Hari ini, Zaki kubawa ke daycare karena Budhe Win akan ke pasar dan tak mungkin membawa Zaki turut serta. "Zaki ... Selamat datang kembali!" sambut Maryam, salah satu pengurus daycare kelas strawbery (anak usia 6-12 bulan). Ada sekitar 15 anak rentang usia itu dengan 5 pengasuh. Dan Zaki ada dalam pengasuhan Maryam sebagai penanggung jawab bersama dua anak lainnya, satu perempuan berusia 6 bulan, satu lagi laki-laki berusia 11 bulan.Daycare milik perusahaan ini sangat dibatasi jumlah anaknya karena keterbatasan pengasuh juga tentunya. Dan alhamdulilah, Zaki menjadi anak yang beruntung masuk ke sini, meski biaya bulanannya juga lumayan mahal. Lebih mahal dibanding dengan membayar orang secara pribadi menurutku, hanya saja jika di sini kami para ibu bisa datang setiap jam istirahat dan menghabiskan waktu bersama.Ada 4 kelas dengan pengelompokkan berdasarkan usia masing-masing dengan jumlah anak antara 10-15 anak saja. Semua kebutuhan termasuk susu masih dari kami para orang tua, di s
Seketika tubuhku bergetar hebat, benarkah yang kudengar ini? Allah ... Linda? Ada apa ini?"Be-benarkah, Mbak?" gagapku menatap Mbak Nurul dan Mbak Yesi bergantian. Mereka mengangguk pasti."Tadi, dia nyariin kamu ke kantin, lalu dia titip ini." ujar Mbak Nurul lalu menyerahkan kertas yang kutebak adalah surat.Tanganku bergetar menerima kertas itu, benarkah Linda sudah merencanakan kejadian ini? Air mata seketika tumpah begitu saja, lepas dari hubungan Linda dengan Mas Bagus di belakangku, dia adalah temanku sejak awal masuk ke pabrik ini. Meski tidak bisa dibilang teman dekat, tetapi hubungan kami baik selama ini selayaknya teman.Ingin kubuka kertas itu sekarang, tapi Mbak Nurul melarangnya. Karena pekerjaan kami menanti dan bel sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Kami gegas kembali ke ruang produksi, kejadian ini tidak mempengaruhi pekerjaan kami.Walau pikiranku sedikit terusik dengan kejadian ini juga penasaran akan apa isi kertas yang diberikan Linda padaku, akhirnya aku b
Kupandangi wajah pucat wanita yang kemarin pagi masih memakiku di hadapan ratusan karyawan pabrik itu lekat, matanya terpejam. Namun, rautnya tak bisa menyembunyikan beban yang ia tanggung sebelum nafasnya berhenti. Sungguh, hatiku tak ada dendam dengannya. Marah pun tidak. Aku hanya tak habis pikir bahwa ia memiliki pikiran pendek sehingga nekat melakukan itu. Kalau saja dia datang padaku, aku tak segan membantunya. Namun, ya, sudahlah, itu jalan yang ia pilih."Selamat jalan, Linda. Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu padaku. Lillahi ta'ala, aku maafkan dengan ikhlas." ucapku di hadapan jenazah Linda yang sudah terbungkus kain kafan dan tertutup kain jarik menyisakan wajahnya saja yang masih boleh dilihat sebelum benar-benar tertutup.Satu kebiasaanku ketika bertakziah, aku harus melihat wajah si mayit agar tidak terbayang-bayang. Apalagi mayit yang aku kenal selama hidup, dan beruntung jenazah Linda masih boleh dilihat meski dari rumah sakit sudah dikemas rapi.Kututup kembali w
Indri Kartika Sari, satu nama yang selama 5 tahun ini menemaniku. Dia tak cantik, tapi manis. Kulitnya tak putih, tapi cantik tanpa polesan. Dia santun, lembut tutur bahasanya. Ramah, mudah bergaul tetapi tetap menjaga batasan terhadap lawan jenis. Dia lembut hatinya tetapi pekerja keras dan mandiri. Dia penurut dan tak banyak menuntut, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.Berawal dari interaksi antara mekanik dengan operator kemudian kami kian dekat dan semakin dekat. Hingga di bulan ke 4 kedekatan kami, aku utarakan niatku untuk melamarnya."Kalau Mas serius, datanglah pada Bapak. Jawaban Bapak berarti jawabanku."Begitu jawabnya kala kuutarakan niatku melamarnya. Kusetujui persyaratannya, akhirnya kutemui keluarganya di Banyu Biru sana. Akhirnya, mereka menerima lamaran tidak resmiku dan meminta keluargaku untuk datang melamar secara resmi.Namun, sebelumnya kubawa dia ke keluargaku di Karang Jati. Ibu dan kakak perempuanku menolak keras sedang Bapak dan adikku menerima denga
"Indri ... Indri!" teriakku ketika mataku baru saja terbuka. Sakit di tengkuk dan kepala seketika menghujam membuat mataku berkunang kembali.Kembali kurebahkan diri, di mana aku? Kupindai sekeliling kamar, rupanya aku ada di rumah Mbak Santi. Siapa yang membawaku ke sini? Perasaan aku tadi di rumah.Kupaksakan kaki menuruni kasur, masih merasakan sakit di tengkuk leherku aku berjalan keluar kamar. Tak kutemui siapapun di rumah ini, ke mana Ibu dan Mbak Santi? Suara Sheril pun juga tak terdengar.Kucari ke setiap sudut rumah, masih tak kutemukan juga. Akhirnya kuputuskan membuat kopi di dapur sambil menunggu mereka.Namun, sampai kopi di hadapanku habis mereka tak kunjung pulang. Membuatku kesal sendiri. Baru saat aku hendak berdiri, kudengar langkah kaki mereka, ah tidak, suara omelan mereka lebih tepatnya."Ada apa, sih, Mbak? Bu?" tanyaku penasaran."Istrimu itu, Gus! Kurang aj*r! Bisa-bisanya dia minggat bawa semua isi rumahmu! Sudah gak waras dia itu!" omel Ibu menatap tak suka p
Kuantar Ririn sampai ke rumah Mbak Santi karena mobilnya ia parkir di sana. Ririn dilepas oleh pelukan hangat dari Ibu dan Mbak Santi, hal yang tak pernah kulihat mereka melakukan itu pada Indri, istriku sendiri. Sampai di sini semakin aku yakin akan menikahi Ririn.Aku segera pulang karena di rumah Mbak Santi, masih ada Mas Anwar dan aku malas sekali mendengar petuah sok bijaknya itu.Rupanya, Ibu dan Mbak Santi mengikutiku. Mereka penasaran dengan apa yang kami bicarakan sepanjang sore ini. Tentu kuceritakan semua apa yang kami obrolkan tetapi tidak kukatakan kalau kami baru saja be***nta. Namun, aku yakin Mbak Santi dan Ibu paham apa yang kami lakukan tadi karena melihat rambut kami sama-sama basah."Baguslah kalau kamu sudah sadar sekarang, Gus. Matamu sudah bisa melihat mana yang masa depannya cerah dan mana yang suram!" sanjung Mbak Santi tertawa girang."Berarti bonusku cair dong, Gus?" lanjutnya lagi dengan senyum lebar. Aku tahu apa yang dia maksud. Belum lama ini dia meminta
"Nduk, ini Kk sama KTPmu yang asli, simpan dulu. Nanti kalau dibutuhkan, Lelek minta lagi," ujar Lek Tri sembari menyerahkan berkas penting milikku itu. Kuterima dan kupandangi sekali lagi dengan nanar, 5 tahun akan berganti 3x surat kependudukan itu. Dari berdua menjadi bertiga dan nanti akan kembali menjadi berdua, ah, rasanya ... Entahlah!"Sudah, tidak usah disesali. Hidup hanya sekali, jangan dipakai untuk menyesali hal-hal yang tidak seharusnya disesali. Kita tidak bisa mengulang masa lalu, tapi kita bisa mengubah masa depan. Setelah ini, tatap masa depanmu, ubah menjadi lebih baik karena mulai sekarang kamu tidak sendiri tetapi berdua dengan putramu." wejang beliau mengusap lembut bahuku.Aku tersenyum, betapa selama ini aku menjauh dari mereka yang tulus menyayangiku hanya untuk menjaga hati yang sama sekali tidak menyayangiku. Sekali lagi aku tertampar oleh kenyataan."Dalam 2 minggu ini, persiapkan dirimu. Mungkin Senin depan sudah ada panggilan sidang pertama. Kalau suami
"Pak, kata Lek Tri, biaya perceraian Indri Bapak yang tanggung. Benar, Pak?" tanyaku pada Bapak usai kami makan malam.Bapak yang tengah memangku Zaki pun menoleh, "kenapa memang?" tanyanya."Bapak uang dari mana? Indri yakin biayanya gak sedikit, Pak." tanyaku pelan, tak ingin membuat Bapak tersinggung."Sudah, Nduk. Yang penting, statusmu segera jelas. Masalah uang, kami masih punya simpanan." sela Emak ikut bersuara."Mak, Pak, Indri sudah terlalu banyak nyusahin kalian. Masa, masih juga harus menguras simpanan kalian untuk kepentingan Indri." cegahku penuh sesal."Nduk, anak Emak cuma kamu sama adikmu, Edi. Sekarang ini, kamu yang lebih membutuhkan sokongan kami. Masa iya, kami mau diam saja." sahut Emak."Mak, tapi Indri, kan, sudah kerja. Punya pemasukan meski tak banyak." bantahku."Gajimu, pakailah untuk keperluan Kenang. Soal ini, biarlah kami yang usahakan." sela Bapak kemudian."Ada Edi yang masih butuh banyak uang, Pak." "Sekarang ini, Edi belum membutuhkan itu. Insya All
Tiga tahun kemudian ..."Yeeeeyy ... Selamat ulang tahun kakak Zaki!"Seru semua orang yang menghadiri acara ulang tahun ke-5 dari putra Indri bernama Danindra Alzaki Maulana. Pesta meriah dengan tema Super Mario yang merupakan tokoh kartun favorit sang putra.Di samping kanan sang pemilik acara, ada sang bunda, Indri lengkap dengan Papa Danu dan adik kecilnya bernama Zivara Alzahira Maleakhi yang baru berusia 6 bulan. Di samping kiri ada ayah Bagus beserta Mama Via yang tengah mengandung calon adik keduanya yang masih 7 bulan dalam kandungan.Mereka semua berdiri di belakang sebuah kue besar dengan banyak lilin di sana. Aneka hadiah dan tumpukan kado pun tak luput memenuhi meja kanan dan kiri kue tersebut.Semua nampak gembira, tersenyum bahagia merayakan pertambahan usia Zaki sang putra mahkota. Semua kompak mengenakan busana bernuansa merah dan biru.Pesta meriah di salah satu restoran mewah di kawasan Ungaran selatan itu mengundang seluruh keluarga dari pihak ibu maupun ayahnya.
Minggu berganti bulan, sudah hampir 5 bulan berlalu sejak pernikahan super mewah Indri dan Danu digelar. Bagus, semakin sadar diri bahwa dia harus menepi. Tak ada setitikpun harapan bisa kembali membersamai ibunda Zaki, sang mantan istri."Gus, kamu enggak mau buka hati untuk wanita lain?" tanya Santi pelan saat mereka usai makan malam."Untuk sekarang ini enggak, Mbak. Aku hanya mau fokus kerja, kita masih banyak kebutuhan terutama untuk kesembuhan Ibu." sahutnya pelan namun tegas."Iya, sih, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri, Gus. Mbak pun punya penghasilan walau hanya cukup untuk makan, jadi jangan kamu pikul sendiri beban keluarga ini," tukas Santi mencoba membujuk adik kesayangannya untuk mencari pendamping hidup.Bukan ia tak mau mengurus keperluan sang adik, tetapi ia sangat paham bahwa ada beberapa kebutuhan yang tidak bisa ia lakukan seperti selayaknya pasangan. Dan ia paham betul bahwa adiknya butuh pendamping hidup."Jujur aku takut, Mbak, ada rasa tidak percaya
Di sebuah ruang gelap, lembab dan pengap, seorang lelaki terbaring nyaris tanpa alas. Sarung teramat lusuh yang telah lecek, kotoran bercampur nanah dan darah yang telah mengering menguarkan aroma yang membuat perut bergejolak. Jari jemari di kedua kakinya nyaris tak lagi tersisa akibat membusuk hingga terlepas satu persatu, tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit saja membuatnya tak mampu menegakkan tubuhnya sekedar untuk duduk.Terlebih, rasa nyeri dan sakit luar biasa di area kemaluannya, yang terus membengkak dan mengeluarkan darah serta nanah yang tak henti menambah penderitaan di setiap hembusan nafasnya.Merintih, mengerang, menjerit lalu meratapi buruk nasibnya hingga ia sangat berharap bahwa kematian segera menjemputnya, tapi sayangnya sang malaikat maut seolah enggan mendekatinya. Membiarkannya mengalami kepedihan sampai kata taubat itu keluar dari mulutnya.Dialah, Edo. Sang penjahat kelam*n, sang predator, germ* dan entah sebutan apalagi yang pantas tersemat untuknya."D
"Anakku, Setyadanu Adimas Budianto bin Rudi Budianto. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, set perhiasan emas seberat 60 gram. Uang tunai senilai tiga puluh juta seratus dua puluh tiga ribu dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Sah!"Sah!"Alhamdulillah ... "Lantunan hamdalah menggema di ballroom The Wujil Resort and Convetions yang keluarga Danu sewa untuk mengadakan perhelatan mewah akad dan resepsi pernikahan Danu dan Indri. Usai kata sah terucap, Indri menangis haru. Meski ia sangat bahagia, tak dapat ia pungkiri ada rasa takut menelusup di relung batinnya yang terdalam. Kegagalan di masa lalu sedikit banyak memberinya rasa trauma dan ketakutan tersendiri dalam menjalani biduk rumah tangganya yang baru kelak. Akankah, dia berhasil sampai
"Gimana persiapan kalian? Udah beres semua?" tanya Ibu Riyanti saat kami janjian makan siang bersama hari ini.Ini kali ke 4 kami ketemu lagi sejak terbukanya inisal SAB yang kukira Samsul kala itu. Mengingat Samsul, rasanya ingin sekali meremukkan kepalanya karena pernah melakukan kesalahan fatal padaku, tapi ya sudahlah lebih baik melupakan daripada terus membuat sakit hatiku.Pertemuan pertama kali dengan Bu Riyanti adalah saat ke rumah bersama Danu, ke dua saat perkenalan keluarga, ke tiga saat lamaran resmi dan kali ini finally persiapan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Pancaran mata teduhnya, senyum hangatnya dan perlakuannya sama sekali tidak berubah. Malah semakin hangat saja kurasakan. Dengan demikian, ketakutan dan keraguanku semakin luruh tak bersisa. Karena jujur, aku sempat takut kalau-kalau keluarga Danu akan berubah seperti keluarga mantan padaku."Alhamdulillah sudah beres, Bu. Hanya tinggal futting terakhir 2 hari lagi, yang lainnya sudah beres semua." ja
Santi termangu menatap rumah kontrakan Bagus, sang adik. Ada rasa ragu yang menyelinap di kalbu karena rasa malu dan rasa bersalah. Bayang perlakuannya pada istri adiknya di masa lalu melintas begitu saja, menghadirkan rasa sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.Rumah yang dulu selalu bersih dan rapi itu kini nampak tak terawat. Rumput liar sudah semakin nampak terlihat di sela-sela paving blok, daun rambutan kering berserakan di mana-mana membuat rumah ini nampak seperti rumah kosong. Hampir satu tahun ia menghilang, ia begitu banyak melewatkan kabar dari keluarganya. Dalam benaknya hanya satu, seperti apa putrinya sekarang? Terurus dengan baikkah atau justru sebaliknya? Bagaimana kondisi sang Ibu, masih seperti dulukah? Lalu, bagaimana dengan Bagus, adiknya? Sudah tahu akan belang istrinyakah? Atau justru mereka kini masih bersama?Berbagai tanya mengisi penuh kepalanya, hingga tanpa ia sadari ada dua orang tetangganya yang melintas di depan rumah Bagus, Ismi dan Nurul. Mereka me
"Seriusan?" kejut Neti lagi, tanpa ia sadari senyumnya terbit begitu saja.Ari mengangguk meyakinkan karena selama dua bulan ini dia selalu bersama Bagus jadi dia tahu cerita hidup partnernya itu."Tapi harus sabar dulu, hatinya masih terluka dengan kelakuan mantan istri keduanya sampai dia kehilangan anak yang belum lahir ke dunia. Kalau yang mau ditemuinya nanti itu anak dari mantan istri pertamanya," papar Ari semakin membuat mata Neti terbelalak kaget."Maksudmu piye, to?" "Panjang ceritanya, Mbak, dan bukan hakku buat cerita urusan pribadi dia. Hanya, kalau Mbak Neti menyukainya, jangan perlihatkan dengan kentara tunggulah sampai luka hatinya sembuh." beritahu Ari lagi."Tapi--""Udah, yok berangkat!" ajak Bagus yang sudah kembali bergabung, memotong pertanyaan lanjutan dari mulut Neti pada Ari.Ketiganya lantas bergegas menuju mobil, sepanjang jalan dari Ungaran ke Ambarawa banyak diisi oleh obrolan hangat seperti biasa. Sesekali mereka tertawa dengan banyolan Ari yang mampu me
"Ka-kamu!""Sudah kuduga," ucap Indri dengan tatapan sinis yang sarat akan kekecewaan. Membuatnya menelan ludah susah payah, wajah tampannya mendadak pucat pasi."Kenapa?" tantang Indri maju satu langkah, sedang dia mundur satu langkah."Kenapa kamu lakukan ini padaku, Samsul Ali Bahrudin?" tanya Indri tanpa melepas tatapannya pada Samsul yang bergeming. Otaknya mendadak blank begitu berhadapan langsung dengan Indri yang menatapnya penuh dengan sorot kekecewaan. Sungguh, dari dulu ia selalu kalah dengan tatapan mata itu. Padahal dari awal dia merencanakan semua ini, ia sudah bertekad untuk mendapatkan Indri apapun caranya."Kamu menginginkanku, bukan? Sekarang ayok lakukanlah!" tantangnya dengan suara parau menahan tangis."Kau menjebakku dengan obat tidur agar kau bisa memperko**ku, bukan? Sekarang ayok lakukan dengan keadaan aku sadar sepenuhnya. Supaya aku semakin yakin, bahwa kamu adalah satu-satunya temanku yang paling pengecut dari ribuan temanku yang lainnya." tetes demi tetes
Dalam keadaan yang seperti ini, semua indera dituntut untuk bekerja secara maksimal. Indri yang sedang pura-pura masuk dalam jeratan obat tidur memakai telinganya untuk mendeteksi keadaan sekitar. Setelah ia rasa aman karena tak mendengar pergerakan apapun, ia perlahan membuka matanya. Kosong,Ia edarkan pandangan ke sekeliling, dan hanya mendapati furniture kamar hotel. Tak ia lihat satupun manusia di dalam sana. Beringsut turun dari bed lalu melangkah pelan menuju jendela yang tertutup gorden.Menyibak sedikit dan lalu ia dapati satu orang laki-laki yang tadi berjaga sendirian. Entah ke mana dua rekannya, yang jelas ini memudahkannya melumpuhkan lawan.Dengan gerakan tanpa suara, ia kembali menjauh. Mencari di mana letak tasnya, dan sayangnya tak ia temukan di dalam kamar. Ia kembali menyibak gorden, lalu senyumnya mengembang saat melihat mobil calon suaminya terparkir manis di depan kamar seberang kamarnya ini meski berjarak agak jauh. Ia percaya bahwa saat ini Danu pun tengah men