Sabtu pagi pukul setengah enam, Lisa telah berada di dalam mobil bersama Didit dan Pak Sapri yang mengantar mereka. Mobil meluncur menembus jalan Jakarta. Lisa mengira mereka akan jogging, namun saat mobil memasuki tol Jagorawi, ia merasa heran.
"Kita akan ke mana, Dit?" "Nanti kamu akan tahu, dan kuyakinkan kamu pasti menyukainya dan bisa menjadikannya hobi saat weekend." "Aku tak suka kejutan." "Kenapa?" "Terkadang aku tak menyukai perhatian yang belum tentu aku suka." "Kamu pernah mengalaminya?"Gadis itu mengangguk, "Dikerjain saat ulang tahun." "Kan seru. Memang seperti apa dikerjainnya?" "Mereka membuatku harus turun naik tangga, entah menyuruhku membawa buku dari perpustakaan dan ternyata salah buku, lalu berbohong mengatakan jikaSiapa yang hobi kegiatan ekstrim kayak Didit? ❤ Rizka1seven
Embusan angin dingin menerpa wajah Lisa. Dipandangi langit biru berhias burung yang terbang di kejauhan. Sungguh tak ia duga bisa melayang bersama Didit. Lelaki yang ia temui di peron bus way bukan lelaki biasa dengan kehidupan yang tak biasa. Sarita benar, terkadang orang-orang yang kelihatannya hanya pekerja biasa dan menjalani kegiatannya secara monoton, di baliknya sangat menyukai hal-hal ekstrem. Mereka, uptown people, urban person, kebanyakan menghabiskan waktu senggang dengan nongkrong di kafe, club, gym. Tapi Didit punya cara lain. Dan ia mengajak aku, bisiknya. Di tengah kenikmatannya memandang alam nan indah di bawah sana serta langit membiru bersemilir angin sejuk menerpa, di kepala gadis itu hanya terputar lagu Nona Lisa. Beat lagu tersebut cocok dengan detak jantungnya sekarang. "Lisa, kita akan turun, naikkan kakimu. Saat mendarat, aku yang menjejakkan kaki sedang kamu akan terduduk. Kamu siap?" &
Mobil bergerak naik hingga ke puncak lalu turun menuju Cipanas. Lisa menikmati perjalanan ini hingga sempat tertidur. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit hingga mata terpejam tanpa sadar. Hingga di hampir tujuan, Lisa terbangun dan mendapati Didit sedang memainkan hand phone miliknya. "Ah, kamu sudah bangun. Sebentar lagi kita akan tiba. Dan, ini," Ia mengambil topi dari kantong kursi, "Kamu pakai topi karena matahari sudah mulai tinggi." Mobil berhenti pada suatu perkebunan. Lisa memakai topi lalu keluar, disusul Didit. Keduanya memasuki halaman yang penuh dengan bunga berwarna-warni dan beraneka bentuk kemudian keduanya disambut oleh pemilik perkebunan. Dengan ramah, bapak Asep mengantarkan mereka ke kebun miliknya yang ternyata lebih luas dari kelihatannya. Melihat betapa luasnya perkebunan penuh bunga tersebut membuat Lisa kagum hingga mulutnya terbuka. Bunga krisan beraneka warna dan bentuk
Lisa terbangun oleh suara ketukan keras pada pintu kamarnya. Jam lima subuh. Syukurlah, pasti Uni Ami bermaksud membangun dirinya agar tidak terlambat. Dengan lemas ia membuka pintu namun tak ada siapa pun di sana. Ia melongok ke arah samping kiri kamarnya, di kamar Uni Ami, memastikan jika teman sebelah kosnya yang telah mengetuk pintu. Namun pintu temannya tertutup rapat dan tak ada suara apa pun di dalamnya. Seingat Lisa, Uni Ami sedang menginap di rumah tantenya selama akhir pekan. Saat mengalihkan pandangan ke arah kanan bawah, matanya tertuju pada sebuah paket sebesar kotak sepatu. Ada namanya tertera sebagai penerima. Dari Bapak, gumamnya. Segera diambilnya paket tersebut lalu masuk kamar. Biasanya Bapak memberi tahu terlebih dahulu jika akan mengirim sesuatu. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandang paket berbungkus warna hitam dan bermaksud membuka tatkala di saat yang sama sebuah telepon masuk. Didit.
Pantai Ancol di pagi hari masih terlihat sepi. Kebanyakan mereka seperti dirinya dan Didit, pengunjung yang bermaksud olah raga, atau sekedar jalan pagi dan berjemur. Begitu turun dari mobil, Lisa menghirup udara segar pantai dan memandang luasnya air di depan mata. Ia pun melakukan pemanasan dengan melenturkan kaki dan tangan, demikian pula Didit. “Kurasa weekend kamu tak membosankan seperti yang kukira.” Ujar Didit sambil berlari kecil di sisi Lisa. “Hmm, banyak pemandangan indah?” Lisa menunjuk menggunakan dagu ke arah beberapa orang dengan pakaian jogging yang kebanyakan dari mereka mengenakan tank top ketat memperlihatkan belahan dada berikut celana legging ketat warna hitam. Didit tertawa kecil dan menggeleng, “Dari mana kamu berpikir ke arah situ? Harap dicatat, cewek itu dan seperti kebanyakan yang kita lihat sekarang bukanlah tipeku. D
Berada di dalam mobil dalam keadaan basah kuyup sangat tidak nyaman. Beberapa kali Lisa bersin-bersin dan menggigil sehingga Pak Sapri harus mematikan air conditioner. Tapi yang paling membuatnya salah tingkah adalah, Didit melepas kausnya yang basah hingga ia bertelanjang dada. Lisa merasa jengah sendiri. Ya ampun, godaan apa lagi ini? Bahkan lelaki di sebelahnya tetap menarik meskipun dalam keadaan basah kuyup, malah semakin menarik. Bagaimana perempuan bisa menolak pesona Didit? Dan, apakah lelaki itu sekarang sedang sengaja menggodanya? Lisa mengalihkan pandangan ke arah jendela, menghindari kontak mata dengan Didit. Didit mengambil handuk kecil yang berada di jok depan lalu diberikan pada Lisa. “Lap muka dan dan rambut kamu. Kita langsung pulang supaya kamu bisa bersih-bersih.” “Bagaimana dengan kamu?” “Apa aku bisa bersih-be
Sup krim hangat dalam mangkuk tersaji di atas nakas. Lisa memandang Didit yang sedang diperiksa oleh Ami. Temannya itu memang seorang suster di sebuah rumah sakit. Ia memiliki alat pengukur tekanan darah, dan biasanya suka menyimpan obat hasil racikan rumah sakit untuk digunakan sendiri. "Tekanan darah normal, jadi hanya demam saja. Mungkin karena kangen kamu, Lisa." ujar Ami menggoda Lisa, kemudian menyambung, "Aku masih penasaran bagaimana kalian bisa kehujanan di saat banyak tempat berteduh." "Hei, Ami. Bukannya kamu banyak PR? Laundry, bebenah kamar, gosip bareng di teras." "Ya, mereka akan bergosip tentang sepatu basah yang sedang parkir di depan kamar kamu. Sebaiknya kamu bawa masuk sebelum dilihat." Ami tertawa terkekeh lalu berjalan keluar kamar diikuti Lisa. Hingga di depan pintu, gadis itu memandang sepatu kets biru milik
Three Times Coffee ramai pengunjung sejak sore menyapa. Harum kopi menyeruak di antara wangi kue yang terpampang pada etalase. Seorang bariste sedang sibuk membuat kopi double espresso pesanan seorang pelanggan, lelaki berwajah bersih yang duduk di sudut dekat jendela sambil memainkan hand phone. Senyum simpatiknya mengembang tatkala bariste tiba mengantar pesanannya. "Double espresso dan dua ginger cake." "Terima kasih." Mata bariste muda itu mengerjab. Bahkan suaranya pun begitu memanah hingga muka sang bariste memerah merona. Tak ada yang kurang dari penampilan lelaki itu. Sementara sang bariste muda mencuri pandang pada lelaki tersebut di antara kesibukannya, lelaki itu sibuk berselancar. Ada nama Didit Laksana di sana.*** "Selamat pagi, darling. Weekend kamu dahsyat?"Suara ceria Sarita menyapa Lisa lewat telepon kantor. Gadis itu sedang menyiapkan berk
Sebuah suara memanggil, memotong percakapan antara Bara dan Lisa. Gadis itu menoleh dan sang pemilik wajah simpatik tersenyum seraya mendekat. Lisa terpaku memandangnya tanpa kata hingga melupakan Bara yang bingung harus bagaimana. "Dipanaskan, ya. Nanti tolong diantar ke meja di pojok sana. Kamu mau kopi apa, Lisa? Atau lemon tea?" Lisa menggeleng, "Tidak, terima kasih. Aku harus buru-buru pulang membawa kue itu. Bara, enggak perlu dipanaskan." Ujar Lisa gugup, sedang Bara semakin bingung. "Kalau begitu, maukah kamu menemani aku sebentar saja. Aku menantikan kamu sore ini untuk bertemu di sini." "Aku…tidak bisa karena ada janji. Maaf." "Kemana? Aku bisa mengantarkan kamu." Bara menyerahkan tas berisi kue kepada Lisa dan berlalu, sementara gadis itu masih gugup karena tak m
Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang