Pecahan kaca melayang di udara, menyusul suara dentuman yang memecah keheningan. Asap hitam mulai membubung, menyelusup ke setiap sudut ruangan. Bau tajam bahan kimia seperti gas LPG bercampur dengan panas yang menyengat.
Mia tersentak, tubuhnya kaku ketika getaran mengguncang lantai di bawah kakinya. Dia memutar tubuh, langkahnya goyah menuju pintu, tapi gagangnya tak mau bergerak. Dia menarik dengan sekuat tenaga, namun pintu tetap terkunci."Apa yang terjadi?" desisnya, panik mulai menguasai.Teriakan menggema dari luar ruangan. Ayahnya, yang baru saja memerintahkannya untuk tenang, kini berada di lorong, berusaha menendang pintu. Dua anak buahnya tampak di belakang pria itu, berkutat mencoba membuka jendela atau pintu lain. Suara mereka bersahutan, panik bercampur rasa putus asa.“Pintu ini terkunci dari luar!” suara serak ayah Mia terdengar samar di tengah gemuruh api yang mulai mengamuk."Nona Mia! Cepat keluar dari situ!" teriak sJean tersenyum tipis. Senyuman yang terlihat dingin dan tak tergoyahkan. "Lakukan apa yang kamu mau, Levi. Tapi ingat satu hal, aku tidak pernah, dan tidak akan pernah, mengkhianati tuan kita. Aku justru membantunya melenyapkan pengganggu."Levi tidak menjawab lagi. Dengan napas berat, dia meraih dokumen-dokumen itu dan berbalik, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Jean menatap punggung Levi yang menjauh, senyum dinginnya perlahan memudar. Dia berbalik ke jendela, pandangannya kembali terlempar jauh, sementara pikirannya dipenuhi rencana berikutnya.“Tuan Rainer harus segera ditemukan,” gumam Jean.Levi berjalan pemandangan kota dengan hampa, kedua tangannya mengepal erat, sementara mulutnya terus menggerutu. "Breng sek! Sejak kapan anak itu menjadi psiko pat? Membuat keputusan sewenang-wenang, bertindak seperti paling tahu segalanya! Rainer terlalu memanjakan dan percaya padanya! Dia juga sudah kurang ajar hanya memanggilku dengan nama,
Rainer memilih jalan yang sedikit memutar demi menghindari Camelia. Camelia sendiri tidak menyadari keberadaan suaminya. Dia melangkah menuju gedung utama. Namun, dia sempat menangkap sekelebat sosok yang nampak familiar di ingatannya.Perasaaan yang sama seperti kemarin, saat dia melihat sosok yang juga mirip seperti hari ini.“Rainer?”Camelia sedikit memutar tubuh, dan berjalan cepat hendak mengejar sosok laki-laki itu.“Camelia!” Namun, sebuah seruan harus menghentikan langkahnya.“Mau ke mana? Aku sengaja datang lebih cepat untuk rapat kita pagi ini,” ujar Danar dengan santai.Dengan sedikit keragu-raguan Camelia akhirnya menyapa Danar.“Aku hanya seperti mengenali seseorang, tapi sepertinya aku salah orang.”Danar mengerutkan keningnya?“Siapa?” tanya Danar. Matanya liar ikut mencari sosok yang Camelia maksud.“Hhhmmm, sudahlah, sepertinya aku salah lihat. Ayo kita masuk.”Kedua orang itu berjalan beriringan masuk ke gedung.Dari kejauhan Rainer mengepalkan tangan, berjuang mel
“Huuuuffffttt!” Camelia menghembuskan napas kasar. Kemudian membuka halaman terakhir laporan keuangan di hadapannya. “Akhirnya selesai juga.”Angka-angka yang tertata rapi itu seolah berbicara tentang kesuksesan perusahaan yang dibangunnya dengan kerja keras. Laporan itu menunjukkan hasil yang memuaskan, tetapi ekspresinya tetap datar. Ada sesuatu yang hilang, perasaan yang tidak bisa dijelaskan. “Rai, kamu lihat, aku semakin sukses sekarang. Aku harap kita bisa bertemu lagi,” gumam Camelia seraya menyandarkan punggungnya.Sebuah ketukan mengalihkan perhatian Camelia, Anne–asistennya muncul dari balik pintu. Camelia hanya melirik sekilas sebelum kembali pada pekerjaannya.“Ini dokumen yang harus Anda tandatangani, Bu.”“Terima kasih, Anne.” Anne mengangguk kemudian berpamitan.Hidup istri Rainer Wijaya itu kini adalah tentang menjaga keseimbangan antara berharap Rainer masih hidup dan selalu mendukungnya serta membangun jalannya sendiri.Rutinitas harian Camelia sangat terstruktur.
Diambilnya kartu kecil itu, terasa dingin di jemari Camelia. Di atasnya, sebuah pesan singkat tertulis dengan tinta hitam yang rapi. “Selamat ulang tahun. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.”Tulisan itu nyaris membuat jantung Camelia berhenti berdetak dalam waktu sepersekian detik. Tulisan tangan itu terasa familiar di pandangan mata Camelia. Dia tidak membutuhkan tanda tangan atau nama terang untuk mengenali siapa pemilik tulisan itu. Hanya ada satu orang yang menulis dengan gaya seperti itu.“Rainer.”Camelia berdiri begitu cepat hingga mampu menggerakkan sofa yang dia duduki. Menggenggam kartu itu dengan erat, matanya menatap kosong ke depan. “Ini pasti darinya,” gumam wanita itu.Anne yang masih duduk di sofa terkejut melihat reaksi Camelia. "Kenapa? Siapa yang mengirimkannya?"Camelia tidak menjawab. Anne meraih kertas kecil itu dan membacanya, tetapi dia tidak paham.“Ka
“Kemana sih mereka? Bisa-bisanya mengacuhkan aku?” ucap Amanda seraya mengikuti laju kendaraan mantan suaminya.“Restoran?”Amanda terus mengawasi karena penasaran hingga beberapa menit kemudian sebuah mobil terparkir di samping mobil mantan suaminya.“Bukankah itu Camelia?” ucap Amanda setelah melihat Camelia keluar dari mobil.“Jadi mereka sedang memberi kejutan pada wanita itu?”Senyum Danar membuat darah Amanda mendidih. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya, kuku-kuku tajamnya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Pemandangan itu seperti sebuah lelucon pahit yang menghancurkan sisa-sisa egonya.Clay duduk di sebelah Camelia dengan wajah ceria, menggenggam hadiah kecil yang baru saja diberikan. Amanda tahu betul bagaimana senyum anaknya itu, senyum tulus penuh kasih sayang. Tapi senyum itu bukan untuknya. Bahkan dirinya belum pernah mendapatkan senyum seperti itu.Sepasang matanya membara saat mengam
“Apa-apaan semua ini?” keluh Camelia.Wanita itu terus memandangi layar laptopnya. Benda itu seperti musuh yang tak kenal lelah. Deretan angka merah mencolok di laporan keuangan menuntut perhatiannya. Setiap angka seperti menuduhnya, seolah-olah dia adalah pelaku kesalahan fatal yang sedang diperbincangkan banyak orang. Napas Camelia terasa berat, jemarinya menggenggam sisi meja hingga buku-buku jarinya memutih. Telepon di meja berdering tanpa henti, dan suara notifikasi email terus-menerus memecah keheningan ruangan.Anne masuk ke ruangan dengan wajah cemas, membawa tumpukan dokumen tambahan yang baru saja diterima. "Bu Camelia, ini laporan terbaru dari departemen pemasaran. Dua klien besar sudah resmi menarik diri,” ujar Anne.Camelia menoleh tajam, menahan gemuruh di dadanya. "Letakan saja di meja." Kalimat itu terdengar datar, tetapi jelas menunjukkan keadaan sedang tidak baik-baik saja.Anne meletakkan dokumen itu, seperti perintah atasannya. "Aku pikir kita harus segera me
Danar menatap sekretarisnya dengan tajam, menahan napas, rahangnya mengeras. "Apa alasan mereka?""Sama seperti yang tadi dibicarakan di rapat. Mereka khawatir dengan stabilitas dan kredibilitas kita."Danar tidak langsung merespons, tapi sorot matanya berubah gelap. “Camelia, apa kamu benar-benar ingin bermain-main denganku?” batin Danar.Pikiran itu muncul di kepalanya, mengganggu seperti serpihan kaca yang menusuk tanpa henti. Camelia. Apa dia benar-benar melakukannya?Meski dalam keadaan emosi, Danar harus tetap berpikir tenang. Dia pun memerintahkan orang untuk menyelidiki semua ini diam-diam. Mencari dalang dari masalah ini.Sementara itu, Camelia menghadapi badai lain di kantornya. Setiap telepon yang masuk berisi tuntutan klarifikasi atau permintaan untuk mengakhiri kontrak. Beberapa karyawan senior juga mulai mempertanyakan kepemimpinannya, meskipun mereka tidak berani mengatakannya secara langsung.
Sebagian kertas itu lepas dari jepitannya dan berhamburan.Camelia memandang Danar dengan pandangan yang berkecamuk, kecewa, marah, sakit hati. Baru kali ini dia mendapatkan perlakuan yang begitu kasar dari pria itu.Dalam diam Camelia berjongkok, mengambil dokumen itu di lantai. Sebelum berdiri dia membaca dengan cepat dokumen itu. Hasil audit benar-benar mengarah padanya tanpa terkecuali.“Apa maksudnya ini?” ucap Camelia lirih, tetapi Danar masih bisa mendengarnya.“Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu kamu mencoba menghancurkan perusahaan ini!”Ucapan Danar adalah pukulan telak. Camelia menggeleng keras, mencoba menjelaskan, tetapi Danar terus memotong. Kata-katanya tajam, menyerang langsung ke inti.“Jika kamu pikir bisa mempermainkan aku seperti ini, kamu salah besar. Aku akan memastikan kamu tidak akan bisa melangkah lagi di dunia bisnis.”Camelia membeku. Jantungnya terasa seperti tidak lagi berdetak, dia memaksa
"Di mana Agnes?" tanya orang itu tanpa basa basi seraya mengunci tubuh Rainer di tembok.Ya, orang itu adalah Steve, kakak kandung Agnes.Rainer menyeringai."Sudah lama sekali kita tidak bertemu, dan ini caramu memberi salam? Setidaknya kamu harus menanyakan kabarku lebih dulu, bukan langsung pada intinya?" balas Rainer.Steve mendengkus kesal, sorot matamya tajam. "Jangan pura-pura. Aku sudah cukup bersabar. Setahun lebih aku mencari adikku, dan satu-satunya orang yang mungkin tahu keberadaannya adalah kamu."Rainer mengangkat bahu. "Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak tahu di mana dia."Ketegangan di wajah Steve semakin nyata. Tatapan semakin tajam, penuh amarah yang siap meledak kapan saja. "Kamu pikir aku bodoh? Agnes menghilang begitu saja setelah terakhir kali bersamamu. Kamu benar-benar ingin aku percaya ini kebetulan?"Nada bicara Steve menekan, sarat dengan tuduhan.Rainer tetap tenang.
Camelia langsung melihat ke Levi, penasaran. "Kenapa tiba-tiba ingin cuti?" tanya Camelia.Levi melirik lewat kaca spion, menyeringai. "Mau kencan, tentu saja. Usiaku sudah matang, tapi jangankan menikah, berkencan saja aku tidak punya waktu."Ekspresi Camelia menjadi bersemangat. "Serius? Akhirnya kamu punya kekasih?"Rainer terkekeh. "Kekasih? Jangankan kekasih, dekat dengan wanita saja tidak. Pasti itu hanya alasan dia saja agar bisa cuti," sahut Rainer.Levi langsung memasang ekspresi pura-pura tersinggung. "Astaga, kamu benar-benar tidak percaya padaku? Padahal, karena siapa aku tidak pernah dekat dengan wanita."Rainer melipat tangan di dada. "Jadi kamu menyalahkanku? Bukankah itu komitmen yang sudah kamu ambil ketika memutuskan menjadi orang kepercayaanku."“Ya, ya, terserah kamu saja,” balas Levi.Camelia tertawa. "Kenapa kalian malah berdebat?”Camelia mencondongkan tu
Maura dan Daniel saling pandang. Wanita itu lalu memberikan sebuah undangan bernuansa emas berkilauan di bawah cahaya lampu.Camelia membulatkan mata sempurna, mulutnya menganga karena terkejut. Lalu, mengambil benda itu dari tangan Maura. Jari-jari meraba teksturnya yang elegan, sementara matanya membaca nama-nama yang tertulis di sana.Maura & Daniel.Ekspresi wajah Camelia semakin terkejut, lalu menatap.dua insan itu bergantian.“Jangan bilang kamu masih syok?” ujar Maura tawa kecil meluncur dari bibirnya. “Aku pikir kamu sudah bisa menebaknya sejak lama. Tidak mungkin ‘kan kami pacaran selamanya, kami juga ingin merajut masa depan bersama.”Camelia menggeleng, tetapi ekspresi wajahnya masih tercengang. Dia benar-benar tidak menduga hari itu akan tiba, mengingat mereka tidak benar-benar serius membahas pernikahan selama ini. Atau bisa saja banyak hal yang dia lupakan karena memang fokusnya pada diri sendiri dan kehidupan bersama Rainer
Tanpa sadar Danar menghela napas. Pandangan matanya tertuju ke arah lain, bagian dari restoran tempatnya menikmati makan malam hari ini. Kenapa dia harus bertemu dengan Camelia malam ini? Dari sekian banyak restoran kenapa harus berada di tempat yang sama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Danar, membentuk sebuah penyesalan akan kebetulan yang baru saja terjadi.Sosok itu masih terlihat dari kejauhan. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan gestur kecil yang selalu begitu familiar. Camelia tetap sama, hanya saja kali ini bukan dia yang berdiri di sampingnya.Danar menyesap minumannya perlahan, membiarkan cairan dingin itu melewati tenggorokannya, berharap sensasi itu bisa meredam sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Tetapi tidak.Bukan pahit dari kopi yang tersisa di lidahnya, melainkan rasa kehilangan yang sejak tadi berusaha dia abaikan.Dia memang sudah melepaskan Camelia, tetapi bukan berarti perasaannya lenyap beg
Pelayan membungkuk sopan, memastikan setiap detail di meja sudah tertata sempurna. Rainer menyusuri area restoran dengan tatapan teliti, sesekali mengangguk puas.Camelia berdiri di sampingnya, satu tangan menyentuh perutnya dengan lembut. "Semua sudah sesuai rencana," bisiknya dengan senyum tipis.Rainer melirik ke arah istrinya, sudut bibirnya terangkat. "Tentu saja. Aku sudah pastikan semuanya sempurna untuk malam ini. Kita harus memberi mereka kejutan yang tidak terlupakan."“Ayo, kita selesaikan sebelum mereka datang.”Langkah keduanya berhenti saat mereka berpapasan dengan beberapa orang. Sosok yang familiar berdiri tidak jauh dari mereka, bersama seorang wanita paruh baya dan seorang pria yang membawa anak kecil dalam gendongannya.Senyum Sofia merekah saat bertemu pandang dengan Camelia. "Camelia! Ya ampun, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?" sapa Sofia.Wanita paruh baya itu bahkan tidak segan mend
Pintu kamar mandi bergeser dengan kasar, tangan Camelia berpegangan erat pada wastafel, sementara rasa mual kembali menghantamnya tanpa ampun. Cairan asam meluncur keluar, meninggalkan sensasi terbakar di tenggorokannya.Punggungnya terasa hangat, dibelai dengan lembut. Rainer berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh kecemasan yang sulit dia sembunyikan.“Pelan-pelan, Sayang.” Suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengganggu momen rapuh istrinya.Camelia menghela napas panjang setelah muntahnya mereda, lalu menyandarkan tubuh pada suaminya. “Ini nikmat sekali, Rai,” kata Camelia lemah.“Tunggu di sini, aku ambilkan air minum.”Belum sempat Rainer melangkah, Camelia menahan pergelangan tangannya. “Jangan pergi, temani aku sebentar lagi.”Rainer menatap istrinya sejenak, lalu tanpa ragu duduk di kursi yang ada di kamar mandi, membiarkan Camelia bersandar padanya. Kursi itu sengaja dia letakkan semenjak Camelia
Rainer duduk di sofa dengan satu tangan menopang dagu, sementara mata tajamnya tidak lepas dari sosok Camelia yang tengah sibuk membaca buku novel romansa. Senyum di wajahnya tidak kunjung memudar, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.Camelia, yang menyadari tatapan itu pun menutup buku, lalu ikut menopang dagu dan menatap Rainer. “Kenapa dari tadi kamu melihatku seperti itu?”Rainer menggeser duduknya lebih dekat, lalu tanpa peringatan mengecup pipi istrinya. “Karena aku masih tidak percaya.”Camelia tertawa lirih. “Tidak percaya apa?” tanyanya.“Tuhan benar-benar memberiku hadiah terbaik setelah semua yang kita lalui.” Rainer mengulurkan tangannya, mengusap perut Camelia yang masih rata. “Aku tidak pernah menyangka akan sebahagia ini.”Camelia tersenyum lembut, menumpangkan tangannya di atas tangan Rainer. “Aku juga. Rasanya seperti mimpi.”Rainer tertawa pelan, lalu menarik Camelia ke dalam pelu
Beberapa hari setelah Rainer kembali ke kediaman Wijaya, mau tidak mau dia harus segera muncul ke publik. Setelah memberitahu rencananya pada Levi, hari ini dia pun datang ke perusahaan. Diajaknya Camelia turut serta, agar semua orang tahu siapa wanita itu. Wanita yang beberapa waktu terakhir menggemparkan dunia bisnis dan berita terbaru tentang hengkangnya Camelia dari Adiwangsa grup. Ya wanita itu adalah istrinya.Mobil mewah itu berhenti di depan lobby. Rainer keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk istrinya.“Silakan, Nyonya Muda,” ujar Rainer setengah bergurau.“Terima kasih, Tuan Rainer WIjaya,” balas Camelia.Mereka melangkah berdampingan memasuki lobi utama Wijaya Grup. Sontak keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Levi menyambut kedatangan mereka seperti sudah lama menunggu.Bisikan pelan berubah menjadi dengungan di antara para karyawan yang melihat sepasang suami istri itu.Tatapan me
Tak ada yang lebih sulit dari melepaskan sesuatu yang begitu erat menggenggam hati. –Danar Adiwangsa.***Danar duduk di ruang rapat yang terasa lebih luas dari biasanya. Dokumen di hadapannya sudah tertata rapi, menunggu tanda tangan terakhir. Tangannya menggenggam pena, tetapi tak kunjung bergerak. Tatapannya jatuh pada sosok di seberangnya—Camelia Agatha, wanita yang selama ini selalu berdiri sejajar dengannya dalam dunia bisnis.Camelia duduk dengan punggung tegak, ekspresinya tenang seperti biasa. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam matanya. Seolah semua ini memang sudah menjadi bagian dari rencana yang matang.“Apa keputusanmu sudah final? Kamu tidak akan menyesali keputusan ini?” tanya Danar. Berharap wanita itu akan berubah pikiran.“Aku sudah mempertimbangkan semuanya,” balas Camelia, suaranya terdengar stabil, tanpa getaran. “Setelah ini, aku ingin fokus pada diriku sendiri, aku akan menikmati hari-hariku dengan santai dan menikmati hasil investasi yang kulakukan.”Walau ya