Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
"Baju siapa ini?" Haris menemukan sebuah baju putih polos di bawah ranjang. Mengambil dan memperhatikan. Melebarkan mata mengenali pemiliknya. Tidak lain adalah milik Satria adik laki-lakinya. "Kenapa baju adikku ada di kamar istriku?" tanyanya heran dan curiga. "Ayra. Ayra!" Memanggil istrinya yang tidak ada. Kemudian terdengar suara air. Lelaki itu mendekat pada kamar mandi di sudut ruangan. Ayra ada di sana. "Ayra?!" Perempuan itu buru-buru menyelesaikan mandi saat terdengar ketukan keras pintu. Mematikan shower dan memakai handuk baju. "Mas Haris?" Pintu baru dibukanya. Haris membelalak menatap pemandangan rambut basahnya. "Kamu dikeramas?""Memang kenapa?""Kamu tidak habis berhubungan denganku, Ayra." "Mandi keramas tidak harus selalu sesudah hubungan suami istri, Mas." "Kamu sudah berhubungan dengan laki-laki lain. Itu kenapa dikeramas.""Astagfirullah. Tidak, Mas!" "Ini buktinya!" Haris menunjukkan baju itu. "Baju siapa itu?" Ayra tak mengerti balik bertanya. "Baju m
"Aku akan menceraikanmu detik ini juga!" Haris sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulutnya. Di matanya Ayra salah besar dengan bukti jelas. "Ayra Kaesya Fatharani binti Bapak--" "Stop. Jangan diteruskan." Marni maju ke hadapan Haris. Tidak ingin kata talak itu jatuh dari mulutnya untuk menantu. "Tenangkan dulu pikiranmu. Jangan tergesa." Terlalu dini Haris mengambil keputusan. "Tidak bisa, Bu." "Maafkan, Ayra." "Tidak semudah itu. Ibu jangan membela orang yang salah!" Haris turut geram pada ibunya sendiri. Bukan mendukungnya tapi malah memaklumi Ayra. "Ibu tidak membela orang yang salah. Ibu minta kamu memaafkan. Kasihan Ayra." Marni menatap ke arahnya. Sangat mengasihani. Sudah dimadu dan sekarang hendak dicerai begitu saja. Dia tak tega. "Ayra sudah berbuat hal hina. Aku benci istri seperti itu!" Tidak bisa ditawar-tawar lagi sungguh fatal baginya. Dia berniat melihat keadaannya setelah bermalam dengan Tisa di lantai atas. Namun, setelah memasuki ka
"Kontrakan di sini penuh." Untuk kedua kali Ayra kecewa mendengar pemilik petakan kontrakan. Ternyata mencari tempat tinggal dalam waktu cepat tidaklah mudah. "Gitu, ya, Pak. Terimakasih." Ayra pamit. Berjalan kembali. Lesu tubuhnya ingin segera istirahat. Sesekali mengusap peluh di dahi. Selama bersama Haris tidak pernah melakukan jalan kaki sejauh ini. Satria masih mengikuti. Rela masuk dalam gang dan memberhentikan motor dari agak jauh. Mengotak atik ponsel yang dikeluarkan dari saku. Sementara Ayra terus berjalan. Berharap bisa cepat menemukan tempat bermalam. "Mau ke mana, Mbak?" tanya seorang pemuda tiba-tiba menghampiri. Langkah Ayra terhenti. "Saya cari kontrakan." "Ada dekat sini. Kalau Mbak minat saya tunjukkan." "Benar, Mas?" Seketika mata Ayra berbinar. "Iya. Boleh ikut saya, Mbak." "Baik, Mas." Ayra mengikuti. Senang mendengar kabar tersebut. Membuatnya semangat lagi. Pemuda itu menunjukkan deretan kontrakan yang dimaksud. "Deretan kontrakan itu ada yang kosong.
"Eh, eh, mau dibawa ke mana makanannya?" Langkah Ayra terhenti di hadapan Bu Dita. Bingung mesti menjawab apa. Tadinya dia mau memberikan ke orang lain makanan yang tidak jelas pemberian siapa. Meski lapar meski membutuhkan, Ayra tidak mau sembarangan memakan. "Bu Dita tau tidak siapa yang gantungin kantong makanan ini di depan pintu kontrakan saya?" "Dari hamba Allah." "Hamba Allah?" "Iya. Saya juga dikasih. Nih." Bu Dita menunjukkan kantong yang sama di sampingnya memindahkan di meja. "Gak tau siapa. Orangnya langsung pergi." Siapa? Ayra semakin penasaran. "Makan aja, gak usah ragu. Saya juga mau dimakan nih. Orang sedekah, jangan nolak rejeki." Ayra mematung melihatnya membuka bingkisan itu dan melahap makanan tersebut. "Ketopraknya enak banget. Eh, ada bakwan juga." Mulutnya sibuk mengunyah. "Udah, kamu jangan bengong. Makan nanti keburu dingin." "Ah, iya." Ayra pun memilih berputar arah masuk dalam kontrakan kembali. Duduk membuka bingkisan tersebut di lantai. Menepis
"Satria? Jadi kamu orangnya?!" Ayra tidak menyangka. Yang setiap pagi memberikan makanan padanya ternyata mantan ipar. "Ya ... dari aku." Satria sudah tenang kembali mencoba tersenyum. "Untuk apa kamu lakuin itu?" "Pengen aja berbagi sama kamu.""Gak usah. Aku tidak butuh bantuan orang yang sudah fitnah aku. Bawa kembali makanan itu." "Ayra maaf ... karna itu aku merasa bersalah dan mau nebus kesalahan itu.""Dengan memberi makanan? Itu tidak bisa mengembalikan harga diriku!" Ayra hendak menutup pintu tapi ditahan. "Pergi kamu. Jangan ke sini lagi!" "Ayra, aku minta maaf. Aku tahu kamu membutuhkan bantuan. Ambil apa yang sudah aku bawa ini." Satria kembali menyodorkan kantong makanan itu. "Bawa pulang saja. Dan untuk semua makanan yang kamu beri dan sudah aku makan, aku akan menggantinya!" "Tidak usah diganti, Ayra."Ayra berusaha menutup pintu dan kali ini berhasil. Dia bersandar pada pintu tersebut. "Ayra!" "Pergi atau aku akan teriak!" Lelaki itu menunduk tidak memaks
"Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. "Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. "Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. "Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. "Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja sa
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu