"Jangan melewatkan makan malammu atau kau akan membuat aku mati berdiri oleh ayahmu?"
"Katakan padanya, aku sudah berusaha Tapi dia belum sepenuhnya mencintaiku." Gadis itu menarik selimutnya sampai ke atas kepala, dia tidak ingin melihat laki-laki yang seperti mayat hidup dan kaku tersebut tengah berdiri di dekat ranjangnya."Aku harus apa?" Kembali pria itu memasang raut wajah dinginnya dan bertanya dia harus apa jika sudah begini."Aku mencintai dua orang laki-laki di saat bersamaan. Tapi, sekarang aku pikir ... mencintai satu saja sudah cukup. Aku ja-""Kau mencintai Raihan, selamanya akan begitu," potong Yogi dengan cepat. Dia malas mendengar perkataan selanjutnya dari gadis itu. Hatinya sedang lelah untuk memikirkan kisah asmara yang tak kunjung usai.Jihan membuka selimutnya dan menatap Yogi dengan tajam. "Bawa aku pergi, Mas! Aku ingin dinikahi olehmu saja! Aku tidak ingin mencintai mas Raihan terlalu jauh dan pada akhirnya a"Cepatlah, sebelum bianglalanya bertambah kecepatan." Raihan menarik lengan Rania untuk dudu di sampingnya. Dia berjanji, akan membuat ibunya Vano merasa aman. Mau tidak mau Rania berpindah menjadi duduk di sebelah Raihan. Bunanya Vano sekarang sudah masuk ke dalam dekapan lengan Handa Vano. Lega, itulah yang dirasakan wanita dengan lesung pipi yang manis setelah lengan laki-laki kekar itu mengapit tubuhnya, pertanda sedang dilindungi. Ada rasa aman dan tentu dia sangat berterima kasih pada Raihan nantinya. Tiba-tiba, Raihan sedikit menundukkan kepalanya untuk berbicara pada Rania. "Jangan takut, Handa akan melindungi Buna dan Vano," janjinya dengan sebuah usapan lembut di bahu wanita itu. Rania hanya mengangguk pasrah dan menerbitkan senyum manisnya yang kelewat teduh jika diperhatikan. "Terima kasih, Mas." Setelah selesai dengan asiknya bianglala, mereka melanjutkan lagi menjelajahi permainan dan mencoba tantangan baru dari wahana lain. Vano juga membeli banyak mainan dan jajana
"Cepatlah, sebelum bianglalanya bertambah kecepatan." Raihan menarik lengan Rania untuk dudu di sampingnya. Dia berjanji, akan membuat ibunya Vano merasa aman. Mau tidak mau Rania berpindah menjadi duduk di sebelah Raihan. Bunanya Vano sekarang sudah masuk ke dalam dekapan lengan Handa Vano. Lega, itulah yang dirasakan wanita dengan lesung pipi yang manis setelah lengan laki-laki kekar itu mengapit tubuhnya, pertanda sedang dilindungi. Ada rasa aman dan tentu dia sangat berterima kasih pada Raihan nantinya. Tiba-tiba, Raihan sedikit menundukkan kepalanya untuk berbicara pada Rania. "Jangan takut, Handa akan melindungi Buna dan Vano," janjinya dengan sebuah usapan lembut di bahu wanita itu. Rania hanya mengangguk pasrah dan menerbitkan senyum manisnya yang kelewat teduh jika diperhatikan. "Terima kasih, Mas." Setelah selesai dengan asiknya bianglala, mereka melanjutkan lagi menjelajahi permainan dan mencoba tantangan baru dari wahana lain. Vano juga membeli banyak mainan dan jajana
Renan • - Besok aku pulang ke Jakarta, aku harap kau tidak melupakan janjimu, Rania. Aku mencintaimu, kau harus tahu itu - Rania meremat ponselnya saat membaca pesan yang berasal dari Renan. Dia tidak siap bertemu dengan pria itu dalam waktu dekat ini. Jika mereka bertemu, itu akan membuat hati Rania semakin labil dan tidak teguh pada pendiriannya. Dia berniat ingin menjauh saja dari kehidupan Renan mulai saat ini. Niatnya, tidak ingin merepotkan laki-laki itu. Rania • - Terserah. Jangan menemuiku lagi, Ren. Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan apa yang baru kita mulai, cukup sampai disini saja. Kau, carilah kebahagianmu dan wanita yang tentu jauh lebih sempurna dariku - Renan • - Apa yang kau katakan? Jangan mengacaukanku lagi, Rania. Aku tidak ingin mengetahui omong kosongmu itu. Aku tetap akan kembali menemuimu - Setelahnya, Rania tidak menjawab pesan dari Renan lagi, memilih mendiamkan saja. Dia fokus pada pekerjaannya sekarang, tangannya lihai memasak makanan untuk tamu pe
Aku ingin menemui wanitaku, jangan katakan pada siapapun, ini rahasia. Kau temanku dan kau harus janji. Oke?" "Hem," jawab Nindi seadanya, membuat Renan menjadi gemas sendiri. Laki-laki itu mencubit ujung hidung Nindi, membuat si gadis menjadi memanyunkan bibirnya, memamerkan sisi keimutan yang tiada duanya. "Aku berangkat! Jangan mencariku. Nanti, ku hubungi jika aku menemukan sesuatu yang menarik untuk kau lihat." Renan segera masuk ke dalam mobil bmw-nya dan melaju begitu saja meninggalkan wanita mungil itu sendirian. Iya, dia harus segera sampai ke Jakarta sebelum hari semakin sore dan warna langit menjadi kehitaman. Perlahan, Nindi mengeluarkan ponselnya dan langsung menelpon Haru Atmadja. Sambungan telepon terhubung dengan sempurna dari seberang sana. "Paman, putramu Renan tiba-tiba kembali ke Jakarta. Dia ingin menemui wanita sialan itu," ucapnya membongkar apa yang terjadi barusan. Jelas, adanya Nindi adalah maksud tersirat dari rencana Haru.
Rania meneteskan air matanya begitu saja. Lagi? Lagi, dia selalu mendapat hinaan dari seorang lelaki yang coba ia cintai dengan tulus. Ada apa? Apa memang dia semurah itu sehingga tidak ada nilainya lagi di mata laki-laki? "A-apa kau bilang begitu karena aku merebut Jihan dari mas Raihan? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang mencoba merebut kebahagianku juga? Kenapa dia juga tidak disebut murahan?" Dengan mata yang terus dibanjiri genangan air, Rania meluapkan energi terakhirnya untuk membela diri. Renan menarik rambutnya ke belakang dengan kasar. "Gila," gumamnya saat menghadapi permasalahan yang cukup rumit ini. "JAWAB AKU! APA HANYA AKU YANG BERHAK MENDAPAT HINAAN MURAHAN KARENA AKU BERASAL DARI KELUARGA BERKASTA RENDAH? APA SEBUTAN MURAHAN TIDAK BOLEH UNTUK DISEMATKAN PADA GADIS BERKASTA TINGGI? APA AKU SEMURAH ITU? APA AKU SEPELACUR ITU JIKA AKU EGOIS SEDIKIT?" Rania memukul dada Renan dan menarik kasar kerah baju laki-laki itu. Dia lantang berter
"Aku belum memutuskan apapun, aku juga harus memikirkan kedepannya, Ren," tutur Rania diiringi dengan lirihan di akhir suaranya. Berat untuk memutuskan sesuatu dengan keadaan yang seperti ini. "Tidak aku izinkan, Sayang." Renan mencium bahu mulus Rania dengan bibir basahnya. Dia tidak jadi memakai bajunya dan membiarkan jari-jari Rania bermain dengan otot perutnya. Laki-laki itu memeluk wanitanya sambil terus berbaring. Dia memang benar-benar memperlakukan Rania bak ratu yang harus di jaga dengan benar dan dengan pengawasan yang ketat. "Aku harus apa? Ayahmu tidak ingin jika kita bersama, Ren. Aku tidak ingin membebani pikiranmu lagi." Rania memberhentikan aktivitas jarinya yang mengelus otot perut Renan. Pandangannya masih sama, memandangi kulit sedikit kecoklatan dengan bentuk-bentuk perut yang menggoda kaum hawa. "Kau cukup diam dan aku yang akan menyelesaikannya." Renan menarik jari-jari Rania ke atas untuk dituntun mengusap dadanya. Laki-laki itu suka dan tentu paling menikmat
"Pernah. Bersama pacarku," jawab Renan dengan sejujurnya. "Kapan?" "Pacarku waktu SMA. Kami melakukannya dengan nekat, aku masih berumur 16 tahun waktu itu." "Dia melepaskan perawannya untukmu?" tanya Rania lagi dengan ragu-ragu. Ia tahu, raut wajah Renan yang sedikit berubah. Apa terlalu berlebihan untuk tahu tentang itu? Apa Renan akan marah? Dia hanya ingin tahu. Bukankah kejujuran sangat penting dalam memulai sebuah hubungan? Bukannya kalian akan saling menerima apa adanya? Renan meletakkan telapak tangan Rania di atas pipinya dan laki-laki itu pun mencium urat nadi Rania dan digigiti kecil-kecil. Dia tahu, Rania pasti ingin tahu tentang masa lalunya. Renan anggap, keingintahuan wanita itu karena ingin berusaha membuka hatinya lebih luas untuk cintanya. Setelahnya, Renan menggelengkan kepalanya. "Dia juga tidak perawan, aku bukan laki-laki pertama baginya." Rania sempat menaikkan kedua alisnya sedikit sebagai responnya yang sedikit kaget. "Kapan terakhir kau melakukan hubung
Melihat ekspresi anaknya yang seperti itu, Rania hanya menggeleng pasrah. "Game lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya Buna yang dikacangin." "Bukan begitu Bunaaa. Buna kan sudah ada handa Enan, jangan marah ya, Bun," bujuk David yang sedikit memajukan tubuhnya ke depan. Dia menyembulkan kepalanya dari samping bahu Buna. Ekspresinya memohon pada sang Buna untuk tidak merajuk padanya. "Hm. Duduk yang benar David," titah Rania karena mobil sedang melaju. David pun menuruti dan kembali pada posisi semulanya. Renan menyentuh punggung tangan Rania dalam keadaan menyetir. Sesekali kepalanya menoleh ke wanita yang ada di sampingnya itu. "Biarkan saja, Bun. Nanti kita belikan dia mcd sebentar. Baru meninggalkannya di mobil, setidaknya dia punya makanan untuk mengisi perutnya itu." Rania menganggukkan kepalanya. "Baiklah jika begitu, Buna menurut saja apa kata Handa," tukas Rania, pandangannya masih berfokus pada luar jendela. Dia tidak marah, hanya David terlalu sibuk dengan game-nya. Renan terse
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini