Share

Aku Harus Pergi Dulu

Beberapa jam sebelum itu... 

Seorang gadis yang mengenakan abaya berwarna hitam lebar beserta hijab panjangnya duduk di kursi belajarnya, sudah setengah jam dia berada di sana dan berkutat dengan kertas serta sebuah pulpen. Pulpen pemberian seseorang yang akan dia berikan hasil tulisannya ini nanti. 

Sudah beberapa bait kalimat dia tuliskan, entah ini bait kalimat ke berapa, sebenarnya jika harus menulis semua isi hatinya mengenai keputusannya ini, maka puluhan lembar kertas pun tidak cukup, dan akan perlu waktu lama juga bagi orang tujuannya membacanya, berhubung dia tidak mau orang itu kerepotan, membuatnya pun hanya menulis poin penting yang memang perlu diketahui sang tujuan. 

'Jaga diri baik-baik, aku akan kembali jika sakit ini telah mereda. Sekiranya kamu tidak terlukai dengan membantuku berjuang. Statusku masih sendirian, sehingga aku juga perlu berjuang sendirian. Jika kamu memang ingin ikut campur tangan juga dalam perjuanganku, biarkan aku berjuang di tempatku, cukup langitkan doamu untuk bertarung di tempatnya membantuku.'

'Aku yakin perihal doa kamu bisa mencari cara merayu Allah agar mempermudah jalan kita. Aku tidak mampu menemui kamu langsung dan menuturkan ini, aku tidak sanggup melihat wajahmu yang datar itu berubah ekspresinya karena terlukai hatinya. Aku cuma mampu menyatakan permintaan agar kamu sedia menunggu hingga sakit ini menghilang dan aku pulang.'

'Sehat selalu, Ya'qub Lutfi Al Lathif, calon suaminya Medina Angkara, cukup Medina yang sakit di tempatnya.'

Gadis itu menutup pulpennya, lalu mengaitkannya di kertas yang barusan dia tulisi yang mana juga sudah dia lipat-lipat. 

Tes... 

Dengan segera gadis bermata coklat gelap itu menarik beberapa lembar tisu dari wadahnya dan menempelkan nya di hidungnya, beserta memundurkan kepalanya. Jika dia tidak bergerak secara cepat seperti tadi bisa-bisa cairan yang keluar dari hidungnya ini jatuh dan mengenai kertas di depannya. Untuk yang kesekian kalinya dia mimisan lagi. 

Merasa sudah bisa mengendalikan mimisan nya, gadis berkulit putih bersih itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju cermin panjang dan besar di samping lemari pakaiannya. 

Di cermin itu tampaklah pantulan dirinya, terlihatlah wajahnya yang terlihat pucat sekali. Matanya sayu, ada binar lelah di sana, bibirnya pecah-pecah, pinggir hidungnya pun ada beberapa sudut kemerahan nyaris terluka, sebab dia terlalu sering menyeka nya menggunakan tisu, memang tisu lembut tapi terlalu sering. 

"Jika memperlihatkan kenyataannya, Medina terlalu memperihatinkan, Ya'qub. Apakah kamu masih sudi menerima dan melihatnya?" tanyanya kepada dirinya sendiri, karena hanya ada dia sendirian di sini, tetapi seakan-akan dia berbicara kepada seorang pria. 

Medina Angkara, itulah nama panjangnya, seharusnya dia menjadi pengantin besok karena esok adalah hari pernikahannya, Ya'qub sang calon suami akan menghalalkan nya besok melalui pengucapan ijab kabul. 

"Tetapi, Medina tidak mampu melukaimu di kemudian hari setelah membuatmu melayang bahagia..." lirihnya memegang dada. 

Ada sesak yang kentara di sana, tentu berat baginya untuk menjalankan rencana dan keputusannya ini. 

Tanpa perlu menimbang berat badan pun Medina akui sendiri dia juga tambah kurus, selain kurang nafsu makan, mudah kenyang meskipun baru makan sedikit, asupan makanan yang dia makan juga tidak sempat mempertahankan keseimbangan tubuhnya, tetapi jauh lebih dulu dikeluarkan dalam bentuk darah dari hidungnya, atau terkadang juga muntah dan keluar dari mulutnya.

"Demi kita bahagia di masa depan, aku harus pergi dulu, Ya'qub."

Tangan kirinya mendekat ke pergelangan tangan kanannya, lalu melepaskan sebuah gelang yang berada di sana, itu adalah gelang pemberian Ya'qub, bukannya Medina tidak ingin membawa dan menyimpan barang pemberian sang calon suami selama mereka berjauhan dan dia pergi, tetapi jaga-jaga saja barangkali Ya'qub meletakkan sebuah alat signal di gelang itu dan nantinya bisa terdeteksi alhasil berujung dia bisa ditemukan. 

Sedangkan Medina tidak mau itu terjadi, dia ingin pergi dan menghilang tanpa jejak sedikitpun dan seolah-olah tidak ada peluang bagi mereka-mereka yang mencarinya untuk menemukannya. Terkecuali dia sendiri nanti yang pulang, jika umurnya masih ada dan ada kesempatan. 

"Sakit ini sudah sangat menyakitkan untukku sendirian, aku tidak mau membagi sakitku ini kepada orang lain, baik itu kepada keluargaku atau kepada kamu calon suamiku, Ya'qub..." gumamnya sendu. 

Melepaskan gelang itu sudah sulit sekali rasanya, apalagi untuk melepaskan seutas cincin di jari manis tangan kirinya ini, dia bahkan sampai bergetar hebat. Setelahnya Medina meletakkan dua perhiasan itu di dalam laci meja riasnya. Di tempat yang sama dia juga meletakkan kertas beserta pulpen tadi. 

Dia kira tempat itu akan aman dan apa yang dia letakkan di sana akan ditemukan dengan mudah oleh orang-orang yang mencarinya. Nyatanya perkiraan nya salah, tanpa dia ketahui ada lubang di dalam laci tersebut yang membuat kertas beserta pulpen itu terjatuh hingga ke laci terbawah, hanya menyisakan gelang dan cincin di sana. 

"Maaf untuk segalanya, Ya'qub. Di tempatku aku akan setia, semoga kamu juga setia menunggu kepulanganku. Karena aku mencintai kamu, dan aku yakin itu berbalas," tandas nya sembari menutup pintu kamarnya. 

Mulai detik itu juga keputusan Medina untuk lost contact dengan siapapun orang yang dia kenali mulai terjadi, dia tidak berencana untuk selamanya lost contact dengan mereka, tapi Medina juga tidak tahu sampai kapan dia tidak akan mengetahui kabar mereka dan mereka tidak mengetahui kabarnya, termasuk Ya'qub, calon suaminya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status