Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa Azalea, suasana di rumah Lauren menjadi begitu hening dan penuh duka. Aroma samar bunga melati yang dipasang di sudut ruangan memenuhi udara, membuat kesedihan semakin terasa mendalam. Lauren duduk di sofa dengan tatapan kosong, menggenggam foto Azalea di tangannya. Fiona yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan sang ibu, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kesedihan.William berdiri di dekat jendela, memperhatikan Fiona dan Lauren dalam keheningan. Ezra, yang masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan, duduk di pangkuan Fiona dengan wajah polosnya. Sesekali ia menatap ibunya dan neneknya, seakan bertanya mengapa mereka begitu sedih.“Mama… kenapa nenek menangis?” tanya Ezra dengan suara lembut, membuat Fiona menggigit bibirnya, menahan tangis.Fiona mengusap kepala Ezra dan tersenyum lemah. “Karena nenek kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi, sayang.”Ezra menatap Fiona dengan bingung. “Seperti saat aku kehilangan mainanku?”
Nessa Griselda mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru saja terbebas dari kain hitam yang menutup wajahnya. Cahaya remang dari lampu di ruangan itu membuatnya menyipit, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi sekitar. Punggungnya terasa nyeri akibat lemparan kasar yang baru saja dialaminya. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya terkulai dengan wajah sedikit berdarah di sudut bibirnya. "Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencuri uang Anda!" Suara pria itu gemetar, tangannya terikat, tubuhnya bergetar dengan tatapan penuh ketakutan.Nessa menoleh, menatap pria paruh baya itu—pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tubuh pria itu terguncang saat salah satu anak buah pria yang duduk di sofa menendangnya hingga ia tersungkur.“Ahh… Paman!” teriak Nessa.“Apa yang kalian lakukan—Emmm…” Nessa tidak dapat melanjutkan perkataannya. Salah satu anak buah pria itu segera membungkam mulutnya karena dianggap terlalu berisik.Nessa hanya bisa menangisi pamannya dengan mulu
Crack! Pranggg!Pecahan kaca berhamburan di lantai."Fiona, hentikan!" ucap pria paruh baya dengan nada tegas."Aku tidak akan menghentikan semua ini sampai Ayah menarik kembali apa yang Ayah katakan. Kau tahu, Ayah! Aku tidak suka dengan leluconmu ini!" teriak seorang gadis yang masih berusia 18 tahun. Dia terlihat sangat marah. Jelas saja, dia begitu marah ketika baru saja bangun tidur dari mimpi indahnya semalam. Namun, saat bangun, dia harus mengalami mimpi buruk.Masa depan yang Fiona bayangkan akan begitu indah setelah lulus sekolah ternyata sia-sia. Dia harus menikah dengan seorang pria yang terpaut umur jauh lebih tua darinya. Bahkan Fiona tidak mengenal pria itu."Ayah tidak bisa menarik apa yang Ayah katakan sebelumnya. Kamu memang telah resmi menikah dengan Tuan William Stefanus Thene. Ayah telah menikahkan kalian berdua semalam. Sekarang, kau pergilah ke rumahnya dan tinggal di sana menjadi istrinya," ucap Fawzi Sanjaya, ayah Fiona, dengan tegas.“Bagaimana bisa Ayah menik
Fiona yang sedang berada di lantai dua, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seseorang yang ada di belakangnya."Apa kau sedang menyebar pesona?" kata William, membuat Fiona terkejut."Hah! Kau membuatku terkejut! Bagaimana jika aku terjatuh dari atas balkon ini?!" teriak Fiona dengan suara nyaring.Gadis itu benar-benar terkejut setengah mati karena dia sedang berusaha untuk meraih salah satu buah anggur yang menjalar di atas balkon. Tubuhnya tidak bisa menggapainya, sehingga Fiona mencoba naik ke atas kursi demi meraih buah anggur kesukaannya. Meskipun Fiona sudah memakan beberapa buah anggur itu langsung dari pohonnya, dia ingin meraih buah yang lebih tinggi dan lebih besar.William sama sekali tidak peduli dengan kata-kata Fiona. "Turun!" perintahnya, menyuruh Fiona untuk turun dari atas kursi.William, yang sebelumnya memperhatikan Fiona dari balik CCTV, sangat dikejutkan dengan tingkah istrinya yang seperti anak kecil. Meskipun William tahu bahwa istrinya masih sangat muda, ia khawat
"Hah! Tidak, aku tidak mau memandikanmu. Kamu bukan bayi, untuk apa aku memandikanmu? Kamu juga bukan mayat!" seru Fiona sambil langsung membekap mulutnya, memandang ke arah William yang memperlihatkan wajah tidak senang."Ups!"'Astaga, Fiona, kenapa kamu menyebutnya mayat? Lihatlah tatapannya seperti ingin menerkammu,' pikir Fiona dalam hatinya."Kamu bicara apa tadi? Kemari!" ujar William sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Fiona mendekat."Euh… tidak ada, aku tidak bicara apapun! Jika kamu ingin mandi, aku akan memanggil salah satu pembantumu," Fiona hendak berjalan untuk memanggil pembantunya, tetapi William menghentikan langkah kakinya."Cepat kemari!" Suara William mulai terdengar marah."I'm sorry, baby! Perutku tidak dapat dikondisikan untuk saat ini, aku lapar dan harus segera pergi untuk makan," ucap Fiona berbohong, demi menghindari William, karena bagaimana mungkin dia memandikan pria itu.Fiona dibuat gelisah, dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi, aka
Fiona masih belum menyadari bahwa keenam pria itu sedang menyapanya karena dia tidak mengenal mereka.“Astaga… Siapa yang kalian sebut 'Nyonya muda'? Aku belum menikah, tidak pantas disebut seperti itu,” tanya Maya.“Aku juga belum,” ucap Adel.Mata keenam pria itu tertuju pada Fiona, yang menatap balik dengan tatapan tajam. Sekarang Fiona menyadari bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemputnya.“Sepertinya kalian keliru, seharusnya memanggilku 'Nona muda', paham?” Fiona ingin memastikan kedua temannya tidak salah paham, sehingga dia segera memperbaiki perkataan keenam anak buah William yang sengaja diperintahkan untuk menjemput Fiona saat jam istirahat. “Maaf, Nona muda. Tuan-” belum selesai salah satu dari mereka berbicara, Fiona segera menghentikan perkataannya.“Stop! Kalian tak perlu mengucapkan apapun lagi, pergilah! Aku akan menyusul kalian nanti,” Fiona menyuruh mereka untuk pergi.“Aku harus pergi, kita akan melanjutkan cerita nanti!” tanpa menunggu jawaban dari Maya dan
Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona."Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa.Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel.Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya."Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh."Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam la
Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
Nessa Griselda mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru saja terbebas dari kain hitam yang menutup wajahnya. Cahaya remang dari lampu di ruangan itu membuatnya menyipit, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi sekitar. Punggungnya terasa nyeri akibat lemparan kasar yang baru saja dialaminya. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya terkulai dengan wajah sedikit berdarah di sudut bibirnya. "Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencuri uang Anda!" Suara pria itu gemetar, tangannya terikat, tubuhnya bergetar dengan tatapan penuh ketakutan.Nessa menoleh, menatap pria paruh baya itu—pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tubuh pria itu terguncang saat salah satu anak buah pria yang duduk di sofa menendangnya hingga ia tersungkur.“Ahh… Paman!” teriak Nessa.“Apa yang kalian lakukan—Emmm…” Nessa tidak dapat melanjutkan perkataannya. Salah satu anak buah pria itu segera membungkam mulutnya karena dianggap terlalu berisik.Nessa hanya bisa menangisi pamannya dengan mulu
Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa Azalea, suasana di rumah Lauren menjadi begitu hening dan penuh duka. Aroma samar bunga melati yang dipasang di sudut ruangan memenuhi udara, membuat kesedihan semakin terasa mendalam. Lauren duduk di sofa dengan tatapan kosong, menggenggam foto Azalea di tangannya. Fiona yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan sang ibu, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kesedihan.William berdiri di dekat jendela, memperhatikan Fiona dan Lauren dalam keheningan. Ezra, yang masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan, duduk di pangkuan Fiona dengan wajah polosnya. Sesekali ia menatap ibunya dan neneknya, seakan bertanya mengapa mereka begitu sedih.“Mama… kenapa nenek menangis?” tanya Ezra dengan suara lembut, membuat Fiona menggigit bibirnya, menahan tangis.Fiona mengusap kepala Ezra dan tersenyum lemah. “Karena nenek kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi, sayang.”Ezra menatap Fiona dengan bingung. “Seperti saat aku kehilangan mainanku?”
Lauren yang masih terkejut dengan pengakuan Fiona menunjuk ke dalam rumah. "Dia ada di kamarnya."Tanpa membuang waktu, Fiona segera menarik tangan William dan membawanya masuk. Mereka berjalan dengan cepat melewati ruang tamu menuju kamar Ezra. Fiona merasa jantungnya berdebar kencang, dia ingin segera mempertemukan William dengan anaknya.Namun, ketika Fiona membuka pintu kamar Ezra, matanya langsung membesar. Ruangan itu kosong.Tidak ada Ezra di tempat tidur, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Selimut yang biasanya tersusun rapi kini berantakan, dan jendela kamar terbuka sedikit."Ezra?" Fiona memanggil panik.William yang berdiri di belakangnya merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, sebelum dia bisa ikut mencari, tangannya terangkat dan menggenggam pergelangan tangan Fiona, menghentikan gerakannya."Fiona, apa maksudmu tadi?" William bertanya dengan nada tajam. "Bukankah pria yang bernama Ezra adalah kekasihmu? Lalu sekarang kau bilang dia anakku?"Fiona menutup matanya, berusa
Fiona menutup matanya dan menyentuhkan bibirnya pada bibir William. Seketika William membalas ciuman itu semakin dalam. William merengkuh pinggang Fiona, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Tangan pria itu meraba punggung Fiona, merasakan kehangatan tubuh istrinya yang begitu ia rindukan."Aku juga mencintaimu, William,” gumam Fiona di sela ciuman mereka. Pengakuan itu membuat William semakin kehilangan kendali. Ia menindihnya dengan penuh hasrat.Fiona yang semula masih menolak, kini tidak bisa menahan diri lagi. Dia membiarkan William menyentuhnya, membiarkan pria itu mengklaimnya kembali. Mereka larut dalam gairah, seakan ingin melupakan segala masalah yang ada di antara mereka. ****Di tempat lain, di sebuah kios es krim, Lauren duduk dengan gelisah. Ia sesekali melirik ke arah jam tangan, lalu melihat Ezra yang duduk di sampingnya dengan ekspresi bosan. Anak itu menggoyangkan kakinya dengan tidak sabar."Nenek, kenapa Ibu belum datang juga? Aku ingin pulang,"
Ciuman itu begitu menuntut, seolah William ingin menyalurkan semua emosi yang telah lama ia pendam. Rindu yang bertahun-tahun tertahan, kemarahan karena kepergian Fiona, dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang—semuanya meledak dalam satu ciuman yang membius.Fiona mulai kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Jemarinya yang awalnya ingin mendorong William kini justru mencengkeram kemeja pria itu, gemetar di antara genggamannya. Namun, saat pikirannya mulai hanyut dalam perasaan yang bercampur aduk, kesadarannya kembali.Dengan sekuat tenaga, Fiona memukul dada William, memaksa pria itu untuk melepaskan ciumannya."Jangan!" serunya dengan napas memburu.William akhirnya melepaskan Fiona, tetapi tangannya tetap menahan pinggang wanita itu, seakan tidak rela berpisah. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang mendebarkan."Dasar mesum," bisik Fiona, matanya berkaca-kaca.William tersenyum miring, jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri, merasakan jejak ciuman mereka. "Benarkah?" t
Setelah lama saling melepas rindu dengan ibunya, Fiona kini berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Kata-kata ibunya masih terngiang di telinganya."Ada banyak orang yang terus mencarimu."Fiona menggigit kuku ibu jarinya, kebiasaan lamanya saat merasa cemas. Dalam hatinya, muncul pertanyaan yang selama ini ia hindari."Apakah William mencariku?"Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana jika William benar-benar mencarinya? Bagaimana jika dia tahu tentang Ezra? Apakah William akan mencoba mengambil Ezra darinya?Fiona menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, jauh di dalam hatinya, Fiona tidak bisa menutupi rasa rindunya pada pria itu.Keesok harinya Fiona dan ibunya, Lauren, memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke mal. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Lauren ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan putrinya dan cucunya, Ezra. Sementara itu, di tempat lain, William akhirnya tiba di
Limat tahun kemudian di bandara Italia, Fiona turun dari pesawat dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun di sampingnya. Wajahnya berseri-seri saat dia menggandeng tangan anaknya, Ezra. Meski sudah menjadi seorang ibu, Fiona masih tampak muda dan cantik, seolah waktu tidak mengubahnya sedikit pun. Bahkan, jika dilihat sekilas, orang mungkin akan mengira Ezra adalah adiknya, bukan anaknya.Fiona dan Ezra berjalan dengan langkah ringan menuju area kedatangan. Perjalanan Fiona ke Italia adalah untuk menemui ibunya, Lauren, yang sudah lama tidak ditemuinya. Fiona merasa sedikit gugup, tapi juga bahagia. Dia ingin memperkenalkan Ezra kepada neneknya dan berharap ibunya bisa menerima mereka dengan hangat, setelah bertahun-tahun tanpa kabar.Saat mereka berjalan di trotoar dekat rumah ibunya, Fiona tiba-tiba melihat sosok Lauren yang baru saja pulang dari suatu tempat, ibunya terlihat sudah mulai menua. Dengan cepat, dia berlutut di samping Ezra dan tersenyum lembut. “Sayan
Alvaro berjalan memasuki kantor William dengan ekspresi serius. Begitu dia sampai di lobi, seorang resepsionis mencoba menahannya, tetapi dia hanya melirik tajam sebelum melanjutkan langkahnya. Hari ini, Alvaro datang bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Sesampainya di ruang kantor William yang luas dan mewah, Alvaro duduk di sofa sambil menunggu. Dia menatap sekeliling, memperhatikan desain interior yang elegan dan mahal. Ruangan itu begitu tenang, hanya suara jam dinding yang terdengar samar. Alvaro menghela napas, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang Fiona yang sudah lama tidak dilihatnya di sekolah. Ia baru mengetahuinya jika gadis itu pergi setelah pulang dari rumah sakit. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. William melangkah masuk dengan setelan jasnya yang rapi, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai rapat. Begitu melihat Alvaro, dia mengerutkan kening. "Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, langsung ke intinya sam
William memijat pelipisnya yang berdenyut setelah Azalea pergi dari ruangannya. Ia segera memerintahkan seseorang untuk mengawasi pergerakan Azalea, berharap wanita itu mengetahui keberadaan Fiona.Baru saja ia hendak kembali fokus pada pekerjaannya, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk," ucapnya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka perlahan, menampilkan seorang wanita yang penampilannya tak jauh berbeda dari Azalea."William, aku dengar istrimu pergi?" Aileen langsung bertanya tanpa basa-basi.William menoleh sekilas dan menatapnya dingin. "Lalu? Apa urusannya denganmu?" ucapnya tajam, membuat Aileen merasa tersinggung."Hm... Aku hanya mengkhawatirkanmu," jawabnya santai. "Aku baru pulang dari luar negeri dan mendengar kabar ini."William tertawa kecil, terdengar meremehkan. "Apa kalian berdua sedang bermain sandiwara? Kau datang ke sini setelah Azalea pergi, seolah ingin membujukku."Aileen mengerutkan kening, tidak mengerti maksud perkataan William. "Apa maksudmu?"