" sambung gadis itu. Mendengar kalimat itu Ya'qub di buat kebingungan, salah paham apa lagi gadis ini? batinnya bertanya-tanya. Di tambah lagi beberapa detik setelah itu terdengar isak tangis yang sangat pelan dari sang gadis, posisi kepalanya yang sangat menunduk bahkan kedua tangannya yang menutupi wajah membuat Ya'qub sama sekali tidak melihat apakah gadis itu benar menangis atau tidak. Namun, Ya'qub akhirnya bisa yakin bahwa gadis itu menangis adalah dengan bahunya yang bergetar. Ada perasaan berat di hati Ya'qub atas situasi begini, entah dia merasa berat karena ha
Apa Ya'qub akan baper jika Nayyara ungkapkan bahwa orang terakhir yang ia ingat sebelum kehilangan kesadaran adalah dirinya? Hemm, Nayyara cukup penasaran, coba saja deh. "Doyam.""Hah?" heran Ya'qub tidak mengerti. "Lo nyaut?" heran balik Nayyara, ia kira hah yang dikatakan Ya'qub tadi adalah dengan maksud sahutan atas panggilannya. Wajah datar ditampakkan Ya'qub, membuat Nayyara paham pria itu tidak ingin memberikan jawaban, dan tampaknya tidak suka mendengar Nayyara berbasa-basi begini. "Bukan Arthan, tapi doyam," ungkap Nayyara jujur tetapi tidak menjelaskan, berharap Ya'qub langsung saja paham tidak meminta penjelasan lebih darinya. "Makan."Mobil berhenti berbarengan dengan Ya'qub mengucapkan satu kata barusan. Sama sekali tidak memberikan balasan atas kalimatnya sang istri. Nayyara mengira Ya'qub tidak peduli dan sama sekali tidak memikirkan maksud dalam kalimatnya. Tetapi nyatanya tanpa sepengetahuan Nayyara, di bibir Ya'qub terukir senyuman tipis, amat sangat tipis dan
Langkah kaki gadis yang kakinya terbalut sandal slop berwarna jingga itu terlihat gontai, tak ada binar semangat apalagi bahagia di manik matanya. Pandangannya pun terus menerus tertuju ke lantai, enggan menatap ke arah mana pun takut bertemu tatap dengan orang lain dan nantinya di salah artikan oleh mereka, dengan mungkin bisa saja orang-orang berpikiran gadis itu tidak sudi menatap mereka karena tatapan tidak moodnya ini. "Astaghfirullahalazim," lirih nya begitu tersadar tidak seharusnya pikirannya kosong seperti tadi. Sebenarnya tidak benar-benar kosong, hanya saja setiap ia kepikiran sesuatu dia berusaha mengesampingkan nya. "Medina? Kita harus bicara."Kedua bahu si empu nama tersentak kaget mendengar kalimat barusan, yang mana di telinganya terdengar begitu dekat dan nyaring. Dengan tindakan cepat dan tatapan waspada pun Medina menolehkan kepalanya ke belakang. Seorang pria berkulit kecoklatan, hidung yang mancung, dan di bawah hidungnya ada kumis yang cukup tebal, wajah sepe
Kernyitan penuh keheranan ditampilkan gadis berambut coklat sepunggung yang sampai kini terurai agak berantakan itu. "Santai kali, doyam! Muka lo sangatlah tegang, ubah itu, buruan! Anyhow, gue lebih suka muka datar dan dingin lo ketimbang muka tegang ini!" ujarnya berusaha santai, padahal dia juga sedikit merasa gugup dan tidak elak merasa deg-degan, tetapi tidak sampai tegang seperti pria di sampingnya ini yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Atas kalimatnya Nayyara itu Ya'qub nyaris saja masih terdiam, tetapi atas teguran di kalimat itu jugalah dia dengan segera mengubah ekspresinya menjadi datar kembali. "Apa mau lo?" tanyanya, menanyakan alasan mengapa Nayyara memegang tangannya, yang mana sampai saat ini masih saja di pegang oleh gadis itu. Kan Ya'qub jadi deg-degan gitu loh? Eh, gak boleh gak boleh, Ya'qub harus selalu kalem dan beku. "Ah iya iya iya." Nayyara baru teringat sesuatu, ia melepaskan tangannya yang tadinya menyentuh punggung tangan Ya'qub dan menggaruk belaka
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,