"Boleh-boleh buat nambah cucu!" seru ibu. Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti, lalu beralih menatap Mas Zaki lagi. Dia menyeringai aneh, tetapi aku berusaha mengulum senyum semanis mungkin. Bagaimana mungkin dia bisa memberiku nafkah batin dalam keadaannya yang seperti itu? Ataukah selama ini dia hanya pura-pura lumpuh dan hanya ibu yang tahu? Ibu memegang tanganku lembut. Ketika menoleh padanya, dia berkata, "jangan meragukan kemampuan suamimu. Percayalah, dia masih bisa melakukan itu!" "Tentu saja, Bu," balasku. Sekalipun masih bingung bagaimana caranya, aku akan selalu memasang wajah bahagia agar Mas Zaki tidak tersinggung. Dia lumpuh, rasanya sulit untuk melakukan hubungan itu. Aku kembali menyendokkan nasi ke mulut sambil terus menerka-nerka apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Kurasa Mas Zaki yang lumpuh itu benar karena setiap pulang ke rumah, dia selalu duduk di kursi roda. Pukul dua siang aku tidak bisa tidur, begitu juga dengan Mas Zaki. Dia menatap nanar
Hari sudah beranjak siang, sejak tadi aku sibuk berkutat dengan ponsel. Memposting gambar salad buah dan buko pandan di akun Facebook tepatnya berbagai grup dagang.Sudah ada lima cup yang laku alhamdulillah. Teman SMA dulu memesan salad buah 2000 ml yang harganya 125 ribu sementara tiga lainnya sama-sama memesan buko pandan 1000 ml.Matahari semakin panas saja, untung mudah mendapat kurir karena memang sudah langganan waktu sering belanja online dulu. Aku tersenyum karena awal usaha ini dirintis sudah ada pembeli."Tyas!" panggil Mas Zaki."Iya, Mas?""Ke sini!" Mas Zaki memanggil masuk kamar.Sekalipun sedikit malas karena sudah keenakan rebahan, akhirnya aku menurut juga melihat air muka serius yang ditampakkan. Ketika sudah saling berhadapan, aku mengulum senyum.Namun, tidak terbalas. Hati langsung merasa resah."Mas mau tanya sama kamu, tapi harus dijawab jujur!" tekannya."Apa itu, Mas? Kok kayak serius amat?"Ponselku berdering, ada panggilan dari nomor tidak dikenal padahal M
POV Author Satu cup dibawa pulang oleh Maya dengan tergesa-gesa sementara Darma menatap penuh kekhawatiran, dia berdoa dalam hati agar perempuan tadi percaya dengan akting anak dan menantunya. Di jalan, Maya bertemu Nadia yang merupakan pakar tukang gosip. Dia melambai, lalu mendekat dengan tampang serius. "Tyas hamil tau!" "Hah?" Nadia membekap mulut sekilas. "Tau dari mana?" "Dia hamil anak orang, bukan dari suaminya. Tadi aku ke sana beli salad buah dan mendengar Zaki berteriak menyuruh Tyas keluar. Waktu Bu Darma mendekat ke pintu kamar, aku mengekor di belakang," jelas Maya berapi-api. Dia bagai manusia tanpa kesalahan. Dalan pikirannya saat ini adalah bagaimana cara agar kabar itu tersebar luas bahkan sampai di telinga Pak RT. Maya melakukan itu bukan tanpa sebab, tetapi sempat menyukai Zaki dan mengutarakan perasaannya lewat surat. Akan tetapi, nasib buruk menimpa karena surat yang dititip lewat anak sekolah yang kebetulan lewat itu dirobek. Sebut saja bagian dari pembala
"Tidak!" tegas Zaki. Bahu Tyas semakin luruh, kini dia pasrah pada apa pun yang terjadi nanti. Untuk bertahan juga tidak mungkin karena memang telah melakukan kesalahan. Andai Zaki mau melapangkan sabarnya, tentu masalah tidak sampai serumit ini. Dia tahu dan sangat mengerti kalau kesalahan itu bukan dari Tyas, tetapi terlalu berat menerima fakta bahwa istri mengandung bayi orang lain. Bukan orang lain, tepatnya saudara ipar sendiri. Zaki tersenyum miring merutuki diri yang bernasib semalang itu. Kaki yang lumpuh sebab ditabrak, pun istri hamil anak orang. Lelaki yang menjadi perantara nasib tersebut adalah adik seibunya sendiri. "Kamu lebih baik pergi dari hadapanku!" tegas Zaki sesaat setelah membuang napas kasar. Bukan dia tidak ingin memaafkan, tetapi pikirannya sedang kacau. Zaki tidak bisa membayangkan bagaimana bisa Tyas hamil anak Tuan Edbert. Dia berpikir sesering itu mereka melakukannya. "Kenapa tidak pakai alat kontrasepsi?" tanya Zaki kemudian. "Pernah, Mas. Cuma aku
Tanpa mereka sadari bahwa di luar rumah Tuan Edbert berdiri sambil memasang telinga mendengar apa yang dua anak manusia itu bicarakan. Senyum manis terbit di bibirnya yang tipis ketika tahu bahwa Tyas hamil.Dia semakin urung mengetuk pintu rumah lebih awal karena memang niat awalnya berkunjung adalah untuk mencaritahu tentang Tyas. Bagaimana pun juga dia merasa nyaman dekat dengan perempuan itu.Apalagi setelah kepergian Veriel tanpa alasan. Tuan Edbert pun berjanji tidak ingin mengingat siapa dia sebenarnya."Mas, aku mohon jangan beritahu Tuan Edbert!" mohon Tyas dari dalam rumah."Kenapa? Bukannya seharusnya kamu senang kalau dia tahu?"Tidak ada jawaban lagi yang bisa didengar Tuan Edbert. Akan tetapi, ide baru muncul. Lelaki bule itu bersikukuh ingin merebut Tyas kembali tanpa pemaksaan.Lima menit kemudian, tangan kanannya mengetuk pintu perlahan. Tyas dan Zaki sedikit terkejut begitu melihat siapa yang datang."Masuk, Tuan!" Zaki yang menyilakan karena Tyas hanya bisa mengatup
POV TYAS ARYANI"Mas pergi dulu, kamu jaga diri baik-baik!" pamit Mas Zaki membuatku tidak bisa menahan diri untuk terus membendung air mata dan menyembunyikan kesedihan."Jangan menangis, mas pasti kembali!" pintanya. Kedua pipiku dielus lembut, kemudian kami saling berpelukan seolah tidak ingin lepas saja.Andai waktu bisa berhenti detik ini, maka aku akan mengukir senyum paling ramah pada dunia karena setidaknya tidak memisahkan kami. Jerman itu negara yang jauh, aku bahkan belum pernah ke sana.Kalau saja di Surabaya atau Minang, mungkin masih bisa aku temui. Padahal kami pernah saling berjanji untuk tidak pergi ke tempat yang tidak bisa kami tempuh. Namun, itu hanya tinggal janji karena Mas Zaki butuh pengobatan."Lia anak papa yang cantik, jangan menangis. Papa pasti kembali, terus bisa jalan lagi biar bisa kejar Lia!" Air mata Mas Zaki tumpah ketika mendekat pada Lia yang menangis dalam gendongan ibu mertua."Papa janji?""Iya, Sayang. Papa pasti kembali untuk kita. Sudah, jang
Sekarang aku benar-benar berdiri di rumah Tuan Edbert, tetapi di kamar berbeda. Mbak Utami mendekat dengan tatapan nyalang, tetapi aku sama sekali tidak takut."Bagaimana bisa kamu kembali ke sini, Tyas?""Utami, sekalipun Tyas adalah adik ipar kamu, tetapi dia adalah kakak ipar aku. Bicara profesional, baku sesuai aturan. Dia adalah Nona Tyas Aryani," jelas Tuan Edbert."Maaf, Nona." Mbak Utami meralat ucapannya. Dia menunduk dalam sementara aku tersenyum miring.Inilah saat yang paling aku tunggu-tunggu, di mana Mbak Utami menunduk patuh. Aku bukan menyimpan dendam sepenuhnya, tetapi ingin memberi pelajaran agar dia tidak memandang rendah seseorang sesuka hati."Aku kembali bukan sebagai istri simpanan lagi, tetapi kakak ipar Edbert.""Ya, benar. Seperti dulu, jangan menyematkan kata 'tuan' karena aku tidak suka itu." Tuan Edbert tersenyum, lalu meminta Mbak Utami membawa koperku ke kamar tamu yang juga mewah.Sepanjang jalan tadi memang Tuan Edbert janji akan membantuku membalas pe
Saat sedang menata rambut serapi mungkin, Mbak Utami tiba-tiba datang. Dia berdiri di belakangku tanpa seulas senyum. Lantas aku mengangkat kedua alis sebagai isyarat sedang bertanya. Seangkuh ini diriku sekarang karena sedang berusaha membalaskan dendam pada mereka yang dulunya tidak punya belas kasihan. Harga diri diinjak-injak sesuka hati sampai aku terjebak dalam hubungan terlarang. "Ada yang harus kita sepakati, Tyas," kata Mbak Utami. Sekilas aku mengangkat tangan. "Bicara yang formal karena sedang bekerja. Apa yang harus kita sepakati?" Aku memutar kursi menghadapnya. Mbak Utami menghela napas berat, kemudian memaksakan senyum. "Baik, Nona. Jadi Nyonya Aluma mengutus aku ke sini agar Anda bisa menemuinya. Harus ke sana sekarang, dan apakah Anda tahu alasan sebenarnya?" "Apa?" "Nyonya Aluma ingin menyiram wajah Anda dengan air keras." Mbak Utami sekarang tersenyum miring. "Karena aku sudah berbaik hati memberitahu rencana itu, maka Anda harus memberi imbalan!" Aku memutar