Tinggal di salah satu kota kecil di Taiwan, Vinza sama sekali tak pernah membayangkan jika ada tempat seperti Hongkong di dunia ini. Tiba di bandara dengan desain ruangan serba putih, Vinza berjalan dituntun David yang sedang menggendong Rufy. Bandara itu ramai dengan orang-orang berjalan ke berbagai arah. Banyak dari mereka memiliki wajah oriental dengan kulit sangat putih. Mereka menuruni eskalator dan berjalan menuju pintu keluar. Sudah ada mobil yang menjemput dan penjaga di sana. Salah satu penjaga membuka pintu mobil sedan hitam di mana David dan keluarganya masuk di jok belakang. Setelah semua keamanan siap, mobil mulai meninggalkannya bandara dan di sini Vinza melihat pemandangan seperti bukan di dunia manusia. Gedung-gedung tinggi begitu mendominasi dengan jalanan lebar dan pemandangan ke laut. Inilah kota yang konon memiliki biaya hidup termahal di dunia. Tempat di mana tujuh puluh tujuh juta orang hidup dalam daratan yang kurang lebih seluas seribu kilo meter persegi. Tid
Vinza masih mengikuti dari belakang. David membuka pintu salah satu kamar tidur. Ruangan itu sudah didesain layaknya kamar anak-anak. “Ini harusnya kamar tamu. Cuman karena jendelanya tinggi, aku mau pakai buat kamar Rufy. Kalau jendelanya pendek, takut Rufy manjat,” jelas David sambil menunjukkan rangka jendela.“Makanya kalau punya bocah, mendingan jangan tinggal di tempat tinggi-tinggi ginian. Lagian aku takut, loh!” protes Vinza sambil bergidik ngeri.“Kalau kamu punya uang buat beli rumah baru silakan,” tantang David.“Aku benci kamu! Awas enggak akan aku kasih jatah!” ancam Vinza sambil berjalan ke luar kamar. Ia melangkah dan duduk di sofa ruang tamu. Matanya melirik ke sekitar ruangan. Ada gorden besar di depannya. Iseng, Vinza berdiri dan membuka gorden itu. Matanya terbelalak. “Wah, gila! Laut!” serunya. Barisan gedung di Hongkong dengan lampu-lampunya yang terang kemudian hamparan air teluk yang terlihat seperti permata hitam di malam hari. Tak lupa angin yang meniup pepoh
Tak lama David masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon yang terbuat dari kaca. Gordennya tertutup sendiri ketika David menekan tombol di dinding. Vinza menyipitkan mata. “Buat apa tadi aku narik gorden berat itu kalau bisa ketutup sendiri. Sial!” pikirnya. David naik ke atas tempat tidur. Ia sempat melirik ke arah Vinza. “Kenapa belum tidur? Enggak capek?” “Capek, sih. Cuman khawatir sama kamu. Ada apa, sih? Enggak mau cerita?” tanya Vinza. “Biasa. Kamu tahu sendiri aku mau laporkan kasus penculikan ke kepolisian Hongkong. Tapi kayaknya memang agak sulit karena Martin Zhou salah satu orang berpengaruh. Cuman, Papaku lebih berpengaruh, sih. Aku mau minta Papaku yang mengajukan gugatan.”“Papa nolak?” tanya Vinza. “Aku belum bilang. Besok saja kita ke rumah Papa. Sekalian aku mau nengok.”***Vinza bangun karena alarm. Dia turun dari tempat tidur dan lekas mandi. Selesai berpakaian, Vinza bangunkan David. “Pa, mau salat enggak? Nanti kesiangan.”David membuka matanya perlahan.
“Upi tuh Abah dak cuka. Abah malah-malah Upi,” cerita Rufy. David harus menerjemahkan kalimat Rufy agar Ethan mengerti. “Kenapa Akong enggak suka?” tanya Ethan. “Upi nak halam. Dak Ayahan. Ni Ayah, ya?” tunjuk Rufy pada David. “Kamu anak yang tampan, baik dan pintar. Akong sayang sama kamu. Kamu mirip sekali dengan Akong,” ucap Ethan. Rufy memberikan jempol. “Iya, Akong juga Abah Rufy, ‘kan?” tanya Vinza. Rufy mengangguk. Anak itu terlihat senang bisa berbaring di samping kakeknya dan diberi rasa kasih sayang. Hal yang tak dulu dia dapatkan dari Rohanda. Pria itu sering menghardik setiap kali Rufy mendekat. Semua itu akibat rasa kecewa Rohanda akan putrinya. “Semarah apa pun seorang Ayah, dia tetap pria yang ingin anaknya mendapat yang terbaik,” ucap Ethan. “Aku juga ingin yang terbaik untuk Papa,” ucap David. Dengan manja dia berbaring di samping Ethan sambil memeluk Papanya. Rufy memukul lengan David. “Ni Akong Upi!” ucapnya kesal sambil melotot. “Akong ‘kan Papanya Ayah,” t
Mr. Hang menaikan ikatan dasinya. “Akan lebih baik anda bertanya pada Tuan Liu. Beliau belakangan ini sering mengunjungi rumah Lau. Mungkin beliau mau terbuka masalah ini.” David berdiri. “Tolong copykan file di atas mejaku. Aku akan ke ruangan Mr. Liu,” pesan David. Ia begitu tergesa-gesa meninggalkan ruangan. Ruangan Mr. Liu dan David ada di lorong yang sama. Tiba di depan ruangan pria itu, David berhenti sejenak akibat ada tamu di ruangan Mr. Liu. Pintu ruangan itu terbuka. Tak lama tamu keluar, seorang pria dengan jas cokelat tua. Melihat David, ia lekas menunduk. “Siapa dia, Oom?” tanya David. “Damier, kamu ke sini? Kapan datang?” tanya Mr. Liu. Sama sekali pria itu tak terkejut atau apa pun. “Aku pernah lihat dia di rumah Papa.”“Duduklah.” Mr. Liu menunjuk sofa di ruang kantornya. Di sana kini David duduk berhadapan dengan sahabat Papanya itu. “Aku dengar tentang masalah Zhou. Benar-benar, hanya kamu yang berani menyentuh dia di sini,” ucap Mr. Liu. Tak la sekretarisnya m
“Nyonya, Tuan Besar sudah selesai istirahat,” ucap pelayan di rumah Lau. “Napa cih? Olang dak omong,” protes Rufy yang kesal karena orang-orang di sini bicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti. “Mereka bisa ngomong, cuman kamu belum ngerti bahasanya. Nanti kita belajar, ya?” ajak Vinza. Rufy mengangguk. Dengan lembut, Vinza kecup kening Rufy. “Nak, Bunda mau ke Akong dulu, ya? Kamu main di sini.”“Iya.” Vinza lekas berdiri dan pergi ke kamar Ethan. Begitu membuka pintu, ia disambut senyuman Ethan. “Papa baik-baik saja?” tanya Vinza berusaha memeriksa keadaan Ethan. Dia yang pernah merawat seorang Nenek di Taiwan begitu telaten merawat mertuanya. Dari mulai memijiti hingga menyuapi. “Iya, aku senang sekali. Sejak dulu selalu ingin punya anak perempuan. Karena mereka bisa merawat dan menjagaku. Anak perempuan senang diajak bicara, bercanda dan berbagi,” ucap Ethan. “Aku juga anak perempuan Papa, ‘kan? Jangan sedih. Papa punya anak laki-laki dan anak perempuan yang akan jaga Papa
“Ini rooftop?” tanya Vinza. Karena apartemen David berada paling atas, apartemen itu memiliki sky terrace yang memiliki pemandangan 360 derajat. Bagian depan menghadap bukit penuh pepohonan, lalu kota dan teluk, sedang bagian belakang pemandangan bukit dengan mansion mahal berbaris. Vinza melihat ke sekitar teras. Ia melihat ada tangga lain dan turun melalui tangga itu. “Ini bak air panas?” tanya Vinza. “Jacuzzi,” ralat David. “Rufy bisa renang di sini nanti. Enggak ada kolam renangnya, ya?” “Ada di rumah Papa.”Wanita itu masih lincah menuruni tangga paling ujung dan menemukan teras lain yang memiliki alat baberque juga wastafel. “Wah, keren emang ini. Enggak salah harganya mahal,” pikir Vinza. Saat melirik ke kanan, ia melihat ada pintu. Dibuka pintu itu yang ternyata tersambung ke dapur. “Jadi jalan masuknya ada dua?” Bukannya menjawab pertanyaan Vinza, David malah menggendong istrinya. “David turunin!” pinta Vinza. “Enggak bisa. Aku mau liat kain laknat,” ucapnya. Sampai di
“Aku sebenarnya kurang nyaman kalau ada pelayan. Lebih enak begini, mereka datang hanya untuk beres-beres dan ngisi kulkas. Sisanya bisa sendiri. Lebih bebas,” jawab David. “Iya, tapi harus masak sendiri,” keluh Vinza. “Kayaknya dari dulu kamu paling males kalau disuruh masak.” Mereka tiba di dapur yang bernuansa kecokelatan. David langsung membuka kulkas. “Habis aku malas kalau masak, diprotes terus,” keluhnya. “Ya belajar, bukannya malah ogah masak,” timpal David. Vinza naikan Rufy ke atas kursi di meja makan di dapur. Hanya saja mejanya tak sebesar di ruang makan. Hanya meja bundar dari kayu dengan cat cokelat. “Aku masak, kok. Masak buat Nenek yang aku jaga selama jadi TKW. Cuman masalahnya cuman sayur saja,” jawab Vinza. “Ma iyoy,” timpal Rufy. “Kok kamu tahu, sih? Padahal Bunda belum pernah cerita, loh.” Vizna tampak kaget mendengar kalimat Rufy. “Bukannya sudah bisa ketebak? Kamu masakin dia telur lagi dan telur lagi,” ledek David sambil tertawa. Vinza menatapnya tajam
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu