Kami saling tatap begitu mesin kendaraan terdengar padam. Bapak memberi kode dengan anggukan kepala, dengan cepat kami menghapus jejak air mata di wajah kami.
"Assalamualaikum besan!" rupanya ada Ibu mertua juga yang ikut datang. "Walaikum salam, Bu Yati." sahut Emak yang sudah lebih dulu menyambut kedatangan tamu kami di teras."Ini ada gula sedikit, sekedar untuk bikin teh!" ujar mertuaku sok ramah."Oalah, kok malah repot-repot segala, Bu Yati. Kalau sekedar gula kami juga ada, kok." balas Ibu terdengar datar."Mari masuk!" lanjut Emak lagi.Begitu masuk, kulihat wajah Ibu mertua sedikit terkejut melihatku."Oalah, kamu di sini to, Nduk. Ibu kira ke mana, kami sampai panik loh mencarimu." ucapnya langsung duduk di sebelahku sembari mengusap punggungku. Ratu drama, bermuka dua! Biar begitu, kuraih tangan beliau dan kucium punggung tangannya, karena sampai detik ini beliau masih mertuaku. Aku bangkit berdiri, meraih Zaki dari gendongan Bapak lalu duduk melantai di karpet. Mas Bagus ikut masuk, setelah menyalami Bapak dia duduk di samping Ibunya, menggantikan posisiku tadi. Tanpa, menyapaku atau sekedar berpura-pura di depan Bapak.Kulihat Bapak menunjukkan raut wajah tak ramah pada menantu yang selalu dibangga-banggakannya itu."Sehat, Pak Yanto?" tanya Ibu mertua berbasa-basi."Alhamdulillah sehat!" jawab Bapak seadanya.Tak lama, Emak datang menyuguhkan minuman. Teh panas berikut cemilan berupa sengkolun dan sosis (resoles/lumpia), entah dari mana camilan itu? Apakah ada tetangga yang punya hajat? Karena biasanya makanan seperti itu hanya ada di acara hajatan saja. Ah, aku saja baru sampai, belum sempat bertanya ini itu tapi sudah langsung disidang oleh Bapak."Maaf, Bu Yati. Hanya punya teh, kami tidak punya apa-apa. Coba, Bu Yati bilang dulu kalau mau datang, kami pasti siap-siap dulu." ucap Ibu tegas dan sedikit menyindir, beliau membalikkan kalimat yang serupa seperti yang dilontarkan menantunya pada Bapak beberapa waktu yang lalu. Mas Bagus mendongak sedikit terkejut, tapi segera menunduk lagi."Monggo, diminum tehnya. Gus, ayok diminum mumpung masih panas." titah Emak tersenyum tetapi terkesan tidak ramah. Lantas beliau turut duduk di sampingku dengan tangannya meraih Zaki untuk beliau pangku.Hening, sesaat. Tidak ada yang bersuara baik Bapak maupun Ibu mertua. Mas Bagus juga hanya diam saja bak kacung yang menunggu titah majikannya."Begini, Pak Yanto. Maksud dan kedatangan kami kemari sebenarnya adalah untuk mencari mantu dan cucu saya, tapi alhamdulillah kalau mereka benar ada di sini. Kami lega jadinya." ucap ibu mertua membuka suara, kami masih menyimak saja."Kita sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan tentu memahami jika dalam rumah tangga itu tidak selalu berisi yang indah-indah saja. Akan ada masanya terjadi perselisihan dan kerikil-kerikil yang mengiringi setiap langkah dalam berumah tangga, dan itu sangat wajar terjadi.Seperti yang saya sampaikan di telepon tadi siang, saya sedikit kecewa kenapa Indri memilih minggat dari rumah saat tengah berselisih paham dengan suaminya. Bukankah, itu perbuatan yang sangat tidak terpuji?" Duh, Ibu mertua, manis bener itu lambe (mulut) pengen tak kruwes dikit boleh tidak, ya? Gemes aku. "Seorang istri yang baik tentu akan tunduk pada suaminya, nurut apa yang diucapkan suaminya. Karena surga istri terletak pada ridho suaminya, bukan begitu Pak Yanto?" Bapak mangut-mangut menyetujui dan aku pun demikian. Memang benar letak surga istri ada pada ridho suami, tapi ya lihat-lihat suaminya seperti apa dulu. Kalau suami modelan begitu yang ada bukan surga tapi kerak neraka. Astagfitullah!"Saya harap, Indri banyak belajar dari saya. Saya sepanjang sebagai istri dari suami saya, tidak pernah sekalipun membantah apa yang beliau katakan dan perintahkan. Saya melakukan tugas dan kewajiban saya dengan baik sehingga tiga anak saya juga tumbuh menjadi anak-anak yang baik, nurut sama orang tua dan tidak neko-neko." Lah, mulai keluar kepercayaan dirinya sendiri. Ini, Bapak juga kenapa diam saja, sih. Ya, begitulah Bapak, akan diam saat lawannya berbicara dan akan mulai bicara saat lawan telah diam. Dan itu juga yang aku lakukan pada beliau tadi, karena aku tahu beliau paling tidak suka jika perkataannya dibantah ketika beliau belum selesai bicara."Pak Yanto, sebagai seorang istri dan juga seorang Ibu, Indri seharusnya bisa membagi waktu dengan baik. Jika anaknya masih tidur ya, bangun pagi-pagi, kerjakan pekerjaan rumah dengan cepat. Jadi saat anak sudah bangun, bisa ganti mengurus anaknya tanpa harus disambi dengan pekerjaan lain. Jadi bisa fokus ke anak saja." Kulihat Bapak tersenyum sekilas, bagi orang normal akan tahu apa arti senyum yang Bapak ulas barusan. Senyum mencibir!"Dan seorang istri tidak seharusnya meninggikan suara apalagi sampai bertindak bar-bar kepada suaminya. Sampai banting hp suami segala hanya karena suami main game, itu tindakan yang tidak patut dilakukan seorang istri.""Dan kalau suami nampar istri, itu patut begitu?" potong Bapak sembari menatap Mas Bagus dengan tatapan tidak suka. Mas Bagus menunduk tak berani membalas tatapan Bapak."Bagus hanya khilaf, Pak. Tidak ada niatan untuk melakukan itu. Lagipula, salah Indri sendiri kenapa sampai membanting hp anak saya. Padahal dia tahu, hp itu jaman sekarang sangat penting. Ya soal pekerjaan, hubungan dengan saudara jauh dan-""Game? Lebih penting game daripada anaknya yang udah nangis kejer?" sela Bapak lagi, kali ini lebih keras. "Anak Indri-""Anak Bagus juga!" bentak Bapak semakin hilang kontrol menghadapi mulut Ibu mertua."Em, iya, Zaki memang sedang aktif dan tak mau diam. Itulah sampai dia jatuh." sahut Ibu mertua, aku heran apakah Ibu mertua ini menjabat sebagai jubir alias juru bicaranya Mas Bagus? Wah sudah seperti presiden saja punya jubir."Sebenarnya kejadian itu tak akan sampai terjadi jika saja Indri bisa mengatur waktunya-""Indri, Indri, Indri saja terus!" potong Bapak dengan menggebrak meja di hadapannya. Mungkin beliau sudah tak tahan lagi mendengar anak perempuannya di pojokkan terus menerus. Ibu mertua dan Mas Bagus sampai terlonjak kaget dibuatnya."Sudah, Bu Yati, yang terhormat! Ya, semua salah Indri. Salah Indri yang tidak bisa ini itu sesuai keinginan kalian. Dan, salah Indri juga adalah salah saya. Sekarang tidak perlu basa-basi yang akhirnya membuat saya semakin muak dengan kalian." ujar Bapak tegas dengan masih berusaha keras menahan amarahnya."Bagus!" panggil Bapak pada suamiku yang sejak datang hanya diam seribu bahasa. Mas Bagus mendongak sebentar lalu menunduk lagi."Sejak Indri kecil, saya ataupun Emaknya tidak pernah menyentuh kulitnya dengan kasar dalam keadaan marah. Namun, setelah dia menikah justru kamu yang orang lain berani menamparnya. Langit dan bumi jadi saksi kalau saya tidak ridho dengan perlakuan kamu terhadap anak saya. Sekarang, saya minta kembalikan Indri pada kami, dia memang tidak pantas berada di keluarga kalian yang terhormat itu!" tegas Bapak dengan suara pelan tetapi penuh penekanan.Mas Bagus tersentak, mendongak menatap Bapak dengan tatapan tidak percaya. Lalu beralih menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Pak Yanto, jangan gegabah mengambil keputusan. Ingat, jika Pak Yanto meminta perceraian antara anak-anak kita, Bapak juga yang malu. Status janda dengan anak itu memalukan, Pak. Dan lagi, perceraian itu dibenci Allah!" sergah Ibu mertua mengeluarkan dalilnya."Lebih baik Indri jadi janda daripada mati muda menghadapi kalian!" tegas Bapak lagi, menatap Ibu mertua yang mulai gusar."Pak Yanto-""Diam Bu Yati! Sekarang giliran saya yang bicara." sela Bapak membuat Ibu mertua kicep seketika."Indri, saya besarkan dan saya didik dengan baik. Saya bekali dia ilmu agama yang cukup, agar kelak dia bisa membawa diri dengan baik. Saya mengenal Indri luar dalam, lebih dari siapapun. Kami memang tidak bisa membekalinya dengan harta dunia, sebab kami ini orang miskin. Untuk itulah dia bekerja di kota. Sejak sekolah, dia sudah mandiri. Sudah bisa hidup dengan keringatnya sendiri.Lalu datanglah kamu kemari, Bagus. Meminta anak saya untuk menjadi istrimu, saya ridho. Saya serahkan tugas dan tanggung jawab saya padamu, dengan harapan kesulitan dan kesusahan dia selama gadis akan berkurang setelah dia menikah denganmu yang katanya dari keluarga kaya itu. Nyatanya, bukan dia yang kamu nafkahi tetapi justru dia yang menafkahi kamu. Dia itu istri, tugas dan tanggung jawab mencari nafkah itu suami. Dia tulang rusuk, bukan tulang punggung!""Pak Yanto-""Saya sedang bicara, Bu Yati! Apakah anda tidak pernah belajar adab berbicara?" ketus Bapak menatap besannya itu. Lalu kembali beralih pada menantunya."Indri berjuang sendiri, menghidupi dirinya sendiri ditambah dengan menghidupi kamu. Laki-laki jenis apa kamu itu? Selama ini, Indri banting tulang, mencukupi segala kebutuhan, tapi kamu? Memberikan gajimu untuk ibumu yang masih bagas waras sehat begini. Kamu itu waras apa tidak?" "Ya wajarlah Pak Yanto, dia kan anak berbakti pada Ibunya!" sela Ibu cepat, membuat Bapak semakin murka. Bapak menggebrak meja kuat-kuat hingga Zaki tersentak kaget lalu menangis. Edi, adikku dengan sigap datang dari ruang tengah lalu mengambil alih Zaki ke dalam gendongannya dan mengajaknya pergi dari ruang tamu yang suasananya semakin panas ini."Wajar? Kalau begitu kelonin saja anakmu, Bu Yati. Jangan biarkan dia menikah!" ketus Bapak lagi masih dengan wajah merah padam.Ibu mertua melengos nampak tak suka dengan ucapan Bapak. "Bicara, Bagus! Apa kamu bisu, hah?" bentak Bapak Lagi, membuat Mas Bagus berjingkat."Sa-saya-""Kembalikan Indri baik-baik, Bagus! Saya tidak ingin lebih emosi daripada ini." tekan Bapak dengan nafas naik turun, menatap tajam Mas Bagus yang mulai pucat."Sa-saya, ti-tidak mau berpisah dari Indri, Pak!" gagap suamiku kemudian menunduk lagi. Ke mana jiwa garangnya saat menamparku tadi pagi? Atau teriakannya saat anakku menangis tadi pagi? Mas Bagus sudah seperti kerupuk kesiram air, mlempem, mungkret (mengkerut)."Kalau begitu, pisahlah dari Ibumu!" tegas Bapak membuat Mas Bagus mendongak, matanya melebar dengan mulut meganga. Pun dengan Ibu mertua, wajah beliau sudah semerah kepiting rebus."Pak Yanto ini apa-apaan, hah? Menyuruh anak berpisah dari ibunya?" hardik mertuaku bangkit berdiri. Bapak tersenyum mengejek, lalu dengan tenang Bapak menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Menatap Ibu dan anak di hadapannya ini dengan tatapan mengejek."Bagaimana, Bagus?" tanya Bapak dengan intonasi sangat tenang."Pak, saya mohon jangan pisahkan saya dengan Indri. Saya cinta Indri, Pak!" rengek suamiku mengabaikan raut wajah Ibunya yang sudah merah padam."Indri apa uang Indri?" ejek Bapak."Indri, Pak." tegas Mas Bagus."Indri saja? Bagaimana dengan Zaki?" tantang Bapak kembali wajahnya tak bersahabat. Bapak pandai sekali memainkan emosi orang. Mas Bagus maupun Ibu mertua diam tak bersuara."Kenapa diam?" ulang Bapak lagi."Zaki, Zaki-""Zaki bukan anak kamu, begitu? Jadi kamu tidak mau sama Zaki? Cuma mau Indri saja! Yasudah, sunat lagi saja kamu!" potong Bapak tenang tapi membuat Mas Bagus kelimpungan."Bagus, serendah itukah wanita yang kamu nikahi 5 tahun yang lalu?" tanya Bapak dengan suara parau."Saya melihat sendiri, Indri beberapa kali pulang kerja dibonceng sama laki-laki lain." serobot Ibu mertua lagi dengan mulut menjap-menjep."Benar, Indri?" tanya Bapak beralih padaku."Benar, Pak." jawabku membenarkan karena aku memang beberapa kali terpaksa harus naik ojek karena suamiku tidak mau menjemputku pulang."Tuh, anaknya saja mengakui, kok." cibir mertuaku dengan percaya diri."Sejak Indri sering di bonceng laki-laki lain kok gak lama terus hamil, padahal sama Bagus sudah 2 tahun enggak hamil-hamil. Anak siapa kalau bukan anak orang lain!" cerocos Ibu mertua dangan lancar jaya."Saat itu, Indri lembur sampai jam 9, Pak. Dan Mas Bagus tidak mau jemput, karena sedang kumpul-kumpul dengan teman-temannya untuk mabar. Jadi, terpaksa Indri harus pulang dengan tukang ojek karena sudah tidak ada angkot lagi dan Indri sudah capek kalau harus jalan kaki. Jadi, laki-laki lain yang dimaksud Ibu Yati adalah tukang ojek yang biasa mangkal di depan pabrik! Memang itu Indri lakukan tidak hanya satu kali, ada sampai 4 atau 5 kali setiap lembur dan Mas Bagus tidak mau jemput dengan alasan yang sama, mabar!" jelasku tegas dengan suara lantang tanpa keraguan karena memang seperti itu faktanya."Mabar itu apa, Ndri?" tanya Bapak tidak paham dengan istilah itu."Mabar itu main bareng, Pak. Main game online bareng lebih dari satu orang." terangku membuat wajah Ibu mertua melengos masam."Lebih memilih main game daripada menjemput istri kerja lembur, tapi makan dari gaji istri! Pantaskah kamu disebut laki-laki, Bagus?!" bentak Bapak lagi. Mas Bagus tertunduk semakin dalam."Gara-gara game onlie, kamu percaya pada fitnahan Ibumu terhadap istrimu sendiri, di mana otakmu, Gus?!" seru Bapak semakin emosi."Saya bisa bawa kasus ini ke ranah hukum, Bu Yati. Anda sudah dengan kejam memfitnah anak saya!" tegas Bapak pada besannya itu."Halah, Pak. Mbok mikir, dikira lapor polisi itu tidak butuh duit? Buat makan saja kalian susah, kok, gaya-gayaan mau laporin polisi segala!" cibir mertuaku menantang. Tidak tahu saja dia, adik ipar Bapak ini adalah polisi berpangkat Bripka (Brigadir Polisi Kepala).Ya, adik lelaki Emak yang tadi ditawarkan Emak untuk menjemputku dari kosan adalah salah satu polisi yang bertugas di polsek Ungaran, Bripka Tri Danuadji."Ndri, telepon Lekmu. Suruh dia ke sini!" pinta Bapak padaku. Dengan cepat aku menghubungi adik bungsu Emak itu. Tanpa, disangka, rupanya Lek Tri baru saja sampai di rumahnya. Dan beliau bersedia datang ke rumah, kuminta beliau untuk tidak perlu ganti baju. Biar jantungan itu Ibu mertua, eh! Astagfirullah, nyebut, Ndri!!Ibu mertua masih menjap-menjep percaya diri. Mas Bagus masih diam menunduk. Heran sama laki-laki bauk ketek Ibunya itu sedari tadi menunduk saja, apakah di lantai sana ada game PUBG yang selalu dia mainkan tak kenal waktu itu? Wkwkwk, jahatnya aku. Biarlah, gara-gara game itu rumah tanggaku berantakan. Sebenarnya tidak masalah mau mainin game apapun itu asal tidak sampai mengabaikan prioritas. Bermain game seperlunya, sekedar untuk menghibur diri, tapi tidak lantas melupakan tugas dan tanggung jawabnya. Banyak juga kok, para bapak-bapak yang main game tapi rumah tangga baik-baik saja karena mereka tidak lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung dan kepala keluarga.Tidak seperti suamiku itu, bermain game sampai lupa diri. Siang, malam, tengah malam, pagi-pagi buta, bahkan ngis*ng (ber*k) pun sambil main game. Sampai lupa akan tugas dan tanggung jawabnya menafkahi anak istri.Tak lama deru sepeda motor yang sudah aku tebak adalah milik Lek Tri datang berikut sorot lampu yang menyorot rumah ini. Detik berikutnya lampu sorot itu padam seiring suara deru itu mati.Bapak tersenyum mengejek besannya itu, dalam hitungan 1-10 apakah mulut lemes itu masih bisa menjab-menjeb seperti itu?"Assalamualaikum!" seru seorang wanita yang aku yakin istrinya Lek Tri. "Walaikum salam!" sahut kami serempak.Lek Erna segera masuk ke dalam karena pintu terbuka lebar. Beliau sedikit kaget melihat mertua dan suamiku di sini. Di belakang Lek Erna, Lek Tri menyusul masuk dengan gagahnya. Ibu mertua seketika melotot, sontak bangkit berdiri dengan wajah pucat pasi melihat Lek Tri dalam balutan seragam dinas kebanggaan kami semua. Lalu,Bugh,Kami semua saling pandang saat Ibu mertua jatuh terkulai, tak sadarkan diri. Lek Tri dan Lek Erna yang kebingungan akan kejadian ini pun hanya bertanya melalui tatapan. Mas Bagus segera menyadari bahwa Ibunya pingsan, sontak memanggil-manggil Ibunya dengan menggoyang-goyangkan tubuh gempal tersebut.Oalah, bumer-bumer, baru juga lihat orangnya sudah pingsan. Gimana jika Bapak benar-benar melaporkan ke pihak berwajib? Bisa unfall beneran jantungmu! Belagu, sih!*Lek = Paman (laki-laki)/ Tante (perempuan)🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺Cukup lama Ibu mertua pingsan, entah pingsan betulan atau hanya pura-pura pingsan karena malu. Entahlah, hanya beliau yang paham. Lek Erna dan Lek Tri yang tak tahu apa-apa kebingungan dibuatnya. "Opo, sih, Ndri?" bisik Lek Erna saat sudah duduk di sebelahku."Nanti, Lek Na akan tahu sendiri." jawabku juga berbisik."Bu, bangun! Jangan bikin malu!" kudengar Mas Bagus putus asa membangunkan ibunya. Lek Tri duduk di sebelah Bapak, walau masih bingung tapi beliau tidak banyak tanya. Ibu mertua mulai sadar, dengan dibantu Mas Bagus beliau kembali duduk bersandar pada sofa. Mas Bagus dengan cekatan menyodorkan gelas teh yang mulai dingin karena ditinggal berdebat tadi."Sudah sadar, Bu Yati? Tidak lupa bukan, apa yang saya ucapkan sebelum Jenengan pingsan tadi?" tanya Bapak agaknya sudah tak sabar ingin mengakhiri segala drama yang dibuat Ibu mertua."Pa-Pak Yanto tidak sungguh-sungguh, kan?" gagap Ibu mertua menatap Bapak dan Lek Tri dengan wajah pucat."Kenapa tidak? Ini saya perkenalk
Kumandang Azan subuh saling bersahutan dari masjid kampung dan masjid-masjid kampung tetangga, suasana yang dingin menusuk tulang membuat siapa saja enggan untuk meninggalkan peraduan. Sama sepertiku, aku pun enggan meninggalkan hangatnya dekapan selimut tebal semasa aku gadis dulu. Bersamaku ada Emak yang masih terlelap dan juga Zaki di antara kami. Semalam sepulang dari rumah sakit, aku menghabiskan hampir 3 jam untuk bercerita banyak hal dengan Emak. Cerita hidupku yang tragis lebih tepatnya. Emak sampai geleng-geleng kepala, heran denganku yang bisa bertahan hingga 5 tahun lamanya dengan suami parasit seperti Bagus."Pantas saja, kamu sudah tidak ingat pulang, Nduk. Emak pikir karena hidupmu sudah enak di kota sana, sampai lupa pada kami."Begitu keluh Emak, setelah mendengar cerita hidupku. Ah, andai Emak tahu betapa berat perjuangan anak perempuannya ini pasti beliau tidak akan rela aku menikah dengannya.Namun, semua sudah terjadi. Tak perlu disesali apalagi ditangisi, hidup a
Kuhela nafas besar, menetralkan degub jantung yang sedikit lebih cepat, ya sedikit saja lebih cepat. Di depan sana, ada mantan suami yang baru semalam mengucapkan talak padaku, tapi siang ini sudah bermesraan dengan mantan pacarnya dulu.Cemburu? Iya! Aku memang cemburu, karena aku sungguh tulus mencintai laki-laki itu. Namun, bukan karena rasa cemburu itu yang membuatku ingin menangis sekarang. Sampai di sini aku semakin sadar diri, bahwa kehadiranku selama ini memanglah tidak dia anggap sama sekali, itu yang membuatku terluka. Lalu, selama ini aku dia anggap apa? Hingga semudah dan secepat itu dia berpaling?Fisik? Ku akui kalau Linda jauh lebih cantik dariku, meski dempulannya (make up) yang 80% mendominasi wajah. Sexi? Bahkan meski telah memiliki satu anak, berat badanku tetap ideal, 54 kg dengan tinggi 163 cm. Masih cukup sexi, kan? Hanya memang ukuran dadaku tak sebesar miliknya. Namun, seindah apapun fisik seseorang, bukankah ia akan pudar termakan usia? Wajah se-glowing apapu
"Indri, aku, aku. . ."Linda tergagap, bahunya bergetar karena tangis. Aku semakin heran dibuatnya."Ada apa, Lin?" tanyaku karena sejak tadi hanya isaknya yang terdengar sedangkan aku harua segera pulang kalau tidak aku tidak akan dapat angkot untuk ke kosan."Maafkan aku, Ndri." lirihnya di sela isak tangis."Iya, aku maafkan. Maaf, Lin. Aku harus segera pulang, ada Zaki yang menungguku." putusku ingin mengakhiri ini semua. Indri mendongak, menatapku masih dengan mata berair."Aku, aku hamil anak Bagus, Ndri!" Duar! Bagai tersambar petir aku mendengar pengakuannya. "Hah?!" pekikku dengan mata melebar."Maafkan aku, Indri!" isaknya kembali terdengar, wajahnya menunduk dalam.Tunggu! Apa dia bilang tadi? Hamil anak Bagus? Itu artinya mereka? Astaghfirullahhalazim! Aku menelan ludah susah payah, air mata yang tadi entah ke mana, sekarang tiba-tiba mengalir membasahi kedua pipiku. Lemas seluruh persendianku, seolah kedua kakiku tak mampu untuk menopang bobotku sendiri."Jadi, benar se
[Alhamdulillah, Ibu sudah menemukan mantu idaman. Lalu, bagaimana dengan Linda, yang katanya sedang hamil anak Mas Bagus?]Beberapa detik, akhirnya pesanku centang dua dan langsung warna biru karena memang Ibu mertua terlihat tengah online. Lalu, tulisan online itu segera berubah menjadi mengetik. Ah, penasaran aku dibuatnya. Kira-kira apa tanggapan Ibu mertua? Satu pesan masuk dari kontak Ibu, buru-buru aku buka saking penasarannya.[Gak usah nebar fitnah! Hubungan Bagus dengan Linda sudah berakhir lama.][Ririn inilah calon menantuku, menggantikan kamu!][Mereka sudah pacaran 4 bulan ini.][Awas kalau karena fitnahanmu ini, rencana pernikahan mereka gagal.]Pesan beruntun masuk dari kontak yang sama, aku terkejut dengan reaksi dan balasan Ibu mertua. Jadi, mana yang benar? Linda berhubungan dengan Mas Bagus sudah 8 bulan dan sekarang sedang hamil. Sedangkan pengakuan Ibu mertua, hubungan Mas Bagus dengan wanita bernama Ririn ini sudah 4 bulan dan akan segera menikah. Ya Allah, Bag
Sesaat telingaku berdenging dan mataku berkunang, tapi hanya sebentar saja sebab rentetan makian segera terdengar nyaring."Munafik kamu, Ind! Aku pikir kamu benar-benar manusia berhati malaikat, nyatanya hatimu busuk! Kupikir semua ucapanmu kemarin karena kamu memang peduli, nyatanya hanya topeng agar namamu semakin terlihat bersinar. Mulutmu jahat, Ind! Kau ceritakan ke orang-orang kalau aku adalah selingkuhan suamimu, bahkan kamu juga ceritakan kalau kami berciuman. Sadar Indri, sadar! Kamu sudah diceraikan sama Bagus!" makinya lantang dan tangannya menunjuk-nunjuk wajahku, air mata berurai di kedua pipinya. Hal ini sontak membuat semua pasang mata terbelalak mendengar kenyataan bahwa aku dan Mas Bagus sudah bercerai. Kulihat Mbak Nurul pun tak kalah terkejut, ia sampai membekap mulutnya sendiri dengan mata yang masih melebar sempurna."Sialan kamu, Ind! Sekarang semua orang mengecapku sebagai pelakor, puas kamu, hah?!" jeritnya lagi semakin kalap, bahkan dia dengan brutal mendor
Aku dan Mbak Nurul harus pulang lebih lambat karena masih menyelesaikan beberapa potong lagi. Akhirnya beberapa teman turut membantu agar cepat selesai dan bisa pulang barengan."Ind, kamu hutang cerita sama kami. Pokoknya setelah ini jangan pulang dulu, kamu cerita dulu biar kami gak kebawa mimpi!" todong Mbak Nurul saat pekerjaan telah selesai dan kini kami tengah beres-beres pulang."Iya, Mbak Ind, daripada kami hanya dengar dari gosip yang beredar saja lebih baik kami tanya langsung pada sumbernya." timpal Jumiatun mendukung Mbak Nurul. Ada juga Mbak Yanti, Mbak Yesi dan Mbak Sumi ikut bergabung, merka kompak mengangguk bersama."Gimana kalau kita mampir ke bakso sebelah, sambil cerita sambil makan gitu?" usul Mbak Yesi semangat."Kamu yang bayarin, Yes?" tanya Mbak Sumi."Oralah, bayar dewe-dewe!" sahutnya diiringi tawa."Huuu!" sorak Mbak Sumi sambil melemparkan potongan kain ke arah Mbak Yesi. Hal kecil yang memancing tawa kami, sebagai penghibur dikala yang lain sudah pada pul
Hari ini, Zaki kubawa ke daycare karena Budhe Win akan ke pasar dan tak mungkin membawa Zaki turut serta. "Zaki ... Selamat datang kembali!" sambut Maryam, salah satu pengurus daycare kelas strawbery (anak usia 6-12 bulan). Ada sekitar 15 anak rentang usia itu dengan 5 pengasuh. Dan Zaki ada dalam pengasuhan Maryam sebagai penanggung jawab bersama dua anak lainnya, satu perempuan berusia 6 bulan, satu lagi laki-laki berusia 11 bulan.Daycare milik perusahaan ini sangat dibatasi jumlah anaknya karena keterbatasan pengasuh juga tentunya. Dan alhamdulilah, Zaki menjadi anak yang beruntung masuk ke sini, meski biaya bulanannya juga lumayan mahal. Lebih mahal dibanding dengan membayar orang secara pribadi menurutku, hanya saja jika di sini kami para ibu bisa datang setiap jam istirahat dan menghabiskan waktu bersama.Ada 4 kelas dengan pengelompokkan berdasarkan usia masing-masing dengan jumlah anak antara 10-15 anak saja. Semua kebutuhan termasuk susu masih dari kami para orang tua, di s
Tiga tahun kemudian ..."Yeeeeyy ... Selamat ulang tahun kakak Zaki!"Seru semua orang yang menghadiri acara ulang tahun ke-5 dari putra Indri bernama Danindra Alzaki Maulana. Pesta meriah dengan tema Super Mario yang merupakan tokoh kartun favorit sang putra.Di samping kanan sang pemilik acara, ada sang bunda, Indri lengkap dengan Papa Danu dan adik kecilnya bernama Zivara Alzahira Maleakhi yang baru berusia 6 bulan. Di samping kiri ada ayah Bagus beserta Mama Via yang tengah mengandung calon adik keduanya yang masih 7 bulan dalam kandungan.Mereka semua berdiri di belakang sebuah kue besar dengan banyak lilin di sana. Aneka hadiah dan tumpukan kado pun tak luput memenuhi meja kanan dan kiri kue tersebut.Semua nampak gembira, tersenyum bahagia merayakan pertambahan usia Zaki sang putra mahkota. Semua kompak mengenakan busana bernuansa merah dan biru.Pesta meriah di salah satu restoran mewah di kawasan Ungaran selatan itu mengundang seluruh keluarga dari pihak ibu maupun ayahnya.
Minggu berganti bulan, sudah hampir 5 bulan berlalu sejak pernikahan super mewah Indri dan Danu digelar. Bagus, semakin sadar diri bahwa dia harus menepi. Tak ada setitikpun harapan bisa kembali membersamai ibunda Zaki, sang mantan istri."Gus, kamu enggak mau buka hati untuk wanita lain?" tanya Santi pelan saat mereka usai makan malam."Untuk sekarang ini enggak, Mbak. Aku hanya mau fokus kerja, kita masih banyak kebutuhan terutama untuk kesembuhan Ibu." sahutnya pelan namun tegas."Iya, sih, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri, Gus. Mbak pun punya penghasilan walau hanya cukup untuk makan, jadi jangan kamu pikul sendiri beban keluarga ini," tukas Santi mencoba membujuk adik kesayangannya untuk mencari pendamping hidup.Bukan ia tak mau mengurus keperluan sang adik, tetapi ia sangat paham bahwa ada beberapa kebutuhan yang tidak bisa ia lakukan seperti selayaknya pasangan. Dan ia paham betul bahwa adiknya butuh pendamping hidup."Jujur aku takut, Mbak, ada rasa tidak percaya
Di sebuah ruang gelap, lembab dan pengap, seorang lelaki terbaring nyaris tanpa alas. Sarung teramat lusuh yang telah lecek, kotoran bercampur nanah dan darah yang telah mengering menguarkan aroma yang membuat perut bergejolak. Jari jemari di kedua kakinya nyaris tak lagi tersisa akibat membusuk hingga terlepas satu persatu, tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit saja membuatnya tak mampu menegakkan tubuhnya sekedar untuk duduk.Terlebih, rasa nyeri dan sakit luar biasa di area kemaluannya, yang terus membengkak dan mengeluarkan darah serta nanah yang tak henti menambah penderitaan di setiap hembusan nafasnya.Merintih, mengerang, menjerit lalu meratapi buruk nasibnya hingga ia sangat berharap bahwa kematian segera menjemputnya, tapi sayangnya sang malaikat maut seolah enggan mendekatinya. Membiarkannya mengalami kepedihan sampai kata taubat itu keluar dari mulutnya.Dialah, Edo. Sang penjahat kelam*n, sang predator, germ* dan entah sebutan apalagi yang pantas tersemat untuknya."D
"Anakku, Setyadanu Adimas Budianto bin Rudi Budianto. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, set perhiasan emas seberat 60 gram. Uang tunai senilai tiga puluh juta seratus dua puluh tiga ribu dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Sah!"Sah!"Alhamdulillah ... "Lantunan hamdalah menggema di ballroom The Wujil Resort and Convetions yang keluarga Danu sewa untuk mengadakan perhelatan mewah akad dan resepsi pernikahan Danu dan Indri. Usai kata sah terucap, Indri menangis haru. Meski ia sangat bahagia, tak dapat ia pungkiri ada rasa takut menelusup di relung batinnya yang terdalam. Kegagalan di masa lalu sedikit banyak memberinya rasa trauma dan ketakutan tersendiri dalam menjalani biduk rumah tangganya yang baru kelak. Akankah, dia berhasil sampai
"Gimana persiapan kalian? Udah beres semua?" tanya Ibu Riyanti saat kami janjian makan siang bersama hari ini.Ini kali ke 4 kami ketemu lagi sejak terbukanya inisal SAB yang kukira Samsul kala itu. Mengingat Samsul, rasanya ingin sekali meremukkan kepalanya karena pernah melakukan kesalahan fatal padaku, tapi ya sudahlah lebih baik melupakan daripada terus membuat sakit hatiku.Pertemuan pertama kali dengan Bu Riyanti adalah saat ke rumah bersama Danu, ke dua saat perkenalan keluarga, ke tiga saat lamaran resmi dan kali ini finally persiapan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Pancaran mata teduhnya, senyum hangatnya dan perlakuannya sama sekali tidak berubah. Malah semakin hangat saja kurasakan. Dengan demikian, ketakutan dan keraguanku semakin luruh tak bersisa. Karena jujur, aku sempat takut kalau-kalau keluarga Danu akan berubah seperti keluarga mantan padaku."Alhamdulillah sudah beres, Bu. Hanya tinggal futting terakhir 2 hari lagi, yang lainnya sudah beres semua." ja
Santi termangu menatap rumah kontrakan Bagus, sang adik. Ada rasa ragu yang menyelinap di kalbu karena rasa malu dan rasa bersalah. Bayang perlakuannya pada istri adiknya di masa lalu melintas begitu saja, menghadirkan rasa sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.Rumah yang dulu selalu bersih dan rapi itu kini nampak tak terawat. Rumput liar sudah semakin nampak terlihat di sela-sela paving blok, daun rambutan kering berserakan di mana-mana membuat rumah ini nampak seperti rumah kosong. Hampir satu tahun ia menghilang, ia begitu banyak melewatkan kabar dari keluarganya. Dalam benaknya hanya satu, seperti apa putrinya sekarang? Terurus dengan baikkah atau justru sebaliknya? Bagaimana kondisi sang Ibu, masih seperti dulukah? Lalu, bagaimana dengan Bagus, adiknya? Sudah tahu akan belang istrinyakah? Atau justru mereka kini masih bersama?Berbagai tanya mengisi penuh kepalanya, hingga tanpa ia sadari ada dua orang tetangganya yang melintas di depan rumah Bagus, Ismi dan Nurul. Mereka me
"Seriusan?" kejut Neti lagi, tanpa ia sadari senyumnya terbit begitu saja.Ari mengangguk meyakinkan karena selama dua bulan ini dia selalu bersama Bagus jadi dia tahu cerita hidup partnernya itu."Tapi harus sabar dulu, hatinya masih terluka dengan kelakuan mantan istri keduanya sampai dia kehilangan anak yang belum lahir ke dunia. Kalau yang mau ditemuinya nanti itu anak dari mantan istri pertamanya," papar Ari semakin membuat mata Neti terbelalak kaget."Maksudmu piye, to?" "Panjang ceritanya, Mbak, dan bukan hakku buat cerita urusan pribadi dia. Hanya, kalau Mbak Neti menyukainya, jangan perlihatkan dengan kentara tunggulah sampai luka hatinya sembuh." beritahu Ari lagi."Tapi--""Udah, yok berangkat!" ajak Bagus yang sudah kembali bergabung, memotong pertanyaan lanjutan dari mulut Neti pada Ari.Ketiganya lantas bergegas menuju mobil, sepanjang jalan dari Ungaran ke Ambarawa banyak diisi oleh obrolan hangat seperti biasa. Sesekali mereka tertawa dengan banyolan Ari yang mampu me
"Ka-kamu!""Sudah kuduga," ucap Indri dengan tatapan sinis yang sarat akan kekecewaan. Membuatnya menelan ludah susah payah, wajah tampannya mendadak pucat pasi."Kenapa?" tantang Indri maju satu langkah, sedang dia mundur satu langkah."Kenapa kamu lakukan ini padaku, Samsul Ali Bahrudin?" tanya Indri tanpa melepas tatapannya pada Samsul yang bergeming. Otaknya mendadak blank begitu berhadapan langsung dengan Indri yang menatapnya penuh dengan sorot kekecewaan. Sungguh, dari dulu ia selalu kalah dengan tatapan mata itu. Padahal dari awal dia merencanakan semua ini, ia sudah bertekad untuk mendapatkan Indri apapun caranya."Kamu menginginkanku, bukan? Sekarang ayok lakukanlah!" tantangnya dengan suara parau menahan tangis."Kau menjebakku dengan obat tidur agar kau bisa memperko**ku, bukan? Sekarang ayok lakukan dengan keadaan aku sadar sepenuhnya. Supaya aku semakin yakin, bahwa kamu adalah satu-satunya temanku yang paling pengecut dari ribuan temanku yang lainnya." tetes demi tetes
Dalam keadaan yang seperti ini, semua indera dituntut untuk bekerja secara maksimal. Indri yang sedang pura-pura masuk dalam jeratan obat tidur memakai telinganya untuk mendeteksi keadaan sekitar. Setelah ia rasa aman karena tak mendengar pergerakan apapun, ia perlahan membuka matanya. Kosong,Ia edarkan pandangan ke sekeliling, dan hanya mendapati furniture kamar hotel. Tak ia lihat satupun manusia di dalam sana. Beringsut turun dari bed lalu melangkah pelan menuju jendela yang tertutup gorden.Menyibak sedikit dan lalu ia dapati satu orang laki-laki yang tadi berjaga sendirian. Entah ke mana dua rekannya, yang jelas ini memudahkannya melumpuhkan lawan.Dengan gerakan tanpa suara, ia kembali menjauh. Mencari di mana letak tasnya, dan sayangnya tak ia temukan di dalam kamar. Ia kembali menyibak gorden, lalu senyumnya mengembang saat melihat mobil calon suaminya terparkir manis di depan kamar seberang kamarnya ini meski berjarak agak jauh. Ia percaya bahwa saat ini Danu pun tengah men