Tirza Antara menghilang. Gadis itu tidak terlihat dimana pun. Semua orang yang tengah berduka tentu tidak akan memusingkan itu, kecuali tentu saja sang Ibu. Andan Pandara merasa khawatir sang putri akan melukai dirinya sendiri. Dia memberitahu Davar untuk mencari sang adik. Awalnya Davar mengatakan bahwa Tirza pasti akan kembali, namun permohonan ibunya membuatnya tak tega. Kakak kandung Tirza Antara itu pun memacu kudanya keluar dari istana ketika tidak menemukan sang adik dimanapun. Sebenarnya cukup sulit bagi Davar Antara untuk mengetahui keberadaan Tirza karna satu-satunya orang yang dapat mendeteksi dan mencium aroma mandaranya hanyalah Pangeran Sofraz. Namun tentu saja pemuda itu tidak mau mengecewakan sang ibu. Davar Antara mengikuti nalurinya yang membawanya ke hutan pemburu. Putra sulung Antara Dafruz itu turun dari kudanya dan memasuki hutan itu sepembawa kakinya. Dia mengaktifkan indra pemburunya untuk mengantisipasi serangan binatang buas, berusaha mencium aroma manusia
Tirza sudah tidak ada minat berdekatan dengan kakaknya lagi. Gadis cantik tinggi semampai iti berlalu dari sana dengan langkah lebar, dia menyusul Putri Nilam Rencana sebelum gadis itu menuju gedung fandita. Dia berhasil mencegat langkah anggun Nilam Rencana saat gadis itu sedang berjalan diikuti dua orabg faidaranya.Mematuhi protokol, Tirza membungkuk pada perempuan itu."Hm, ini adalah hal yang langka." Gumam Nilam Rencana. Sikap lembut dan rapuhnya lenyap saat dia berhadapan dengan perempuan bermata seterang langit siang itu."Ada apa kau menemui diriku, Tirza?"Mandara Angin Nava Satra memandang lekat-lekat wajah sang putri. "Hamba ingin Anda membatalkan permintaan Putri pada kakak Hamba."Nilam melebarkan matanya dengan raut mengejek. "Siapa kau sehingga berani memerintah diriku seperti itu? Davar sendiri bahkan tidak keberatan sama sekali.""Apa Anda tahu seberapa berbahaya permintaan Anda, Putri? Permata Nilakandi berada di puncak pegunungan Fordaz, di jaga oleh roh alam yang
Pegunungan Fordaz adalah salah satu pegunungan yang membatasi Sofraz dengan negeri luar. Puncak-puncaknya berselimut kabut, namun udara anehnya terasa hangat. Putra Sulung Mendiang Mandara Kerajaan Davar Antara mendaratkan tunggangannya di puncak tertinggi pegunungan Fordaz, Puncak Nilakandi. Puncak Nilakandi adalah puncak tertinggi pegunugan Fordaz. Ketika Davar berdiri di sana, dia merasakan aroma bebatuan bercampur dengan udara hangat. Adalah aneh, seharusnya itu terasa dingin. Pemuda bermata emas itu memandang berkeliling, sejauh mata memandang dia hanya melihat batuan aneka warna dalam berbagai bentuk dan ukuran. Terlihat cantik, namun entah mengapa Davar Antara merasakan energi kuat yang menekannya dari segala arah. Sunyi. Tak ada suara. Seolah kehidupan tak menancapkan kukunya disana. Dia melangkah terus menerus dan menemukan kawah mati di puncak Nilakandi. Tak seperti kawah mati umumnya yang akan tampak kering dan tandus, Davar justru disuguhi pemandangan memanja mata, batu
Davar Antara tersadarkan, dia melihat sinar matahari senja yang hampir purna. Pemuda itu melihat melihat dahan-dahan pohon diatasnya yang mengindikasikan kalau dirinya terbaring di alam bebas. Pemuda bermata emas itu berusaha bergerak bangkit. Tubuhnya terasa begitu remuk. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan namun tidak menemukan siapapun. Kakak Tirza Antara itu menghela nafas lambat, kemudian mencoba untuk mengobati luka luar maupun dalam yang diderita tubuhnya. Memorinya berusaha mengingat kejadian itu. Dia yakin melihat Tirza Antara muncul disana. Lalu, mengapa dia ada disini? Davar akhirnya menyadari kalau ini adalah hutan di kaki pegunungan paling timur, menoleh ke kanan dia melihat difra miliknya yang sedang meringkuk memandangnya."Tirza yang membawaku kesini? Dimana dia sekarang?" batin Davar Antara. Dia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Setelah mengumpulkan segenap kekuatannya, Davar menaiki difra miliknya. Pemuda itu menarik nafas sebentar menyadari kegagala
Frazia Farza sedang berada di gedung milik raja, menemui sang ratu yang akhir-akhir ini menghabiskan waktunya disana.Agatara duduk di kursi yang biasa diduduki suaminya, menatap sendu ke arah jendela. Frazia duduk di sampingnya dengan sorot prihatin."Yang Mulia, hamba mengerti bahwa yang mulia masih sangat berduka. Namun kita tidak bisa terlalu lama diam. Keadaan sekarang sedang mengambang. Sofraz mengalami kekosongan pemimpin. Kita harus segera melakukan penobatan terhadap Pangeran Angin."Ratu Sofraz menarik nafas panjang. "Aku tahu Bibi. Namun Angin sudah memberitahuku untuk melakukan penobatan setelah 30 hari kepergian Raja. Dia tidak mau terlalu terburu-buru.""Kalau demikian," Frazia Farza mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagaimana jika kita melangsungkan pernikahan resmi Pangeran dan Putri Nilam? Seorang Raja tidak akan sempurna jika pada saat pelantikannya tidak didampingi ratunya."Ratu menatap Frazia Farza dengan pandangan tidak suka. "Bibi, kau tahu bahwa istana sedang dala
"Firi, Yang Mulia Ratu ingin menemui Anda," laporan seorang fairara menyadarkan Tirza yang tengah melakukan meditasi. Perempuan itu membuka matanya, sedikit kebingungan mendengar perempuan nomor satu Sofraz itu berkunjung di gedungnya.Tidak ada alasan untuk menolak sang Ratu, Tirza mengangguk. Lukanya sudah mulai sembuh, tubuhnya lambat laun terasa kembali ringan.Perempuan itu berdiri dari kursi tilamnya saat Ratu Sofraz melangkah masuk. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana sebagai lambang duka. Para faidara yang mengiringnya berdiri di luar pintu.Tirza Antara membungkuk."Aku dengar kau sakit." ungkap sang Ratu. Dia duduk dengan tenang, berbicara dengan anggun."Sudah membaik, Yang Mulia." ungkap Tirza pula dengan hati-hati. Bukan rahasia lagi kalau Ratu Sofraz tidak menyukai dirinya, terlepas dari statusnya sebagai Mandara sang pangeran."Aku lihat begitu," balas Sang Ratu. Dia tidak menampakkan ekspresi berlebihan, terlihat tenang dan datar."Tirza Antara, peralihan kepempina
"Semua orang mengharapkan pernikahanmu," Davar menghela napas melihat Pangeran Sofraz yang bungkam sejak dia kembali dari balai keratuan Ekspresi wajah sahabatnya itu mengingatkannya dengan kekosongan dan kehampaan di wajah adiknya."Kau adalah calon Raja, Pangeran. Aku tahu antara dirimu dan adikku ada ikatan yang lebih dari sekedar Mandara dan rajanya. Tapi, kau harus menepis kepentingan perasaanmu sendiri."Pangeran Sofraz Angin Nava Satra melihat sahabatnya, lalu tersenyum dengan satu sudut bibir. Davar menggeleng-gelengkan kepalanya. dia berani bertaruh jika dia seorang wanita, maka dia akan jatuh cinta dengan sahabatnya itu. Angin Nava Satra adalah visualisasi rupa yang paripurna. Dengan senyuman miring itu, dia bahkan terlihat lebih manusiawi dibandingkan dengan ekspresinya yang selama ini begitu datar.Sang Pangeran berdiri dari duduknya, membolang balingkan pedang di tangannya, dan menuju teras ruang pelatihan. Itu bahkan sudah jauh malam, tapi dia dan Davar masih bertukar
Sudah jauh malam, Tirza terbangun. Itu adalah naluri alaminya saat menyadari bahwa dia tidak sendirian. Gadis dalam balutan pakaian malam itu menatap ke satu sudut, sedikit tersentak melihat presensi seorang lelaki bertubuh tinggi proporsional sedang berdiri didepan jendela lebarnya yang terbuka. Pria itu tidak berada diluar, dia berada di dalam kamarnya.Awalnya, dia bersikap waspada, namun ketika seluruh indranya berfungsi dengan baik, dia merasakan aura sang pangeran yang kuat. Gadis itu turun dari pembaringannya, lalu membungkuk. "Ada keperluan apa Yang Mulia mengunjungi hamba malam-malam begini?"Lelaki dia depan jendela memutar badan. Dia adalah Angin Nava Satra, dalam balutan pakaian malam hitam berukir naga emas."Bersikaplah biasa," ungkap sang Pangeran, membuat Tirza mengangkat kepalanya lagi. Dua pasang mata mereka beradu, dan Tirza melihat sang pangeran tersenyum sendu. "Lukamu sudah membaik?""Sudah," jawab Tirza dengan cepat. Dia menolak menatap sang pangeran. Entah m