"Baiklah, kalau dokter Devano tidak sibuk, nanti tolong ke ruangan saya!" ucap dokter paruh baya itu, lalu menepuk pelan bahu Devano sebelum pergi. Devano menatap kepergian dokter tersebut, lalu menoleh pada Kenanga yang juga menatapnya dengan curiga. Devano tersenyum sekilas, lalu menepuk gemas dahi Kenanga. Kenanga segera menangkap tangan Devano dan menatapnya tajam. "Kenapa, Sayang?" tanya Devano tidak canggung lagi memanggil Kenanga. "Berhenti memanggilku begitu!" sahut Kenanga ketus. Alis Devano naik sebelah, lalu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Aku bukan Dion, ya. Aku suka memanggilmu begitu karena kamu bukan mereka!" sahutnya. "Hm, begitu? Kalau begitu, kenapa masih menyimpan rahasia?" tanya Kenanga. Devano terdiam. Rasanya tidak siap jika sekarang harus memberitahu Kenanga. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan karena Kenanga mulai membuka hati untuknya. Devano sudah menunggu saat seperti ini selama beberapa tahun. "Bisakah aku menyiapkan hati untuk bicara j
Devano dan dokter Hendra melewati Risma tanpa curiga. Devano masih fokus pada kertas di tangannya. Dada lelaki itu terasa sesak membaca hasil test medis miliknya. Kini, terbayang lagi sosok wanita cantik yang membuatnya kembali menemukan semangat hidup. Kenanga! Devano lantas menarik napas pelan melonggarkan dadanya."Apa kira-kira ada pendonor yang cocok dalam waktu tiga bulan ke depan, Dok?" tanya Devano pada dokter Hendra.Dokter Hendra tersenyum simpul, lalu membuka ruang kerjanya diikuti oleh Devano. Laki-laki dengan rambut sebagian berwarna putih itu, duduk di depan meja kerjanya, berhadapan dengan Devano."Dokter Devano jangan khawatir. Saya sudah menghubungi dokter spesialis di Kanada. Beliau adalah dokter hebat yang sembilan puluh persen pasien penderita leukimia bisa sembuh. Tentu saja mereka harus mau bekerja sama dan tidak keras kepala. Misalnya minum obat secara teratur!" ucap dokter Hendra seolah menyindir Devano.Devano terkekeh pelan. "Baik, Dok, saya akan lakukan mesk
"Pak Ardi akan datang sore ini, Pak!" beritahu perawat sewaan sambil mengupas apel untuk Setyo.Setyo mengangguk. "Terima kasih. Suster, saya minta tolong sekali lagi. Beritahu putri saya supaya tidak datang ke sini sore ini!""Baik, Pak. Nanti saya akan hubungi Ibu Kenanga."Pandangan Setyo menerawang ke arah jendela rumah sakit. Dari brankar, dia bisa melihat pemandangan kota. Setyo tersenyum hambar, beberapa kenangan tidak menyenangkan tiba-tiba memenuhi ruang kepalanya.Dewi Kumala, wanita cantik yang dia nikahi, lalu mendapat luka begitu dalam. Berawal dari hubungan Setyo dengan sekretaris single parents bernama Evi, lalu berlanjut pada hubungan terlarang. Pernikahan siri pun dilakukan Setyo dengan Evi yang membuat Dewi memutuskan bercerai. Namun, pernikahan itu hanya berjalan dua tahun saja karena Setyo mengetahui Evi telah mengkhianatinya. Setyo juga merasa bersalah karena meninggalkan Dewi dan Kenanga, lalu menceraikan Evi hingga perempuan itu memutuskan mengakhiri hidup ber
"Restoran Ayam Kalasan, apa maksudnya pengacara keluarga Devano menyuruhku ke sana?" gumam Kenanga masih tidak mengerti. Pasalnya, dia tidak terlalu dekat dengan keluarga Devano. Kenanga hanya mengenal Devano dan mendiang ibunya, itu pun karena Devano teman sekolah. [Paket sudah sampai? Kamu jangan bingung. Nanti sore, sopirku akan menjemputmu, Ken!] Sebuah pesan masuk dari Devano. Kenanga menarik napas pelan, masih merasa bingung. [Ada apa, sampai mengundangku secara resmi?] tanya Kenanga. [Nanti kamu tahu sendiri. Sudah, pokoknya kamu datang saja, oke!] "Awas, kamu Kak, kalau sampai macam-macam!" ucap Kenanga, lalu meninggalkan meja makan. Baru saja sebelah kakinya menginjak ubin tangga, Kenanga dikejutkan dengan kedatangan tamu tidak diundang. Dion sudah berdiri di ambang pintu menatapnya datar. "Kenapa kamu ke sini?" tanya Kenanga tidak minat. Dion tersenyum sinis sekilas, lalu mendekati Kenanga. Dia melirik ke kanan kiri memastikan tidak ada yang melihatnya. Ke
"Aku tahu, kamu tidak percaya dan pasti terkejut. Kamu tidak menyangka, kan, kalau Devano memiliki sisi licik seperti itu?" tanya Dion, lalu duduk di tepi ranjang. Tangan Dion terulur, hendak mengusap kepala Kenanga. Namun, dengan cepat Kenanga menepisnya. Bagi Kenanga, Dion dan Devano sama saja. Pengkhianat! Bodohnya, Kenanga percaya saja ketika kedua lelaki itu mengumbar kata cinta. Kenanga merasa begitu bodoh. Dia menatap tajam Dion dan menunjuk ke pintu. "Pergi kamu dari sini! Kalian sama saja. Penipu!" teriaknya sambil mendorong tubuh Dion. "Ken, ak--aku tidak bisa meninggalkan dirimu, Ken!" "Pergi! Aku tidak butuh kamu!" ucap Kenanga sembari meraih handphone. "Jika kamu tidak pergi sekarang, aku panggil security untuk mengusirmu, Dion! Pergi! Aku benci kalian semua!" Dion mengangkat kedua tangan sejajar dada. "Oke, oke. Aku pergi, tapi berjanjilah, kamu akan baik-baik saja, Ken! Aku khawatir, Ken!" "Aku tidak butuh belas kasihanmu!" bentak Kenanga. Wanita itu seger
Devano menatap layar USG dengan wajah tidak biasa. Sebagai seorang dokter obgyn, keguguran pada pasien merupakan sebuah duka tersendiri. Devano sudah banyak menangani pasien dengan berbagai latar belakang kesehatan yang berbeda.Jika pasien itu bahagia dengan kehadiran buah hati mereka, Devano juga ikut merasakan. Begitu juga sebaliknya. Devano sering merasa gagal ketika menangani pasien saat kehilangan janin yang dinantikan."Dokter ..." Seorang perawat menyentak lamunan Devano."Kita harus melakukan kuret, Sus!" ucapnya lemah.Devano menatap wajah Kenanga dan menyentuh pelan pipi wanita itu. Dengan lembut digenggamnya jemari tangan Kenanga."Ken, maafkan aku tidak bisa menolongmu. Maafkan aku," ucap Devano lirih.Sebelum melakukan tindakan selanjutnya, Devano juga memberitahu Dion. Dion memutar kemudi dan urung pulang ke apartemen Risma. Dia pun segera melajukan mobil dengan cepat menuju rumah sakit."Kenapa bisa terjadi, Dev?"Devano tersenyum satu sudut dan mendorong dada Dion. "S
"Kenapa kalian diam? Kuret, jadi aku ..."Seketika, pandangan Devano dan Dion beralih pada Kenanga di atas tempat tidur. Tampak wanita itu menatap mereka bergantian dengan nanar. Perlahan, tangan Kenanga bergerak ke arah perut dan mengusapnya. Ada rasa pilu mendalam dengan kabar buruk itu. Janin yang ditunggunya kini telah tiada."Ken, kamu tenang dulu. Aku jelaskan pelan-pelan, ya?" ucap Devano. Dia segera mendekati Kenanga disusul perawat dan Dion. Pandangan Kenanga berubah tajam pada Devano. "Kenapa kamu ambil anakku, Devano?" tanyanya sinis. Lalu, dia berganti menatap Dion. "Dan kamu, puas kan melihatku hancur seperti ini?" Jari telunjuk Kenanga mengarah pada wajah Dion."Aku memang bersalah, Ken. Tapi aku tidak menyangka jika kamu gagal menjaga anak kita!" sahut Dion tidak kalah kecewa.Devano langsung menatap Dion. "Tidak bisakah kamu berkaca, Yon? Suster, tolong ajak keluar orang ini! Kita pindahkan pasien ke kamar perawatan!" ucapnya."Saya bisa keluar sendiri!" sahut Dion, l
Langkah Devano terhenti di depan ruang perawatan Setyo. Tanpa pikir panjang, laki-laki muda itu mengetuk pintu dan membukanya pelan. Devano tersenyum senang melihat keadaan Setyo yang sudah membaik."Selamat ya, Om. Hari ini saya dengar Om sudah boleh pulang!" ucap Devano ramah. Dia tersenyum getir mengingat kemungkinan ini terakhir kali bertemu Setyo secara sengaja. Devano berjanji tidak lagi menemui Kenanga karena wanita itu sangat membencinya.Setyo menatap Devano dalam. "Dokter, boleh saya bertanya sesuatu?" tanyanya ragu.Kening Devano mengernyit, tetapi tidak urung dia mengangguk. Devano duduk di sofa, menyatukan jari-jarinya di atas pangkuan. Di depannya, sikap Setyo sedikit aneh. "Ada apa, Om?" tanya Devano penasaran.Setyo menarik napas pelan. "Apa benar Dokter mencintai Kenanga?" tanyanya to the point.Devano langsung terdiam. Pertanyaan itu sulit dijawab. Jujur, rasa cinta pada Kenanga begitu besar. Namun, Devano sadar tidak boleh terlalu dalam menambatkan harapan pada Ke
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand