“Masih belum diangkat?” tanya Fadlan di kursi belakang.
Putra menggeleng, gurat wajahnya terlihat cemas.
“Si B*bi, susah banget nelpon dia!” maki Edo di balik kemudi. Semakin lama, laju mobilnya semakin kencang. Beberapa pengemudi membunyikan klakson saat Edo meliuk sesuka hati di atas aspal.
“Hati-hati, Bl*k!”
“Alah, t*i!” maki Edo sambil melaju menyalip truk.
“Kita coba ke kantornya dulu,” usul Putra yang sudah berkali-kali mencoba menghubungi Bara dan kantornya, tapi tidak mendapat jawaban sama sekali.
“Apa nggak tanya Cindy aja?” Fadlan melongokkan kepalanya di antara kursi kemudi dan penumpang.
“Terus lo mau bilang apa? Yang masalah taun baru aja belom clear.”
Fadlan menghela napas panjang, sadar akan kesalahan yang sudah mereka buat beberapa waktu yang lalu.
Lagi-lagi Putra mencoba menghubungi nomor Bara, tapi masih t
“Leo?!” Nilam melompar dari kursinya saat melihat Leo yang berada di dalam gendongan Fadlan.Sigap, Bara langsung menghampiri Fadlan, lalu mengambil alih Leo dengan sangat hati-hati.“Kamu kenapa ke sini? Kan Mama sudah bilang tunggu di mobil.”“Wahhh itu kursi roda buat Leo?” tanya Leo girang, sama sekali tidak mempedulikan omelan ibunya.Bara mendudukan bocah itu di kursinya. “Iya, suka?”Kepala kecil Leo mengangguk penuh semangat. “Suka, Om! Leo suka!!”Bara tidak bisa menahan senyumannya. Ia mengacak lembut rambut Leo. “Nanti kita bisa pasang stiker juga.”“Boleh dikasih stiker?”“Boleh dong.”“Yang banyak?”Bara mengangguk mantap.“Hore!!”Ternyata, hal remeh seperti stiker bisa membuat Leo sangat bahagia, dan dadanya sendiri dipenuhi perasaan bangga. Seakan ia baru saja memeti
Byur!Hujan jatuh seketika, tanpa basa-basi melalui gerimis atau mendung yang berarti, tapi hujan itu datang dalam sebuah serbuan yang langsung membuat Nilam bergerak cepat untuk melindungi Leo. Sigap, Bara membungkuk untuk melindungi Nilam.“Ayo masuk dulu,” ujar Bara, Nilam mengangguk dan berlari ke area teras mess, sedangkan Bara langsung menggendong Leo.“Hore hujaan!” teriak Leo girang. “Om! Kursi rodanya!” pekik Leo saat Bara mendudukkannya di ruang tamu. Bara mengangguk dan berlari melesat untuk menyelamatkan kursi roda Leo.“Kalian basah, tunggu sebentar.” Bara menyelinap ke ruangan pertama di balik pintu berwarna hitam. Lalu muncul kembali dengan dua handuk besar berwarna biru tua dan abu-abu. Saat dibentangkan, handuk itu bahkan bisa menyembunyikan tubuh Leo sepenuhnya.“Om, ini handuk atau selimut?” tanya Leo polos.Bara berdeham pelan.“Leo,” tegur Nil
“HATCHI!”Suara bersin saling bersahut-sahutan di ruang tamu rumah Bara. Ketiga pria yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek itu duduk dalam satu selimut.“HATCHI! HATCHI!” Edo mengelap hidungnya yang memerah dengan ujung selimut, membuat Bara menggeram kesal. Seluruh persediaan handuk dan selimut bersihnya habis dipakai ketiga pria bodoh itu. “Kayaknya mereka flu,” gumam Nilam cemas. “Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit?”“Mereka cuma lemah,” desis Bara kesal. Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap ketiga pria dewasa itu dengan pandangan yang benar-benar marah. Bukannya membantu, ketiga sahabatnya justru menghancurkan sore Bara yang indah.Nilam menatap prihatin. “Kalau begitu boleh saya pinjam dapurnya dulu?”“Ya?”“Biar saya buat teh hangat.”“Ah, itu nggak perlu. Lagi pula
Di dalam rekaman cctv, tampak Fadlan tengah bermain bersama Leo di ruang tamu. Bara bahkan membelikan beberapa box mainan baru agar Leo tidak bosan. Sekarang Fadlan dan Leo tengah menyusun rel kereta api mainan yang panjang di atas meja ruang tamu.Lalu, tiba-tiba Fadlan menoleh ke arah cctv, dan mengangkat jari tengahnya, seakan tau Bara tengah memperhatikan cctv.“Hahaha.” Tanpa sadar Bara tertawa pelan.“Apa nggak apa-apa Leo dititip di sana?” tanya Nilam cemas.Bara menggeleng, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja, agar Nilam bisa melihat tayangan live cctv yang terpasang di rumahnya.“Fadlan orang yang baik, dan dia seorang koki yang cukup berbakat. Kamu nggak perlu khawatir soal makanan Leo.”Sejujurnya, bukan itu yang Nilam risaukan. “Tapi saya takut merepotkan. Padahal saya bisa titip di daycare.”“Leo masih sakit, Nilam,” bujuk Bara lembut. “Kalau di
“Ssst, mereka tidur.” Bara meletakkan telunjuknya di bibir, lalu menutup perlahan pintu kamarnya.Bahu Nilam yang sebelumnya begitu tegang, mencelos lega seketika. Hampir saja ia terserang panik saat tidak menemukan Leo atau Fadlan di mana pun di rumah itu. Padahal pintu rumah dibiarkan terbuka.“Mungkin mereka kelelahan,” gumam Bara.Nilam mengintip sekilas. Di dalam kamar itu Leo dan Fadlan tampak tertidur nyenyak. Bahkan Fadlan masih menggunakan celemek berwarna cokelat. Pasti tidak mudah menjaga seorang bocah penuh semangat seperti itu.Nilam kembali menutup pintu kamar Bara dengan perlahan, khawatir akan membangunkan keduanya. Matanya menyapu ruang tamu rumah Bara yang sudah seperti kapal pecah.“Syukurlah kalau mereka tidur, saya jadi punya sedikit waktu.”Deg.Bara menoleh cepat. Apa ia tidak salah dengar? Nilam baru saja bersyukur karena keduanya tertidur? Apa Nilam mengharapkan hal yang sam
Awalnya ciuman itu hanya sebuah sentuhan tipis yang begitu lembut. Sedetik kemudian, Bara melepaskan kecupannya, matanya menatap mata indah Nilam yang tak lagi berjarak. Dan saat ia melihat kabut yang sama di mata wanita itu, Bara kembali mendekatkan wajahnya.Tangannya terselip di antara helaian rambut dan leher wanita itu, menelusuri jenjang kulit halusnya. Ia bergerak perlahan, mengecup sedikit demi sedikit, sampai ia merasa penolakan Nilam berkurang, dan membalas ciumannya, Bara mulai kehilangan akal sehat.Bara membuka bibirnya, mencium bibir lembut wanita itu. Semakin dalam Bara menciumnya, ia jutsru semakin haus untuk bergerak lebih jauh. Erangan melompat dari mulutnya setiap kali mereka berpisah sejenak.Bara mempersempit jarak di antara mereka berdua, menghirup dalam-dalam aroma Nilam yang memabukkan.Saat bibirnya bergerak menuruni leher wanita itu, desah napas Nilam membuat kepalanya semakin menggila. Bara benar-benar menginginkan wanita itu se
“Le? Siapa yang telepon?” tanya Nilam saat keluar dari kamar mandi.Tadi, ia sempat mendengar dering ponselnya, lalu hening. Ia yakin Leo sudah mengangkat telepon itu.“Leo?” Nilam melongokkan kepala ke dalam kamar ketika tidak menemukan jawaban dari putranya. Ia mengernyit melihat lampu yang sudah dimatikan. Padahal biasanya Leo masih terjaga, terlebih lagi, tadi sore bocah itu sudah tidur.Nilam menatap sekeliling kamar. Tumpukan kardus mainan yang diberikan Bara masih tergeletak di bawah kaki ranjang, belum terbuka sama sekali.Apa Leo sakit? batin Nilam ragu. Ini benar-benar tidak biasa. Ia pikir Leo akan sangat kegirangan mendapat mainan baru sebanyak itu.Nilam berjalan mendekat sepelan mungkin, lalu meletakkan tangannya di kening Leo. Tidak ada demam, atau erang kesakitan seperti kemarin malam. Apa Leo hanya kelelahan bermain seharian?Lekat, Nilam menatap wajah Leo. Tidak ada hal yang paling indah sel
“Mama, katanya, Leo anak sial. Kalau Leo nggak ada, papa sama nenek nggak akan usir Mama. Leo minta maaf, Mama…”BRAK.Tanpa sadar Bara meninju pintu kontrakan itu dengan sangat keras, membuatnya terbuka begitu saja.Bara tau, ia baru saja berjanji untuk melangkah mundur, tapi, saat ia mendengar kata-kata lirih Leo, ia tidak bisa menahan luapan amarah di dadanya. Dengan langkah lebar, Bara melesat masuk ke satu-satunya kamar yang ada di dalam kontrakan Nilam.“Siapa? Siapa yang bilang begitu, Leo?!” tanya Bara geram.Nilam dan Leo tersentak kaget dengan kedatangan sosok itu. Ia seperti beruang yang siap menerkam siapa saja.“O-Om Bara?” gumam Leo terbata.Bara berlutut di samping ranjang Leo. “Bilang sama, Om. Siapa yang sudah ngomong begitu sama Leo?” tuntut Bara menggebu-gebu. “Biar Om kasih pelajaran orang itu!” Wajah tampannya memerah marah. “Ayo bil
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m
I don't see you like I shouldYou look so misunderstoodAnd I wish I could help but its hard when I hate my selfPray to God with my arms openIf this is it, then I feel hopelessAnd I wish I could helpBut its hard when I hate myself. NF – Hate Myself***Apakah semuanya baik-baik saja? Apakah ia akan kehilangan orang yang dikasihinya sekali lagi?Pertanyaan itu terus terulang, padahal Cindy tau apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Namun, entah bagaimana ia sama sekali tidak ingin meyakini itu.Ia tidak bisa.“Keadaannya stabil, sekarang ditangani Dokter Andra langsung,” jelas Yumi, perawat yang menyambut Cindy saat ia sampai di rumah sakit.Mira, yang datang bersama Cindy dari asrama, menggenggam erat lengan gadis itu, khawatir gadis itu akan ambruk sewaktu-waktu.“Syukurlah,&rd
“Dokter!”Pintu ruang IGD terbuka, dan sebuah brankar didorong masuk.Andini, dokter jaga malam itu, langsung datang menghampiri bersama dua orang dokter koas yang baru saja masuk hari ini, dan seorang perawat. Keempatnya menyambut brankar.“Pasien ditemukan tidak sadar di depan rumah sakit, ada cedera kepala,” jelas seorang security yang ikut mendorong brankar. Itu sedikit menjelaskan asal darah yang membasahi pakaiannya.“Identitasnya?”“Tidak ada, Dok. Sepertinya dicuri.”“Astaga.”Sekilas Andini memeriksa kondisi fisik pasien. Tubuhnya sudah mulai membiru pucat, tidak bergerak sama sekali, dan jari-jari yang mulai dingin. “Pak, bisa dengar saya? Saya dokter Dini, anda sedang di rumah sakit sekarang. Pak?”Tak ada jawaban atau bahkan erangan yang terdengar. Andini melirik kedua dokter muda yang sudah panik di sampingnya. Ini bukan kasus yang mudah untuk
Tiga minggu yang lalu.“BARA KAMU DI MANA?!” “Aku di depan rumah sakit, Bu.”“LARI! CEPAT KE SINI!” Tak ada waktu. Ia berlari mengejar kesempatan setipis helaian rambut. Bara sudah berusaha berlari sekuat mungkin, mengabaikan teriakan seorang security yang memintanya berhenti, ia bahkan tidak kembali untuk meminta maaf kepada wanita yang ditabraknya tanpa sengaja. Bara terus berlari, menaiki tangga menuju ruang ICU, saat ia tak tahan lagi menanti angka lift berganti, dan ia tidak pernah bisa mengatakan apakah ia tepat waktu atau tidak. Karena rasanya, tidak ada hal yang tepat pada saat itu. “Bara di sini.” Sapaan lemah itu terdengar bersama sebuah senyuman lirih saat Bara sampai. Mata kabur Retno mulai berkabut. Ia menoleh pelahan kepada cucunya yang terus menangis ketakutan. itu pemandangan yang menyakitkan untuk wanita tua yang sudah hidup