Aku ingin menemui wanitaku, jangan katakan pada siapapun, ini rahasia. Kau temanku dan kau harus janji. Oke?" "Hem," jawab Nindi seadanya, membuat Renan menjadi gemas sendiri. Laki-laki itu mencubit ujung hidung Nindi, membuat si gadis menjadi memanyunkan bibirnya, memamerkan sisi keimutan yang tiada duanya. "Aku berangkat! Jangan mencariku. Nanti, ku hubungi jika aku menemukan sesuatu yang menarik untuk kau lihat." Renan segera masuk ke dalam mobil bmw-nya dan melaju begitu saja meninggalkan wanita mungil itu sendirian. Iya, dia harus segera sampai ke Jakarta sebelum hari semakin sore dan warna langit menjadi kehitaman. Perlahan, Nindi mengeluarkan ponselnya dan langsung menelpon Haru Atmadja. Sambungan telepon terhubung dengan sempurna dari seberang sana. "Paman, putramu Renan tiba-tiba kembali ke Jakarta. Dia ingin menemui wanita sialan itu," ucapnya membongkar apa yang terjadi barusan. Jelas, adanya Nindi adalah maksud tersirat dari rencana Haru.
Rania meneteskan air matanya begitu saja. Lagi? Lagi, dia selalu mendapat hinaan dari seorang lelaki yang coba ia cintai dengan tulus. Ada apa? Apa memang dia semurah itu sehingga tidak ada nilainya lagi di mata laki-laki? "A-apa kau bilang begitu karena aku merebut Jihan dari mas Raihan? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang mencoba merebut kebahagianku juga? Kenapa dia juga tidak disebut murahan?" Dengan mata yang terus dibanjiri genangan air, Rania meluapkan energi terakhirnya untuk membela diri. Renan menarik rambutnya ke belakang dengan kasar. "Gila," gumamnya saat menghadapi permasalahan yang cukup rumit ini. "JAWAB AKU! APA HANYA AKU YANG BERHAK MENDAPAT HINAAN MURAHAN KARENA AKU BERASAL DARI KELUARGA BERKASTA RENDAH? APA SEBUTAN MURAHAN TIDAK BOLEH UNTUK DISEMATKAN PADA GADIS BERKASTA TINGGI? APA AKU SEMURAH ITU? APA AKU SEPELACUR ITU JIKA AKU EGOIS SEDIKIT?" Rania memukul dada Renan dan menarik kasar kerah baju laki-laki itu. Dia lantang berter
"Aku belum memutuskan apapun, aku juga harus memikirkan kedepannya, Ren," tutur Rania diiringi dengan lirihan di akhir suaranya. Berat untuk memutuskan sesuatu dengan keadaan yang seperti ini. "Tidak aku izinkan, Sayang." Renan mencium bahu mulus Rania dengan bibir basahnya. Dia tidak jadi memakai bajunya dan membiarkan jari-jari Rania bermain dengan otot perutnya. Laki-laki itu memeluk wanitanya sambil terus berbaring. Dia memang benar-benar memperlakukan Rania bak ratu yang harus di jaga dengan benar dan dengan pengawasan yang ketat. "Aku harus apa? Ayahmu tidak ingin jika kita bersama, Ren. Aku tidak ingin membebani pikiranmu lagi." Rania memberhentikan aktivitas jarinya yang mengelus otot perut Renan. Pandangannya masih sama, memandangi kulit sedikit kecoklatan dengan bentuk-bentuk perut yang menggoda kaum hawa. "Kau cukup diam dan aku yang akan menyelesaikannya." Renan menarik jari-jari Rania ke atas untuk dituntun mengusap dadanya. Laki-laki itu suka dan tentu paling menikmat
"Pernah. Bersama pacarku," jawab Renan dengan sejujurnya. "Kapan?" "Pacarku waktu SMA. Kami melakukannya dengan nekat, aku masih berumur 16 tahun waktu itu." "Dia melepaskan perawannya untukmu?" tanya Rania lagi dengan ragu-ragu. Ia tahu, raut wajah Renan yang sedikit berubah. Apa terlalu berlebihan untuk tahu tentang itu? Apa Renan akan marah? Dia hanya ingin tahu. Bukankah kejujuran sangat penting dalam memulai sebuah hubungan? Bukannya kalian akan saling menerima apa adanya? Renan meletakkan telapak tangan Rania di atas pipinya dan laki-laki itu pun mencium urat nadi Rania dan digigiti kecil-kecil. Dia tahu, Rania pasti ingin tahu tentang masa lalunya. Renan anggap, keingintahuan wanita itu karena ingin berusaha membuka hatinya lebih luas untuk cintanya. Setelahnya, Renan menggelengkan kepalanya. "Dia juga tidak perawan, aku bukan laki-laki pertama baginya." Rania sempat menaikkan kedua alisnya sedikit sebagai responnya yang sedikit kaget. "Kapan terakhir kau melakukan hubung
Melihat ekspresi anaknya yang seperti itu, Rania hanya menggeleng pasrah. "Game lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya Buna yang dikacangin." "Bukan begitu Bunaaa. Buna kan sudah ada handa Enan, jangan marah ya, Bun," bujuk David yang sedikit memajukan tubuhnya ke depan. Dia menyembulkan kepalanya dari samping bahu Buna. Ekspresinya memohon pada sang Buna untuk tidak merajuk padanya. "Hm. Duduk yang benar David," titah Rania karena mobil sedang melaju. David pun menuruti dan kembali pada posisi semulanya. Renan menyentuh punggung tangan Rania dalam keadaan menyetir. Sesekali kepalanya menoleh ke wanita yang ada di sampingnya itu. "Biarkan saja, Bun. Nanti kita belikan dia mcd sebentar. Baru meninggalkannya di mobil, setidaknya dia punya makanan untuk mengisi perutnya itu." Rania menganggukkan kepalanya. "Baiklah jika begitu, Buna menurut saja apa kata Handa," tukas Rania, pandangannya masih berfokus pada luar jendela. Dia tidak marah, hanya David terlalu sibuk dengan game-nya. Renan terse
"Ren, kemarilah ... kau sibuk memotret dari tadi," protes Rania karena Renan seperti sibuk sendiri dan berakhir mengabaikan tujuan awal datang kesana. "Ah, iya. Pemandangannya sangat bagus, aku ingin mengirimkan ke seseorang," balas Renan. Kedua matanya masih terfokus pada benda pipih tersebut dan tampak memotret suatu objek yang menarik karena warna hijau yang terlihat mendominasi. Rania hanya berdehem sebagai respon atas balasan Renan, dia sedikit kesal. Pasalnya, laki-laki itu mengajak berkencan romantis dan hampir tengah hari dia hanya sibuk dengan ponselnya dan senyum-senyum sendiri. Lalu, dimana letak romantisnya? Pikir Rania, yang ada Rania hanya tampak seperti menemani laki-laki itu memotret objek. Akhirnya, tanpa disadari, Rania berjalan duluan meninggalkan Renan, dia mengelilingi lembang tersebut dan asik sendiri agar tidak kesal dengan pria yang sedang mengabaikannya. Mereka sedang berjalan di daerah lembang, salah satu tempat menarik yang wajib dikunjungi ketika ingin
"Aku benci k-kencan ini!" Rania memukul dada bidang Renan berulang kali dan berlari begitu saja meninggalkan Renan yang berusaha meraih tangannya. Stap! Renan malah mengangkat tubuh Rania dengan kedua tangannya, mengunci tubuh sang kesayangan dalam gendongannya. Sehingga, mau tidak mau wajah Rania jadi sangat berdekatan dengan wajah laki-laki tersebut. Renan sangat menyayanginya, dia tidak bermaksud untuk mengabaikan Rania. Tolong, maafkan untuk yang kali ini, dia pasti janji akan membahagiakan wanitanya dengan suka cita. "Maaf-maaf. Tidak lagi. Aku janji akan membuat Rania merasakan kencan romantis," tutur Renan yang mengelap jejak air mata Rania dengan bibirnya. Bahkan, dia melayangkan kecupan berulang kalo di kelopak mata si manis. "Awas saja jika masih sibuk dengan hp-mu. Aku benar-benar tidak akan mau lagi pergi kencan denganmu," ancam Rania dengan wajah dinginnya. "Aku janji. Sekarang nikmati sebentar jalan-jalannya. Aku akan terus menggendongmu agar kau tidak capek." "Bai
"Aku percaya," jawab Renan. Sorot matanya terlihat sangat serius mengatakannya. Benar, dia akan selalu percaya pada semua perkataan Rania. "Kamu bahkan nggak tahu kejadian sebenarnya tadi, harusnya kamu cari tahu dulu, Ren," sela Rania. Dia kagum pada Renan, tapi dibalik itu, Renan tidak seharusnya bersikap seperti itu dan lebih mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa. "Aku percaya pada apapun yang dikatakan Rania," ucap Renan dengan matanya yang tidak pernah berpindah sedikitpun memandangi wajah Rania yang cantik. Apalagi, bulu mata yang sedikit lentik, menambah kesan manis yang dimiliki Rania. Dia akan selalu terpesona pada kecantikan yang ada pada diri wanita itu. "Aku bohong, Ren." Renan diam, membiarkan Rania berbicara lebih lanjut. Dia tidak suka, jika Rania memendam sendiri, apalagi pasal wanita Bandung itu. Sungguh, Renan ingin meluruskan semuanya, dia tidak menyukai Nindi. Memang benar, bahwa pertama kali bertemu Nindi, Renan sempat tertegun akan kecantikan dan keramah