"Kamu tidak seharusnya berada di sini."
Suara itu terdengar penuh amarah, tetapi ada nada kecewa yang terselip di dalamnya. Mia berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak dengan tatapan menusuk. Namun, Rainer tidak mundur. Dia berdiri di tengah ruangan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” hardik Mia.“Masuk ke sini bukan hal yang sulit bagiku,” jawab Rainer dengan sedikit menyombongkan diri.“Cepat pergi dari sini!”“Aku tidak akan pergi sampai kamu menjelaskan semua ini.”Mia melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang. Matanya bergerak cepat, menyapu ruangan, seperti memastikan bahwa setiap sudutnya masih berada dalam kendalinya.“Tidak ada yang perlu aku jelaskan, Devan. Kamu seharusnya mempercayaiku.”Diam-diam Mia sudah mendoktrin Rainer sejak tersadar jika namanya adalah Devan. Dan Rainer tersadar sudah sejak hari kedua setelah kecelakaan.“Percaya pada apa? Kebohongan? Penyekapan ini? Atau pesanCahaya mentari di pagi hari menyelinap melalui sela-sela gorden. Rainer duduk di tepi ranjang, pandangannya tertuju pada jendela yang masih tertutup rapat. Cahaya lampu dari lorong menyelinap melalui celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Seperti biasa, setiap kali dia bangun dari tidur, tubuhnya terasa lemah. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Entah beberapa hari Rainer berada di rumah ini, semakin hari keganjilan itu tampak lebih jelas dan terus membayangi. Ada sesuatu yang hilang, seperti potongan puzzle yang terselip, menghalangi gambaran utuh yang seharusnya dia pahami.“Kenapa selalu begini? Padahal aku selalu merasa baik-baik saja,” keluh Rainer lirih.Kepala Rainer terasa sakit setiap kali mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak bisa terus begini dan harus segera bertindak.Dia bangkit perlahan, membiarkan tubuhnya terbiasa dengan kelemahan yang terus membelenggu. Langkahnya terhenti saat menyadari keanehan l
Sebuah pesan masuk, membuat Mia menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menatap layar ponsel dengan ekspresi serius. Gerakan tangan yang sebelumnya lincah kini terhenti. Isi pesan itu lebih merajuk ada sebuah perintah yang tak bisa diabaikan. Setelah membaca isi pesan itu, Mia menghela napas pendek, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri, seperti membuat keputusan mendadak.“Dev, aku akan pergi keluar, sepertinya akan lebih lama. Mungkin sebentar lagi ayah juga akan kembali. Kamu baik-baik di rumah,” ujar Mia setelah memastikan makan siang Rainer habis.Rainer pun mengangguk dan tersenyum tipis.Sebelum melangkah pergi, Mia memanggil salah satu orang kepercayaannya dan memberi instruksi singkat.“Awasi dia. Jangan sampai ada celah.”Tatapannya tajam, dia tak perlu khawatir tentang pergerakan Rainer karena dia telah memasukkan obat tidur ke dalam makanannya. Orang itu mengangguk cepat, sementara Mia segera bersiap. Tanpa menu
Kesenyapan menggantung di antara dua sosok yang saling menatap tajam. Jean berdiri dengan posisi tegas, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Di depannya, Mia berdiri santai namun dengan tatapan penuh kewaspadaan. Suara aliran air dari sungai kecil di dekat mereka nyaris tenggelam oleh ketegangan yang menyelimuti.“Ada apa sampai memanggilku ke sini?” tanya Mia.Ya, Jean adalah orang yang membuat Mia buru-buru pergi dari rumahnya.“Kamu tidak pernah memberi laporan yang jelas tentang Tuan Rainer, apa kamu sudah bosan hidup?” ucap Jean penuh penekanan.“Dia baik-baik saja. Aman. Kamu tidak perlu khawatir dan tidak usah menampakkan tampang seperti itu.” Mia berbicara dengan nada tenang, mencoba mempertahankan kendali.Jean mendekat selangkah, jaraknya kini hanya sejengkal dari Mia. Sorot matanya menghunus, penuh peringatan. Dia selalu mengawasi gerak-gerik Mia dan juga Rainer dan mulai menemukan kecurigaan.“Pastikan tetap begitu. Kamu tahu apa yang akan terjadi jika terjadi apa-apa deng
Pintu terbuka perlahan, memunculkan siluet seorang pria yang berdiri dengan tenang di ambang. Tatapan dingin salah satu anak buah Danar bertemu dengan majikannya yang sedang sibuk meneliti laporan.“Ada apa?” tanya Danar."Pria itu. Maksud saya Jean, dia sudah bergerak. Dia bertemu dengan seseorang,” ucap pria itu.Danar berhenti membaca, alisnya sedikit terangkat, mengisyaratkan bahwa dia ingin mendengar laporan itu lebih lanjut."Lokasi pertemuannya ada di dekat perbatasan antara Singapura dan Malaysia, Johor Bahru. Kami berhasil mencari identitas wanita itu, Mia Scholastika. Ini adalah biodata wanita itu.” Pria itu memberikan data lengkap Mia pada Danar “Mereka berbicara cukup intens. Belum ada indikasi ancaman langsung, tetapi pergerakan ini mencurigakan,” imbuh pria itu.Danar menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu membaca sekilas tentang Mia, jemarinya mengetuk meja dengan irama teratur. Dia berpikir keras, memetakan skenari
Keringat mengalir di pelipis Rainer, kaki terasa seperti bukan miliknya lagi saat dia keluar dari kapal setelah perjuangan mengamankan diri sendiri selama beberapa hari berada di kapal.Aroma asin dan lembap masih menempel di hidungnya, mengingatkan pada perjalanan yang begitu menyesakkan di kapal itu. Sesekali, matanya menyapu sekeliling, memastikan tidak ada wajah yang dikenalnya. Tempat ini terasa asing, mungkin selama dia menjadi Rainer belum pernah datang ke tempat ini. “Akhirnya aku sampai di sini? Aduh, aku lapar sekali,” gumam Rainer.Tubuh Rainer terasa lelah, tetapi pikirannya lebih berat lagi, memikirkan bagaimana cara bertahan di tempat asing ini tanpa uang sepeser pun. Rambut yang kusut dan wajah penuh jambang membuat pria itu tampak seperti pria yang kehilangan segalanya, gelandangan.“Apa ini aku? Ternyata aku masih cukup tampan meski seperti gembel,” gumam Rainer.Rainer mengusap wajah, ujung jarinya menyentuh jambang yan
Langkah Rainer cepat menjauh dari gudang, matanya menyapu jalanan, mencari jalur yang aman untuk melanjutkan perjalanan. Kepalanya masih terasa berat, seolah ada yang mencoba mengunci ingatannya. Namun, seperti gelombang kecil yang menggerus batu, memori-memori itu mulai menyeruak ke permukaan.“Aku beruntung, kota ini tidak kulupakan,” gumam Rainer.Sejak tadi kilatan wajah seorang wanita muncul di benaknya. Senyum lembut dan suara hangat. Dia mencoba menggali lebih dalam, tetapi rasa sakit seperti menghantam pelipisnya. Nama wanita itu mengambang di ujung lidah, tetapi tidak pernah benar-benar terucap.Rainer ingat, saat di kapal, ada anak kecil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Bocah itu memegang boneka lusuh dan bertanya, “Om mau ke mana?” Rainer hanya tersenyum samar, tetapi pertanyaan itu menggema di kepalanya. Ke mana dia harus pergi? Pertanyaan sederhana itu membuka pintu lain dalam ingatannya.Wajah seorang pria muncul—so
Pecahan kaca melayang di udara, menyusul suara dentuman yang memecah keheningan. Asap hitam mulai membubung, menyelusup ke setiap sudut ruangan. Bau tajam bahan kimia seperti gas LPG bercampur dengan panas yang menyengat.Mia tersentak, tubuhnya kaku ketika getaran mengguncang lantai di bawah kakinya. Dia memutar tubuh, langkahnya goyah menuju pintu, tapi gagangnya tak mau bergerak. Dia menarik dengan sekuat tenaga, namun pintu tetap terkunci. "Apa yang terjadi?" desisnya, panik mulai menguasai.Teriakan menggema dari luar ruangan. Ayahnya, yang baru saja memerintahkannya untuk tenang, kini berada di lorong, berusaha menendang pintu. Dua anak buahnya tampak di belakang pria itu, berkutat mencoba membuka jendela atau pintu lain. Suara mereka bersahutan, panik bercampur rasa putus asa.“Pintu ini terkunci dari luar!” suara serak ayah Mia terdengar samar di tengah gemuruh api yang mulai mengamuk."Nona Mia! Cepat keluar dari situ!" teriak s
Jean tersenyum tipis. Senyuman yang terlihat dingin dan tak tergoyahkan. "Lakukan apa yang kamu mau, Levi. Tapi ingat satu hal, aku tidak pernah, dan tidak akan pernah, mengkhianati tuan kita. Aku justru membantunya melenyapkan pengganggu."Levi tidak menjawab lagi. Dengan napas berat, dia meraih dokumen-dokumen itu dan berbalik, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Jean menatap punggung Levi yang menjauh, senyum dinginnya perlahan memudar. Dia berbalik ke jendela, pandangannya kembali terlempar jauh, sementara pikirannya dipenuhi rencana berikutnya.“Tuan Rainer harus segera ditemukan,” gumam Jean.Levi berjalan pemandangan kota dengan hampa, kedua tangannya mengepal erat, sementara mulutnya terus menggerutu. "Breng sek! Sejak kapan anak itu menjadi psiko pat? Membuat keputusan sewenang-wenang, bertindak seperti paling tahu segalanya! Rainer terlalu memanjakan dan percaya padanya! Dia juga sudah kurang ajar hanya memanggilku dengan nama,
"Di mana Agnes?" tanya orang itu tanpa basa basi seraya mengunci tubuh Rainer di tembok.Ya, orang itu adalah Steve, kakak kandung Agnes.Rainer menyeringai."Sudah lama sekali kita tidak bertemu, dan ini caramu memberi salam? Setidaknya kamu harus menanyakan kabarku lebih dulu, bukan langsung pada intinya?" balas Rainer.Steve mendengkus kesal, sorot matamya tajam. "Jangan pura-pura. Aku sudah cukup bersabar. Setahun lebih aku mencari adikku, dan satu-satunya orang yang mungkin tahu keberadaannya adalah kamu."Rainer mengangkat bahu. "Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak tahu di mana dia."Ketegangan di wajah Steve semakin nyata. Tatapan semakin tajam, penuh amarah yang siap meledak kapan saja. "Kamu pikir aku bodoh? Agnes menghilang begitu saja setelah terakhir kali bersamamu. Kamu benar-benar ingin aku percaya ini kebetulan?"Nada bicara Steve menekan, sarat dengan tuduhan.Rainer tetap tenang.
Camelia langsung melihat ke Levi, penasaran. "Kenapa tiba-tiba ingin cuti?" tanya Camelia.Levi melirik lewat kaca spion, menyeringai. "Mau kencan, tentu saja. Usiaku sudah matang, tapi jangankan menikah, berkencan saja aku tidak punya waktu."Ekspresi Camelia menjadi bersemangat. "Serius? Akhirnya kamu punya kekasih?"Rainer terkekeh. "Kekasih? Jangankan kekasih, dekat dengan wanita saja tidak. Pasti itu hanya alasan dia saja agar bisa cuti," sahut Rainer.Levi langsung memasang ekspresi pura-pura tersinggung. "Astaga, kamu benar-benar tidak percaya padaku? Padahal, karena siapa aku tidak pernah dekat dengan wanita."Rainer melipat tangan di dada. "Jadi kamu menyalahkanku? Bukankah itu komitmen yang sudah kamu ambil ketika memutuskan menjadi orang kepercayaanku."“Ya, ya, terserah kamu saja,” balas Levi.Camelia tertawa. "Kenapa kalian malah berdebat?”Camelia mencondongkan tu
Maura dan Daniel saling pandang. Wanita itu lalu memberikan sebuah undangan bernuansa emas berkilauan di bawah cahaya lampu.Camelia membulatkan mata sempurna, mulutnya menganga karena terkejut. Lalu, mengambil benda itu dari tangan Maura. Jari-jari meraba teksturnya yang elegan, sementara matanya membaca nama-nama yang tertulis di sana.Maura & Daniel.Ekspresi wajah Camelia semakin terkejut, lalu menatap.dua insan itu bergantian.“Jangan bilang kamu masih syok?” ujar Maura tawa kecil meluncur dari bibirnya. “Aku pikir kamu sudah bisa menebaknya sejak lama. Tidak mungkin ‘kan kami pacaran selamanya, kami juga ingin merajut masa depan bersama.”Camelia menggeleng, tetapi ekspresi wajahnya masih tercengang. Dia benar-benar tidak menduga hari itu akan tiba, mengingat mereka tidak benar-benar serius membahas pernikahan selama ini. Atau bisa saja banyak hal yang dia lupakan karena memang fokusnya pada diri sendiri dan kehidupan bersama Rainer
Tanpa sadar Danar menghela napas. Pandangan matanya tertuju ke arah lain, bagian dari restoran tempatnya menikmati makan malam hari ini. Kenapa dia harus bertemu dengan Camelia malam ini? Dari sekian banyak restoran kenapa harus berada di tempat yang sama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Danar, membentuk sebuah penyesalan akan kebetulan yang baru saja terjadi.Sosok itu masih terlihat dari kejauhan. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan gestur kecil yang selalu begitu familiar. Camelia tetap sama, hanya saja kali ini bukan dia yang berdiri di sampingnya.Danar menyesap minumannya perlahan, membiarkan cairan dingin itu melewati tenggorokannya, berharap sensasi itu bisa meredam sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Tetapi tidak.Bukan pahit dari kopi yang tersisa di lidahnya, melainkan rasa kehilangan yang sejak tadi berusaha dia abaikan.Dia memang sudah melepaskan Camelia, tetapi bukan berarti perasaannya lenyap beg
Pelayan membungkuk sopan, memastikan setiap detail di meja sudah tertata sempurna. Rainer menyusuri area restoran dengan tatapan teliti, sesekali mengangguk puas.Camelia berdiri di sampingnya, satu tangan menyentuh perutnya dengan lembut. "Semua sudah sesuai rencana," bisiknya dengan senyum tipis.Rainer melirik ke arah istrinya, sudut bibirnya terangkat. "Tentu saja. Aku sudah pastikan semuanya sempurna untuk malam ini. Kita harus memberi mereka kejutan yang tidak terlupakan."“Ayo, kita selesaikan sebelum mereka datang.”Langkah keduanya berhenti saat mereka berpapasan dengan beberapa orang. Sosok yang familiar berdiri tidak jauh dari mereka, bersama seorang wanita paruh baya dan seorang pria yang membawa anak kecil dalam gendongannya.Senyum Sofia merekah saat bertemu pandang dengan Camelia. "Camelia! Ya ampun, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?" sapa Sofia.Wanita paruh baya itu bahkan tidak segan mend
Pintu kamar mandi bergeser dengan kasar, tangan Camelia berpegangan erat pada wastafel, sementara rasa mual kembali menghantamnya tanpa ampun. Cairan asam meluncur keluar, meninggalkan sensasi terbakar di tenggorokannya.Punggungnya terasa hangat, dibelai dengan lembut. Rainer berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh kecemasan yang sulit dia sembunyikan.“Pelan-pelan, Sayang.” Suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengganggu momen rapuh istrinya.Camelia menghela napas panjang setelah muntahnya mereda, lalu menyandarkan tubuh pada suaminya. “Ini nikmat sekali, Rai,” kata Camelia lemah.“Tunggu di sini, aku ambilkan air minum.”Belum sempat Rainer melangkah, Camelia menahan pergelangan tangannya. “Jangan pergi, temani aku sebentar lagi.”Rainer menatap istrinya sejenak, lalu tanpa ragu duduk di kursi yang ada di kamar mandi, membiarkan Camelia bersandar padanya. Kursi itu sengaja dia letakkan semenjak Camelia
Rainer duduk di sofa dengan satu tangan menopang dagu, sementara mata tajamnya tidak lepas dari sosok Camelia yang tengah sibuk membaca buku novel romansa. Senyum di wajahnya tidak kunjung memudar, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.Camelia, yang menyadari tatapan itu pun menutup buku, lalu ikut menopang dagu dan menatap Rainer. “Kenapa dari tadi kamu melihatku seperti itu?”Rainer menggeser duduknya lebih dekat, lalu tanpa peringatan mengecup pipi istrinya. “Karena aku masih tidak percaya.”Camelia tertawa lirih. “Tidak percaya apa?” tanyanya.“Tuhan benar-benar memberiku hadiah terbaik setelah semua yang kita lalui.” Rainer mengulurkan tangannya, mengusap perut Camelia yang masih rata. “Aku tidak pernah menyangka akan sebahagia ini.”Camelia tersenyum lembut, menumpangkan tangannya di atas tangan Rainer. “Aku juga. Rasanya seperti mimpi.”Rainer tertawa pelan, lalu menarik Camelia ke dalam pelu
Beberapa hari setelah Rainer kembali ke kediaman Wijaya, mau tidak mau dia harus segera muncul ke publik. Setelah memberitahu rencananya pada Levi, hari ini dia pun datang ke perusahaan. Diajaknya Camelia turut serta, agar semua orang tahu siapa wanita itu. Wanita yang beberapa waktu terakhir menggemparkan dunia bisnis dan berita terbaru tentang hengkangnya Camelia dari Adiwangsa grup. Ya wanita itu adalah istrinya.Mobil mewah itu berhenti di depan lobby. Rainer keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk istrinya.“Silakan, Nyonya Muda,” ujar Rainer setengah bergurau.“Terima kasih, Tuan Rainer WIjaya,” balas Camelia.Mereka melangkah berdampingan memasuki lobi utama Wijaya Grup. Sontak keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Levi menyambut kedatangan mereka seperti sudah lama menunggu.Bisikan pelan berubah menjadi dengungan di antara para karyawan yang melihat sepasang suami istri itu.Tatapan me
Tak ada yang lebih sulit dari melepaskan sesuatu yang begitu erat menggenggam hati. –Danar Adiwangsa.***Danar duduk di ruang rapat yang terasa lebih luas dari biasanya. Dokumen di hadapannya sudah tertata rapi, menunggu tanda tangan terakhir. Tangannya menggenggam pena, tetapi tak kunjung bergerak. Tatapannya jatuh pada sosok di seberangnya—Camelia Agatha, wanita yang selama ini selalu berdiri sejajar dengannya dalam dunia bisnis.Camelia duduk dengan punggung tegak, ekspresinya tenang seperti biasa. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam matanya. Seolah semua ini memang sudah menjadi bagian dari rencana yang matang.“Apa keputusanmu sudah final? Kamu tidak akan menyesali keputusan ini?” tanya Danar. Berharap wanita itu akan berubah pikiran.“Aku sudah mempertimbangkan semuanya,” balas Camelia, suaranya terdengar stabil, tanpa getaran. “Setelah ini, aku ingin fokus pada diriku sendiri, aku akan menikmati hari-hariku dengan santai dan menikmati hasil investasi yang kulakukan.”Walau ya