Frazia Farza sedang berada di gedung milik raja, menemui sang ratu yang akhir-akhir ini menghabiskan waktunya disana.Agatara duduk di kursi yang biasa diduduki suaminya, menatap sendu ke arah jendela. Frazia duduk di sampingnya dengan sorot prihatin."Yang Mulia, hamba mengerti bahwa yang mulia masih sangat berduka. Namun kita tidak bisa terlalu lama diam. Keadaan sekarang sedang mengambang. Sofraz mengalami kekosongan pemimpin. Kita harus segera melakukan penobatan terhadap Pangeran Angin."Ratu Sofraz menarik nafas panjang. "Aku tahu Bibi. Namun Angin sudah memberitahuku untuk melakukan penobatan setelah 30 hari kepergian Raja. Dia tidak mau terlalu terburu-buru.""Kalau demikian," Frazia Farza mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagaimana jika kita melangsungkan pernikahan resmi Pangeran dan Putri Nilam? Seorang Raja tidak akan sempurna jika pada saat pelantikannya tidak didampingi ratunya."Ratu menatap Frazia Farza dengan pandangan tidak suka. "Bibi, kau tahu bahwa istana sedang dala
"Firi, Yang Mulia Ratu ingin menemui Anda," laporan seorang fairara menyadarkan Tirza yang tengah melakukan meditasi. Perempuan itu membuka matanya, sedikit kebingungan mendengar perempuan nomor satu Sofraz itu berkunjung di gedungnya.Tidak ada alasan untuk menolak sang Ratu, Tirza mengangguk. Lukanya sudah mulai sembuh, tubuhnya lambat laun terasa kembali ringan.Perempuan itu berdiri dari kursi tilamnya saat Ratu Sofraz melangkah masuk. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana sebagai lambang duka. Para faidara yang mengiringnya berdiri di luar pintu.Tirza Antara membungkuk."Aku dengar kau sakit." ungkap sang Ratu. Dia duduk dengan tenang, berbicara dengan anggun."Sudah membaik, Yang Mulia." ungkap Tirza pula dengan hati-hati. Bukan rahasia lagi kalau Ratu Sofraz tidak menyukai dirinya, terlepas dari statusnya sebagai Mandara sang pangeran."Aku lihat begitu," balas Sang Ratu. Dia tidak menampakkan ekspresi berlebihan, terlihat tenang dan datar."Tirza Antara, peralihan kepempina
"Semua orang mengharapkan pernikahanmu," Davar menghela napas melihat Pangeran Sofraz yang bungkam sejak dia kembali dari balai keratuan Ekspresi wajah sahabatnya itu mengingatkannya dengan kekosongan dan kehampaan di wajah adiknya."Kau adalah calon Raja, Pangeran. Aku tahu antara dirimu dan adikku ada ikatan yang lebih dari sekedar Mandara dan rajanya. Tapi, kau harus menepis kepentingan perasaanmu sendiri."Pangeran Sofraz Angin Nava Satra melihat sahabatnya, lalu tersenyum dengan satu sudut bibir. Davar menggeleng-gelengkan kepalanya. dia berani bertaruh jika dia seorang wanita, maka dia akan jatuh cinta dengan sahabatnya itu. Angin Nava Satra adalah visualisasi rupa yang paripurna. Dengan senyuman miring itu, dia bahkan terlihat lebih manusiawi dibandingkan dengan ekspresinya yang selama ini begitu datar.Sang Pangeran berdiri dari duduknya, membolang balingkan pedang di tangannya, dan menuju teras ruang pelatihan. Itu bahkan sudah jauh malam, tapi dia dan Davar masih bertukar
Sudah jauh malam, Tirza terbangun. Itu adalah naluri alaminya saat menyadari bahwa dia tidak sendirian. Gadis dalam balutan pakaian malam itu menatap ke satu sudut, sedikit tersentak melihat presensi seorang lelaki bertubuh tinggi proporsional sedang berdiri didepan jendela lebarnya yang terbuka. Pria itu tidak berada diluar, dia berada di dalam kamarnya.Awalnya, dia bersikap waspada, namun ketika seluruh indranya berfungsi dengan baik, dia merasakan aura sang pangeran yang kuat. Gadis itu turun dari pembaringannya, lalu membungkuk. "Ada keperluan apa Yang Mulia mengunjungi hamba malam-malam begini?"Lelaki dia depan jendela memutar badan. Dia adalah Angin Nava Satra, dalam balutan pakaian malam hitam berukir naga emas."Bersikaplah biasa," ungkap sang Pangeran, membuat Tirza mengangkat kepalanya lagi. Dua pasang mata mereka beradu, dan Tirza melihat sang pangeran tersenyum sendu. "Lukamu sudah membaik?""Sudah," jawab Tirza dengan cepat. Dia menolak menatap sang pangeran. Entah m
Pangeran Avdar, putera mahkota kerajaan Gag akhirnya datang. Laki laki itu datang bersama dua tangan kanan kepercayaannya, memenuhi undangan Yang Mulia Ratu Sofraz. Kedatangan mereka di sambut dengan kehormatan, langsung di antar ke balai tamu kehormatan untuk beristirahat dan membersihkan diri. Pada malam harinya, Ratu mengundang Pangeran Avdar ke balai Keratuan.Lelaki muda berwajah tampan itu menghadap dengan pakaian kebesaran seorang pangeran, dengan lambang elang merah di dadanya sebagai lambang Kerajaan Gag."Salam, Yang Mulia." sapa Avdar dengan sopan. "Terimakasih telah memenuhi undangan kami, Pangeran. Bagaimana kabar Yang Mulia Raja dan Ratu Gag?""Semuanya baik, Yang Mulia." balas Pangeran Avdar pula. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di sebuah meja dengan aneka santapan ringan khas kerajaan."Silakan di coba," pinta sang Ratu. "Makanan ini memang sungguh menarik, namun saya lebih tertarik akan maksud Yang Mulia Ratu Sofraz mengundang saya kesini." tolak Pangeran Avd
Pangeran Avdar dan kedua punggawanya memutuskan untuk berdiam di Istana Sofraz menunggu acara penobatan besok. Istana mulai dihias dengan warna warna terang lambang pernikahan. Nilam Rencana sibuk menjalani ritual-ritual khusus calon Permaisuri sebelum masuk dalam acara pernikahan.Situasi istana demikian sibuk dan antusias. Akhir-akhir ini Tirza pun tidak lagi bertemu dengan Pangeran Sofraz. Sang Pangeran tentu saja sibuk melakukan berbagai tetek bengek kerajaan. Tirza berdiri di depan jendela kamarnya yang lebar, melihat beberapa faidara melintas di lorong -lorong istana dengan sibuk.Gadis itu meneguk anggur dari cawan di tangannya, dan kemudian tersentak ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk.Perempuan tinggi semampai berwajah rupawan itu menaruh cawannya dan berjalan membuka pintu. Seorang Faidara yang jarang Tirza lihat di gedung Kemandaraan. Ini tentu dayang dari balai keratuan, atau pangeran. Sang faidara membungkuk, "Firi, Yang Mulia Ratu meminta Anda menghadap di kamarn
Lelaki bermata ungu itu menghela nafas panjang, melihat sosok muridnya yang terbaring di atas batu di tengah danau, diselimuti oleh asap yang bersifat konstruktif. "Apakah dia masih bisa bangun lagi?"Suara yang sarat kecemasan itu terdengar di sisinya, Ambarwana membalikkan badan, melihat Pangeran Avdar yang tampak berantakan dan pucat, namun tidak kehilangan aura bangsawannya."Dia parah. Mungkin, kita tidak akan bisa menahannya lebih lama."Sang Pangeran mengepalkan tangannya gusar. Sebelum dirinya lepas kendali, Guru Tirza Antara kembali bicara."Kau telah melakukan hal yang sangat baik dengan menyelamatkannya, tapi tubuhnya sangat lemah sekarang. Kekuatan internalnya telah di redam, dia tak ubahnya seperti sebuah porselen yang bisa hancur sewaktu-waktu. Aku takut, dia tak akan bisa bertahan lagi."Pangeran Avdar menatap sosok yang terbujur di atas batu dalam taburan asap keunguan itu. Tirza terbaring dengan tenang, seolah apapun tidak akan sanggup menyakitinya lagi."Dia... send
Ariza, memandang langit malam dari balkon rumahnya. Lantai dua saat itu ramai oleh teman-temannya yang berkumpul untuk menikmati waktu bersama dan menonton film N*****x terbaru.Ponselnya berdering, tampak nama Kristo tampak di sana."Hallo?""Sudah pada ngumpul?" tanya Kristo di seberang sana."Ya, kemarilah. Bawa kekasihmu teman-teman yang lain membawa kekasih mereka."Kristo tahu siapa yang di maksud oleh Ariza sehingga dia berdecak pelan. "Dia bukan kekasihku,""Whatever, bawa dia serta, aku tidak akan menerkamnya."Kristo menghela napas dan akhirnya mengakhiri panggilan. Ariza berjalan ke ruang televisi dimana anak anak Poison telah sibuk bercengkrama sambil menatap Samsung UAIIOS9 110- inch di depan mereka.Sang ketua pun bergabung dengan mereka. Tak lama, sosok Kristo muncul bersama seorang gadis mungil di belakangnya. Lily.Anak-anak Poison bersikap cukup welcome pada Lili, mengajaknya bergabung bersama mereka, sedangkan Ariza diam saja. Dia sebenarnya tidak merasa terganggu de
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak