Sebuah pesan masuk, membuat Mia menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menatap layar ponsel dengan ekspresi serius. Gerakan tangan yang sebelumnya lincah kini terhenti. Isi pesan itu lebih merajuk ada sebuah perintah yang tak bisa diabaikan.
Setelah membaca isi pesan itu, Mia menghela napas pendek, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri, seperti membuat keputusan mendadak.“Dev, aku akan pergi keluar, sepertinya akan lebih lama. Mungkin sebentar lagi ayah juga akan kembali. Kamu baik-baik di rumah,” ujar Mia setelah memastikan makan siang Rainer habis.Rainer pun mengangguk dan tersenyum tipis.Sebelum melangkah pergi, Mia memanggil salah satu orang kepercayaannya dan memberi instruksi singkat.“Awasi dia. Jangan sampai ada celah.”Tatapannya tajam, dia tak perlu khawatir tentang pergerakan Rainer karena dia telah memasukkan obat tidur ke dalam makanannya. Orang itu mengangguk cepat, sementara Mia segera bersiap. Tanpa menu“Katakan pada Rai, aku setuju untuk bercerai darinya,” ucap Camelia dari balik telepon genggamnya.“Tapi kenapa tiba-tiba Bu Lia ingin bercerai dari Pak Rai?” tanya Asisten Rainer yang bernama Levi seraya melirik ke arah orang yang bersangkutan.Merasa namanya disebut Rainer pun memusatkan perhatian pada Levi serta menghentikan semua aktivitasnya.“Nanti aku sendiri yang akan menjelaskan pada Rai, kamu cukup sampaikan pesan dariku.”“Baik, Bu Lia.”Camelia tak akan mundur, cukup sudah perjuangannya selama dua tahun ini untuk menarik perhatian pria yang tak pernah sama sekali peduli padanya. Semua berakhir sia-sia dan percuma karena Rainer tak pernah sedikit pun tertarik padanya, ditambah lagi baru-baru ini mantan kekasih pria itu kembali.“Lebih baik kita akhiri semua ini, Rai. Aku tak ingin hidup konyol dan menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia, mulai sekarang aku akan hidup untuk diriku sendiri, untuk kebahagiaan dan masa depanku,” monolog Camelia.Wanita cantik dengan tinggi 16
Beberapa hari tanpa Camelia di hidupnya membuat Rainer merasa ada kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang, rutinitas yang dilakukan wanita itu biasanya terasa sangat menyebalkan. Namun, mengapa sekarang dia justru merasa kehilangan? Setiap pagi Camelia akan menyiapkan pakaian yang akan digunakannya ke kantor, tapi Rainer selalu menggunakan pakaian pilihannya sendiri. Setiap pagi juga Camelia akan membuatkan sarapan meski tak pernah disentuhnya. Tak menyerah, siang hari Camelia akan mengantar makan siang ke kantornya, walau makanan itu tak pernah dia makan. Suara ketukan di pintu kantornya membuyarkan lamunan Rainer. Levi menyembulkan kepala sebelum masuk ke ruangan tersebut. “Maaf Pak, mengganggu.” “Ada apa?” “Ini, Pak, diluar ada–” Dengan tidak sabaran, Rainer memotong kalimat asisten pribadinya itu dan berkata, “Apa wanita itu datang ke sini untuk mengantar makan siang? Jika iya, suruh dia masuk.” Kemudian Rainer tersenyum penuh kemenangan. Levi terlihat tidak enak hati
Camelia bukan tak bisa mengurus sendiri perceraiannya dengan Rainer. Tentu saja dia sudah mencoba mengurusnya sendiri tapi ditolak. Pengadilan mengatakan hanya Rainer yang bisa mengurus perceraian itu, aneh bukan?Camelia tidak mengerti apa mau Rainer, dulu pria itu begitu menggebu dan memaksanya untuk segera bercerai. Sekarang disaat dirinya sudah setuju, Rainer justru menutup semua akses.“Rai, lihatlah baju mahalku jadi kotor karena ulah wanita kampungan itu,” rengek Agnes. Rainer tak peduli dengan rengekan Agnes, tak peduli dengan bajunya yang juga kotor, tak peduli dengan dokumen dan mejanya yang ikut kotor. Rainer langsung mengejar istrinya.Harga dirinya sebagai seorang pria koyak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Camelia, lebih tepatnya Rainer syok dengan tingkah laku istrinya. Camelia seperti menjelma menjadi orang yang berbeda.“Tutup akses keluar untuk wanita itu! Jangan biarkan dia keluar dari gedung ini barang satu langkahpun dan siapkan mobilku,” titah Rainer pada
Camelia mencebikkan bibir dan melirik Rainer dengan wajah kesal lalu turun dari mobil dan menutup pintu dengan kasar.“Dasar wanita itu, sengaja ingin menghancurkan mobilku,” lirih Rainer dengan kesal lalu menutup pintu mobil. Kelakuan Camelia membuat Rainer harus menekan emosinya agar tidak terpancing.Wanita itu mengekor mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam rumah. Di dalam benaknya Camelia merasa kesal mengapa Rainer justru membawanya kembali ke rumah ini. Bukankah pria itu tidak ingin dirinya kembali ke rumah ini.Tak ingin berangsur-angsur dalam kekesalan Camelia akhirnya bertanya, “Kenapa kamu malah membawaku kembali ke rumah ini?”Rainer berhenti tanpa aba-aba, Camelia berada tepat di belakangnya pun menabrak punggung kokoh itu tanpa sempat menghindar.“Ya ampun, main berhenti saja sih,” keluh Camelia seraya mengusap-usap kening dan mundur beberapa langkah menjauh.Rainer membalikkan badan, terlihat sekali jika dia sedang menahan kesal, lalu lepaskan dasi dan membuka jasny
Sementara itu di lantai satu, Rainer masih tidak habis pikir dengan tingkah laku istrinya.“Bisa-bisanya dia berbuat sesuka hatinya seperti ini!” kesal Rainer kemudian memijat pelipisnya.“Sejak kapan wanita itu menjadi begitu pemberontak?” gumam Rainer.Semejak Rainer mengajak Camelia bercerai satu tahun yang lalu dia memang jarang pulang, biasanya dia akan pulang ke apartemen pribadinya dan hanya sesekali datang ke rumah itu. Itu sebabnya dia tidak begitu memperhatikan perubahan Camelia.Rainer menendang dan memukul ke segala arah untuk menyalurkan emosi, lalu berteriak sekuat tenaga, “Camelia Agatha!”Ella yang terusik dengan teriakan Rainer berjalan tergopoh-gopoh menghampiri pria itu.“Ada apa, Mas?”Dada bidang pria itu masih terlihat naik turun karena luapan emosi yang memuncak, sayangnya dia tidak bisa melampiaskannya pada Camelia. Pantang bagi Rainer menyakiti fisik seorang wanita.Rainer menoleh ke arah Ella dengan tatapan tajam.“Cuci pakaian ini sampai bersih!” titah Raine
Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menjawab, “Itu bukan masakan Bibi, Mbak. Tadi itu Mas Rai yang masak.”Tidak ada angin tidak ada hujan seketika Camelia terbatuk mendengar ucapan Ella.“Rai?” tanya Camelia memastikan.“Iya, Mas Rai.”“Dia bisa masak?”“Tadi rasanya enak kan? Berarti tidak diragukan lagi, Mbak,” ucap Ella dengan mantap dan mengacungkan dua ibu jarinya sambil memainkan kedua alisnya.“Kesambet kali ya?” celetuk Camelia.“Sepertinya Mas Rai mulai peduli pada Mbak Lia. Mungkin menyesal sudah cuek sama Mbak Lia selama ini.”“Aah, Bibi bisa aja ngomongnya. Sudah terlambat, Bi. Kenapa nggak dari dulu?”“Belum terlambat, kan belum ketok palu,” ucap Ella menggoda.“Bibi ini, jangan mencoba membuatku berharap pada harapan semu. Sudah ah. Aku ke kamar dulu ya.” Camelia masih menampik semua fakta itu, kemudian berlalu kembali ke kamar.“Semua belum terlambat, Mbak. Coba kembali buka hatimu,” ucap Ella setengah berteriak. Camelia hanya mengibaskan tangannya tanda tidak mau.B
Dengan tampang tidak suka wanita itu bertanya, “Siapa wanita ini?” “Oma, Tante ini yang menyelamatkanku,” jawab anak kecil itu. Carmelia menoleh ke arah wanita paruh baya itu, tersenyum kemudian mengangguk hormat. Wanita paruh baya itu memandang Camelia dengan pandangan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu bergegas mencari anak dan cucunya setelah mendapat kabar tentang Clay yang hampir mengalami kecelakaan, tapi dia justru menemukan ada seorang wanita di mobil anaknya. Dari sisi yang lain Danar memberi isyarat pada ibunya jika Camelia ingin keluar, dia pun mundur beberapa langkah memberi ruang pada Camelia untuk keluar dari mobil mewah itu. Danar ikut keluar dari sisi yang lain dan mendekat ke arah dua wanita berbeda generasi itu. “Selamat siang, Nyonya,” sapa Camelia dengan santun. “Mami, dia Camelia. Wanita yang sudah menyelamatkan Clay,” terang Danar. Seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dan menyunggingkan senyum ramah. “Terima kasih banyak sudah menyelama
“Ayolah, Rai, kamu tak perlu membuat drama suami istri. Cukup kamu tanda tangani surat pengajuan cerai itu dan mengurusnya. Maka kita tidak perlu lagi mencampuri satu sama lain.” “Kooperatiflah sedikit, Camelia. Kondisi Kakekku sedang tidak baik-baik saja, tidak mungkin kita bercerai saat kondisi Kakek seperti itu,” ucap Rainer. Benar. Kondisi Kakek Wijaya memang sedang tidak baik beberapa waktu ini, Camelia bahkan sempat mengunjunginya sehari sebelum dia memutuskan untuk bercerai dari Rainer. Camelia nampak berpikir. Melihat istrinya yang seperti sedang memikirkan sesuatu, Rainer kembali berbicara, “Kakek juga meminta kita untuk menghadiri pesta ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa bersama. Apa kamu masih ingin menolak permintaannya?” Karena kebohongannya pada Agnes Rainer justru mendapatkan ide. Camelia sangat menyayangi dan juga patuh pada Kakeknya. Rainer akan menggunakan Kakeknya untuk mengikat Camelia. “Kemasi barang-barangmu dan kita akan kembali ke rumah,” ujar Rainer s
Sebuah pesan masuk, membuat Mia menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menatap layar ponsel dengan ekspresi serius. Gerakan tangan yang sebelumnya lincah kini terhenti. Isi pesan itu lebih merajuk ada sebuah perintah yang tak bisa diabaikan. Setelah membaca isi pesan itu, Mia menghela napas pendek, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri, seperti membuat keputusan mendadak.“Dev, aku akan pergi keluar, sepertinya akan lebih lama. Mungkin sebentar lagi ayah juga akan kembali. Kamu baik-baik di rumah,” ujar Mia setelah memastikan makan siang Rainer habis.Rainer pun mengangguk dan tersenyum tipis.Sebelum melangkah pergi, Mia memanggil salah satu orang kepercayaannya dan memberi instruksi singkat.“Awasi dia. Jangan sampai ada celah.”Tatapannya tajam, dia tak perlu khawatir tentang pergerakan Rainer karena dia telah memasukkan obat tidur ke dalam makanannya. Orang itu mengangguk cepat, sementara Mia segera bersiap. Tanpa menu
Cahaya mentari di pagi hari menyelinap melalui sela-sela gorden. Rainer duduk di tepi ranjang, pandangannya tertuju pada jendela yang masih tertutup rapat. Cahaya lampu dari lorong menyelinap melalui celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Seperti biasa, setiap kali dia bangun dari tidur, tubuhnya terasa lemah. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Entah beberapa hari Rainer berada di rumah ini, semakin hari keganjilan itu tampak lebih jelas dan terus membayangi. Ada sesuatu yang hilang, seperti potongan puzzle yang terselip, menghalangi gambaran utuh yang seharusnya dia pahami.“Kenapa selalu begini? Padahal aku selalu merasa baik-baik saja,” keluh Rainer lirih.Kepala Rainer terasa sakit setiap kali mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak bisa terus begini dan harus segera bertindak.Dia bangkit perlahan, membiarkan tubuhnya terbiasa dengan kelemahan yang terus membelenggu. Langkahnya terhenti saat menyadari keanehan l
"Kamu tidak seharusnya berada di sini."Suara itu terdengar penuh amarah, tetapi ada nada kecewa yang terselip di dalamnya. Mia berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak dengan tatapan menusuk. Namun, Rainer tidak mundur. Dia berdiri di tengah ruangan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” hardik Mia.“Masuk ke sini bukan hal yang sulit bagiku,” jawab Rainer dengan sedikit menyombongkan diri.“Cepat pergi dari sini!”“Aku tidak akan pergi sampai kamu menjelaskan semua ini.”Mia melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang. Matanya bergerak cepat, menyapu ruangan, seperti memastikan bahwa setiap sudutnya masih berada dalam kendalinya. “Tidak ada yang perlu aku jelaskan, Devan. Kamu seharusnya mempercayaiku.”Diam-diam Mia sudah mendoktrin Rainer sejak tersadar jika namanya adalah Devan. Dan Rainer tersadar sudah sejak hari kedua setelah kecelakaan.“Percaya pada apa? Kebohongan? Penyekapan ini? Atau pesan
Rainer memalingkan pandangannya dari jendela, lalu menghela napas panjang. Kepalanya berdenyut, terasa seperti ada ribuan pecahan kaca yang menusuk dari dalam. Rainer tidak tahu apa yang lebih menyakitkan, rasa sakit fisik atau kekosongan di benaknya. Semuanya terlihat kabur. Tidak ada yang jelas selain fakta bahwa dia ada di tempat asing, bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Mia, wanita yang mengaku menyelamatkannya, selalu bersikap lembut dan penuh perhatian. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Sikapnya terlalu tenang, terlalu terukur. Ketika Rainer mencoba bertanya lebih dalam, jawabannya selalu ambigu, seperti selubung yang sengaja tidak dibuka. Rainer memijat pelipis, mencoba memungut serpihan ingatan yang tercecer. Wajah seorang pria tua muncul, samar-samar. Kakek Wijaya. Kakeknya. Kemudian, suara seperti ledakan keras menggema, membuat tubuhnya berguncang hebat. Tapi setelah itu, hanya ada gelap.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” hardik Rainer seraya mencekal tangan Mia.Dengan tenang Mia tersenyum, lalu perlahan melepas tangan Rainer yang lemah.“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Aku hanya tahu kamu ditemukan dalam kondisi cukup parah, bagaimana kronologinya aku tidak terlalu paham, yang aku tahu sopirmu tewas di tempat kejadian,” ujar wanita itu tanpa melihat ke arah Rainer.Kalimat terakhir itu menghantam Rainer seperti pukulan. Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah sopirnya, tapi tidak ada yang muncul di benaknya selain bayangan buram.“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekarang. Fokus saja pada pemulihanmu,” kata wanita itu dengan lembut.Namun, bagi Rainer, ketenangan wanita itu justru membuatnya semakin gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang terasa seperti bagian besar dari teka-teki yang hilang. “Siapa yang membawaku ke sini?”Wanita itu te
“Siapa orang yang ingin kamu selidiki?” tanya Danar pada Levi."Jean,” jawab Levi tanpa ragu.Danar mengernyit. "Jean? Maksudmu Jean Hendra? Bukankah dia orang kepercayaan Rainer?"“Benar. Tapi belakangan ini kami mengetahui banyak orang-orang yang berkhianat. Dia bersama Rainer ke Singapura, bertugas untuk mengawal dan mendampingi Rainer. Tapi bisa-bisanya membiarkan Rainer hanya pergi bersama supir. Aku rasa ini tidak masuk akal kalau itu hanya kecelakaan biasa,” ujar Levi.Danar menelaah setiap perkataan Levi. "Kamu mencurigainya terlibat?"Levi mendesah. “Aku tidak yakin, tapi instingku mengatakan dia menyembunyikan sesuatu. Saya tidak meragukan tim IT Anda, Tuan Danar. Jadi, saya minta Anda untuk mencari tahu apakan Jean terlibat.”"Baiklah, aku akan menyelidikinya. Tolong berikan aku akses gps dan pendukungnya di saat terakhir Rainer berada."Levi masih tidak sepenuhnya percaya pada Danar, tetapi dia yakin pria itu bisa membantu apalagi ini bersangkutan dengan Camelia. "Baikla
Suara monitor detak jantung yang stabil menjadi satu-satunya pengisi keheningan ruangan. Daisy menggeser kursinya perlahan, matanya tertuju pada wajah pucat Camelia yang masih terbaring lemah. Perlahan wanita paruh baya itu menggenggam tangan Camelia dengan erat, berharap ada sedikit respons, tetapi keheningan itu terus berlanjut."Sadarlah, Sayang. Kamu tidak boleh seperti ini terus," gumam Daisy, setengah berbicara pada dirinya sendiri. Clara yang baru masuk ke ruangan membawa termos kecil hanya mengangguk."Dokter bilang kondisinya masih stabil, tapi ... entahlah. Ada sesuatu yang mengganjal,” ucap Clara kemudian meletakkan termos di meja dan menghela napas panjang, “kita bahkan tidak tahu kenapa dia tidak sadarkan diri."Daisy diam, merasa putus asa. "Aku rasa ini bukan sekadar fisik, Clara. Ada yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang dia tahan sendiri. Tapi apa? Apa kamu tahu sesuatu?”Clara hanya menggeleng. Sebenarnya d
Beberapa hari telah berlalu. Selama itu pula Yasa Wijaya seakan bisa menutupi kejadian yang dialami Raine. Tanpa sepengetahuannya, Camelia telah meminta bantuan pada Danar untuk mencari informasi tentang suaminya.Sore ini Danar sengaja menemui Camelia, tepat sebelum wanita itu pulang dari kantor.“Apa kita bisa bicara sebentar?” “Tentu saja, Kak,” jawab Camelia. Hatinya mulai merasa gelisah yang tidak menentu. Dia yakin Danar akan membicarakan tentang Rainer.“Informasi apa yang Kakak dapatkan tentang Rainer?” tanya Camelia dengan tidak sabaran.Terlihat pria itu menghela napas sebelum akhirnya berbicara.“Aku harap kamu sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ini. Karena ini berita yang buruk,” jawab Danar.Deg!Camelia mencengkram roknya, menyalurkan semua kegelisahan.“Rainer mengalami kecelakaan beberapa hari lalu. Sopir tewas di tempat, tapi keberadaan Rainer tidak ditemukan.”“Apa maks
Dengan perasaan yang masih berkecamuk, Levi mengetuk pintu ruang kerja Yasa Wijaya–ayah Rainer dengan ragu. Seketika pintu terbuka, wajah Yasa yang biasanya tenang terlihat tegang. Levi menarik napas panjang sebelum melangkah masuk."Ada apa, Levi? Kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah datang ke sini?" tanya Yasa dengan suara yang terdengar berat. Semalaman dia mencoba menenangkan Daisy–istrinya yang terus gelisah tak menentu, membuatnya tak bisa menampik rasa yang sama. Levi mencoba berbicara setenang mungkin. "Tuan Yasa, saya perlu memberitahu sesuatu yang mendesak tentang Pak Rainer."Tatapan tajam Yasa menghantam Levi. "Apa maksudmu? Ada apa dengan Rainer?"Levi menelan ludah dengan susah payah. "Kami kehilangan kontak dengan Pak Rainer sejak kemarin sore. Jean telah melapor jika Pak Rainer mengalami kecelakaan yang cukup parah setelah di jalur yang biasa dilalui."Wajah Yasa berubah gelap, marah dan sedih bergumul menjadi satu.