Beberapa hari telah berlalu. Selama itu pula Yasa Wijaya seakan bisa menutupi kejadian yang dialami Raine. Tanpa sepengetahuannya, Camelia telah meminta bantuan pada Danar untuk mencari informasi tentang suaminya.
Sore ini Danar sengaja menemui Camelia, tepat sebelum wanita itu pulang dari kantor.“Apa kita bisa bicara sebentar?”“Tentu saja, Kak,” jawab Camelia. Hatinya mulai merasa gelisah yang tidak menentu. Dia yakin Danar akan membicarakan tentang Rainer.“Informasi apa yang Kakak dapatkan tentang Rainer?” tanya Camelia dengan tidak sabaran.Terlihat pria itu menghela napas sebelum akhirnya berbicara.“Aku harap kamu sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ini. Karena ini berita yang buruk,” jawab Danar.Deg!Camelia mencengkram roknya, menyalurkan semua kegelisahan.“Rainer mengalami kecelakaan beberapa hari lalu. Sopir tewas di tempat, tapi keberadaan Rainer tidak ditemukan.”“Apa maksSuara monitor detak jantung yang stabil menjadi satu-satunya pengisi keheningan ruangan. Daisy menggeser kursinya perlahan, matanya tertuju pada wajah pucat Camelia yang masih terbaring lemah. Perlahan wanita paruh baya itu menggenggam tangan Camelia dengan erat, berharap ada sedikit respons, tetapi keheningan itu terus berlanjut."Sadarlah, Sayang. Kamu tidak boleh seperti ini terus," gumam Daisy, setengah berbicara pada dirinya sendiri. Clara yang baru masuk ke ruangan membawa termos kecil hanya mengangguk."Dokter bilang kondisinya masih stabil, tapi ... entahlah. Ada sesuatu yang mengganjal,” ucap Clara kemudian meletakkan termos di meja dan menghela napas panjang, “kita bahkan tidak tahu kenapa dia tidak sadarkan diri."Daisy diam, merasa putus asa. "Aku rasa ini bukan sekadar fisik, Clara. Ada yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang dia tahan sendiri. Tapi apa? Apa kamu tahu sesuatu?”Clara hanya menggeleng. Sebenarnya d
“Siapa orang yang ingin kamu selidiki?” tanya Danar pada Levi."Jean,” jawab Levi tanpa ragu.Danar mengernyit. "Jean? Maksudmu Jean Hendra? Bukankah dia orang kepercayaan Rainer?"“Benar. Tapi belakangan ini kami mengetahui banyak orang-orang yang berkhianat. Dia bersama Rainer ke Singapura, bertugas untuk mengawal dan mendampingi Rainer. Tapi bisa-bisanya membiarkan Rainer hanya pergi bersama supir. Aku rasa ini tidak masuk akal kalau itu hanya kecelakaan biasa,” ujar Levi.Danar menelaah setiap perkataan Levi. "Kamu mencurigainya terlibat?"Levi mendesah. “Aku tidak yakin, tapi instingku mengatakan dia menyembunyikan sesuatu. Saya tidak meragukan tim IT Anda, Tuan Danar. Jadi, saya minta Anda untuk mencari tahu apakan Jean terlibat.”"Baiklah, aku akan menyelidikinya. Tolong berikan aku akses gps dan pendukungnya di saat terakhir Rainer berada."Levi masih tidak sepenuhnya percaya pada Danar, tetapi dia yakin pria itu bisa membantu apalagi ini bersangkutan dengan Camelia. "Baikla
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” hardik Rainer seraya mencekal tangan Mia.Dengan tenang Mia tersenyum, lalu perlahan melepas tangan Rainer yang lemah.“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Aku hanya tahu kamu ditemukan dalam kondisi cukup parah, bagaimana kronologinya aku tidak terlalu paham, yang aku tahu sopirmu tewas di tempat kejadian,” ujar wanita itu tanpa melihat ke arah Rainer.Kalimat terakhir itu menghantam Rainer seperti pukulan. Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah sopirnya, tapi tidak ada yang muncul di benaknya selain bayangan buram.“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekarang. Fokus saja pada pemulihanmu,” kata wanita itu dengan lembut.Namun, bagi Rainer, ketenangan wanita itu justru membuatnya semakin gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang terasa seperti bagian besar dari teka-teki yang hilang. “Siapa yang membawaku ke sini?”Wanita itu te
Rainer memalingkan pandangannya dari jendela, lalu menghela napas panjang. Kepalanya berdenyut, terasa seperti ada ribuan pecahan kaca yang menusuk dari dalam. Rainer tidak tahu apa yang lebih menyakitkan, rasa sakit fisik atau kekosongan di benaknya. Semuanya terlihat kabur. Tidak ada yang jelas selain fakta bahwa dia ada di tempat asing, bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Mia, wanita yang mengaku menyelamatkannya, selalu bersikap lembut dan penuh perhatian. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Sikapnya terlalu tenang, terlalu terukur. Ketika Rainer mencoba bertanya lebih dalam, jawabannya selalu ambigu, seperti selubung yang sengaja tidak dibuka. Rainer memijat pelipis, mencoba memungut serpihan ingatan yang tercecer. Wajah seorang pria tua muncul, samar-samar. Kakek Wijaya. Kakeknya. Kemudian, suara seperti ledakan keras menggema, membuat tubuhnya berguncang hebat. Tapi setelah itu, hanya ada gelap.
"Kamu tidak seharusnya berada di sini."Suara itu terdengar penuh amarah, tetapi ada nada kecewa yang terselip di dalamnya. Mia berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak dengan tatapan menusuk. Namun, Rainer tidak mundur. Dia berdiri di tengah ruangan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” hardik Mia.“Masuk ke sini bukan hal yang sulit bagiku,” jawab Rainer dengan sedikit menyombongkan diri.“Cepat pergi dari sini!”“Aku tidak akan pergi sampai kamu menjelaskan semua ini.”Mia melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang. Matanya bergerak cepat, menyapu ruangan, seperti memastikan bahwa setiap sudutnya masih berada dalam kendalinya. “Tidak ada yang perlu aku jelaskan, Devan. Kamu seharusnya mempercayaiku.”Diam-diam Mia sudah mendoktrin Rainer sejak tersadar jika namanya adalah Devan. Dan Rainer tersadar sudah sejak hari kedua setelah kecelakaan.“Percaya pada apa? Kebohongan? Penyekapan ini? Atau pesan
Cahaya mentari di pagi hari menyelinap melalui sela-sela gorden. Rainer duduk di tepi ranjang, pandangannya tertuju pada jendela yang masih tertutup rapat. Cahaya lampu dari lorong menyelinap melalui celah pintu yang tidak tertutup sempurna. Seperti biasa, setiap kali dia bangun dari tidur, tubuhnya terasa lemah. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Entah beberapa hari Rainer berada di rumah ini, semakin hari keganjilan itu tampak lebih jelas dan terus membayangi. Ada sesuatu yang hilang, seperti potongan puzzle yang terselip, menghalangi gambaran utuh yang seharusnya dia pahami.“Kenapa selalu begini? Padahal aku selalu merasa baik-baik saja,” keluh Rainer lirih.Kepala Rainer terasa sakit setiap kali mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak bisa terus begini dan harus segera bertindak.Dia bangkit perlahan, membiarkan tubuhnya terbiasa dengan kelemahan yang terus membelenggu. Langkahnya terhenti saat menyadari keanehan l
Sebuah pesan masuk, membuat Mia menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menatap layar ponsel dengan ekspresi serius. Gerakan tangan yang sebelumnya lincah kini terhenti. Isi pesan itu lebih merajuk ada sebuah perintah yang tak bisa diabaikan. Setelah membaca isi pesan itu, Mia menghela napas pendek, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri, seperti membuat keputusan mendadak.“Dev, aku akan pergi keluar, sepertinya akan lebih lama. Mungkin sebentar lagi ayah juga akan kembali. Kamu baik-baik di rumah,” ujar Mia setelah memastikan makan siang Rainer habis.Rainer pun mengangguk dan tersenyum tipis.Sebelum melangkah pergi, Mia memanggil salah satu orang kepercayaannya dan memberi instruksi singkat.“Awasi dia. Jangan sampai ada celah.”Tatapannya tajam, dia tak perlu khawatir tentang pergerakan Rainer karena dia telah memasukkan obat tidur ke dalam makanannya. Orang itu mengangguk cepat, sementara Mia segera bersiap. Tanpa menu
Kesenyapan menggantung di antara dua sosok yang saling menatap tajam. Jean berdiri dengan posisi tegas, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Di depannya, Mia berdiri santai namun dengan tatapan penuh kewaspadaan. Suara aliran air dari sungai kecil di dekat mereka nyaris tenggelam oleh ketegangan yang menyelimuti.“Ada apa sampai memanggilku ke sini?” tanya Mia.Ya, Jean adalah orang yang membuat Mia buru-buru pergi dari rumahnya.“Kamu tidak pernah memberi laporan yang jelas tentang Tuan Rainer, apa kamu sudah bosan hidup?” ucap Jean penuh penekanan.“Dia baik-baik saja. Aman. Kamu tidak perlu khawatir dan tidak usah menampakkan tampang seperti itu.” Mia berbicara dengan nada tenang, mencoba mempertahankan kendali.Jean mendekat selangkah, jaraknya kini hanya sejengkal dari Mia. Sorot matanya menghunus, penuh peringatan. Dia selalu mengawasi gerak-gerik Mia dan juga Rainer dan mulai menemukan kecurigaan.“Pastikan tetap begitu. Kamu tahu apa yang akan terjadi jika terjadi apa-apa deng
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa