Hari berikutnya, Alvaro mulai bergabung dengan Fiona dan kedua temannya, Adel dan Maya.Awalnya, suasana terasa canggung, tetapi Alvaro segera menyesuaikan diri.Di kantin, mereka terlihat tertawa bersama. Adel dan Maya, yang awalnya tidak biasa terhadap Alvaro, mulai menyukai kehadiran pria itu. Candaan Alvaro sering kali membuat mereka tertawa terbahak-bahak, dan suasana menjadi lebih ceria.Namun, ada satu orang yang tidak menyukai kedekatan mereka. Juwita, yang dulu menganggap dirinya dekat dengan Alvaro, kini merasa terabaikan. Sejak Alvaro kehilangan jabatannya sebagai Ketua OSIS, hubungan mereka semakin renggang. Alvaro tidak lagi memperhatikannya seperti dulu, dan kini malah terlihat bahagia bersama Fiona dan teman-temannya.Di sudut kantin, Juwita hanya mengaduk-aduk makanan nya dan terus memperhatikan mereka dengan tatapan iri dan kesal. Tangannya mengepal erat setiap kali melihat Alvaro tertawa dengan Fiona dan kedua temannya. "Dia benar-benar melupakanku," gumam Juwita de
Fiona memutuskan untuk mencari Alvaro karena rasa penasarannya, di temani Adel dan Maya.Ia menemukannya di kantin, duduk sendirian sambil memainkan ponselnya."Alvaro," panggil Fiona dengan nada serius.Alvaro menoleh dan tersenyum kecil. "Ada apa, Fiona?""Kau tahu soal video itu, kan?" tanya Fiona langsung. Alvaro mengangguk. "Tentu saja aku tahu. Sulit untuk tidak mengetahuinya-orang-orang terus membicarakannya.""Ya, dan sebagian orang mengira kita berdua..." Fiona menghentikan ucapannya sejenak, menarik napas. "Padahal, aku tidak melakukannya. Ini tidak bisa dibiarkan," katanya dengan wajah cemberut.Alvaro mengangguk. "Biarkan saja mereka termakan rumor, aku tahu itu bukan kau. Dilihat dari jari tanganmu saja, sudah jelas itu bukan kamu, Fiona."Adel dan Maya langsung memegang tangan Fiona dan membandingkannya dengan video rekaman tersebut. Fiona memutar bola matanya dengan malas, membiarkan kedua temannya mencari tahu perbedaan tersebut. "Apa kalian tidak percaya padaku?" ta
Fiona merasa ada sesuatu yang salah. Namun, ia tetap mendekati William dengan senyum manis. Ia duduk di atas pangkuan pria itu, melingkarkan kedua tangannya di pundaknya.“William,” ucapnya lembut. “Aku membutuhkan bantuanmu.”William menatap Fiona tajam. “Sudah kuduga. Setiap kali kau bersikap manis, pasti ada sesuatu yang kau inginkan.” Nada suaranya terdengar sinis, membuat Fiona terkejut.“Apa maksudmu?” tanya Fiona bingung.William menyingkirkan tangan Fiona dari pundaknya. “Aku sibuk. Kalau kau butuh bantuan, mintalah pada kekasihmu,” ucapnya dengan dingin.Kata-kata itu membuat Fiona terdiam, sekaligus bingung. Seketika bibirnya tersenyum lebar dan mengira William cemburu padanya. “William, apa kau mulai cemburu padaku?” tanyanya mencoba menggoda.William tidak menjawab. Ia mengangkat tubuh Fiona dari pangkuannya dan menurunkannya ke atas ranjang sedikit kasar. “Aku tidak punya waktu untuk membahas yang tidak penting,” ucapnya sebelum berjalan keluar dari kamar.Fiona hanya bi
Fiona memasuki rumah mewah yang sudah cukup lama ditempatinya, ia baru saja pulang dari rumah Adel. Fiona mendudukkan dirinya di ruang tamu sambil memandangi televisi yang menyala. Tiba-tiba dia terkejut dengan kedatangan William, Fiona segera bangkit dan tersenyum padanya. William terlihat begitu datar, seakan tak menganggap Fiona ada di sana.“William, apa kau ingin aku membuatkan teh?” tanyanya dengan nada ceria.“Tidak perlu,” jawab William tanpa ekspresi.Fiona menghela napas, lalu mencoba berjalan ke arahnya. “Kau tahu, hari ini Adel bilang aku terlihat semakin cantik. Apa kau–” belum selesai Fiona berucap, William sudah memotongnya. “Jika kau sudah selesai bicara, aku ingin istirahat.” William berhenti sejenak, menatap Fiona dengan tatapan datar.Fiona terdiam. Kata-kata William terasa seperti tamparan baginya. Ia merasa tidak ada gunanya lagi mencoba berbicara dengan pria itu. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamarnya.Saat Fiona duduk di depan cermin, ia memandangi ba
“Aku tidak butuh bantuanmu!” Fiona berusaha berjalan menjauh, tetapi tubuhnya hampir terjatuh. Tom dengan cepat menangkapnya, memegang kedua pundaknya dengan erat.“Lihat? Aku benar-benar hanya ingin membantumu berjalan dengan benar,” katanya dengan nada pura-pura ramah. Namun, senyum di wajahnya menunjukkan niat lain.Fiona merasa sedikit nyaman dengan pegangan Tom, tetapi pikirannya tetap waspada. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya yang beraksi seperti itu.“Lepaskan aku,” desaknya sambil berusaha mendorong tubuh Tom.Namun, Tom tidak menyerah. Ia terus membujuk Fiona dengan suara lembut, mencoba membuatnya tetap di tempat.
Sudah satu jam berlalu, tetapi Fiona tidak juga keluar dari kamar mandi. William merasa cemas. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeriksa keadaannya.Saat membuka pintu kamar mandi, William tertegun. Wajah Fiona tampak pucat, dan air di dalam bak penuh dengan potongan es.Fiona sempat meminta pelayan untuk menambahkan es ke dalam bak mandinya.“Fiona!” seru William, langsung melangkah maju. Ia mengangkat tubuh Fiona dari dalam bak dengan cepat.Fiona membuka matanya sedikit, menatap William dengan lemah. “William … tubuhku masih panas. Meski sudah berendam di air es, aku tetap merasa tidak nyaman. Tapi di dekatmu … aku merasa sedikit lebih baik,” gumamnya sambil menggesekkan pi
Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Fiona yang terlihat damai.Ketika Fiona mengerjapkan matanya, William tetap menatapnya, menunggu reaksi pertama yang akan dilihatnya.Fiona membuka matanya perlahan, dan pandangan mereka bertemu. Seketika, rasa terkejut melintas di wajah Fiona.“William … apa yang kau lakukan?” tanya Fiona dengan suara terkejut, mencoba menjauh.Matanya perlahan melihat dada bidang William yang tidak memakai baju. Fiona mengedipkan matanya beberapa kali, membuat William yang melihatnya merasa gemas.Saat ia menyadari dirinya juga tidak mengenakan apa pun di bawah selimut, Fiona langsung berteriak, “Ahh! Bajuku &h
William melepaskan tautannya, menatap wajah Fiona yang semerah tomat. Ia tersenyum sambil mengusap bibir Fiona dengan lembut.Fiona tidak mengerti dengan dirinya sendiri, kenapa ia tidak menolaknya. Akhirnya ia memilih menyandarkan kepalanya di bahu William untuk menyembunyikan rasa malunya, sementara pria itu mempererat pelukannya.Angin yang berhembus lembut seolah menjadi saksi bisu dari kebersamaan mereka, menciptakan kenangan yang tidak akan mudah dilupakan.****Hari ini Fiona ingin pergi menemui teman-temannya. Ia sudah bersiap dengan pakaian kasual yang rapi.Fiona melangkah menuju pintu keluar rumah, tetapi langkah kakinya melambat keti
Fiona menutup matanya dan menyentuhkan bibirnya pada bibir William. Seketika William membalas ciuman itu semakin dalam. William merengkuh pinggang Fiona, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Tangan pria itu meraba punggung Fiona, merasakan kehangatan tubuh istrinya yang begitu ia rindukan."Aku juga mencintaimu, William,” gumam Fiona di sela ciuman mereka. Pengakuan itu membuat William semakin kehilangan kendali. Ia menindihnya dengan penuh hasrat.Fiona yang semula masih menolak, kini tidak bisa menahan diri lagi. Dia membiarkan William menyentuhnya, membiarkan pria itu mengklaimnya kembali. Mereka larut dalam gairah, seakan ingin melupakan segala masalah yang ada di antara mereka. ****Di tempat lain, di sebuah kios es krim, Lauren duduk dengan gelisah. Ia sesekali melirik ke arah jam tangan, lalu melihat Ezra yang duduk di sampingnya dengan ekspresi bosan. Anak itu menggoyangkan kakinya dengan tidak sabar."Nenek, kenapa Ibu belum datang juga? Aku ingin pulang,"
Ciuman itu begitu menuntut, seolah William ingin menyalurkan semua emosi yang telah lama ia pendam. Rindu yang bertahun-tahun tertahan, kemarahan karena kepergian Fiona, dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang—semuanya meledak dalam satu ciuman yang membius.Fiona mulai kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Jemarinya yang awalnya ingin mendorong William kini justru mencengkeram kemeja pria itu, gemetar di antara genggamannya. Namun, saat pikirannya mulai hanyut dalam perasaan yang bercampur aduk, kesadarannya kembali.Dengan sekuat tenaga, Fiona memukul dada William, memaksa pria itu untuk melepaskan ciumannya."Jangan!" serunya dengan napas memburu.William akhirnya melepaskan Fiona, tetapi tangannya tetap menahan pinggang wanita itu, seakan tidak rela berpisah. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang mendebarkan."Dasar mesum," bisik Fiona, matanya berkaca-kaca.William tersenyum miring, jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri, merasakan jejak ciuman mereka. "Benarkah?" t
Setelah lama saling melepas rindu dengan ibunya, Fiona kini berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Kata-kata ibunya masih terngiang di telinganya."Ada banyak orang yang terus mencarimu."Fiona menggigit kuku ibu jarinya, kebiasaan lamanya saat merasa cemas. Dalam hatinya, muncul pertanyaan yang selama ini ia hindari."Apakah William mencariku?"Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana jika William benar-benar mencarinya? Bagaimana jika dia tahu tentang Ezra? Apakah William akan mencoba mengambil Ezra darinya?Fiona menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, jauh di dalam hatinya, Fiona tidak bisa menutupi rasa rindunya pada pria itu.Keesok harinya Fiona dan ibunya, Lauren, memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke mal. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Lauren ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan putrinya dan cucunya, Ezra. Sementara itu, di tempat lain, William akhirnya tiba di
Limat tahun kemudian di bandara Italia, Fiona turun dari pesawat dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun di sampingnya. Wajahnya berseri-seri saat dia menggandeng tangan anaknya, Ezra. Meski sudah menjadi seorang ibu, Fiona masih tampak muda dan cantik, seolah waktu tidak mengubahnya sedikit pun. Bahkan, jika dilihat sekilas, orang mungkin akan mengira Ezra adalah adiknya, bukan anaknya.Fiona dan Ezra berjalan dengan langkah ringan menuju area kedatangan. Perjalanan Fiona ke Italia adalah untuk menemui ibunya, Lauren, yang sudah lama tidak ditemuinya. Fiona merasa sedikit gugup, tapi juga bahagia. Dia ingin memperkenalkan Ezra kepada neneknya dan berharap ibunya bisa menerima mereka dengan hangat, setelah bertahun-tahun tanpa kabar.Saat mereka berjalan di trotoar dekat rumah ibunya, Fiona tiba-tiba melihat sosok Lauren yang baru saja pulang dari suatu tempat, ibunya terlihat sudah mulai menua. Dengan cepat, dia berlutut di samping Ezra dan tersenyum lembut. “Sayan
Alvaro berjalan memasuki kantor William dengan ekspresi serius. Begitu dia sampai di lobi, seorang resepsionis mencoba menahannya, tetapi dia hanya melirik tajam sebelum melanjutkan langkahnya. Hari ini, Alvaro datang bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Sesampainya di ruang kantor William yang luas dan mewah, Alvaro duduk di sofa sambil menunggu. Dia menatap sekeliling, memperhatikan desain interior yang elegan dan mahal. Ruangan itu begitu tenang, hanya suara jam dinding yang terdengar samar. Alvaro menghela napas, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang Fiona yang sudah lama tidak dilihatnya di sekolah. Ia baru mengetahuinya jika gadis itu pergi setelah pulang dari rumah sakit. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. William melangkah masuk dengan setelan jasnya yang rapi, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai rapat. Begitu melihat Alvaro, dia mengerutkan kening. "Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, langsung ke intinya sam
William memijat pelipisnya yang berdenyut setelah Azalea pergi dari ruangannya. Ia segera memerintahkan seseorang untuk mengawasi pergerakan Azalea, berharap wanita itu mengetahui keberadaan Fiona.Baru saja ia hendak kembali fokus pada pekerjaannya, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk," ucapnya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka perlahan, menampilkan seorang wanita yang penampilannya tak jauh berbeda dari Azalea."William, aku dengar istrimu pergi?" Aileen langsung bertanya tanpa basa-basi.William menoleh sekilas dan menatapnya dingin. "Lalu? Apa urusannya denganmu?" ucapnya tajam, membuat Aileen merasa tersinggung."Hm... Aku hanya mengkhawatirkanmu," jawabnya santai. "Aku baru pulang dari luar negeri dan mendengar kabar ini."William tertawa kecil, terdengar meremehkan. "Apa kalian berdua sedang bermain sandiwara? Kau datang ke sini setelah Azalea pergi, seolah ingin membujukku."Aileen mengerutkan kening, tidak mengerti maksud perkataan William. "Apa maksudmu?"
Ketika masih dalam perjalanan ponselnya bergetar. Nama Max tertera di layar. Dengan cepat, William mengangkatnya."Tuan, kami menemukan sesuatu. Fiona membeli tiket di bandara."Jantung William berdegup kencang. "Ke mana?""Tujuan ke Italia, Tuan. Sepertinya dia ingin pergi ke rumah ibunya. Tapi…” Max belum selesai memberitahu William, tetapi teleponnya sudah di matikan lebih dulu.Tanpa membuang waktu lagi William menambah kecepatan tinggi menuju bandara. Di perjalanan, pikirannya dipenuhi perasaan bercampur aduk. Mengapa Fiona tiba-tiba pergi? Apa karena dia? William mengingat kembali kata-katanya sendiri. Apakah itu yang membuat Fiona memilih pergi tanpa memberitahunya? Atau ada alasan lain yang belum diketahui?Sesampainya di bandara, William langsung masuk ke dalam gedung terminal dengan langkah tergesa-gesa. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok Fiona di antara kerumunan penumpang yang berlalu-lalang.Matanya mencari dengan panik. Sesekali ia mendekati beberapa wanita
Fiona duduk di dalam taksi, meninggalkan mobilnya di kantor William, pikirannya begitu berkecamuk. Hatinya terasa sesak, seolah dihimpit oleh sesuatu yang tidak terlihat. Azalea telah kembali bersamanya. Jadi, apakah ini akhirnya aku telah bebas? Tetapi kenapa begitu menyakitkan.Tangan Fiona perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. Akan ada kehidupan yang segera tumbuh di dalam rahimnya, tetapi sang ayah bahkan belum tahu. Fiona tiba-tiba teringat kembali kata-kata William. "Sampai kakakmu kembali, kita tidak akan bercerai.” Sekarang kakaknya telah kembali, William mungkin akan menceraikannya. Pernikahan mereka memang hanya sebuah kesepakatan. Tidak ada cinta. Tidak ada janji sehidup semati. William tidak pernah mengucapkan kata ‘cinta’ padanya, bahkan setelah semua yang mereka lalui bersama.Air mata Fiona menggenang. Hidupnya terasa begitu menyedihkan. Masalah datang bertubi-tubi tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas.Fiona menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri
Fiona merebahkan tubuhnya di ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kasur yang terasa begitu nyaman. Rasa lelah masih menyelimuti dirinya, dan pikirannya kacau. Ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak William.Pintu kamar terbuka, suara roda kursi William bergeser mendekatinya. Pria itu baru saja pulang kerja, jasnya masih terpasang rapi di tubuhnya, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Begitu melihat Fiona yang terbaring diam dengan mata setengah tertutup, William segera memajukan kursi rodanya, mendekati ranjang.“Fiona?” panggilnya, suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit kekhawatiran di dalamnya.Fiona tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas pelan dan menutup matanya sejenak. Ia tak ingin berbicara. Tak ingin menjelaskan apa pun. “Kau sakit?” tanyanya lagi, kini dengan nada yang lebih serius.Fiona menggeleng tanpa membuka matanya. “Aku baik-baik saja, hanya ingin tidur,” jawabnya dengan suara lirih.William diam