Share

BAB 5

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-11-22 12:35:06

"Satria? Jadi kamu orangnya?!" 

Ayra tidak menyangka. Yang setiap pagi memberikan makanan padanya ternyata mantan ipar. 

"Ya ... dari aku." Satria sudah tenang kembali mencoba tersenyum. 

"Untuk apa kamu lakuin itu?" 

"Pengen aja berbagi sama kamu."

"Gak usah. Aku tidak butuh bantuan orang yang sudah fitnah aku. Bawa kembali makanan itu." 

"Ayra maaf ... karna itu aku merasa bersalah dan mau nebus kesalahan itu."

"Dengan memberi makanan? Itu tidak bisa mengembalikan harga diriku!" Ayra hendak menutup pintu tapi ditahan. 

"Pergi kamu. Jangan ke sini lagi!"   

"Ayra, aku minta maaf. Aku tahu kamu membutuhkan bantuan. Ambil apa yang sudah aku bawa ini." Satria kembali menyodorkan kantong makanan itu. 

"Bawa pulang saja. Dan untuk semua makanan yang kamu beri dan sudah aku makan, aku akan menggantinya!" 

"Tidak usah diganti, Ayra."

Ayra berusaha menutup pintu dan kali ini berhasil. Dia bersandar pada pintu tersebut. 

"Ayra!" 

"Pergi atau aku akan teriak!" 

Lelaki itu menunduk tidak memaksa lagi. Menatap kantong makanan yang kali ini gagal diberikan. Ayra masih marah terhadapnya. Menolak meski membutuhkan. 

Ayra sebal terhadapnya. Sudah mengaku palsu. Membuat fitnah. Membuat dirinya hina di mata Haris. Sekarang, dia berani memanggil nama tanpa sebutan 'mbak' atau 'kak' lagi setelah bercerai. Ayra tidak tahu tempat yang ditinggali sekarang pun atas bantuannya. 

Satria masih berdiri di luar menatap cat pintu yang pudar. Membayangkan hari-hari mantan kakak ipar tidak nyaman berada di tempat ini. Tidak mudah untuknya yang terbiasa hidup enak dengan kakak laki-lakinya, sekarang hidup serba kekurangan. 

Kemudian berbalik pergi melangkah dengan berat hati. 

Ayra bernafas lega melihatnya menjauh dari kaca jendela. Kemudian bergegas ke kamar mandi. 

Membeli sarapan dan mencoba mencari lowongan pekerjaan lagi setelahnya. 

Seperti biasa masih belum ada. Sudah menanyakan pada Bu Dita, menawarkan jadi pembantu di rumahnya tapi sudah ada pekerja. 

Ayra terdiam melihat pemulung anak kecil di jalan dan di tempat sam-pah dengan karung kecil di tangan. Memungut botol-botol minuman bekas juga kardus-kardus. 

"Ya Allah." Batin Ayra berperang. 'Apa aku harus melakukan itu?' sementara menunggu dapat pekerjaan. Dari pada diam. Mengumpulkan barang bekas kemudian dijual. 

"Bismillah. Aku harus mau melakukan apapun. Terpenting halal dan bukan mencuri." Ayra melangkah di antara gejolak hati, mendekat pada anak kecil itu di dekat tumpukkan sam-pah tepi jalan. 

Menitik air matanya tapi juga tersenyum, meyakinkan diri penderitaannya belum seberapa dibanding anak itu, masih kecil sudah berkutat dengan pekerjaan mulung. Pasti lebih pedih hidupnya dan Ayra harus bersyukur. 

"Dek, boleh Kakak mulung di sini?"

Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menoleh. "Mulung barang bekas?" tanyanya polos tapi juga heran. 

"Iya." 

"Boleh. Tapi buat apa, Kak?"

"Buat ... dijual sama seperti adek."

"Kakak mau jadi pemulung?" Ayra mengangguk kaku. Anak itu memperhatikannya semakin heran. 

"Kakak cantik, sayang jadi pemulung. Memangnya Kakak gak malu?" 

"Tidak apa-apa kok." Ayra terus berusaha meyakinkan dalam pedih. "Dijual perkilo kan, Dek?"

"Iya."

"Tempat jualnya di mana di sini?"

"Ada. Nanti bisa aku tunjukkan, Kak."

"Terimakasih ya, sekarang Kakak kumpulin barangnya dulu."

"Sama-sama, Kak." Mereka berdua sama-sama mencari barang bekas. 

Ayra menemukan karung kecil di tempat samp4h tersebut. Menjadi wadah. Memasukkan botol minuman yang dia temukan ke dalamnya. Ayra tersenyum pahit ke arah anak itu yang tenang dan terbiasa. Dia kemudian pergi. 

"Mau ke mana, Dek?" 

"Cari di tempat lain, Kak." 

"Tapi di sini masih ada."

"Buat Kakak saja." 

Ayra merasa terharu. Anak itu memilih mencari di tempat lain membiarkannya memungut barang bekas di sini. Mulia sekali. Ayra pun meneruskan memungut barang-barang bekas yang ada. 

Setelah dirasa tidak ada. Dia juga pindah. Menyusuri jalan. Merasa risih saat pengendara yang lewat memperhatikannya. Ayra terus menunduk saja. Jujur, malu tapi harus mau. 

Sungkan saat melewati warung dan beberapa pemuda tengah nongkrong di sana. Terdiam ingin mengambil beberapa botol kemasan bekas minum. Tapi ragu. Dia lalu memberanikan diri mengambil cepat. Memasukkannya dalam karung. 

"Ini bener pemulung? Baru kali ini gue nemu pemulung secantik ini." Salah satu dari tiga orang itu bicara. 

"Gue gak salah liatkan?" Mereka terus memperhatikan terheran-heran. 

"Gi-la. Baru kali ini nemu pemulung sebening dan semulus ini." Yang lain ikut bicara. 

"Dari pada mulung mending kerja sama Abang aja. Kerja nemenin di kasur. Enak," timpal teman satunya sembari tersenyum menggoda. Juga diiringi kekehan kecil. 

Ayra resah mendengarnya. Tidak nyaman. "Neng!" Dia cepat pergi saat dipanggil. Takut dikejar orang itu. Takut diganggu. 

Berjalan lagi sambil mera-ba dada yang berdegup. Tidak mau menjumpai laki-laki genit seperti itu lagi. Tetapi melihat karung, barangnya baru dapat sedikit. Dia harus mencari lagi. 

Menyingkirkan rasa takut juga rasa malu-malunya Ayra mengambil barang bekas di tong sam-pah yang baru dijumpai. Mencoba abai dengan tatapan orang sekitar. Lebih sering menundukkan pandangan. 

"Sat. Sat!"  

Satria yang tengah menunduk memainkan ponsel merasa terganggu temannya mengguncang bahunya. "Jangan ganggu gue. Fokus aja nyetir." 

"Lihat itu! Bukannya itu cewek lo?" Deni menghadapkan wajahnya untuk melihat Ayra. Seketika Satria melebarkan mata melihatnya. 

"Benerkan cewek lo itu? Yang tempo hari gue kasih tau alamat kontrakan." 

Satria memperhatikannya memungut botol bekas dan memasukkan dalam karung. 

"Dia ... mulung? Sat, masa cewek secakep itu mulung si? Itu gak bener kan? Sayang banget." 

"Berhenti!" Deni pun mengikuti instruksinya memberhentikan mobil. "Lo tunggu di sini."

"Oke." 

Satria membuka pintu dan turun. Cepat menghampiri Ayra. Berhenti tidak jauh di depannya. Memperhatikan lagi dia dengan stelan daster murah dan hijab instan ditambah berkegiatan mulung barang bekas. Satria terenyuh. Tidak tega. Ingin menyangkal tapi itu benar Ayra. Bukan orang lain. Dia tak habis pikir. 

Entah bagaimana jika Haris melihatnya? Apa akan iba seperti dirinya atau puas melihat mantan istri menderita?

"Ayra," panggilnya. Ayra mendongak. Membelalak melihatnya. 

"Kamu gak boleh kaya gini." Satria menahan tangannya yang hendak mengambil botol bekas minum. 

"Lepas!" Ayra tidak suka tindakannya. 

"Berhenti. Jangan lakuin kaya gini lagi." Satria merebut karung yang dipegangnya memasukkan dalam tong sampah. 

"Satria kamu apaan?!" Ayra berang. 

"Jangan jadi pemulung."

"Kenapa? Ini halal dari pada mencuri!" 

"Kamu tidak pantas Ayra. Kalau kamu butuh uang aku bisa kasih, jangan mulung." Satria memberikan lembaran uang merah, diambil dari dompetnya.  

"Tidak." Ayra menepis. 

"Terima, Ayra. Kamu tidak usah takut. Ini uang halal. Aku iklas." Dia tidak mau melihatnya memungut barang bekas lagi. 

Ayra menggeleng dengan lelehan air mata. Sedih, marah, malu, lelah, campur aduk menjadi satu. 

Satria memaksa mengepalkan uang itu di telapaknya dan menggenggam. "Aku gak mau melihat kamu seperti ini. Dan gak akan ngebiarin kamu seperti ini." 

Related chapters

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 6

    "Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. "Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. "Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. "Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. "Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja sa

    Last Updated : 2023-12-23
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 7

    "Jadi, benar ya Mbak Tisa, Kalau Mbak Ayra selingkuh dengan Mas Satria, dengan adek ipar sendiri?" "Betul. Itu kenapa Mbak Ayra dicerai Mas Haris dan dua-duanya diusir dari rumah." Ayra mundur tidak jadi melangkah ke depan rumah Haris saat mendengar suara itu. Berdiam di pojok garasi melihat dengan geram beberapa Ibu-ibu tengah membicarakannya bersama Tisa. Sambil memilih sayur di pedagang mobil losbak kecil. Tisa begitu bersemangat menggosipkannya. "Gak nyangka, ya, tampang alim begitu bisa selingkuh.""Mangkannya jangan hanya terkesan dengan penampilan Bu-ibu, bisa menipu." Tisa terus mengompori. "Pantas Mas Haris marah langsung menceraikan," timpal Ibu-ibu lain. "Dua-duanya tega dan tidak tahu diri. Sudah enak tinggal di rumah bagus begini, malah buat ulah." "Lebih tidak tahu diri lagi si Ayra, sudah mandul malah selingkuh. Padahal Mas Haris baik, gak ada bersyukurnya." Tisa tersenyum senang dan puas mendengar respon Ibu-ibu itu. Mereka ikut membenci Ayra. Sesuai yang dihara

    Last Updated : 2023-12-24
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 8

    "Loh, barang-barang saya ke mana, Bu?" Ayra heran sekembalinya ke kontrakan barang yang tadi dikumpulkan tidak ada. "Ada di dalam," jawab Bu Dita. Lalu mendekat padanya yang terdiam kebingungan. "Kamu gak usah pergi. Boleh tinggal di sini." Heran Ayra mendengarnya. "Tapi, Bu, tadi--""Sudah. Gak apa-apa. Kamu bebas tinggal di sini." Dielus lengan janda muda itu berbicara sungguh-sungguh. Serta ramah. Berbeda dengan sebelumnya yang ketus. "Saya belum bisa bayar sewanya, Bu.""Tidak apa-apa, tidak usah pikirkan itu. Maafkan saya Ayra, tadi saya sudah menyuruhmu pergi tanpa memperdulikan keadaan kamu." "I-iya, Bu." Tak enak dan bingung Ayra menanggapinya. Karna tiba-tiba semua berubah. Dirinya diberi kesempatan tinggal lagi di kontrakan tanpa pertimbangan biaya sewa. Bu Dita membebaskannya. "Kamu bisa istirahat di dalam." "Tapi dua orang itu, Bu?""Mereka sudah pergi. Mencari kontrakan lain.""Terimakasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Saya pergi dulu, Ayra." Bu Dita meninggalkannya y

    Last Updated : 2023-12-25
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 9

    "Tidak sudi." Haris tertegun. Ayra menolaknya. Bahkan, dengan kata-kata sangat tidak enak didengar. Seperti dulu dia pernah melontarkan kalimat itu. Saat ibunya meminta rujuk. Sekarang Ayra mengatakannya. Haris tertohok. Rasanya sesakit itu. "Aku tidak mau rujuk." Dia semakin mempertegas. "Apa?" Haris tak ingin mempercayainya. Dia kira Ayra akan langsung menerima. Dia kira perempuan itu akan senang dia datang. Karna tahu selama ini Ayra sangatlah mencintainya, sampai dia menikah lagi pun mengijinkan. "Aku tidak mau kembali denganmu, Mas." Ayra menatapnya marah juga kecewa atas tuduhannya tanpa bertabayun lebih dulu. Belum lagi kasih sayang yang timpang antara dirinya dan Tisa selama mereka bersama. Sudah teramat sakit hati. Tak ingin merasakan itu lagi. "Kita akan tetap seperti ini. Hanya mantan suami istri." Dengan sendiri seperti ini Ayra merasakan hidup tenang. Merasa lebih baik. Hal yang sudah lama hilang bisa didapatkannya lagi. "Beri aku kesempatan, Ayra." Haris meraih tan

    Last Updated : 2023-12-26
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 10

    "Udah, biarin. Gak usah dilihat." Satria terus melaju dan semakin dipercepat. Menyisakan Haris yang geram melihat mereka menjauh tanpa mempedulikannya. Lelaki itu hendak menemui Ayra lagi tapi keburu pergi. Dan gagal. Ayra terdiam resah. Takut Haris berpikiran macam-macam. Dan membenarkan lagi tuduhannya selama ini. Ayra jadi menyesali sudah mau naik motor Satria. Seharusnya dia menolak. Satria menyadari Ayra jadi tidak tenang setelah dilihat mantan suaminya itu. Menoleh padanya yang terdiam. "Gak usah dipikirin. Biarin aja." "Nanti Mas Haris menuduh kita macam-macam seperti dulu." "Terpenting kenyataannya tidak seperti itu. Suatu saat semua akan terbongkar kebenarannya." Ayra tidak membalas lagi memilih diam kembali. Masih tidak tenang. Satria memberhentikan motor di depan warung bubur ayam yang baru buka. Ayra lekas turun, memberikan ongkos yang diambil dari tasnya. "Tidak usah. Simpan buat kamu saja." Lelaki itu cepat pergi lagi. Tidak ingin menerimanya. Menjadi tukang ojek h

    Last Updated : 2023-12-27
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 11

    "Kalian salah paham." Ayra berbicara dengan tenggorokkan serasa tercekat. Tiba-tiba tempatnya didatangi orang-orang ini. Memergokinya bersama Satria. Dilirik lelaki itu, masih melongo atas apa yang didengarnya. Memberi tatapan tajam atas apa yang sudah dia perbuat sampai disangka yang tidak-tidak. "Benar. Kami tidak melakukan apa-apa dan tidak ada hubungan apa-apa." Dia membela diri. Tidak seperti dulu saat di rumah Haris malah mengakui. "Saya hanya membantu Ayra yang lagi sakit." "Alasan. Jelas-jelas tadi kami melihatmu berpelukan." Warga tidak mempercayainya. "Kalian mengaku saja jangan cari-cari alasan," sahut yang lain. "Kita bawa saja ke Pak RT!""Ya, kita bawa lalu nikahkan!"Ayra menggeleng-geleng tidak menyangka semua itu bisa menimpanya. Dia jelas tidak bersalah. Lagi-lagi, semua karna ulah Satria. Seharusnya lelaki itu tidak menemaninya, sampai ikut tidur bersama dan beraninya memeluknya. Dia yang setengah kesadarannya hilang akibat demam tidak begitu menyadari, yang di

    Last Updated : 2023-12-28
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 12

    Haris sudah rapi bersiap ke kantor. Sudah menyelesaikan sarapan yang disediakan Marni. Sedangkan Tisa tidak terlihat batang hidungnya. "Tisa kok belum pulang sih, Ris? Perempuan hamil besar seharusnya jangan bepergian sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Marni terlihat cemas tapi juga tak suka Tisa lama pergi. Perempuan itu sering bepergian keadaan hamil pun. "Katanya sebentar. Tapi dari kemarin sampai sekarang belum pulang. Kamu telepon coba, Ris. Jangan sering kelayapan. Mana lagi hamil besar." Tanpa menimpali ibunya, Haris segera menghubunginya. Namun Tisa tidak menerima telepon. Tak kunjung diangkat. "Dia tidak bisa dihubungi." "Ya ampun. HPL-nya sudah lewat, harusnya dia hawatir dan harus sudah bedres di rumah." Haris pun merasa kesal. Sudahlah ditinggal Ayra sekarang istri mudanya juga sering tidak ada. "Aku akan menjemputnya sebelum ke kantor." "Bawa pulang dan kamu tegasi dia untuk jangan begitu lagi, Ris." "Baik, Bu." Haris beranjak ke luar rumah diikuti Marni

    Last Updated : 2023-12-29
  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 13

    "Mas Haris?" Ayra membelalak, lantas menoleh pada Satria yang tampak biasa saja. Sama sekali tidak ada sorot takut terhadap kakaknya itu. "Hina apanya? Kami tidak berbuat seperti itu." Dia bicara lugas dan tegas. "Justru kamu yang lebih hina, tidak bisa melihat kebenaran," tambahnya. Seketika membuat Haris mengha-jar wajahnya. Ayra menjerit. Terlebih, Haris melakukannya tidak sekali dengan gerakkan cepat. Lelaki itu tidak dapat menahan diri lagi. "Cukup. Hentikan. Jangan pukul Mas Satria!" Haris melihat padanya. "Mas Satria?" ujarnya tersenyum sinis. "Karna sekarang dia suamimu jadi memanggil seperti itu, begitu? Kamu senang, hah? Akhirnya bisa berkumpul dengan teman zinamu ini?" Bugh! Belum sempat Ayra menjawab Satria gantian mengha-jar wajahnya. Lelaki itu memekik dan sedikit mundur. Menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Sama seperti dirinya, dia bahkan lebih dari satu di pelipis dan hidung. Haris hendak membalas tersulut emosi, tapi kali ini Satria menahannya. "Pergi da

    Last Updated : 2023-12-30

Latest chapter

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 87

    "Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU    BAB 86

    Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 85

    Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 84

    Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 83

    "Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 82

    Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 81

    "Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 80

    "Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 79

    "Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu

DMCA.com Protection Status