"Indri!!! Anakmu berisik sekali!! Angkatlah cepat!"
Aku yang tengah mencuci di kamar mandi sontak berdiri, lalu tergopoh menghampiri sumber suara yang memekakkan gendang telingaku. Sang pemilik suara yang tak lain adalah suamiku sendiri tengah menatap kedatanganku dengan raut wajah kesal dan mata melotot karena kesenangannya terganggu.Tidak, bukan wajah marah itu perhatianku. Tapi, suara melengking dari putraku yang tergeletak tak jauh dari tempat suamiku duduk. Putraku yang tengah belajar berdiri itu tergeletak dengan menangis kencang. Tubuhnya terlentang tak jauh dari meja di depan suamiku duduk.Segera aku menghampiri putraku, betapa murkanya aku ketika melihat kening putraku benjol membiru. Tak jauh dari kepalanya, kotak tisu tergelak. Segera aku angkat dia dan membawanya ke dalam pelukanku. Saat kuraba kepala belakangnya, semakin mendidih darahku saat tanganku merasai benjolan serupa. Entah bagaimana putraku terjatuh tadi? Yang membuat amarahku memuncak adalah suamiku yang adalah ayah kandung dari bayi lelaki berusia 8 bulan itu justru tak acuh. Membiarkan anaknya terjatuh sedangkan dirinya asyik menekuri game di ponselnya.Seketika amarah naik ke ubun-ubun. Tanpa ba bi bu, aku rebut ponselnya dan aku banting ke lantai dengan sekuat tenaga hingga pecah tak berbentuk."Indri!" sontak dia berdiri, menatapku nyalang seolah akan menelanku hidup-hidup. Wajahnya merah padam, matanya melotot, nafasnya memburu. Tapi, aku tak peduli. Aku tak takut padanya. Plak,Perih, panas, seketika menghantam wajahku. Saking kerasnya tamparan itu telingaku sampai berdenging sakit. Tapi, sekali lagi aku tidak peduli. Aku hanya memastikan kedua kakiku masih kuat menopang tubuh ini agar jangan oleng karena ada putraku yang masih menangis di pelukanku.Dia marah? Aku pun marah. Dia sebagai suami dan ayah tidak becus menjaga anaknya sendiri. Bahkan tidak peduli sama sekali pada anaknya yang sudah menangis terkapar di lantai, justru matanya asyik dengan game PUBG di ponselnya. Ayah macam apa itu?"Apa? Kamu marah karena hpmu aku banting?" desisku menantang matanya.Dia tertegun, menatap tangannya yang baru saja mendarat kuat di wajahku, bahkan mungkin jemarinya terlukis jelas di pipi kiriku. Ini kali pertama sepanjang 5 tahun pernikahan kami. "Aku bahkan tak segan membunuhmu yang sudah tega membiarkan putraku menangis karena terjatuh. Lihat, kepala depan dan belakangnya sampai benjol begini! Dan kamu masih asyik dengan hp-mu! Kamu punya ot*k apa tidak, hah?" teriakku tak kalah keras. Putra dalam gendonganku kembali menangis kencang setelah sebelumnya agak berkurang tangisnya."Salahkan anakmu yang tak mau diam itu! Aku lelah, aku ingin bersantai saat libur kerja. Bukan untuk menjaga anakmu yang tak mau diam itu!" balasnya turut berteriak."Dia anakmu juga!" emosiku benar-benar memuncak kali ini. Aku dorong tubuhnya hingga terduduk di sofa yang ada di belakangnya.Kalau tak ingat sedang menggendong Zaki, sudah aku hajar lelaki tak tahu diri itu. Dia yang sekarang amat congkak, baru beberapa minggu mendapat promosi jabatan sebagai supervisor saja lagaknya sudah seperti manajer saja. Apa-apa maunya dilayani, tak mau direpotkan dengan urusan rumah tangga dan anak. Bahkan, sekedar aku mintai tolong untuk menjaga Zaki yang memang sedang aktif-aktifnya saja berakhir seperti ini."Arrght. .istri sial*n tak tahu diuntung! Menyebalkan, menyusahkan saja bisanya. Urus anakmu sendiri, aku tak sudi!" bentaknya lalu melenggang keluar rumah. Aku tahu ke mana tujuannya, yang tak lain adalah mengadu ke rumah Ibunya yang hanya berjarak 200 meter dari kontrakan ini. Setelah ini, aku yakin akan ada tamu tak diundang datang untuk mengamuk, atau sekedar memaki-maki aku di rumah kontrakanku sendiri. Tapi, aku tak takut. Kali ini, akan aku tunjukkan siapa Indri yang selalu mereka hina-hina. Aku akan tentukan ke mana arah bahtera rumah tangga yang sudah tak sehat ini. Yang terpenting sekarang adalah putraku, putra yang telah lama aku nantikan sepanjang pernikahan bersama Mas Bagus, lelaki yang menikahiku 5 tahun yang lalu.Menghela nafas besar, menetralkan amarah yang meluap agar putraku tak semakin rewel dalam gendonganku. Aku timang dia penuh kasih sayang, kuusap-usap benjolan di keningnya. Benjolan sebesar biji salak yang sudah membiru itu membuatku ikut merasakan ngilunya. Perlahan tapi pasti, tangisnya reda. Menyisakan isak yang sesekali masih terdengar. Kuciumi keningnya, kubisikkan kalimat sayang di telinganya. Kutimang dia penuh cinta hingga tak lama ia tertidur, mungkin terlalu lelah menangis hingga tanpa nen ataupun dot ia sudah tertidur.Kuletakkan dia perlahan ke atas kasur, kupandangi wajah tampannya. Sesekali masih sesenggukan tetapi pulas tidurnya. Kuabaikan perih di wajahku, tanpa terasa air mataku mengalir deras sambil menatap wajah polosnya.Rumah tangga ini sudah tak sehat, sejak satu tahun lalu. Dulu, meski kerap bertengkar karena hal-hal kecil tak sampai membuat Mas Bagus berteriak padaku. Paling banter dia akan mendiamkan aku sampai 2 hari dan selebihnya sudah baikan lagi. Tapi, sejak satu tahun lalu, sejak kepindahan mertua dan kakak iparku ke rumah yang tak jauh dari sini semua berubah. Bahkan sekarang, bukan hanya bentakan tetapi sudah berani main tangan padaku.Mas Bagus semakin tak kukenali, pernah waktu itu dia tak menjemputku yang lembur kerja. Meski jarak dari pabrik ke rumah hanya butuh waktu 15 menit saja dengan jalan kaki. Dia membiarkan aku pulang jalan kaki, kehujanan dan dalam kondisi hamil 6 bulan. Saat sampai di rumah rupanya ia tengah bersenda gurau dengan Ibu serta kakak dan keponakannya yang baru lahir waktu itu. Mengabaikan aku yang kepayahan dan kedinginan. Malah, tanpa perasaan dia menyuruhku memasak untuk menjamu Ibu dan Kakaknya. Sejak saat itu, semua berubah. Hangatnya hubungan pernikahan kami selama ini menjadi tidak ada artinya lagi. Binar bahagia dan antusias kami menyambut kelahiran anugerah yang telah lama kami nanti pun tidak ada lagi.Setiap malam aku lalui sendiri, tanpa peluk hangat suamiku lagi. Ia abai, memilih membentangkan jarak antara aku dan dia. Entah apa salahku? Aku pun tak tahu.Padahal, waktu hamilpun aku masih bekerja di garment yang menjadi tempat pertemuanku dengannya. Aku dan dia bekerja di pabrik yang sama, dia sebagai tehnisi sedang aku operator sewing alias tukang jahit. Kedekatan kami terjalin karena ia sering membenahi mesin yang rusak di bagianku bekerja. Dia lelaki yang ulet, rajin dan selalu bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dalam bergaulpun dia termasuk pria yang mudah bergaul, sopan, ramah dan bisa berteman dengan siapa saja. Hingga benih-benih kekaguman itu tumbuh menjadi cinta. Tak lama kami dekat, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Di hari libur kerja, dia membawaku bertemu keluarganya di daerah Karang jati, Ungaran. Tanggapan keluarganya saat itu, datar-datar saja. Tidak yang senang sekali tapi tidak menolak juga. Entahlah, mungkin perasaanku saja.Sedang di libur berikutnya, dia menemui keluargaku di pinggiran Ambarawa. Tepatnya, tempat tinggalku di lereng bukit Banyu Biru. Aku orang kampung, ya aku akui itu. Untuk itulah aku mengadu nasib bekerja di salah satu garment besar kota Ungaran dan memilih kos untuk menghemat biaya hidup. Sedang gajiku bisa aku tabung sebagian dan sebagian lagi untuk biaya hidupku sehari-hari.Selama menjadi istrinya, aku sudah melakukan segala hal yang aku mampu. Gajinya tak banyak, hanya sebatas UMR kota Semarang. Sebagian ia berikan pada Ibunya. Tak mengapa, aku sadar sepenuhnya bahwa ia memiliki tanggung jawab kepada Ibunya juga. Sedangkan sebagian lain, sudah habis untuk dibagi-bagi. Ya, untuk cicilan motor yang waktu itu baru berjalan 5x dari 36x, untuk bensin, rokok dan makannya sendiri. Bisa dibilang, nafkahnya padaku sangat tidak layak karena selama hampir 3 tahun aku hanya menerima 300 ribu saja sebulan. Padahal uanh segitu hanya cukup untuk bayar kosan kami saja, itupun masih kurang dan aku yang nomboki.Untuk itulah, aku pun masih bekerja juga. Gajiku, aku pakai untuk membiayai hidup kami sehari-hari. Hingga suatu hari, Bapak mertua menyarankan kami untuk tinggal di rumahnya supaya uang kami tidak selalu habis untuk bayar kos dan makan. Tapi, dengan alasan jauh dari tempat kerja dan justru semakin menambah biaya bensin, aku menolak dan Mas Bagus tidak memaksa.Akhirnya, Bapak mertua berinisiatif untuk mengontrakkan kami rumah di dekat pabrik. Yang beliau bayar untuk 5 tahun ke depan dengan harapan kami bisa kembali menabung. Aku rasa, hanya Bapak mertua yang peduli terhadap kami sedang Ibu dan Kakak ipar seolah tak mau tahu keadaan kami. Sayangnya, Bapak mertua berpulang 1 bulan setelah kami menempati rumah ini.Entah bagaimana awalnya, kakak iparku bisa membeli rumah yang tak jauh dari rumah kontrakan kami. Tak heran sebab suami dari Mbak Santi merupakan pegawai Bank Swasta dengan gaji yang lumayan. Katanya, sewaktu berkunjung ke rumah kami setahun lalu, dia melihat rumah itu sedang diiklankan untuk dijual. Katanya iseng saja tapi rupanya sang pemilik langsung deal dengan harga yang dia tawarkan. Akhirnya, sejak saat itu Mbak Santi memboyong Ibu pindah ke rumah itu, sedangkan rumah yang di kampung ditempati oleh adik bungsu Mas Bagus dengan suaminya. Entah itu memang sebuah kebetulan atau merupakan konspirasi mereka saja, aku juga tak tahu. Yang jelas, sejak kepindahan mertua dan iparku rumah tanggaku mengalami goncangan.Hampir setiap hari Ibu mengomeliku perkara sepele. Menu makanan, misalnya. "Apa ini, Ndri? Sayur bening sama sambel terasi? Mana sehat untuk anakku! Kasihlah makanan yang sehat dan bergizi, dia itu kerja loh, cari uang buat kamu. Kamu juga harus perhatikan makanannya, jangan asal-asalan begini. Nanti dia sakit perut, lalu sakit, gak bisa kerja. Kan, kamu juga yang rugi. Penghasilannya berkurang, otomatis uang belanjamu juga berkurang." omelnya di suatu pagi lalu membanting mangkuk berisi sayur bayam yang baru saja matang hingga tumpah ke meja."Indri, kalau libur itu jangan leha-leha. Itu baju menumpuk, disetrika biar rapi. Motor suamimu dicuci, biar kinclong. Kalau penampilan suamimu bersih, rapi, makin ganteng, kan kamu juga yang dapat pujian dari orang-orang!" Dan berbagai omelan perkara sepele yang akhirnya berbuntut panjang. Tak segan Ibu datang hanya untuk memakiku jika kami tengah berselisoh paham dan Mas Bagus mengadu ke Ibunya. Memakiku dengan bahasa kasar yang tak pantas diucapkan oleh seorang Ibu. Tak jarang, Mas Bagus memilih menginap di rumah Mbak Santi. Dengan alasan lebih nyaman di sana. Tidak berantakan dan tidak bau ompol ketika Zaki baru bisa merangkak dan kadang ngompol di lantai karena aku tak mampu lagi membeli diapers.Sering makan di sana dengan alasan menu yang variatif dan bergizi, tidak seperti di rumah. Yang menu andalannya adalah tahu dan tempe, paling bagus telur ceplok dan sambal terasi. Tapi, uang belanja yang ia berikan jauh dari kata layak, beruntung aku masih bekerja dan memiliki penghasilan lain yang bisa aku pakai untuk membeli kebutuhan putraku yang tidak dipedulikan kebutuhannya oleh ayahnya sendiri.Bahkan sejak dia dapat promosi jabatan sebagai supervisor 3 minggu lalu, sikapnya semakin sombong dan congkak. Apa-apa maunya dilayani bak raja. Makan, minum, baju, sepatu maunya diambilkan. Sedangkan dia tak pernah melihatku, tak pernah mau tahu kerepotanku. Ia selalu asyik dengan hpnya, hp yang dibeli dengan 95% uangku. Makanya aku tak menyesal dan tak merasa takut sudah menghancurkan hp yang tergolong mahal itu.Air mata masih setia mengalir di kedua pipiku, pikiranku sibuk menekuri ingatan masa lalu. Hingga suara yang sudah aku tebak akan datang terdengar nyaring.Aku gegas bangkit untuk menemui mertuaku tersayang itu sebelum suara cemprengnya membangunkan putraku yang baru saja terlelap. Sebelum beranjak, aku susun bantal dan guling di sekitaran tubuh putraku agar ia tak terguling lalu jatuh dari kasur."Indri! Kurang ajar kamu! Kamu apakan anakku, hah?" pekiknya terdengar marah."Ibu bisa tidak, tidak usah teriak-teriak? Anakku baru saja tidur karena lelah menangis akibat ulah anak Ibu yang membuatnya terluka!" hardikku sembari menutup pintu kamarku dengan perlahan."Berani kamu sama saya, ya! Jangan membual kamu, mantu tidak berguna. Kalau anakmu jatuh ya salahnya sendiri kenapa tidak mau diam. Anakku bukan pengasuh anakmu!" ucapnya percaya diri sekali. Aku geleng-geleng dibuatnya. Dia pikir, apa yang bisa dilakukan bayi berusia 8 bulan? Apa dulu anak-anaknya tidak melalui fase seperti ini? Apa dulu anak-anaknya ujug-ujug (tiba-tiba) dewasa seperti sekarang ini? Dan lagi, apa tadi katanya? Anaknya bukan pengasuh anakku, hanya anakku dia bilang? Anakku tidak akan hadir kalau anaknya tidak menanam benih di rahimku. Apa Ibu mertuaku itu sedang ngelindur? Anakku juga cucunya, darah dagingnya sendiri. Sama sperti Sheril, anak Mbak Santi. Ya Allah, ajaib sekali wanita sepuh ini.Belum sempat aku bersuara, suamiku muncul di belakang Ibunya. Menatapku dengan raut marah yang masih bersisa."Kamu pikir kamu siapa, hah? Beraninya kamu menjadikan anakku pengasuh anakmu. Dia sudah lelah bekerja dan saat libur begini biarkan dia menikmati waktunya. Kamu jangan recoki dia dengan menyuruhnya menjaga anakmu yang tidak bisa diam itu. Kalau dia mau main game ya biarkan saja, gak usah gaya-gayaan marah lalu main banting hp saja. Kalau sudah begini, kamu mau tanggung jawab? Ganti hp anakku sekarang juga!" bentaknya berapi-api, sedangkan suamiku hanya diam mendukung Ibunya marah-marah."Anakku anak kandung dari anak Ibu! Laki-laki itu, ayah dari anakku. Dan apa ibu bilang tadi? Dia lelah bekerja? Ya, dia memang lelah bekerja. Sama, aku pun juga lelah bekerja. Ibu pikir aku tidak lelah? Apa Ibu lupa kalau aku juga bekerja? Bahkan anak laki-laki Ibu itu makan dari hasil kerjaku. Dan soal hp, Ibu tahu uang siapa yang dipake untuk membeli hp yang sudah hancur itu? Uangku, uang hasil dari cuti melahirkan yang diberikan perusahaan padaku. Dia hanya nombok 100 ribu dari total 3 juta 700 ribu. Dan sekarang Ibu minta ganti rugi? Baiklah, akan aku kembalikan uang anak Ibu yang dia pakai untuk beli hp itu." balasku tak kalah emosi. Jika mereka manusia normal tentu akan tertohok dengan ucapanku. Aku segera merogoh saku dasterku dan beruntung masih ada dua lembar uang warna biru yang sejatinya akan aku pakai untuk membayar tagihan PDAM. Aku lemparkan tepat di hadapan dua manusia ajaib ini."Kurang ajar kamu! Jangan sombong kamu, kamu pikir kamu siapa, hah? Kamu hanya orang lain yang aku ambil sebagai istri, jadi jangan berlaku seolah kamu adalah ratu di sini!" bentak suamiku tak terima aku melemparkan uang itu ke hadapan Ibunya. Sampai di sini, aku semakin paham jika kehadiranku memanglah tidak ada artinya sama sekali."Baik, aku sadar siapa aku di sini. Maka, Ibu Nuryati yang terhormat, bawa anak lelakimu ini pulang, Bu. Aku sudah tak membutuhkannya lagi, biarlah Ibu saja yang ngelonin anak lelakimu ini." ujarku tenang. Menatap tajam Ibu dan anak yang terkejut dengan ucapanku itu. Keduanya melebarkan mata dengan mulut menganga lebar. Biarlah, jika memang bahtera ini sudah kehilangan nahkodanya, untuk apa aku bertahan? Lebih baik keluar dan menyelamatkan diri dari bahtera yang tinggal menunggu karamnya saja, bukan?🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺"A-apa maksudmu, Ndri?Ibu mertua dan Mas Bagus tertegun, mungkin tak menyangka aku akan seberani ini mengatakan hal itu. Mas Bagus tergagap, tapi tidak dengan Ibu mertua."Heh, kamu kira kamu ini siapa? Rumah ini sudah dibayar suamiku untuk 5 tahun, dan baru berjalan 2 tahun. Jangan sok berkuasa di rumah ini!" hardiknya dengan menunjuk wajahku.Kupejampkan mata ini, menarik nafas besar menghadapi mertua ajaib satu ini. "Oke baiklah, kalau begitu biar saya saja yang keluar dari rumah ini. Saya kembalikan anak Ibu tanpa kurang satu apapun." tegasku menatap Ibu mertua lalu beralih pada suamiku."Hanya, setelah ini. Kembalikan aku dengan cara baik-baik seperti dulu kamu memintaku juga dengan cara baik-baik. Biarpun aku orang miskin, tapi aku masih punya orang tua lengkap. Dulu, kamu yang datang pada Bapak memintaku jadi istrimu, sekarang jika sudah tak menginginkan aku lagi maka kembalikan aku pada Bapakku dengan cara yang baik pula." tegasku tanpa ragu. Sudah, cukup sudah selama ini ak
Hanya butuh waktu 20 menit saja, kini aku sudah berada di kosan milik keluarga Retno. Dia menyambut kedatanganku dengan gembira, di kosan inilah untuk pertama kalinya dulu aku tinggal setelah diterima bekerja di garment yang lama sebelum menikah dan pindah kerja ke tempatku bekerja sekarang."Zaki. .sini sama Tante!" pekiknya girang menyambut putraku yang sedang lucu-lucunya itu. Beruntung, Zaki adalah tipe bocah yang ilon (tidak takut orang dan mudah diajak siapa saja).Zaki sudah berpindah dalam gendongan gadis cantik seumuranku tapi masih lajang itu. Terdengar gelak tawa serta celotehnya saat Retno mendusel-dusel pipi gembulnya.Selagi Zaki ada sama Retno, aku segera membantu pak supir menurunkan barang-barangku ke teras kos-kosan 3 lantai itu. Usai membayar, mobil itu berlalu meninggalkan aku dan Retno di sini."Kamu nempatin yang di ujung itu, ya, Ndri. Soalnya kamar kamu dulu ada penghuninya." ujar Retno dengan menunjuk satu kamar di ujung dekat tangga. Aku mengangguk setuju, ta
"Jawab, Indri! Di mana kamu?" bentak Bapak lagi, aku yakin saat ini beliau tengah murka. Aku memejamkan mata menikmati perihnya luka dalam hati ini. Menarik nafas besar, mencoba tenang menghadapi amarah Bapak. Aku yakin, Bapak hanya termakan hasutan Mas Bagus atau Ibu mertua saja."Assalamualaikum, Bapak. Indri dengar apa yang Bapak ucapkan, kok. Tidak perlu keras-keras juga, takut darah tinggi Bapak kambuh." sahutku pelan, sekuat tenaga menekan suara agar tak semakin keras terisak."Bapak tanya Indri ada di mana, kan? Indri ada di kosan Pak Suradi, tempat yang sama seperti kala dulu setiap Sabtu siang Bapak jemput dan Senin pagi Bapak mengantar Indri. Indri tidak ke mana-mana, Pak." suaraku semakin bergetar tak sanggup lagi untuk tidak menangis mengingat betapa Bapak dulu rela datang jauh-jauh dari Banyu Biru untuk menjemputku kala libur kerja. Tidak naik motor atau mobil, melainkan naik angkutan umum demi memastikan anak perempuannya ini baik-baik saja."Ndri-" suara Bapakpun melun
Kami saling tatap begitu mesin kendaraan terdengar padam. Bapak memberi kode dengan anggukan kepala, dengan cepat kami menghapus jejak air mata di wajah kami."Assalamualaikum besan!" rupanya ada Ibu mertua juga yang ikut datang. "Walaikum salam, Bu Yati." sahut Emak yang sudah lebih dulu menyambut kedatangan tamu kami di teras."Ini ada gula sedikit, sekedar untuk bikin teh!" ujar mertuaku sok ramah."Oalah, kok malah repot-repot segala, Bu Yati. Kalau sekedar gula kami juga ada, kok." balas Ibu terdengar datar."Mari masuk!" lanjut Emak lagi.Begitu masuk, kulihat wajah Ibu mertua sedikit terkejut melihatku."Oalah, kamu di sini to, Nduk. Ibu kira ke mana, kami sampai panik loh mencarimu." ucapnya langsung duduk di sebelahku sembari mengusap punggungku. Ratu drama, bermuka dua! Biar begitu, kuraih tangan beliau dan kucium punggung tangannya, karena sampai detik ini beliau masih mertuaku. Aku bangkit berdiri, meraih Zaki dari gendongan Bapak lalu duduk melantai di karpet. Mas Bagus
Cukup lama Ibu mertua pingsan, entah pingsan betulan atau hanya pura-pura pingsan karena malu. Entahlah, hanya beliau yang paham. Lek Erna dan Lek Tri yang tak tahu apa-apa kebingungan dibuatnya. "Opo, sih, Ndri?" bisik Lek Erna saat sudah duduk di sebelahku."Nanti, Lek Na akan tahu sendiri." jawabku juga berbisik."Bu, bangun! Jangan bikin malu!" kudengar Mas Bagus putus asa membangunkan ibunya. Lek Tri duduk di sebelah Bapak, walau masih bingung tapi beliau tidak banyak tanya. Ibu mertua mulai sadar, dengan dibantu Mas Bagus beliau kembali duduk bersandar pada sofa. Mas Bagus dengan cekatan menyodorkan gelas teh yang mulai dingin karena ditinggal berdebat tadi."Sudah sadar, Bu Yati? Tidak lupa bukan, apa yang saya ucapkan sebelum Jenengan pingsan tadi?" tanya Bapak agaknya sudah tak sabar ingin mengakhiri segala drama yang dibuat Ibu mertua."Pa-Pak Yanto tidak sungguh-sungguh, kan?" gagap Ibu mertua menatap Bapak dan Lek Tri dengan wajah pucat."Kenapa tidak? Ini saya perkenalk
Kumandang Azan subuh saling bersahutan dari masjid kampung dan masjid-masjid kampung tetangga, suasana yang dingin menusuk tulang membuat siapa saja enggan untuk meninggalkan peraduan. Sama sepertiku, aku pun enggan meninggalkan hangatnya dekapan selimut tebal semasa aku gadis dulu. Bersamaku ada Emak yang masih terlelap dan juga Zaki di antara kami. Semalam sepulang dari rumah sakit, aku menghabiskan hampir 3 jam untuk bercerita banyak hal dengan Emak. Cerita hidupku yang tragis lebih tepatnya. Emak sampai geleng-geleng kepala, heran denganku yang bisa bertahan hingga 5 tahun lamanya dengan suami parasit seperti Bagus."Pantas saja, kamu sudah tidak ingat pulang, Nduk. Emak pikir karena hidupmu sudah enak di kota sana, sampai lupa pada kami."Begitu keluh Emak, setelah mendengar cerita hidupku. Ah, andai Emak tahu betapa berat perjuangan anak perempuannya ini pasti beliau tidak akan rela aku menikah dengannya.Namun, semua sudah terjadi. Tak perlu disesali apalagi ditangisi, hidup a
Kuhela nafas besar, menetralkan degub jantung yang sedikit lebih cepat, ya sedikit saja lebih cepat. Di depan sana, ada mantan suami yang baru semalam mengucapkan talak padaku, tapi siang ini sudah bermesraan dengan mantan pacarnya dulu.Cemburu? Iya! Aku memang cemburu, karena aku sungguh tulus mencintai laki-laki itu. Namun, bukan karena rasa cemburu itu yang membuatku ingin menangis sekarang. Sampai di sini aku semakin sadar diri, bahwa kehadiranku selama ini memanglah tidak dia anggap sama sekali, itu yang membuatku terluka. Lalu, selama ini aku dia anggap apa? Hingga semudah dan secepat itu dia berpaling?Fisik? Ku akui kalau Linda jauh lebih cantik dariku, meski dempulannya (make up) yang 80% mendominasi wajah. Sexi? Bahkan meski telah memiliki satu anak, berat badanku tetap ideal, 54 kg dengan tinggi 163 cm. Masih cukup sexi, kan? Hanya memang ukuran dadaku tak sebesar miliknya. Namun, seindah apapun fisik seseorang, bukankah ia akan pudar termakan usia? Wajah se-glowing apapu
"Indri, aku, aku. . ."Linda tergagap, bahunya bergetar karena tangis. Aku semakin heran dibuatnya."Ada apa, Lin?" tanyaku karena sejak tadi hanya isaknya yang terdengar sedangkan aku harua segera pulang kalau tidak aku tidak akan dapat angkot untuk ke kosan."Maafkan aku, Ndri." lirihnya di sela isak tangis."Iya, aku maafkan. Maaf, Lin. Aku harus segera pulang, ada Zaki yang menungguku." putusku ingin mengakhiri ini semua. Indri mendongak, menatapku masih dengan mata berair."Aku, aku hamil anak Bagus, Ndri!" Duar! Bagai tersambar petir aku mendengar pengakuannya. "Hah?!" pekikku dengan mata melebar."Maafkan aku, Indri!" isaknya kembali terdengar, wajahnya menunduk dalam.Tunggu! Apa dia bilang tadi? Hamil anak Bagus? Itu artinya mereka? Astaghfirullahhalazim! Aku menelan ludah susah payah, air mata yang tadi entah ke mana, sekarang tiba-tiba mengalir membasahi kedua pipiku. Lemas seluruh persendianku, seolah kedua kakiku tak mampu untuk menopang bobotku sendiri."Jadi, benar se
Tiga tahun kemudian ..."Yeeeeyy ... Selamat ulang tahun kakak Zaki!"Seru semua orang yang menghadiri acara ulang tahun ke-5 dari putra Indri bernama Danindra Alzaki Maulana. Pesta meriah dengan tema Super Mario yang merupakan tokoh kartun favorit sang putra.Di samping kanan sang pemilik acara, ada sang bunda, Indri lengkap dengan Papa Danu dan adik kecilnya bernama Zivara Alzahira Maleakhi yang baru berusia 6 bulan. Di samping kiri ada ayah Bagus beserta Mama Via yang tengah mengandung calon adik keduanya yang masih 7 bulan dalam kandungan.Mereka semua berdiri di belakang sebuah kue besar dengan banyak lilin di sana. Aneka hadiah dan tumpukan kado pun tak luput memenuhi meja kanan dan kiri kue tersebut.Semua nampak gembira, tersenyum bahagia merayakan pertambahan usia Zaki sang putra mahkota. Semua kompak mengenakan busana bernuansa merah dan biru.Pesta meriah di salah satu restoran mewah di kawasan Ungaran selatan itu mengundang seluruh keluarga dari pihak ibu maupun ayahnya.
Minggu berganti bulan, sudah hampir 5 bulan berlalu sejak pernikahan super mewah Indri dan Danu digelar. Bagus, semakin sadar diri bahwa dia harus menepi. Tak ada setitikpun harapan bisa kembali membersamai ibunda Zaki, sang mantan istri."Gus, kamu enggak mau buka hati untuk wanita lain?" tanya Santi pelan saat mereka usai makan malam."Untuk sekarang ini enggak, Mbak. Aku hanya mau fokus kerja, kita masih banyak kebutuhan terutama untuk kesembuhan Ibu." sahutnya pelan namun tegas."Iya, sih, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri, Gus. Mbak pun punya penghasilan walau hanya cukup untuk makan, jadi jangan kamu pikul sendiri beban keluarga ini," tukas Santi mencoba membujuk adik kesayangannya untuk mencari pendamping hidup.Bukan ia tak mau mengurus keperluan sang adik, tetapi ia sangat paham bahwa ada beberapa kebutuhan yang tidak bisa ia lakukan seperti selayaknya pasangan. Dan ia paham betul bahwa adiknya butuh pendamping hidup."Jujur aku takut, Mbak, ada rasa tidak percaya
Di sebuah ruang gelap, lembab dan pengap, seorang lelaki terbaring nyaris tanpa alas. Sarung teramat lusuh yang telah lecek, kotoran bercampur nanah dan darah yang telah mengering menguarkan aroma yang membuat perut bergejolak. Jari jemari di kedua kakinya nyaris tak lagi tersisa akibat membusuk hingga terlepas satu persatu, tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit saja membuatnya tak mampu menegakkan tubuhnya sekedar untuk duduk.Terlebih, rasa nyeri dan sakit luar biasa di area kemaluannya, yang terus membengkak dan mengeluarkan darah serta nanah yang tak henti menambah penderitaan di setiap hembusan nafasnya.Merintih, mengerang, menjerit lalu meratapi buruk nasibnya hingga ia sangat berharap bahwa kematian segera menjemputnya, tapi sayangnya sang malaikat maut seolah enggan mendekatinya. Membiarkannya mengalami kepedihan sampai kata taubat itu keluar dari mulutnya.Dialah, Edo. Sang penjahat kelam*n, sang predator, germ* dan entah sebutan apalagi yang pantas tersemat untuknya."D
"Anakku, Setyadanu Adimas Budianto bin Rudi Budianto. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, set perhiasan emas seberat 60 gram. Uang tunai senilai tiga puluh juta seratus dua puluh tiga ribu dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Sah!"Sah!"Alhamdulillah ... "Lantunan hamdalah menggema di ballroom The Wujil Resort and Convetions yang keluarga Danu sewa untuk mengadakan perhelatan mewah akad dan resepsi pernikahan Danu dan Indri. Usai kata sah terucap, Indri menangis haru. Meski ia sangat bahagia, tak dapat ia pungkiri ada rasa takut menelusup di relung batinnya yang terdalam. Kegagalan di masa lalu sedikit banyak memberinya rasa trauma dan ketakutan tersendiri dalam menjalani biduk rumah tangganya yang baru kelak. Akankah, dia berhasil sampai
"Gimana persiapan kalian? Udah beres semua?" tanya Ibu Riyanti saat kami janjian makan siang bersama hari ini.Ini kali ke 4 kami ketemu lagi sejak terbukanya inisal SAB yang kukira Samsul kala itu. Mengingat Samsul, rasanya ingin sekali meremukkan kepalanya karena pernah melakukan kesalahan fatal padaku, tapi ya sudahlah lebih baik melupakan daripada terus membuat sakit hatiku.Pertemuan pertama kali dengan Bu Riyanti adalah saat ke rumah bersama Danu, ke dua saat perkenalan keluarga, ke tiga saat lamaran resmi dan kali ini finally persiapan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Pancaran mata teduhnya, senyum hangatnya dan perlakuannya sama sekali tidak berubah. Malah semakin hangat saja kurasakan. Dengan demikian, ketakutan dan keraguanku semakin luruh tak bersisa. Karena jujur, aku sempat takut kalau-kalau keluarga Danu akan berubah seperti keluarga mantan padaku."Alhamdulillah sudah beres, Bu. Hanya tinggal futting terakhir 2 hari lagi, yang lainnya sudah beres semua." ja
Santi termangu menatap rumah kontrakan Bagus, sang adik. Ada rasa ragu yang menyelinap di kalbu karena rasa malu dan rasa bersalah. Bayang perlakuannya pada istri adiknya di masa lalu melintas begitu saja, menghadirkan rasa sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.Rumah yang dulu selalu bersih dan rapi itu kini nampak tak terawat. Rumput liar sudah semakin nampak terlihat di sela-sela paving blok, daun rambutan kering berserakan di mana-mana membuat rumah ini nampak seperti rumah kosong. Hampir satu tahun ia menghilang, ia begitu banyak melewatkan kabar dari keluarganya. Dalam benaknya hanya satu, seperti apa putrinya sekarang? Terurus dengan baikkah atau justru sebaliknya? Bagaimana kondisi sang Ibu, masih seperti dulukah? Lalu, bagaimana dengan Bagus, adiknya? Sudah tahu akan belang istrinyakah? Atau justru mereka kini masih bersama?Berbagai tanya mengisi penuh kepalanya, hingga tanpa ia sadari ada dua orang tetangganya yang melintas di depan rumah Bagus, Ismi dan Nurul. Mereka me
"Seriusan?" kejut Neti lagi, tanpa ia sadari senyumnya terbit begitu saja.Ari mengangguk meyakinkan karena selama dua bulan ini dia selalu bersama Bagus jadi dia tahu cerita hidup partnernya itu."Tapi harus sabar dulu, hatinya masih terluka dengan kelakuan mantan istri keduanya sampai dia kehilangan anak yang belum lahir ke dunia. Kalau yang mau ditemuinya nanti itu anak dari mantan istri pertamanya," papar Ari semakin membuat mata Neti terbelalak kaget."Maksudmu piye, to?" "Panjang ceritanya, Mbak, dan bukan hakku buat cerita urusan pribadi dia. Hanya, kalau Mbak Neti menyukainya, jangan perlihatkan dengan kentara tunggulah sampai luka hatinya sembuh." beritahu Ari lagi."Tapi--""Udah, yok berangkat!" ajak Bagus yang sudah kembali bergabung, memotong pertanyaan lanjutan dari mulut Neti pada Ari.Ketiganya lantas bergegas menuju mobil, sepanjang jalan dari Ungaran ke Ambarawa banyak diisi oleh obrolan hangat seperti biasa. Sesekali mereka tertawa dengan banyolan Ari yang mampu me
"Ka-kamu!""Sudah kuduga," ucap Indri dengan tatapan sinis yang sarat akan kekecewaan. Membuatnya menelan ludah susah payah, wajah tampannya mendadak pucat pasi."Kenapa?" tantang Indri maju satu langkah, sedang dia mundur satu langkah."Kenapa kamu lakukan ini padaku, Samsul Ali Bahrudin?" tanya Indri tanpa melepas tatapannya pada Samsul yang bergeming. Otaknya mendadak blank begitu berhadapan langsung dengan Indri yang menatapnya penuh dengan sorot kekecewaan. Sungguh, dari dulu ia selalu kalah dengan tatapan mata itu. Padahal dari awal dia merencanakan semua ini, ia sudah bertekad untuk mendapatkan Indri apapun caranya."Kamu menginginkanku, bukan? Sekarang ayok lakukanlah!" tantangnya dengan suara parau menahan tangis."Kau menjebakku dengan obat tidur agar kau bisa memperko**ku, bukan? Sekarang ayok lakukan dengan keadaan aku sadar sepenuhnya. Supaya aku semakin yakin, bahwa kamu adalah satu-satunya temanku yang paling pengecut dari ribuan temanku yang lainnya." tetes demi tetes
Dalam keadaan yang seperti ini, semua indera dituntut untuk bekerja secara maksimal. Indri yang sedang pura-pura masuk dalam jeratan obat tidur memakai telinganya untuk mendeteksi keadaan sekitar. Setelah ia rasa aman karena tak mendengar pergerakan apapun, ia perlahan membuka matanya. Kosong,Ia edarkan pandangan ke sekeliling, dan hanya mendapati furniture kamar hotel. Tak ia lihat satupun manusia di dalam sana. Beringsut turun dari bed lalu melangkah pelan menuju jendela yang tertutup gorden.Menyibak sedikit dan lalu ia dapati satu orang laki-laki yang tadi berjaga sendirian. Entah ke mana dua rekannya, yang jelas ini memudahkannya melumpuhkan lawan.Dengan gerakan tanpa suara, ia kembali menjauh. Mencari di mana letak tasnya, dan sayangnya tak ia temukan di dalam kamar. Ia kembali menyibak gorden, lalu senyumnya mengembang saat melihat mobil calon suaminya terparkir manis di depan kamar seberang kamarnya ini meski berjarak agak jauh. Ia percaya bahwa saat ini Danu pun tengah men