Hari ini rencana pelunasan uang pembelian rumah kos-kosan yang terletak di jalan Munawarman. Setelah pulang dari rumah pak Irawan rencana aku dan Naya akan singgah di rumah pemilik kos tersebut."Mas telpon saja pak Rudi. Nanti udah capek - capek ke rumah beliau, tau - tau orangnya gak ada," saran Naya. "Iya!" jawabku dan mengiyakan saran dari Naya.Ku ambil ponsel di saku celana lalu aku tekan nomor pak Rudi."Assalamualaikum.""Wa alaikum salam," salam dijawab oleh lelaki empat puluh tahun itu. "Maaf pak. Saya mau ke rumah sekalian mau pembayaran. Segala surat menyurat apa sudah Bapak siapkan?" tanya dan pesanku pada pak Rudi. Aku tidak mau mondar mandir mengurus surat menyurat karena bahan yang diperlukan kurang. Sementara pekerjaanku banyak yang harus kukerjakan dalam satu hari."Sudah, Mas. Segala surat menyurat dan para saksi dan juga ahli waris sudah lengkap semua, Tenang aja," jawab pak Rudi. Nampaknya beliau sangat bahagia terdengar dari nada suaranya yang begitu bersemangat
Aku tidak menyangka padi yang aku tanam sangat memuaskan. Rumpun-rumpun sangat besar dan subur. Begitu juga dengan sayuran tumbuh begitu subur dan hijau-hijau. Bagaimana tidak. Perawatan padi dan sayuran tidak main-main. Bukan Bayu namanya kalau bekerja setengah - setengah. Selama ini aku sempat khawatir dengan perkembangan apalagi seringnya hujan badai membuat padi menjadi tumbang dan ditambah tikus merajalela keluar dimalam hari memakan batang dan juga bulir padi. Siapa sangka hal itu tidak terjadi. Biarpun hujan badai padi tidak tumbang begitu juga tikus tidak datang menggerogoti batang padi. Aku menanam padi dengan metode tumpang sari. Jadi 7 hari setelah padi di tanam aku sebarkan bibit ikan dan akan dipanen saat seminggu lagi padi akan di panen.Dulunya para tetangga dan masyarakat di sekitar merasa aneh dengan apa yang aku kerjakan. Bagi mereka aku ini sudah tidak waras. "Pelihara ikan kok di sawah yang masih ada padinya. Apa gak mati padinya karena akarnya di makani ikan
Ketika aku akan beranjak pergi tiba-tiba saja suara ponselku berbunyi, ada yang menelponku dari nomor yang tidak di kenal. "Assalamualaikum." Sapaku. Dengan sedikit penasaran siapa gerangan yang menelpon dan dapat darimana nomor telpon ini? Semoga saja masalah bisnis. "Halo selamat siang. Ini dengan keluarga bu Naya?" tanya seseorang dengan suara bariton dari seberang sana. "Iya, Pak. Saya suaminya! Hmmm ... ini dengan siapa, ya? Dan ada apa?" tanyaku penasaran. "Maaf, Pak. Saya dari pihak rumah sakit hanya mau memberitahukan bahwa istri Bapak kecelakaan. Sekarang sedang di rawat di rumah sakit melati. Tapi sayangnya penabrak istri anda kabur melarikan diri." jawabannya memberitahukan istriku mengalami kecelakaan. Tiba-tiba jantung ini seakan berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Naya menggendong Daffa, padahal sudah kunasehati tapi tidak dipedulikan. Masih terngiang dalam ingatanku bagaimana tadi pagi Daffa sangat ceria dan dia minta aku gendong dan tidak ingin dilepaskan. Apakah
"Bu, saya mau menjual rumah kos-kosan yang baru saya beli minggu lalu untuk biaya operasi patah tulang istri saya, Bu." "Jangan dijual, Dit. Sayang dan juga pantang barang yang sudah di beli di jual lagi. Takutnya kamu gak akan bisa membeli lagi nantinya." Jelas bu Ratna panjang lebar. Beliau tidak menginginkan aku dan keluarga kecilku akan menderita, seperti seorang ibu yang tidak menginginkan anaknya susah dan menderita. "Gak apa - apa, Bu. Yang penting anak dan istri saya sehat kembali seperti dulu lagi. Buat apa harta banyak dan berlimpah jika anak istri sakit - - sakitan?" Ku ceritakan segala keluh kesahku pada bu Ratna karena beliau sudah aku anggap seperti orang tua ku sendiri. "Ibu tau bagaiamana perasaanmu saat ini, Bay. Tapi tidak juga karena itu kamu menjual semua. Dari pada kamu jual rumah itu lebih bagus kamu ambil saja uang simpanan Ibu. Nanti kapan ada uang baru kamu bayari." Terlalu banyak sudah bu Ratna sama pak Irawan membantu kami berdua. Aku gak mau membebani pa
"Adek rasa ada orang yang mau melenyapkan kami berdua. Mereka begitu nekat dan tidak memperdulikan orang-orang sekitar," jelas Naya. Dia juga memberi penjelasan sedetailnya. "Maksud Adek bagaimana?" tanyaku penasaran. Mana mungkin Naya bisa melihat dan mengetahui ada orang yang berniat buruk terhadapnya. Paling juga itu hanya ketakutan dia aja. Aku yakin kejadian tersebut murni karena kecelakaan. "Pengendara sepeda motor sengaja menabrak kami berdua, Mas," ucap Naya dengan wajah tertunduk dengan air mata yang semakin menetes membasahi pipinya. "Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain. Yakinlah ini hanya kecelakaan biasa. Murni kecelakaan," ujarku berusaha menenangkan kegalauan hati istriku. Nampaknya istriku sangat ketakutan sehingga untuk melihat orang asing saja dia sudah berfikir yang tidak - tidak. "Kalau tidak percaya. Sekarang coba ke tempat kejadian perkara dan minta mereka untuk memutar cctv kejadian hari kecelakaan itu." tantang Naya. Dia begitu yakin jika
Aku masih penasaran dengan apa yang dikatakan Naya. Jika memang ada seseorang yang hendak melenyapkan istriku, siapa orangnya. Ada masalah apa mereka dengan kami, sehingga mereka nekat ingin menghabisi anak dan istriku. Semoga saja dugaan Naya tidak benar, mungkin saja halusinasi dia saja sehingga berkesimpulan begitu. "Assalamualaikum," ucap pak Irawan memberikan salam. "Wa alaikum salam," jawabku dari dalam dan beranjak dari kursi malas untuk membuka pintu. Ceklek. "Silahkan masuk," ujarku seraya mengulurkan tangan untuk menyalami pak Irawan. "Iya, Bay," jawab lelaki enam puluh tahun itu sambil meraih tanganku dan beliau berjalan menuju ruanag tamu. "Bagaimana kondisi istri dan anakmu? Apa udah baikan?" tanya beliau lagi sambil menghempaskan bobot tubuhnya diatas kursi ruang tamu. "Udah lumayan sih, Pak. Tapi ..." Aku menggantungkan ucapanku karena bingung mau melanjutkan dan harus memulainya dari mana. "Tapi kenapa, Bay?" Tanya pak Irawan seraya menoleh kearahku. Beliau men
Kring ... kring ... kring. Dering suara telpon terdengar menandakan ada seseorang menelpon. Segera aku rogoh ponsel yang berada di saku celana dan melihat nomor asing yang menelpon. Diri ini bertanya-tanya, siapa yang menelpon dengan nomor tidak terdaftar di ponselku?Kemudian jari ini menekan tombol biru, dan terhubung ke orang yang menelpon tersebut. "Halo assalamualaikum," salam kuucapkan tetapi terdengar suara isak tangis dari seberang sana. Menurut pendengaranku seperti suara ibu mertua. Ada apa gerangan dengan mertuaku saat ini. Kenapa beliau menangis. Pasti ada masalah yang terlalu berat dan tidak bisa diselesaikan makanya beliau menangis. "Ibu ... kenapa menangis. Ada apa, Bu. Tolong ceritakan sama Bayu. Mana tau Bayu bisa membantunya," ujarku berusaha menenangkan ibu mertua yang semakin kencang tangisannya. "Ibu ada perlu dengan Naya. Boleh Ibu berbicara dengannya sebentar saja, Bayu?" tanya ibu mertua diujung sana. Nampaknya beliau sedang dalam masalah besar karena yang
"Nanti agak siang dikit Ibu di jemput sama pak Saiful ya, Bu." Janjiku pada ibu mertua. Sementara Naya belum mengetahui perihal rumah orang tuanya yang sudah di sita pihak Bank. "Gak apa - apa, Bay. Kamu bekerja saja dulu. Besok pun bisa kalau kamu mau menjemput Ibu. Kan masih ada waktu sehari lagi," ujar beliau di ujung telpon. "Barang yang mau ibu jual apa sudah diangkat sama pembelinya? Atau belum laku?" "Belum semua," "Ya udah Saya share di grup jual beli. Biasanya cepat laku, Bu. Dan harganya tidak terlalu jatuh dari harga beli baru kok," ujarku untuk meyakinkan bu Lastri. "Terserah kamu aja, Bay. Ibu ikut aja bagaimana baiknya. Baik di mata kalian berarti baik juga di mata ibu." lirihnya. Suara ibu masih terdengar pilu. Melihat beliau membuat siapapun tidak tega, karena saat inilah beliau merasa sangat terpukul dan juga tidak berguna lagi. Beliau tidak mempunyai siapa - siapa lagi saat ini. Hanya aku dan Naya harapan mertuaku satu - satunya. "Udah ya, Kamu mandi aja dulu