Ayra mengerem langkah kaki begitu menginjak halaman rumah Haris. Ragu, takut juga enggan. "Tidak usah takut. Kamu tidak sendiri sekarang. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu." Satria menenangkan. Meyakinkan semua akan baik-baik saja. Ayra sempat melarangnya. Tapi dia tetap mau pergi. Perbuatan Haris kemarin tidak membuatnya kapok, juga tidak merasa terancam. "Ayo." Dia menggamit tangannya mengajak masuk. Satria mengucap salam. Tapi tidak ada yang menjawab. Pintu dia buka sendiri. Di dalam ruangan tampak lengang. Tak ada seorang pun. Dia terus melangkah pelan tak henti memegang tangan Ayra. "Kita langsung ke kamar Ibu." Istrinya itu hanya diam saja. Semua terserah padanya. "Heh, seenaknya kalian masuk rumah orang. Kaya maling aja." Keduanya berhenti mendengar suara Tisa. Perempuan hamil besar itu menuruni tangga dengan payah. Menghampiri mereka. "Beraninya kalian datang ke sini."Ayra hendak menjawab dicegah Satria menggelengkan kepala. Bibirnya yang terbuka mengatup
"Jangan pernah lagi panggil Satria anak haram, Ibu sudah peringatkan!" Bercucur air mata Marni. Tidak hanya Satria yang sakit hati atas ucapan Haris, dirinya juga merasakan hal sama. Lebih-lebih sebagai ibunya. "Benarkan yang aku katakan? Dia itu anak di luar nikah!""Tidak. Kamu salah Haris." "Anak hasil hubungan gelap Ibu dengan orang lain!" "Bukan ... Ya Allah, itu semua tidak benar. Sudah Ibu bilang berkali-kali sejak dulu. Ibu mengandung Satria sesudah menikah." "Aku tidak percaya!" Ayra menghampiri ibu mertua yang menangis sesenggukan. Dia tak mengerti, fakta ini baru diketahui. Perseteruan yang memanas, membuat Haris bersikap seperti itu. Bahkan terhadap ibunya sendiri. "Pergi kamu dari sini anak hasil selingkuhan!" Satria memukul bibir lelaki itu telah bicara seenaknya dan menarik kerah bajunya. "Mas sudah menyakiti Ibu. Sudah membuat Ibu menangis. Mas durhaka!" sentaknya. "Kalau benci aku, cukup benci aku saja, Mas. Tidak usah bawa-bawa Ibu!" Haris keterlaluan. Satria
"Tisa?!"Haris mendapati istrinya itu menangis tak berdaya di bawah ranjang. Merangkulnya. Di IGD Tisa ditangani dokter, Haris bertambah panik karna dia pendarahan dan lemas. Lalu diputuskan untuk secar. Perempuan itu kini di ruang operasi sedang berusaha dikeluarkan bayinya. Haris menanti cemas di ruang tunggu seorang diri. Ya, hanya seorang diri. Marni tidak bisa ikut dan tidak mau diajak ikut. Terpaksa Haris meninggalkannya. Pikirannya terbagi kemana-mana tak tenang. Antara istri dan ibu yang tak baik-baik saja. Perih hati lelaki itu, tak seorang pun menemani di saat momen menegangkan dan menghawatirkan. Keluarga Tisa tidak ada yang bisa dihubungi. Di saat seperti itu ia teringat Ayra, jika saja dia masih bersamanya tentu tidak akan getir sendirian. Biasanya saat perasaannya kacau perempuan itu senantiasa menenangkan dan selalu ada. Rasa menyesal itu mencuat lagi, dia membutuhkan kehadirannya. Pun dengan Satria, meski selama ini mereka tidak dekat cenderung masing-masing. Tap
Ayra tengah menyuapi bubur ibu mertua. Tidak jauh darinya Satria duduk memperhatikan. Pagi-pagi mereka sudah ke rumah sakit setelah semalam pulang. Malam panas bagi keduanya, namun tanpa ada kegiatan lanjutan. Ayra menolak keinginan suami barunya itu. Kini, ada rasa tak enak hati sudah membuatnya nelangsa menahan hasratnya. Tidak berani melihat, hanya sedikit menggerakkan sudut mata padanya yang terus diam. Kemudian teringat peristiwa itu lagi yang membuat keduanya kini canggung. "Jangan, Mas." Di tengah debar membuncah, Ayra menjauhkan diri. Menyingkirkan tubuh Satria yang sudah berpindah di atasnya. Merunduk hendak mengecup bibir. Seketika, lelaki itu menjadi merebah. "Kenapa Ayra?" tanyanya dengan napas sedikit tersengal. "Aku ... Aku belum siap." Ayra sendiri beranjak duduk. Menunduk. Memberikan alasan itu. "Kamu tidak usah takut Ayra. Aku bisa melakukannya hati-hati. Aku tidak akan menyakitimu." Bukan karna itu ... Ayra membatin. Dia sudah bukan anak gadis, berhubungan i
Sampai di kontrakan Ayra terus memikirkan. Satria tidak hanya membelikan IPhone, tapi juga membelanjakannya baju. Sekarang di kamarnya terdapat beberapa paper bag. Berisi pakaian. Pulang dari mall mereka langsung ke kontrakan menaruh belanjaan. Ayra memperhatikan itu semua di atas tempat tidurnya. Belum lagi kotak ponsel baru di tangannya. Dan mobil yang mereka pakai belum tahu milik siapa. Satria baru selesai mandi. Ayra melihatnya hanya menggunakan handuk sepinggang langsung menunduk. Laki-laki itu kadang memakai baju, kadang seperti itu sehabis keluar dari mandi. Ayra belum terbiasa melihat tubuhnya terbuka. Terus berpaling. Padahal sudah ia ingatkan untuk memakai di kamar mandi saja. Tapi Satria tidak menuruti. Dia cuek saja membuka lemari. Mengambil pakaian ganti. "Aku suamimu, Ra. Kamu gak perlu seperti itu." Dia memakai kaos di hadapannya. Selanjutnya melorotkan handuk begitu saja. "Mas Satria!" Ayra menjerit menutup mata. "Sembarangan!" Lelaki itu masih cuek. Duduk di s
"Kamu tanyakan saja padanya, Ra.""Kenapa, Bu? Ibu pasti tau lebih banyak tentang Satriakan?" "Satria sudah bilang pada Ibu untuk jangan menceritakan dirinya pada siapapun. Haris saja tidak tahu dia yang sekarang. Jadi, kamu bisa minta penjelasan langsung padanya." Ayra tak memaksa lagi saat ibu mertua enggan menjelaskan. Tidak lama pamit ke luar ruangan setelah Haris datang. Dia enggan dekat-dekat dengan lelaki itu lagi. Haris menatap kecewa dia yang pergi. Kini, Ayra tengah berada di mobil. Memutuskan pulang dulu. Marni ada Haris yang menjaga. Tisa di ruangan lain didatangi keluarganya. Satria entah ke mana tadi pamit ada urusan. Ayra pulang sekarang naik taksi daring. Sampai di kontrakan Ayra beres-beres dan memasak. Setelah itu hanya duduk termenung di sofa ruang depan. Kesal melanda dan tak tahu harus apa. Dia teringat tunggakan kontrakan. "Astagfirullah. Aku lupa," gumamnya. Cepat dirinya bangkit. Keluar menemui Bu Dita di rumahnya.Perempuan itu sedang melayani pembeli di
"Sayang, bangun," bisik Satria di dekat istrinya yang masih tidur. "Sudah subuh." Dia menyentuh lembut pipinya. Aira masih lelap. Meringkuk di sofa. Sama seperti Marni masih tidur di bed pasien. Pasangan suami istri itu menginap di rumah sakit. "Sayang?" Satria mencoba memanggil lagi. Berjongkok di hadapannya. Memperhatikan ia tampak imut menjadikannya tersenyum. Kemudian terpokus pada bibirnya yang terkatup, menatap gemas. Satria ingin sekali merasakannya. Dia berdehem kecil dan membasahi tenggorokkan yang mendadak terasa kering. Bibir itu ia sentuh mengusap halus dengan ibu jari. Bibir yang kerap cemberut setiap kali merasa terganggu. Lalu keluar kata-kata ketus. Bagi Satria semua itu tidak menyebalkan justru suka. Kini, pemilik bibir amat menggoda itu tengah tidur. Kelelahan ikut bergadang menemani dan menjaga ibunya. Sampai tidak mendengar suara adzan subuh. Satria mendekat tanpa bisa menahan diri lagi. Mata Ayra terbuka pelan, langsung membelalak melihatnya sangat dekat sep
"Kenapa masih di sini? Kamu gak budek kan? Pergi dari sini!" Tak puas Satria mengatakannya sekali. Mengusir lagi karna Haris masih diam di sini. Ayra meliriknya untuk jangan marah-marah. Satria hanya muak, lelaki itu tak tahu malu. Suka mengganggu datang tiba-tiba. "Kenapa? Nyesel? Gak guna. Waktu gak bisa diputar kembali." Haris mengepalkan tangan karna geram, namun tak menampik semua benar adanya. Satria menatapnya mencemooh. Tidak seperti dulu dia terus bicara menyudutkannya dan Ayra. Sekarang tak berkutik. "Ayra sudah menjadi milikku. Aku sudah mengajukkan gugatan cerai Ayra denganmu di pengadilan. Untuk mendapat akta cerai. Lalu aku bisa meresmikan pernikahan kami." "Aku tidak akan pernah datang ke pengadilan!" sahut Haris cepat. Semakin terbakar hatinya oleh kemenangan sang adik. "Bagus!" timpal Satria. "Seperti itu lebih baik. Pengadilan akan mengabulkan gugatan cerai Ayra secepatnya." Dengan begitu keputusan bisa diambil secara verstek atas ketidak hadirannya selama masa
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
"Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik
Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal
"Aku bawain hadiah jam tangan bagus buat kamu." Tanpa mempedulikan Ayra, Sasya mendekat memberi kotak kecil berpita yang dibawanya. "Buka aja. Ini jam tangan mahal. Buat kamu aku ngasih yang spesial." Satria tidak menerima. Dia malah melirik istrinya. Raut wajah Ayra berubah memerah karna marah. "Sayang, aku nggak ngundang dia. Aku nggak tahu dia akan ke sini." Dirinya sibuk menjelaskan. Tidak mau Ayra salah paham lagi. Entah dari mana Sasya bisa tahu acaranya. "Kamu emang nggak ngundang aku. Tapi aku tahu ini hari lahirmu. Tidak seperti istrimu yang lupa. Payah!" Dia menyimak percakapan mereka tanpa diketahui kehadirannya. Dada Ayra bergemuruh dicibir seperti itu. Satria hawatir dia marah besar. "Tidak usah dengerin omongan dia. Ayo, kita pergi saja." Dia pun memutuskan menghindar. Menyudahi acara yang menurutnya sudah kacau. Tapi Ayra bertahan di tempat. Dilepaskan tangan Satria yang memegangnya. "Kamu tidak lupa kejadian malam itu kan, Mas Satria? Aku melihat isi dompetmu. Di
"Bagaimana hadiah dariku sudah sampai?" Saysa menghadang langkah Satria yang baru tiba di basement kantor. "Sudah.""Oh, ya? Terus gimana? Istrimu yang alim itu pasti shock." Satria tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia sengaja berbuat ulah. Seniat itu ingin menghancurkan hubungannya dengan Ayra. "Kamu tidak usah repot-repot mengirim barang seperti itu ke rumahku. Gak usah buang-buang uang untuk mengusikku." "Aku kan sedang memperjuangkan cintaku dan cintamu yang dulu tertunda." "Hanya kamu. Aku tidak!" tegas Satria. Dia tidak menyukainya lagi sejak lama. Justru yang ada membenci sikapnya yang begini. Laki-laki itu lalu pergi. Menjauhi mobil yang sudah terparkir rapi. Sasya mengikuti. Dengan tidak tahu malunya menggandeng tangan mesra. Satria melepaskan, tapi dia meraih lengannya lagi. Satria malu dilihat orang lain dan tidak ingin jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Dan tentu bisa menjadi bahan masalah lagi dengan Ayra di rumah. "Kamu itu apaan si!" Sekali lagi dia lep
"Ris, kamu jangan ngasih uang sama Tisa kalau dia datang lagi." Saat makan bersama Marni membicarakan itu. Haris berhenti menyendok nasi melirik ibunya. Sementara Tia tetap melanjutkan makan dengan pelan dan terus menunduk. "Iya, Bu." "Nanti jadi kebiasaan. Dia keenakan. Dia harusnya tanggung jawab keluarganya bukan kamu lagi. Kamu kan sudah mengurusi anaknya." Marni tahu semua itu dari Tia yang sudah bercerita. Dia pun tidak setuju dengan sikap putranya yang dirasa berlebihan. "Haris gak akan ngasih lagi kok, Bu." "Jangan seperti itu. Lebih baik uangnya kamu kasih istrimu yang jelas-jelas sedang hamil anakmu." "Iya, Bu. Haris gak akan ngulangin lagi." Tidak cukup sekali Haris meyakinkan ibunya. Marni kesal mengetahui itu. Karna sudah menyakiti hati Tia. "Kalau apa-apa tuh bilang ke istrimu. Jangan main mengambil keputusan sendiri." Haris menarik napas panjang dan menghempaskan karna ibunya terus menyudutkan dan memperingatkan. "Haris juga udah bicarain ini dengan Tia. Ibu