Setyo meringis. Tangannya memegang dada dengan kuat. "Ken ... ""Papa! Suster, tolong Papa!" pinta Kenanga panik.Apalagi, dilihatnya wajah sang papa yang pucat. Bibir Setyo tampak kering. Tim dokter berhamburan datang, lalu meminta Kenanga dan Bi Sumi meninggalkan ruangan. Dengan langkah berat, Kenanga menunggu di luar dengan cemas.Kecemasan Kenanga semakin menjadi ketika para perawat mendorong brankar Setyo, didampingi para dokter. Entah mereka membawa Setyo ke ruangan apa. Kenanga hanya bisa pasrah dengan tubuh lunglai mengikuti papanya.Tibalah mereka di depan ruang ICU. Kenanga mondar-mandir di situ dengan perasaan sangat kacau. Dia tertunduk lunglai di kursi ruang tunggu.Detik berlalu berganti menit. Hingga hampir satu jam belum ada kabar Setyo di dalam sana. Bi Sumi mengusap-usap punggung Kenanga dan menyandarkan kepala di bahu Kenanga. Tampak dua orang itu saling menguatkan.Tepat satu jam lewat dua belas menit, seorang dokter berpakaian scrub membuka pintu dengan wajah tert
Mendengar suara pecahan kaca, Dion segera berlari dan memeluk Kenanga dari belakang. Wanita itu termangu sejenak, lalu tertawa mengejek."Hei, apa kamu juga akan bertindak seperti dewa penolongku?" "Kenanga, astaga ..."Dion memutar tubuh Kenanga, lalu mengusap lelehan air di pipi istrinya. Kenanga menatapnya kosong dan tidak bereaksi apa pun."Dion, katakan padaku, apa benar Allah itu Maha Penolong?" tanya Kenanga parau.Dion tertegun. Allah? Dia tidak terlalu dekat dengan Allah. Jangankan menyebut asma Pemilik Kehidupan itu, bahkan untuk shalat saja tidak mesti seminggu sekali. Apalagi semenjak hubungannya dengan Kenanga di ambang perceraian. Kenanga kembali tertawa mengejek. "Kenapa, kamu juga tidak percaya, kan?" "Ken, itu tidak benar!" sahut Dion."Kalau begitu, kenapa Allah tidak menolong Papa dari godaan pelakor, kenapa Allah tidak menolong Mama dari kecelakaan brutal itu? Dan sekarang, kenapa Allah tidak menolongku, ketika semua orang yang aku percaya menjatuhkanku ke juran
"Jangan lakukan itu, Yon! Bukankah kamu mencintai Kenanga? Kenapa kamu lakukan itu, apa salah Kenanga padamu, Yon?" tanya Dewi parau.Dion mendekati Dewi dan memegang jemari keriput itu. Sedangkan Risma menatap interaksi keduanya dengan tatapan penuh kebencian. Dion paham jika tujuan Risma menyekap ibunya Kenanga selama berbulan-bulan itu untuk membalas dendam pada Kenanga. Risma menganggap kematian Evi adalah kesalahan Dewi. Dewi menarik tangannya dari Dion. "Maafkan saya, Ma!" ucap Dion lirih, lalu meminta Risma dan kedua orang bayaran itu meninggalkan ruangan.Dengan memberengut, Risma menurut, lalu menunggu di sofa ruang tamu. Dia menatap kedua anak buahnya, lalu melirik ke dalam sana."Kalian harus waspada dengan Dion. Jangan sampai dia menggagalkan rencanaku. Kalian paham?" ucap Risma."Paham, Nyonya!" "Bagus!" sahut Risma lalu meninggalkan tempat itu dengan hati masygul karena rencananya kembali dicegah oleh Dion."Ma, saya tidak punya pilihan. Saya harus setuju menceraikan K
Kenanga menatap kedua dokter di depannya dengan tidak nyaman. Namun, lagi-lagi dokter Kartika tersenyum menenangkan. Dia mengusap lengan Kenanga, lalu melirik dokter Devano."Jangan khawatir. Dokter Devano sangat profesional. Beliau senior saya. Selamat bertugas, Dokter!" ucap dokter Leni, lalu melangkah meninggalkan ruangannya.Kenanga memejamkan mata sembari menarik napas panjang. Sejenak, Devano terlihat canggung. Namun, dia harus profesional dan mengesampingkan luka di hatinya. Dia mengangguk sambil mengucapkan terima kasih setelah perawat selesai menyiapkan keperluan pemeriksaan. Lalu, perawat itu kembali ke meja kerjanya untuk menyalin file yang akan dikirim ke komputer dokter Devano."Apa kabar, Ken?" tanya Devano lirih.Kenanga membuka mata dan menatapnya sekilas, lalu menatap alat-alat USG itu dengan dada berdebar. Dia mengerutkan kening ketika Devano memintanya sedikit mengangkat baju di bagian perut."Apa?" tanya Kenanga tidak nyaman.Devano tersenyum sekilas. "Ken, aku aka
Kenanga mendongak ketika Bi Sumi mengusap punggungnya. "Ayo, Neng! Kok malah nangis di sini, gimana HP-nya ketemu tidak?" tanya wanita itu."I-iya, Bi. Sudah ketemu!" jawab Kenanga sambil mengusap air matanya. "Ken hanya berpikir, Bi. Mungkin dalam minggu ini statusku sudah beda. Janda, status yang dihindari semua wanita," lanjutnya tersenyum miris.Bi Sumi ikut tersenyum getir. "Neng, kita tidak tahu apa yang disesalkan hari ini, dan dianggap sebagai aib, barangkali suatu saat akan kita syukuri. Jadi, jangan berprasangka buruk pada Allah atas segala rencananya, ya!" ucapnya bijak.Kenanga mengangguk, lalu berdiri dan mensejajari langkah Bi Sumi. Kemudian mereka memasuki lift. Beberapa detik kemudian, pintu baja itu kembali terbuka. Maka, masuklah sepasang petugas medis. Seorang pria dan wanita muda dengan pakaian scrub biru langit.Sangat serasi.Mereka berbincang serius sambil sesekali diselingi tawa ringan. Ingatan Kenanga langsung tertuju pada Devano. Laki-laki itu pasti juga sang
“Jadi, sebelum ini Papa menyetujui kontrak baru dengan pabrik konveksi di Malaysia?” tanya Kenanga pada manager keuangan kantornya. Laki-laki itu mengangguk. “Benar, dan Pak Dion sudah mengingatkan Bapak, tapi Bapak bersikeras. Saya rasa ini …” Laki-laki itu menghentikan ucapannya dengan ragu. “Ini apa, Pak?” kejar Kenanga mulai penasaran.Dia harus mengetahui penyebab PT Chis Garment memiliki banyak hutang. Kenanga memijit pelipisnya gusar. Dia memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi situasi di perusahaan. Selama ini Kenanga hanya fokus pada karirnya sendiri di bidang fashion.Kenanga bingung harus minta bantuan siapa untuk menghadapi situasi sulit di perusahaan keluarganya. Meskipun Kenanga tidak memiliki basic management keuangan, dia akan berusaha menyelamatkan perusahaan milik almarhum mamanya itu.“Pengacara keluarga Kak Devano,” gumam Kenanga. Sejenak dia menggigit bibir bingung. “Tapi kalau aku minta bantuan padanya, Kak Devano akan salah paham lagi! Minta bantuan Dion ju
Dion menatap tajam Risma. Jujur, dia sudah muak dengan semua tingkah Risma yang di luar batas. Namun, Dion tidak ingin bertindak kasar pada wanita itu. Dion sudah kehilangan bayi dalam kandungan Kenanga. Tentu dia tidak ingin kehilangan bayi dalam kandungan Risma. Biarpun Risma wanita yang memiliki sifat temperamen, Dion masih berusaha melindungi Risma demi bayi itu. Ya, hanya demi calon anaknya. “Yon, bukankah kamu juga sudah menyetujui aku melakukan apa pun asal perempuan itu masih hidup?” Risma mulai meragukan kesetiaan Dion. “Aku memang setuju, tapi tidak untuk menyiksa Mama Dewi. Bagaimanapun, Mama Dewi adalah perempuan yang berjasa dalam hidupku. Tanpa Mama Dewi, bapak sama ibuku tidak punya tempat tinggal, Ris. Jadi, aku mohon hilangkan semua dendammu supaya Tante Evi tenang di sana!” Tawa Risma langsung meledak mendengar nasihat memuakkan dari Dion. Dia menatap Dion nanar, lalu mengusap perutnya yang berisi janin lima bulan. “Seandainya aku tidak mengandung, sudah p
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand