Embusan angin dingin menerpa wajah Lisa. Dipandangi langit biru berhias burung yang terbang di kejauhan. Sungguh tak ia duga bisa melayang bersama Didit. Lelaki yang ia temui di peron bus way bukan lelaki biasa dengan kehidupan yang tak biasa. Sarita benar, terkadang orang-orang yang kelihatannya hanya pekerja biasa dan menjalani kegiatannya secara monoton, di baliknya sangat menyukai hal-hal ekstrem. Mereka, uptown people, urban person, kebanyakan menghabiskan waktu senggang dengan nongkrong di kafe, club, gym. Tapi Didit punya cara lain. Dan ia mengajak aku, bisiknya. Di tengah kenikmatannya memandang alam nan indah di bawah sana serta langit membiru bersemilir angin sejuk menerpa, di kepala gadis itu hanya terputar lagu Nona Lisa. Beat lagu tersebut cocok dengan detak jantungnya sekarang.
"Lisa, kita akan turun, naikkan kakimu. Saat mendarat, aku yang menjejakkan kaki sedang kamu akan terduduk. Kamu siap?" &Halo my dearest readers, Setelah lama enggak muncul karena sibuk urusan pindah rumah, ditambah sakit yang menguras waktu , akhirnya Lisa dan didit kembali lagi. It is good to be back. Selamat membaca, ya. 🤗 Luv, Rizka1seven
Mobil bergerak naik hingga ke puncak lalu turun menuju Cipanas. Lisa menikmati perjalanan ini hingga sempat tertidur. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit hingga mata terpejam tanpa sadar. Hingga di hampir tujuan, Lisa terbangun dan mendapati Didit sedang memainkan hand phone miliknya. "Ah, kamu sudah bangun. Sebentar lagi kita akan tiba. Dan, ini," Ia mengambil topi dari kantong kursi, "Kamu pakai topi karena matahari sudah mulai tinggi." Mobil berhenti pada suatu perkebunan. Lisa memakai topi lalu keluar, disusul Didit. Keduanya memasuki halaman yang penuh dengan bunga berwarna-warni dan beraneka bentuk kemudian keduanya disambut oleh pemilik perkebunan. Dengan ramah, bapak Asep mengantarkan mereka ke kebun miliknya yang ternyata lebih luas dari kelihatannya. Melihat betapa luasnya perkebunan penuh bunga tersebut membuat Lisa kagum hingga mulutnya terbuka. Bunga krisan beraneka warna dan bentuk
Lisa terbangun oleh suara ketukan keras pada pintu kamarnya. Jam lima subuh. Syukurlah, pasti Uni Ami bermaksud membangun dirinya agar tidak terlambat. Dengan lemas ia membuka pintu namun tak ada siapa pun di sana. Ia melongok ke arah samping kiri kamarnya, di kamar Uni Ami, memastikan jika teman sebelah kosnya yang telah mengetuk pintu. Namun pintu temannya tertutup rapat dan tak ada suara apa pun di dalamnya. Seingat Lisa, Uni Ami sedang menginap di rumah tantenya selama akhir pekan. Saat mengalihkan pandangan ke arah kanan bawah, matanya tertuju pada sebuah paket sebesar kotak sepatu. Ada namanya tertera sebagai penerima. Dari Bapak, gumamnya. Segera diambilnya paket tersebut lalu masuk kamar. Biasanya Bapak memberi tahu terlebih dahulu jika akan mengirim sesuatu. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandang paket berbungkus warna hitam dan bermaksud membuka tatkala di saat yang sama sebuah telepon masuk. Didit.
Pantai Ancol di pagi hari masih terlihat sepi. Kebanyakan mereka seperti dirinya dan Didit, pengunjung yang bermaksud olah raga, atau sekedar jalan pagi dan berjemur. Begitu turun dari mobil, Lisa menghirup udara segar pantai dan memandang luasnya air di depan mata. Ia pun melakukan pemanasan dengan melenturkan kaki dan tangan, demikian pula Didit. “Kurasa weekend kamu tak membosankan seperti yang kukira.” Ujar Didit sambil berlari kecil di sisi Lisa. “Hmm, banyak pemandangan indah?” Lisa menunjuk menggunakan dagu ke arah beberapa orang dengan pakaian jogging yang kebanyakan dari mereka mengenakan tank top ketat memperlihatkan belahan dada berikut celana legging ketat warna hitam. Didit tertawa kecil dan menggeleng, “Dari mana kamu berpikir ke arah situ? Harap dicatat, cewek itu dan seperti kebanyakan yang kita lihat sekarang bukanlah tipeku. D
Berada di dalam mobil dalam keadaan basah kuyup sangat tidak nyaman. Beberapa kali Lisa bersin-bersin dan menggigil sehingga Pak Sapri harus mematikan air conditioner. Tapi yang paling membuatnya salah tingkah adalah, Didit melepas kausnya yang basah hingga ia bertelanjang dada. Lisa merasa jengah sendiri. Ya ampun, godaan apa lagi ini? Bahkan lelaki di sebelahnya tetap menarik meskipun dalam keadaan basah kuyup, malah semakin menarik. Bagaimana perempuan bisa menolak pesona Didit? Dan, apakah lelaki itu sekarang sedang sengaja menggodanya? Lisa mengalihkan pandangan ke arah jendela, menghindari kontak mata dengan Didit. Didit mengambil handuk kecil yang berada di jok depan lalu diberikan pada Lisa. “Lap muka dan dan rambut kamu. Kita langsung pulang supaya kamu bisa bersih-bersih.” “Bagaimana dengan kamu?” “Apa aku bisa bersih-be
Sup krim hangat dalam mangkuk tersaji di atas nakas. Lisa memandang Didit yang sedang diperiksa oleh Ami. Temannya itu memang seorang suster di sebuah rumah sakit. Ia memiliki alat pengukur tekanan darah, dan biasanya suka menyimpan obat hasil racikan rumah sakit untuk digunakan sendiri. "Tekanan darah normal, jadi hanya demam saja. Mungkin karena kangen kamu, Lisa." ujar Ami menggoda Lisa, kemudian menyambung, "Aku masih penasaran bagaimana kalian bisa kehujanan di saat banyak tempat berteduh." "Hei, Ami. Bukannya kamu banyak PR? Laundry, bebenah kamar, gosip bareng di teras." "Ya, mereka akan bergosip tentang sepatu basah yang sedang parkir di depan kamar kamu. Sebaiknya kamu bawa masuk sebelum dilihat." Ami tertawa terkekeh lalu berjalan keluar kamar diikuti Lisa. Hingga di depan pintu, gadis itu memandang sepatu kets biru milik
Three Times Coffee ramai pengunjung sejak sore menyapa. Harum kopi menyeruak di antara wangi kue yang terpampang pada etalase. Seorang bariste sedang sibuk membuat kopi double espresso pesanan seorang pelanggan, lelaki berwajah bersih yang duduk di sudut dekat jendela sambil memainkan hand phone. Senyum simpatiknya mengembang tatkala bariste tiba mengantar pesanannya. "Double espresso dan dua ginger cake." "Terima kasih." Mata bariste muda itu mengerjab. Bahkan suaranya pun begitu memanah hingga muka sang bariste memerah merona. Tak ada yang kurang dari penampilan lelaki itu. Sementara sang bariste muda mencuri pandang pada lelaki tersebut di antara kesibukannya, lelaki itu sibuk berselancar. Ada nama Didit Laksana di sana.*** "Selamat pagi, darling. Weekend kamu dahsyat?"Suara ceria Sarita menyapa Lisa lewat telepon kantor. Gadis itu sedang menyiapkan berk
Sebuah suara memanggil, memotong percakapan antara Bara dan Lisa. Gadis itu menoleh dan sang pemilik wajah simpatik tersenyum seraya mendekat. Lisa terpaku memandangnya tanpa kata hingga melupakan Bara yang bingung harus bagaimana. "Dipanaskan, ya. Nanti tolong diantar ke meja di pojok sana. Kamu mau kopi apa, Lisa? Atau lemon tea?" Lisa menggeleng, "Tidak, terima kasih. Aku harus buru-buru pulang membawa kue itu. Bara, enggak perlu dipanaskan." Ujar Lisa gugup, sedang Bara semakin bingung. "Kalau begitu, maukah kamu menemani aku sebentar saja. Aku menantikan kamu sore ini untuk bertemu di sini." "Aku…tidak bisa karena ada janji. Maaf." "Kemana? Aku bisa mengantarkan kamu." Bara menyerahkan tas berisi kue kepada Lisa dan berlalu, sementara gadis itu masih gugup karena tak m
Di atas sofa, keduanya bergumul dalam satu nafas. Didit memeluk Lisa yang berbaring. Terasa darah menggelegak memanas hingga keringat bercucuran. Mereka larut dalam gairah malam itu, ingin melepaskan penat yang mendera. Lisa sendiri tak bisa menolak keinginan hati yang merenggut segala dinding pertahanan. Namun secara tiba-tiba Didit berhenti, sambil mengepalkan tangan, matanya menutup dan rahangnya mengeras, berusaha menahan gejolak. "Lisa…," Suara Didit berbisik pelan, sambil mengatur nafas, "lebih baik kamu pulang."Lelaki itu bangkit dan duduk di sofa. Kedua siku lengan bertumpu pada paha selagi tangannya memegangi kepala. "Didit…" "Maafkan aku, Lisa. Pulanglah." Lisa terpaku tanpa kata. Beberapa menit keheningan dalam ruang itu terasa semakin mendingin, hanya ada keduanya duduk di sofa, mematung dalam pikiran mas