Di tempat yang berbeda pada waktu yang sama...
Memejamkan mata dengan erat terus dipaksakan pria beralis tebal itu, dia bersikeras untuk tidur, tapi matanya juga bersikeras untuk terbuka dan bangun. Sudah sekitar lima belas menit dia begini, enggan lagi bersikeras barangkali bangun memang lebih baik, Ya'qub pun memutuskan membuka mata.
Sholat dan berdoa.
Itulah yang tercetus dalam benaknya setelah benar membuka mata. Disebabkan itu bukanlah suatu hal yang buruk, malah suatu hal yang bagus dan suatu hal yang bagus harus segera dikerjakan, Ya'qub pun langsung saja bangkit dari berbaring nya, jika ditunda-tunda nanti keburu rasa malas menerjang nya dan membuatnya batal melakukan perbuatan baik itu.
Di lemari kamar Ya'qub, tepatnya bagian tengah ada sebuah cermin, kebetulan posisi Ya'qub duduk kini tepat menghadapnya, sehingga dia pun melihat pantulan wajah dan badannya di sana. Tidak mengerti ada kemauan dari mana, intinya saat ini dia telah meletakkan tangannya di dada kirinya tempat jantungnya berada, sementara tangan yang satunya lagi berada di area tubuhnya letak hatinya bertempat.
"Aku tidak punya apapun, semuanya milik Allah, termasuk hati dan jantung ini. Tapi, sekarang hati ini ditempati oleh seseorang yang aku cinta, semoga Allah mengizinkan pemberian-Nya ini aku isi nama seorang makhlukNya..." gumamnya tersenyum tipis.
Dia ingin tersenyum lebar, tapi rasanya tidak bisa, selain karakter nya yang memang kurang ekspresif, juga seperti ada yang mengganjal yang membuat tarikan sudut bibirnya tertahan.
***
Tok tok tok...
Ketukan cepat mengisi pendengaran Ya'qub yang sedang duduk merenung. Beberapa menit yang lalu dia baru saja selesai bermunajat kepada Sang Khalik mengungkapkan berbagai hal, memohon agar selalu dimudahkan rencana juga tidak luput dia panjatkan. Semoga Allah berkenan segera mengabulkan.
Lantas pria itu bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.
Ekspresi panik, khawatir, dan seperti ketakutan tertangkap penglihatannya Ya'qub, tiga ekspresi itu sama sekali tidak menular kepadanya, sebab nyatanya Ya'qub sentiasa datar sahaja.
"Ya'qub..." lirih wanita di depannya itu memanggilnya, beliau adalah uminya Ya'qub sendiri, umi Yasmin Laili Al Lathif.
Dia tidak sempat menanyakan kenapa, keduluan uminya lagi menyambung kalimat lagi.
"Medina menghilang..." bisik umi Yasmin, sebenarnya tidak berbisik juga, hanya saja suaranya memang pelan.
Detik itu juga keseimbangan tubuh Ya'qub terasa lenyap seketika, kakinya terasa kehilangan kemampuan tuk berpijak, andai dia lupa bagaimana sosoknya mungkin dia sudah menjatuhkan diri ke lantai dan pingsan.
"U-umi, serius?" tanyanya ingin memantapkan.
Ada harapan di benaknya bahwa jawaban dari sang ibunda adalah tidak, tapi raut wajah uminya yang tampak tidak ada celah untuk menjawab demikian hilanglah harapan itu sepenuhnya. Terlebih lagi setelahnya uminya benar menganggukkan kepala.
Sorot mata Ya'qub langsung kosong seketika, di otaknya memutar segala bayangan yang ia kira akan terjadi besok, tetapi tiba-tiba ada tanda silang di sana, mungkin sebagai kode bahwa bayangan itu tidak akan terjadi, entah tidak akan terjadi di esok hari atau malah selamanya.
Tiba-tiba saja umi Yasmin memeluknya, membuat Ya'qub pun tersadar dari lamunannya, selain itu uminya juga berkata di dadanya, "Umi harap kamu sabar, ini adalah ujian, Ya'qub putra tampan umi."
Dengan perlahan Ya'qub melepaskan pelukan uminya, bukannya dia marah atau tidak mau dipeluk, tetap ada alasan lain, dia tidak bisa membiarkan uminya merasakan dadanya yang meletup tidak enak begini. Pria itu mengambil tangan kanan uminya, kemudian mengecupnya sendu.
"Ya'qub pergi dulu bentar, umi," pamitnya mengambil kunci motor yang tergantung di dinding kamarnya tidak jauh darinya.
Setelah itu dia melepaskan tangan uminya dan berlalu pergi dari sana.
Medina menyakitinya, jadi apa yang harus dia lakukan? Menikmati kesakitan ini? Sekarang sudah jam dua dini hari, sebentar lagi pagi, lalu acara pernikahan sudah di siapkan sedemikian rupa oleh keluarganya. Apa yang harus dia lakukan? Rasanya sekarang dia hanya ingin melampiaskan! Apakah akan ada pengantin pengganti?
***
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."Do'a terdengar nyaring dilafalkan oleh Ya'qub yang kali ini tepatnya selalu tampil tampan di belakang meja yang dihias begitu cantiknya itu, pakaiannya serba putih yakni gamis bermerek ternama di lapisi mantel panjang hingga lewat dari lutut, dan kopiah yang dililit sorban dengan rapi. Tidak hanya itu di bahunya pun juga diselempangkan sebuah selendang berwarna senada. Wanita mana yang akan menyebut Ya'qub tidak tampan? Apakah ada perempuan yang menilai Ya'qub itu jelek? Jawabannya ada! Yang pasti satu orang yang mengenakan gaun berwarna putih mekar menjuntai hingga lantai, serta tidak membentuk tubuh itu sejak tadi berkata, "Masa gue dinikahin sama dia?!"Di lantai atas rumah tempat Ya'qub mengucapkan kalimat qabul, ada sebuah kamar yang di dalamnya duduk gadis itu di depan cermin. Dia baru saja selesai dihias. "Ya elah, jangankan suami, cowo gue itu harus ganteng, lah itu dia gak ganteng
"Terus kalau siang? Sore? Atau malam boleh?"Bukannya Ya'qub yang ciut, malahan Nayyara lah yang sekarang meneguk ludahnya susah payah, "Lo nafsuan banget jadi cowok!" simpulnya. "Lo istri gue.""Ya tapi-""Pikiran lo yang ngawur banget, kejauhan. Gue gak nafsu sama lo," potong Ya'qub enggan menunggu Nayyara menyelesaikan kalimat, yang mana sangat dia yakini kalimatnya itu akan menyimpulkan mengenai Ya'qub yang padahal tidak benar. Mata Nayyara justru terbelalak, membuat Ya'qub ikut terbelalak, bedanya Nayyara tampak terkejut, sedangkan Ya'qub heran. "Lo beneran gak nafsu sama gue? Jangan-jangan lo beneran gay? Astaga gue salah dinikahi orang?! Ya kali nanti lo bilang lo gak pulang malem karena nginep sama temen cowok elo? Iwh, gue jijik banget!""Ya kenapa? Lo jangan cemburu!" balas Ya'qub dengan santainya, tidak tahu saja respon Nayyara bagaimana hebohnya. "YA'QUB, jujur! Lo beneran gay?!"Si empu nama langsung menoyor kepala Nayyara yang terbalut hijab, yang mana membuat rambut
Tangannya membentang di depan kipas angin, dia sedang menikmati sekaligus menunggu angin menerpa tubuhnya guna menghilangkan keringat dan rasa kegerahan yang dia rasakan kini. "Masa Nayyara Chalista Jahriz udah jadi bini orang sih dari hari ini? Cepat banget ya kehidupan, rasanya baru kemarin gue kelayapan sama Arthan, tapi itu seru loh," gumamnya sendirian menyebutkan nama lengkapnya sendirian, karena memang hanya ada dia di kamar yang dihias dengan begitu indahnya ini karena dikatakan sebagai kamar pengantin. "Semantara Ya'qub ini kayaknya kebanyakan aturan, ya kali gue terkekang sampai mati? Gak banget! Eh tapi bagus juga kayaknya peraturan-peraturan agama kalau semakin didalami? Hemm."Tetiba saja memori otaknya memutar segala momen kebersamaannya dengan sang mantan kekasih, yakni Arthan. Pria yang dia cintai dengan segala perlakuan manisnya kepada Nayyara, sekaligus juga pria yang menyakitinya karena mengorbankan nya sebagai bayaran ganti rugi, seolah-olah harga diri Nayyara se
"Enggak, gue ada di sisi lo kini karena dikorbankan, dan dinilai pengantin pengganti karena lo mencari pelampiasan.""Gue nangis karena Arthan," ungkap Nayyara, jujur juga akhirnya, sepertinya tatapan mata Ya'qub yang sangat tajam itu mampu menguliti fakta atau rahasia yang disembunyikan si lawan tatapnya. "Oh." Ya'qub membalas dingin dan beranjak dari ranjang kemudian mendudukkan diri di sofa tempat Nayyara duduk tadi. Karena balasan dingin dari Ya'qub itulah membuat Nayyara kembali kepikiran. Lantas, bagaimana dengan Ya'qub? Apa pria itu juga sama dengan Arthan? Akan mudah mengorbankan nya ketimbang uang? Apalagi dalam keadaan kepepet? "Arthan itu tega banget, padahal gue sudah sangat mencintainya, tetapi dia korbankan gue yang sama sekali tidak bisa gue tolak karena tidak ada celahnya," kata Nayyara lagi, entah kenapa juga kepikiran menceritakan apa yang dia pikirkan. "Makanya jangan terlalu mudah cinta," pesan Ya'qub, terdengar tulus oleh dirinya sendiri, pun bagi Nayyara juga
"Gue gak suka diatur, Ya'qub!" peringat gadis berambut coklat yang diurai itu dengan tangan berkacak di pinggang. "Gue suami lo!" tegas Ya'qub membalas. "And gue tidak pernah merasa diri gue adalah seorang istri, apalagi istrinya lo!" Nayyara tidak mau kalah. "Belum apa-apa, baru satu langkah semut pernikahan kita, mana mungkin lo udah berhak mengatur segala hal tentang gue? Lagipula peraturan yang lo bikin begini malah bikin gue makin kesel sama lo, mood gue jadi ancur nih!" omel gadis itu lagi. "Yaudah terserah lo, tapi jangan sekali-sekali menghubungi gue kalo kenapa-napa, gue ada jadwal operasi hari ini," balas Ya'qub. "Memang terserah gue, kan ini kehidupan gue, bukan hidup lo, lo gak perlu ikut campur. Nayyara bisa sendiri, ngapain gue hubungin lo? Satu lagi, gue gak nanya lo ada jadwal apa hari ini," kata Nayyara menepuk-nepuk dadanya pada kalimat bisa sendiri tadi, disebabkan karena dia bangga. Satu menit setelah itu Nayyara dibuat terbelalak karena tiba-tiba saja ujung
Tetapi, tau bagaimana respon dokter Arif? Lelaki paruh baya itu malah tergelak di posisinya. "Malah diketawain! Saya beneran nikah loh!" decak Nayyara kesal karena tampaknya dia tidak dipercayai oleh dokter kepercayaannya itu. "Kok gak ngundang saya?" "Pernikahannya dadakan, yang diundang hanya orang terdekat dan keluarga besar mempelai pria," tutur gadis itu sembari menatap langit-langit ruangan. "Kamu pasti dijodohin!" Dokter Arif berpendapat dengan sangat yakin. "Enggak! Ah elah jangan bahas pernikahan saya, males! Kasih saya sesuatu obat yang membuat saya tidak akan pernah kambuh!" desak Nayyara mengalihkan pembicaraan. "Tidak ada, Nayyara. Sudah jadi kodrat bagi kebanyakan penderita kanker hati mengalami muntah, kelelahan, dan gatal. Kamu tidak bisa menyembunyikannya."Mendengar kalimat jawaban itu Nayyara menggaruk kepalanya hingga jadi acak-acakan, "Argh! Bagaimana ini jika Ya'qub mengetahuinya?" ujarnya frustasi kepada dirinya sendiri. "Siapa? Ya'qub?" beo dokter Arif i
Bini lo kemana? Kok keluar sendirian? Lo biarin penampilannya begitu? Atau nunggu umi turun tangan menegurnya? Klik... Tidak hanya itu isi pesan yang didapatkan Ya'qub di aplikasi whatsapp di handphone nya, tetapi dia tidak ingin membaca semuanya sampai selesai, pasalnya jika dia menyelesaikan membaca itu bisa dipastikan dia akan terlambat melakukan pengoperasian pasiennya. Ya'qub Lutfi Al Lathif memanglah berprofesi sebagai dokter bedah, dia adalah dokter muda yang sudah memiliki cukup banyak bakat dan pengalaman, pria itu lulus dalam kategori lulusan terbaik di angkatannya karena kemampuannya memahami sesuatu dengan cepat. Pesan tadi berasal dari kembarannya sendiri, yakni Yusuf Lukman Al Lathif, meskipun kembar mereka tidak selalu sama, terutama semenjak dewasa dan bisa memutuskan untuk diri sendiri. Maka dari itulah profesi mereka berbeda,Ya'qub memilih merintis karier baru yakni menjadi dokter, sedangkan Yusuf meneruskan pekerjaan abi mereka di perusahaan family Al Lathif, ya
"Apa yang harus gue katakan atau gue lakukan saat bertemu?"Detik itu juga Yusuf terdiam lama, dia tengah memikirkan jawaban apa yang bisa dia berikan atas pertanyaan Ya'qub barusan, memang benar saja, apa yang kiranya harus dan akan dikatakan Ya'qub ketika pria itu bertemu dengan Medina setelah rentetan kejadian ini? "Mungkin lo ingin membahas hubungan kalian," jawab Yusuf akhirnya. "Sisi mana lagi di dunia yang harus gue bahas dengannya? Terutama tentang hubungan? Masih adakah satu kata sahaja yang harus gue katakan padanya?" cecar Ya'qub, bukan untuk memojokkan Yusuf, tetapi agar keinginan di hati Yusuf untuk mendorong Ya'qub mencari Medina menciut tidak lagi ingin. "Cinta gue kepada Medina memang besar, sama besarnya dengan ketidaksukaan gue kepada Nayyara. Tapi tindakan Medina pergi di hari pernikahan menurunkan kadar cinta itu secara drastis, memang masih tersisa, tapi tidak bisa gue gunakan untuk kembali menambah kadar cinta kepadanya, sebab itu terpaksa digunakan agar gue t