"Semua orang mengharapkan pernikahanmu," Davar menghela napas melihat Pangeran Sofraz yang bungkam sejak dia kembali dari balai keratuan Ekspresi wajah sahabatnya itu mengingatkannya dengan kekosongan dan kehampaan di wajah adiknya."Kau adalah calon Raja, Pangeran. Aku tahu antara dirimu dan adikku ada ikatan yang lebih dari sekedar Mandara dan rajanya. Tapi, kau harus menepis kepentingan perasaanmu sendiri."Pangeran Sofraz Angin Nava Satra melihat sahabatnya, lalu tersenyum dengan satu sudut bibir. Davar menggeleng-gelengkan kepalanya. dia berani bertaruh jika dia seorang wanita, maka dia akan jatuh cinta dengan sahabatnya itu. Angin Nava Satra adalah visualisasi rupa yang paripurna. Dengan senyuman miring itu, dia bahkan terlihat lebih manusiawi dibandingkan dengan ekspresinya yang selama ini begitu datar.Sang Pangeran berdiri dari duduknya, membolang balingkan pedang di tangannya, dan menuju teras ruang pelatihan. Itu bahkan sudah jauh malam, tapi dia dan Davar masih bertukar
Sudah jauh malam, Tirza terbangun. Itu adalah naluri alaminya saat menyadari bahwa dia tidak sendirian. Gadis dalam balutan pakaian malam itu menatap ke satu sudut, sedikit tersentak melihat presensi seorang lelaki bertubuh tinggi proporsional sedang berdiri didepan jendela lebarnya yang terbuka. Pria itu tidak berada diluar, dia berada di dalam kamarnya.Awalnya, dia bersikap waspada, namun ketika seluruh indranya berfungsi dengan baik, dia merasakan aura sang pangeran yang kuat. Gadis itu turun dari pembaringannya, lalu membungkuk. "Ada keperluan apa Yang Mulia mengunjungi hamba malam-malam begini?"Lelaki dia depan jendela memutar badan. Dia adalah Angin Nava Satra, dalam balutan pakaian malam hitam berukir naga emas."Bersikaplah biasa," ungkap sang Pangeran, membuat Tirza mengangkat kepalanya lagi. Dua pasang mata mereka beradu, dan Tirza melihat sang pangeran tersenyum sendu. "Lukamu sudah membaik?""Sudah," jawab Tirza dengan cepat. Dia menolak menatap sang pangeran. Entah m
Pangeran Avdar, putera mahkota kerajaan Gag akhirnya datang. Laki laki itu datang bersama dua tangan kanan kepercayaannya, memenuhi undangan Yang Mulia Ratu Sofraz. Kedatangan mereka di sambut dengan kehormatan, langsung di antar ke balai tamu kehormatan untuk beristirahat dan membersihkan diri. Pada malam harinya, Ratu mengundang Pangeran Avdar ke balai Keratuan.Lelaki muda berwajah tampan itu menghadap dengan pakaian kebesaran seorang pangeran, dengan lambang elang merah di dadanya sebagai lambang Kerajaan Gag."Salam, Yang Mulia." sapa Avdar dengan sopan. "Terimakasih telah memenuhi undangan kami, Pangeran. Bagaimana kabar Yang Mulia Raja dan Ratu Gag?""Semuanya baik, Yang Mulia." balas Pangeran Avdar pula. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di sebuah meja dengan aneka santapan ringan khas kerajaan."Silakan di coba," pinta sang Ratu. "Makanan ini memang sungguh menarik, namun saya lebih tertarik akan maksud Yang Mulia Ratu Sofraz mengundang saya kesini." tolak Pangeran Avd
Pangeran Avdar dan kedua punggawanya memutuskan untuk berdiam di Istana Sofraz menunggu acara penobatan besok. Istana mulai dihias dengan warna warna terang lambang pernikahan. Nilam Rencana sibuk menjalani ritual-ritual khusus calon Permaisuri sebelum masuk dalam acara pernikahan.Situasi istana demikian sibuk dan antusias. Akhir-akhir ini Tirza pun tidak lagi bertemu dengan Pangeran Sofraz. Sang Pangeran tentu saja sibuk melakukan berbagai tetek bengek kerajaan. Tirza berdiri di depan jendela kamarnya yang lebar, melihat beberapa faidara melintas di lorong -lorong istana dengan sibuk.Gadis itu meneguk anggur dari cawan di tangannya, dan kemudian tersentak ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk.Perempuan tinggi semampai berwajah rupawan itu menaruh cawannya dan berjalan membuka pintu. Seorang Faidara yang jarang Tirza lihat di gedung Kemandaraan. Ini tentu dayang dari balai keratuan, atau pangeran. Sang faidara membungkuk, "Firi, Yang Mulia Ratu meminta Anda menghadap di kamarn
Lelaki bermata ungu itu menghela nafas panjang, melihat sosok muridnya yang terbaring di atas batu di tengah danau, diselimuti oleh asap yang bersifat konstruktif. "Apakah dia masih bisa bangun lagi?"Suara yang sarat kecemasan itu terdengar di sisinya, Ambarwana membalikkan badan, melihat Pangeran Avdar yang tampak berantakan dan pucat, namun tidak kehilangan aura bangsawannya."Dia parah. Mungkin, kita tidak akan bisa menahannya lebih lama."Sang Pangeran mengepalkan tangannya gusar. Sebelum dirinya lepas kendali, Guru Tirza Antara kembali bicara."Kau telah melakukan hal yang sangat baik dengan menyelamatkannya, tapi tubuhnya sangat lemah sekarang. Kekuatan internalnya telah di redam, dia tak ubahnya seperti sebuah porselen yang bisa hancur sewaktu-waktu. Aku takut, dia tak akan bisa bertahan lagi."Pangeran Avdar menatap sosok yang terbujur di atas batu dalam taburan asap keunguan itu. Tirza terbaring dengan tenang, seolah apapun tidak akan sanggup menyakitinya lagi."Dia... send
Ariza, memandang langit malam dari balkon rumahnya. Lantai dua saat itu ramai oleh teman-temannya yang berkumpul untuk menikmati waktu bersama dan menonton film N*****x terbaru.Ponselnya berdering, tampak nama Kristo tampak di sana."Hallo?""Sudah pada ngumpul?" tanya Kristo di seberang sana."Ya, kemarilah. Bawa kekasihmu teman-teman yang lain membawa kekasih mereka."Kristo tahu siapa yang di maksud oleh Ariza sehingga dia berdecak pelan. "Dia bukan kekasihku,""Whatever, bawa dia serta, aku tidak akan menerkamnya."Kristo menghela napas dan akhirnya mengakhiri panggilan. Ariza berjalan ke ruang televisi dimana anak anak Poison telah sibuk bercengkrama sambil menatap Samsung UAIIOS9 110- inch di depan mereka.Sang ketua pun bergabung dengan mereka. Tak lama, sosok Kristo muncul bersama seorang gadis mungil di belakangnya. Lily.Anak-anak Poison bersikap cukup welcome pada Lili, mengajaknya bergabung bersama mereka, sedangkan Ariza diam saja. Dia sebenarnya tidak merasa terganggu de
"Apa yang terjadi?"Kristo masih berdiri di sana, berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, menatap kedatangan Ariza. Gadis itu terlihat seperti siluet misterius yang muncul tiba-tiba dari hutan Pinus."Jangan cari lagi Lilymu," Gadis itu meraih helmetnya dengan tenang, mengibaskan rambutnya ke belakang lalu mengenakan benda pelindung itu dikepalanya."Maksudmu?" Pemuda berwajah rupawan itu mengangkat alisnya."Dia sudah berakhir.""Ariza..."Perempuan itu memandang Kristo. Saat itu, Kristo menyadari bahwa warna mata Ariza biru dan separuh hitam. Pemuda itu terhenyak di bawah permukaan."Kau percaya padaku, bukan?" tuntut ketua Poison itu pula. Kristo, mengangguk tanpa ragu."Sejak awal, gadis itu datang untuk mengincarku. Dia berasal dari dimensi yang sama denganku. Tapi dia tidak akan dapat lagi kembali kesini.""Kau mengirimnya pulang?""Lebih dari itu."Ariza tampaknya tidak niat bicara lagi. Dia menaiki kendaraannya, menatap Kristo sejenak."Aku minta maaf ka
"Chandra Fala, siswa pindahan dari sepuluh 1PA B." ungkap Riana saat dilihatnya Ariza mengarahkan mata pada Chandra yang duduk di sudut kantin dan menikmati makanannya bersama Daniah."Jadi, dia memakai nama asli?" gumam Ariza nyaris tak terdengar. "Siapa gadis yang duduk bersamanya?""Dwi Daniah. Kelas Sepuluh juga." Kali ini Saron yang bicara. Gadis itu menjawab sambil menatap layar ponselnya."Perempuan itu biasanya terlihat juga bersama Bayu, namun akhir-akhir Bayu belum terlihat di sekolah."Ariza ingat interaksi terakhirnya dengan Bayu, dia merawat pemuda itu selama dua hari sampai akhirnya dia mendapati pemuda itu lenyap tanpa jejak di kamarnya. Pulang tanpa pamit. Dia juga tidak pernah melihat Bayu di sekolah.Ariza, memperhatikan Chandra dan Daniah, mempelajari gerak gerik dan senyum pemuda itu dan menyimpulkan satu hal.Dia menoleh pada Riana yang tengah menikmati es tehnya. Merasa sang ketua memerlukan dirinya, Riana membalas tatapan Ariza."Bawa gadis itu di villa Sapphire