Brak... Brak...
"CRAZY!" teriak seorang pria dewasa dengan segera bangun dari terbaring nya di jalanan.
"Astagfirullahalazim," ujarnya kemudian dengan suara pelan, tetapi emosi masih menguasai hatinya.
"Bisa bawa mobil gak sih lo?!" tanya pria itu, Ya'qub Lutfi Al Lathif namanya, dengan intonasi berteriak.
Seorang pria yang tampak kacau tertangkap pandangan Ya'qub, padahal Ya'qub yang jatuh ke tanah, tapi malahan pria di depannya ini yang tampak jauh lebih kacau.
"Nama gue Arthan, bang. Jangan marahin gue ya, bang?" kata lelaki itu.
Sontak saja semakin membuat Ya'qub mengernyitkan dahi. Bang? Sepertinya usia mereka sepantaran. Namun, Ya'qub enggan menegur dan mengajak berbicara santai, sebab pria yang mengenalkan diri dengan nama Arthan itu jika dilihat-lihat sedang mabuk makanya tampak kacau sekali. Jika Ya'qub menegur bisa-bisa urusan semakin panjang.
Walhasil Ya'qub hanya bersedekap dada dan menatap Arthan dengan tatapan tajam, "Lo udah bikin kesalahan, enak banget minta gak di marahin?!" tukas Ya'qub. Dia sudah emosi besar lebih dulu, lalu Arthan membuat-buat kejadian, mana mungkin Ya'qub masih bisa menahan dengan mudah?
"Terus mau gimana, bang? Mau minta ganti rugi?" Arthan bertanya dengan ekspresi wajah yang tampak ciut.
"Ga-"
"Oke oke, bang. Tunggu," potong Arthan lalu memundurkan langkah menuju pintu mobil pria itu.
Ya'qub memang sedang mengendarai motor ninja nya tadi, sedangkan Arthan menggunakan mobil, lalu mobil Arthan menabrak motor Ya'qub sehingga membuat si pengendaranya pun jatuh ke aspal.
"Nih, bang, cewek gue ambil aja, terserah lo mau diapain."
Dugh...
Bersamaan dengan Arthan mengatakan itu tubuh seorang wanita menimpa tubuhnya Ya'qub, hal itu terjadi karena ternyata Arthan mendorong tubuh wanita itu. Disebabkan tubuh wanita itu agak oleng, mau tidak mau Ya'qub pun terpaksa memegangi kedua tangannya.
Setelah Arthan meminta Ya'qub menunggu tadi, pria itu memang menundukkan kepala beserta pandangannya, sehingga dia tidak tahu apa yang dilakukan Arthan. Ia pun juga sangat terkejut adanya tubuh wanita itu tiba-tiba menimpanya.
Sekarang Ya'qub telah mengangkat pandangan dan melihat Arthan menutup pintu mobilnya, rupanya tadi Arthan menarik wanita ini dari dalam mobil, kemudian mendorongnya ke arah Ya'qub.
"Kita putus, Ra," ujar Arthan lagi, kali ini kepada wanita di depan Ya'qub, terbukti dengan Arthan menepuk-nepuk pundaknya.
"Lo yakin nyerahin dia kepada gue? Dan membebaskan gue melakukan apapun kepadanya?" Ya'qub ingin memperjelas, otaknya sedang kepikiran sesuatu.
"Tentu, dia bukan lagi cewek gue, bye!" tutup Arthan, lalu memasuki mobil dan melajukan nya lagi membelah jalanan, yang kali ini memang sedang sepi, sehingga tidak ada orang yang ikut campur dalam urusan mereka ini.
"Gue jadiin lo pelampiasan!" mantap Ya'qub tanpa mempertimbangkan lebih dan terburu-buru memutuskan. Bersamaan dengan mobil Arthan melewati dirinya.
Sepeninggal Arthan, Ya'qub terdiam tiga detik, lalu langsung teringat bahwa kulitnya dengan kulit gadis di depannya ini masih bersentuhan, sontak saja Ya'qub melepaskan karena bukan mahram, dan dengan gerakan sedikit mendorong, membuat gadis itu juga terduduk di aspal, lalu terbaring dengan kepala miring, dan wajahnya tertutup. Ya'qub merasa gadis itu juga mabuk, makanya sejak tadi tidak sadar juga, padahal sudah ditarik dan didorong Arthan, sekarang di dorong Ya'qub juga tidak sadar.
Setitik penyesalan akhirnya Ya'qub rasakan atas mantapnya dia berkata barusan, sebab mendapatkan wanita yang pernah apalagi suka mabuk bukanlah suatu hal yang bisa disyukuri, malah sepatutnya dirurtuki.
Pria berambut hitam itu merogoh saku kemejanya dan mengambil handphone canggihnya dari sana, kemudian menghubungi nomor seseorang.
"Jemput gue pakai mobil!" suruh Ya'qub kepada seorang pria melalui handphone itu kala panggilan sudah terhubung.
***
"Jemput gue pakai mobil!" suruh Ya'qub kepada seorang pria melalui handphone itu kala panggilan sudah terhubung. "Bukannya lo bawa motor? Ngapain di jemput? Motornya lo jual?" sahut seseorang itu cerewet sekali. "Gue menemukan calon istri baru," balas Ya'qub ngasal. "Hah?""Gue share lokasinya," tandas Ya'qub, lalu mematikan sambungan telepon. Setelah Ya'qub menunggu selama beberapa menit, sebuah mobil berwarna silver berhenti di dekatnya. Membuat Ya'qub pun dengan segera mendekat ke arah wanita di aspal tadi, untuk memulai menjalankan rencananya. "Mau lo apain dia?" tanya pria yang baru saja keluar dari mobil silver barusan, Yusuf Lukman Al Lathif nama lengkapnya, dengan intonasi curiga, wajahnya persis seperti wajah Ya'qub karena mereka kembar seiras, hanya alis dan bibir yang sedikit berbeda. "Bantu gue angkat nih cewek! Dia calon istri gue!" titah Ya'qub dingin. Sebenarnya dia mampu saja mengangkat tubuh gadis ramping itu sendirian, tetapi dia yang sedang sedih bercampur ke
Beberapa jam sebelum itu... Seorang gadis yang mengenakan abaya berwarna hitam lebar beserta hijab panjangnya duduk di kursi belajarnya, sudah setengah jam dia berada di sana dan berkutat dengan kertas serta sebuah pulpen. Pulpen pemberian seseorang yang akan dia berikan hasil tulisannya ini nanti. Sudah beberapa bait kalimat dia tuliskan, entah ini bait kalimat ke berapa, sebenarnya jika harus menulis semua isi hatinya mengenai keputusannya ini, maka puluhan lembar kertas pun tidak cukup, dan akan perlu waktu lama juga bagi orang tujuannya membacanya, berhubung dia tidak mau orang itu kerepotan, membuatnya pun hanya menulis poin penting yang memang perlu diketahui sang tujuan. 'Jaga diri baik-baik, aku akan kembali jika sakit ini telah mereda. Sekiranya kamu tidak terlukai dengan membantuku berjuang. Statusku masih sendirian, sehingga aku juga perlu berjuang sendirian. Jika kamu memang ingin ikut campur tangan juga dalam perjuanganku, biarkan aku berjuang di tempatku, cukup langit
Di tempat yang berbeda pada waktu yang sama... Memejamkan mata dengan erat terus dipaksakan pria beralis tebal itu, dia bersikeras untuk tidur, tapi matanya juga bersikeras untuk terbuka dan bangun. Sudah sekitar lima belas menit dia begini, enggan lagi bersikeras barangkali bangun memang lebih baik, Ya'qub pun memutuskan membuka mata. Sholat dan berdoa. Itulah yang tercetus dalam benaknya setelah benar membuka mata. Disebabkan itu bukanlah suatu hal yang buruk, malah suatu hal yang bagus dan suatu hal yang bagus harus segera dikerjakan, Ya'qub pun langsung saja bangkit dari berbaring nya, jika ditunda-tunda nanti keburu rasa malas menerjang nya dan membuatnya batal melakukan perbuatan baik itu. Di lemari kamar Ya'qub, tepatnya bagian tengah ada sebuah cermin, kebetulan posisi Ya'qub duduk kini tepat menghadapnya, sehingga dia pun melihat pantulan wajah dan badannya di sana. Tidak mengerti ada kemauan dari mana, intinya saat ini dia telah meletakkan tangannya di dada kirinya tempa
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."Do'a terdengar nyaring dilafalkan oleh Ya'qub yang kali ini tepatnya selalu tampil tampan di belakang meja yang dihias begitu cantiknya itu, pakaiannya serba putih yakni gamis bermerek ternama di lapisi mantel panjang hingga lewat dari lutut, dan kopiah yang dililit sorban dengan rapi. Tidak hanya itu di bahunya pun juga diselempangkan sebuah selendang berwarna senada. Wanita mana yang akan menyebut Ya'qub tidak tampan? Apakah ada perempuan yang menilai Ya'qub itu jelek? Jawabannya ada! Yang pasti satu orang yang mengenakan gaun berwarna putih mekar menjuntai hingga lantai, serta tidak membentuk tubuh itu sejak tadi berkata, "Masa gue dinikahin sama dia?!"Di lantai atas rumah tempat Ya'qub mengucapkan kalimat qabul, ada sebuah kamar yang di dalamnya duduk gadis itu di depan cermin. Dia baru saja selesai dihias. "Ya elah, jangankan suami, cowo gue itu harus ganteng, lah itu dia gak ganteng
"Terus kalau siang? Sore? Atau malam boleh?"Bukannya Ya'qub yang ciut, malahan Nayyara lah yang sekarang meneguk ludahnya susah payah, "Lo nafsuan banget jadi cowok!" simpulnya. "Lo istri gue.""Ya tapi-""Pikiran lo yang ngawur banget, kejauhan. Gue gak nafsu sama lo," potong Ya'qub enggan menunggu Nayyara menyelesaikan kalimat, yang mana sangat dia yakini kalimatnya itu akan menyimpulkan mengenai Ya'qub yang padahal tidak benar. Mata Nayyara justru terbelalak, membuat Ya'qub ikut terbelalak, bedanya Nayyara tampak terkejut, sedangkan Ya'qub heran. "Lo beneran gak nafsu sama gue? Jangan-jangan lo beneran gay? Astaga gue salah dinikahi orang?! Ya kali nanti lo bilang lo gak pulang malem karena nginep sama temen cowok elo? Iwh, gue jijik banget!""Ya kenapa? Lo jangan cemburu!" balas Ya'qub dengan santainya, tidak tahu saja respon Nayyara bagaimana hebohnya. "YA'QUB, jujur! Lo beneran gay?!"Si empu nama langsung menoyor kepala Nayyara yang terbalut hijab, yang mana membuat rambut
Tangannya membentang di depan kipas angin, dia sedang menikmati sekaligus menunggu angin menerpa tubuhnya guna menghilangkan keringat dan rasa kegerahan yang dia rasakan kini. "Masa Nayyara Chalista Jahriz udah jadi bini orang sih dari hari ini? Cepat banget ya kehidupan, rasanya baru kemarin gue kelayapan sama Arthan, tapi itu seru loh," gumamnya sendirian menyebutkan nama lengkapnya sendirian, karena memang hanya ada dia di kamar yang dihias dengan begitu indahnya ini karena dikatakan sebagai kamar pengantin. "Semantara Ya'qub ini kayaknya kebanyakan aturan, ya kali gue terkekang sampai mati? Gak banget! Eh tapi bagus juga kayaknya peraturan-peraturan agama kalau semakin didalami? Hemm."Tetiba saja memori otaknya memutar segala momen kebersamaannya dengan sang mantan kekasih, yakni Arthan. Pria yang dia cintai dengan segala perlakuan manisnya kepada Nayyara, sekaligus juga pria yang menyakitinya karena mengorbankan nya sebagai bayaran ganti rugi, seolah-olah harga diri Nayyara se
"Enggak, gue ada di sisi lo kini karena dikorbankan, dan dinilai pengantin pengganti karena lo mencari pelampiasan.""Gue nangis karena Arthan," ungkap Nayyara, jujur juga akhirnya, sepertinya tatapan mata Ya'qub yang sangat tajam itu mampu menguliti fakta atau rahasia yang disembunyikan si lawan tatapnya. "Oh." Ya'qub membalas dingin dan beranjak dari ranjang kemudian mendudukkan diri di sofa tempat Nayyara duduk tadi. Karena balasan dingin dari Ya'qub itulah membuat Nayyara kembali kepikiran. Lantas, bagaimana dengan Ya'qub? Apa pria itu juga sama dengan Arthan? Akan mudah mengorbankan nya ketimbang uang? Apalagi dalam keadaan kepepet? "Arthan itu tega banget, padahal gue sudah sangat mencintainya, tetapi dia korbankan gue yang sama sekali tidak bisa gue tolak karena tidak ada celahnya," kata Nayyara lagi, entah kenapa juga kepikiran menceritakan apa yang dia pikirkan. "Makanya jangan terlalu mudah cinta," pesan Ya'qub, terdengar tulus oleh dirinya sendiri, pun bagi Nayyara juga
"Gue gak suka diatur, Ya'qub!" peringat gadis berambut coklat yang diurai itu dengan tangan berkacak di pinggang. "Gue suami lo!" tegas Ya'qub membalas. "And gue tidak pernah merasa diri gue adalah seorang istri, apalagi istrinya lo!" Nayyara tidak mau kalah. "Belum apa-apa, baru satu langkah semut pernikahan kita, mana mungkin lo udah berhak mengatur segala hal tentang gue? Lagipula peraturan yang lo bikin begini malah bikin gue makin kesel sama lo, mood gue jadi ancur nih!" omel gadis itu lagi. "Yaudah terserah lo, tapi jangan sekali-sekali menghubungi gue kalo kenapa-napa, gue ada jadwal operasi hari ini," balas Ya'qub. "Memang terserah gue, kan ini kehidupan gue, bukan hidup lo, lo gak perlu ikut campur. Nayyara bisa sendiri, ngapain gue hubungin lo? Satu lagi, gue gak nanya lo ada jadwal apa hari ini," kata Nayyara menepuk-nepuk dadanya pada kalimat bisa sendiri tadi, disebabkan karena dia bangga. Satu menit setelah itu Nayyara dibuat terbelalak karena tiba-tiba saja ujung
Beberapa bulan kemudian... "Mama, umi? Ini bagusnya yang mana ya?" tanya Nayyara menunjuk sebuah rak yang tersusun beberapa baju bayi. "Kalau bayi baru lahir, baiknya gak usah pake baju yang begini," timpal umi Yasmin. "Bener, memakaikannya susah," sahut mamanya Nayyara menanggapi. Tiga orang wanita yang memiliki usia berbeda itu sedang recok di salah satu toko perlengkapan bayi di sebuah mall, usia kandungan Nayyara yang sudah memasuki tiga puluh minggu membuatnya dan para ibunya harus berbelanja kebutuhan bayinya dan Ya'qub. "Astaghfirullah!" pekik Nayyara kaget melihat keranjang belanja miliknya sudah berisi setengah penuh perlengkapan si kecil. "Kok udah penuh ya? Mama, umi! Ini keranjang kita kan, ya? Atau bukan? Kok udah berisi banyak banget?" tanyanya mencolek wanita paruh baya di sisinya agar memperhatikan sesuatu yang ia maksud. Tepat ketika dua wanita ibunya itu membalikkan badan tuk melihat keranjang, seorang pria berambut hitam ikal datang dengan tangan penuh barang
Beberapa hari kemudian... Rumah abi Yasser dan umi Yasmin sedang sepi-sepinya karena waktu memang menunjukkan tengah malam, kecuali sebuah kamar di lantai atas milik sang putra pertama, di sana cerocosan uring-uringan dari seorang perempuan memenuhi isi kamar. "Ihhh gak suka, ganti ganti!" suruh Nayyara kepada suaminya yang baru saja membalikkan badan ke arahnya. Perempuan berambut coklat terurai itu tengah duduk di sofa dengan bersedekap dada, posisi kakinya sekejap-sekejap berganti, kadang bersila kadang diluruskan. Sementara Ya'qub suaminya berdiri di depan lemari yang pintunya terbuka tidak kunjung ditutup sejak satu jam yang lalu. "Yang mana lagi, Nayya?" tanya Ya'qub bingung. Tepat tengah malam tadi, Nayyara membangunkan dirinya memintanya untuk memakai baju-bajunya, katanya Nayyara menginginkan melihat suaminya ini memakai pakaian yang beragam. "Baju kamu banyak tauk, cobalah pakai semuanya, aku mau liat!" Nyaris saja Ya'qub menganga mendengar penuturannya Nayyara, memak
Perasaan Nayyara campur aduk saat ini, biarpun sesuatu yang sudah lama dia inginkan, yakni bergenggaman tangan dengan Ya'qub suaminya sendiri, sudah tercapai, tetap saja ada suatu perkara lain yang membuatnya belum bisa untuk benar-benar senang. Bagaimana jika... Bagaimana jika... Sejak tadi kalimat berawalan dua kata diatas selalu terlintas di benaknya, ketimbang terpikir semua pertanyaan ketakutannya itu Nayyara ingin mencoba berfokus pada bagaimana caranya dia untuk tidak merisaukan semua itu. "Tenang, bumil tidak seharusnya risau," celetuk Ya'qub tiba-tiba membuka obrolan, membuat Nayyara segera menolehkan kepala ke arahnya. "Gak bisa," ungkap Nayyara jujur. "Tarik nafas, buang, lakukan beberapa kali sampai tenang." Ya'qub memberikan arahan berharap bisa menjadi solusi. Sesuai petunjuk dari suaminya, Nayyara pun melakukannya, setelah mulai tenang dia menimpali, "Kayak mau lahiran aja di suruh tarik dan buang nafas!""Emang mau lahiran sekarang?" tawar Ya'qub asal, moodnya s
"Kira-kira anak siapa itu?"Mendengar pertanyaan barusan membuat Nayyara menarik kemudian menghela nafasnya panjang, ia tidak diperkenankan untuk sakit hati atas pertanyaan itu, sebab ulahnya sendirilah yang memancing suaminya bisa bertanya demikian. Lalu, sebuah iPad mini dilemparkan Nayyara asal tetapi dia yakin akan mendarat di pahanya Ya'qub yang memang berposisi duduk. Di layar iPad itu sudah tampak suatu gambar yang ingin Nayyara tunjukkan pada Ya'qub, dia yakin pria itu bisa memahaminya sendiri tanpa harus dia jelaskan, sekarang mood Nayyara kembali berubah jadi malas bicara meniru Ya'qub. "Mengapa membuat drama ini?" tanya Ya'qub heran, sembari menscroll layar iPad tersebut. "Karena aku kesal," judes Nayyara. Krik... Krik... Setengah menit terjadi hening di ruang tamu apartemen itu, Nayyara enggan memulai pembicaraan lagi, dia ingin menunggu pria dingin ini lebih dulu bersuara. Bahkan, Nayyara juga membuang muka mengalihkan tatapannya dari sang suami. "Eh!" pekik Nayyar
"Kenapa mama biarin pria ini masuk sih, ma?" keluh Nayyara ketika melihat seorang pria muda berambut ikal berdiri di belakang mamanya. "Kalian harus bicara tau, Nay," sahut sang mama enteng. "Udah, ma, kita udah-""Belum semuanya," potong pria itu yang tidak lain adalah Ya'qub Lutfi Al Lathif. Dua kata yang Nayyara dengar itu sontak saja membuat hatinya bergetar, malangnya bukan bergetar karena baper ataupun bahagia, tetapi karena tegang takut Ya'qub menyampaikan sesuatu yang tidak dia inginkan. Bagaimana jika dia membicarakan tentang perceraian? batin Nayyara ketakutan. Jujur saja Nayyara belum siap tentang itu, sama sekali, di samping ada seseorang ini yang kehadirannya belum diketahui seorang pun terkecuali dirinya dan Allah Ta'ala. "Yasudah mama tinggal dulu, mama tau kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan dengan bijak seharusnya, jangan sampai salah mengambil keputusan, itu saja pesan mama," timpal mamanya Nayyara, kemudian berlalu pergi. Tidak akan, ma,
Nayyara menggigit bibirnya sekuat mungkin agar suara tangisnya tidak terdengar, air matanya mungkin tidak akan sederas ini seandainya tidak mendengar satu kalimat lirih barusan, sekalipun dia dan suaminya terhalang sebuah pagar taman tidak membuat Nayyara tuli akan kalimat yang terucap dari bibirnya Ya'qub ternyata. Akhir-akhir ini Nayyara juga cukup moodyan, moodnya bisa berubah secepat dia mengedipkan mata, dan Nayyara tau kok mengapa dia begitu. Ternyata bawaan... Dengan segera dia menggelengkan kepala enggan semakin mengingat perkara itu lagi, ia tidak seharusnya terlalu bahagia takut nantinya akan jatuh pada relung kesedihan saja.Tidak seharusnya terlalu lama berada di sini takut nantinya malah diketahui pria yang dia hindari, Nayyara pun segera mengetikkan pesan kepada sopirnya untuk menjemputnya di taman ini. Posisi Ya'qub yang duduk di pinggiran jalan yang mana jalan tersebut mau tak mau harus dilewati Nayyara untuk pulang, membuat Nayyara kebingungan apakah dia harus menut
"Salah satu kewajiban seorang suami adalah memaafkan kesalahan istrinya, jika sang istri melakukan kesalahan maka seharusnya seorang suami menegurnya dan menasehatinya terlebih dahulu, jika tidak berdampak juga maka boleh memukulnya, dengan catatan tidak boleh memukul yang keras hingga memar dan menyakiti, ingat! Benar-benar tidak boleh! Pukulan yang dimaksudkan di sini pun tidak menggunakan telapak tangan, melainkan memakai benda berupa sikat gigi misalnya, nah itu dipukulkan ringan saja kepada istri, bukan dengan niatan menyakiti, tetapi niatan mendidik. Jadi ingat ya, semua ada tahapannya, pertama-tama ditegur, jika tidak mau juga kemudian dinasehati, masih tidak mempan baru dipukul yang sangat-sangat ringan!"Jleb... Semua kalimat dari seorang pria yang duduk di barisan terdepan dan menghadap ke arahnya serta seluruh jemaah yang lain membuat Ya'qub tertohok, hatinya tersentil dan dibuat bergetar, ia dibuat sadar akan kesalahannya. Saat ini pria itu sedang berada di sebuah masjid
Beberapa hari kemudian... Siang ataupun malam terasa begitu lambat berlalu dan juga seperti sangat monoton, seakan-akan tidak ada yang begitu menarik sejak hari itu, semenjak hari di mana Nayyara pergi darinya, dunia Ya'qub seperti dingin lagi, tampak tidak berwarna, bahkan akan terasa sangat membosankan juga seandainya Ya'qub tidak menyibukkan diri dengan fokus kepada pekerjaannya dan mengambil shift lebih banyak dari biasa. Nasehat ataupun semangat dari Yusuf, abi, dan umi pun tidak berdampak banyak pada Ya'qub, bukan nasehat mereka yang tidak bagus, tetapi mood Ya'qub saja yang amburadul sejak hari itu, dia belum siap melakukan perubahan karena bimbang harus melakukan perubahannya dari sisi mana terlebih dahulu, sekaligus takut juga salah berbuat. Ya'qub sedang lelah, sungguh, fisiknya tidak terlalu, tetapi hati dan pikirannya rasanya benar-benar semrawut, kalau dia sedang lelah ya biarpun satu dunia menyemangatinya tetap saja dia ingin beristirahat. Jadilah akhir-akhir ini Ya'q
"Foto apa ini? Siapa ini?" tanya Ya'qub to the point, begitu dia masuk ke kamarnya dan mendapati seorang perempuan yang jelas ia kenali berdiri di depan jendela. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan mengulurkan tangan meminta diberikan handphone nya Ya'qub yang sedang menunjukkan suatu foto, tidak perlu mengelak Ya'qub pun menyerahkannya. Ekspresi gadis itu tidak terbaca saat menatap foto itu, arah pandangnya yang menunduk membuat Ya'qub tidak bisa membaca manik matanya. Beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Nayyara memeluk Ya'qub erat, membuat Ya'qub di posisinya mengernyitkan dahi keheranan dengan respon istrinya. "Ya, itu aku dan Arthan, oh ya aku punya cerita yang mau diceritakan sama kamu, suami istri seharusnya bersikap terbuka kan, rasanya momen itu begitu menyenangkan dan membuatku puas."Sebenarnya Ya'qub sudah mengerti dengan yang diucapkan Nayyara, tetapi dia memilih untuk bersikap sok bodoh dengan bertanya meminta diperjelas, lebih tepatnya ingin mengorek kejujuran,