Vinza masih bolak-balik berjalan di kamar. Sengaja ia gendong Rufy sambil menepuk punggung putranya agar lekas tidur. Untung Rufy hari ini sedang baiknya. Dia tertidur setelah salat Isya walau sempat mengacak-acak kamar. Vinza terlalu khawatir dengan keadaan David, karena itu ia butuh waktu berdua dengan Sang Suami. "Anak baik, bobo cepet ya? Kasih Bunda waktu sama Papa. Ternyata Upi cepet ngerti." Vinza bicara sendiri. Padahal Rufy jelas tidak akan menimpali. Tak lama David pulang. Ia membuka pintu kamar. Vinza berdiri menghadap pintu sambil tersenyum. Begitu David menutup pintu, wanita itu lekas berlari dan memeluk suaminya. “Semua akan baik-baik saja, Suamiku. Sayangku, Cintaku,” ucap Vinza. “Apaan sih kamu. Enggak biasanya. Mana yang tadi siang ngatain aku enggak lebih lucu dari idung kebo?” sindir David sambil menunjuk-nunjuk istrinya. “Gitu doang marah. Kan cuman bercanda.” Vinza melingkarkan lengan di leher David. “Kamu tahu siapa Kim Soo Hyun?” tanya Vinza dengan wajah pen
“Kamu yakin enggak akan jadi bayi?” tanya Vinza. “Kan sudah pakek kaos kaki,” timpal David. “Dulu juga pakek, tapi jadi Upi.”David nyengir. “Maaf, ya. Maaf banget nih. Dulu sempat aku buka. Soalnya enggak enak.” David yang masih menindih Vinza lekas bangkit dan duduk di samping istrinya. Jelas Vinza mengambil bantal lalu memukuli David. “Dasar berengsek! Sialan! Gara-gara kamu aku hamil sembilan bulan! Mana kamu kabur enggak tanggup jawab! Mama aku dihina! Enggak enak kata kamu, hah?” omel Vinza. David malah tertawa. Ia ambil bantal di tangan Vinza lalu memeluk istrinya. “Duh, Sayangku. Memang kamu enggak capek apa? Sudah tujuh ronde masih saja ada tenaga mukulin suami.”“Aku kesel!” keluh Vinza sambil mencubit gemas pipi David yang lumayan tembem seperti Rufy. “Iya, maaf. Kan sekarang enggak. Kasihan Rufy. Tahan dulu saja. Lagian kamu tuh, baru khawatir pas sudah beberapa kali keluar. Aneh banget! Harusnya tadi sebelum mulai, Rohaye!” “Ya ‘kan tadi keburu khilaf. Abis aku juga
“Ini bahaya! Kalau sampai dia tahu semuanya, kita bisa digugat bahkan harus mengganti rugi!” Martin bolak-balik di kantornya. Dia sudah semakin resah semakin hari berlalu. “Berapa kali aku bilang, harusnya kamu lenyapkan anak itu sejak dulu,’ saran Michael. Michael adalah direktur di perusahaan yang dipimpin Zhou. Dia memegang bisnis di bidang transportasi. Kendaraan yang diproduksi pabriknya sudah diekspor ke luar negeri, terutama negara berkembang. Tidak heran jika Michael memiliki koneksi di Indonesia. Hal itulah yang membuatnya tahu tempat yang cocok untuk menyembunyikan putra tunggal keluarga Lau. “Kamu tahu selama ini kita butuh anak itu untuk mengelabui Ethan.”“Nyatanya apa? Bukannya membuat pewaris palsu, anak yang asli malah pulang dengan sendirinya. Siapa sangka dia semakin hari malah semakin berbahaya.” Michael meremas kertas HVS kosong lalu ia lempar ke karpet. “Dan lihat apa yang dia lakukan pada putrimu. Lagipula kenapa Viane bisa sebodoh itu hingga memberi makan dir
Akhirnya mereka tiba di rumah Bu Ifa. David meminta penjaganya melakukan penyisiran agar tak ada yang mencelakai mereka. David turun dari mobil setelah yakin semua aman, pun dengan Vinza dan Rufy. David mengetuk rumah Bu Ifa. Tak lama pintu rumah itu terbuka. Ini hari libur, jadi Bu Ifa tak pergi ke sekolah. “David, ada apa kamu ke sini? Ibu bahkan belum beres-beres, kenapa enggak bilang?” tanya Bu Ifa yang tak curiga apa-apa. “Maaf, Bu. Aku ke sini pun dadakan dengan Vinza dan anakku,” jawab David. Bu Ifa mempersilakan mereka masuk. David mengangguk dan lekas masuk ke dalam rumah. Ia duduk di ruang tamu. “Ibu apa kabar?” tanya Vinza basa-basi. Dia tahu suaminya pasti akan langsung menuju ke permasalahan. Hal yang Vinza pikir kurang sopan. “Baik, Vin. Alhamdulillah kalau kamu sudah baikan sama David. Jadi Rufy punya ayah sekarang,” jawab Bu Ifa. “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kami sudah lumayan lama juga enggak ke sini. Terakhir kami buru-buru datang dan buru-buru pulang,” tambah Vinza
David harus menemukan takdirnya sendiri. Ia harus menghadapi kenyataan tentang hidupnya di masa lalu. Bu Ifa mengantar David menuju rumah sepupunya di Sindang Barang. Mereka menepuh perjalanan selama beberapa jam. Sedang Vinza menunggu di rumahnya di Cibeber. Ada banyak penjaga yang memastikan keamanan. Karena itu, David bisa pergi dengan tenang. Melewati beberapa kali kecamatan, sawah, kebun hingga hutan, akhirnya mereka tiba di daerah pesisir. Mobil David menepi tepat di depan sebuah rumah yang bagian depannya ada kolam ikan. Bu Ifa dan David turun lalu diikuti para penjaga. Rumah itu punya dua lantai dengan setengah dinding dihiasi keramik. Dan ada bunga mawar pagar tumbuh di depannya. “Ini rumahnya, Bu?” tanya David. “Iya, ini rumahnya Atit,” jawab Bu Ifa. Mereka berjalan di jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya kolam lalu tiba di depan teras. Bu Ifa membuka sepatu dan mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Tak ada yang membuka pintu dan Bu Ifa masih terus menge
“Pulanglah, Papa akan jelaskan. Termasuk soal Zhou.”“Papa tahu dia terlibat?”Ethan menarik napas. “Zhou itu adik ibumu, Damier.”“Tapi dia yang membuat hidupku menderita, Pa. Dia buat hidupku hancur! Dia buat kita terpisah! Kenapa, Pa? Kenapa Papa biarkan dia? Bahkan Papa akan menikahkanku dengan putrinya? Kenapa?” bentak David. Air matanya tak bisa ditahan untuk tidak mengalir. “Pulanglah.” Hanya itu jawaban yang bisa diberikan Ethan. David mematikan telpon. Ia usap air mata yang mengalir. “Dengar! Papa kamu bilang? Dia bilang kalau meminjam rahimku untuk mengandung kamu?” tanya Atit dengan nada sombong. Wajah David memerah. “Anak tidak tahu diri. Sudah kukandung dan aku lahirkan, sekarang malah mau masukan aku dalam penjara?”David tersenyum sinis. Dia melihat sekeliling ruangan di rumah itu yang terlihat mewah. “Ibu? Apa kamu pikir kamu itu seorang ibu?” tanya David. Dia mendekati Atit. “Sejak kapan orang yang mengontrak bisa mengklaim jika rumah itu adalah rumahnya? Apa yang
Mendengarnya, Bu Hamid memberikan jempol pada Vinza. “Ibu-ibu, kalau mau belanja ya belanja saja. Ngobrolnya nanti. Kasian yang lain sudah nunggu lama,” saran Bu Hamid. Satu per satu ibu-ibu itu membayar belanjaan mereka. Sambil mendelik, mereka tinggalkan warung Bu Hamid. “Makin lama mereka makin sering ngurusin hidup orang,” komentar Bu Hamid.“Mereka yang nyumpahin hidupku belangsak dulu. Pasti mereka kecewa banget doa mereka tak terkabul,” ucap Vinza.“Mau gimana lagi, Vin. Mungkin cuman itu hiburan buat mereka. Apalagi kemarin sempat gagal panen,” cerita Bu Hamid.“Kok bisa?” “Itu, Si Hadi sengaja cemarin air pakek cairan kimia. Jadinya padi pada rusak semua.”“Ya Allah, itu laki-laki enggak tobat juga. Maunya apa dia?” “Apalagi. Supaya petani ngerugi terus minjem uang sama dia yang bunganya besar. Apalagi sekarang ke bank susah ajuinnya lama.”“Jahat emang dia, tuh! Jangan-jangan dulu juga, orang tuaku gagal panen sampai ngehutang ke dia kayak gini!” komentar Vinza.“Bisa jadi
Tinggal di salah satu kota kecil di Taiwan, Vinza sama sekali tak pernah membayangkan jika ada tempat seperti Hongkong di dunia ini. Tiba di bandara dengan desain ruangan serba putih, Vinza berjalan dituntun David yang sedang menggendong Rufy. Bandara itu ramai dengan orang-orang berjalan ke berbagai arah. Banyak dari mereka memiliki wajah oriental dengan kulit sangat putih. Mereka menuruni eskalator dan berjalan menuju pintu keluar. Sudah ada mobil yang menjemput dan penjaga di sana. Salah satu penjaga membuka pintu mobil sedan hitam di mana David dan keluarganya masuk di jok belakang. Setelah semua keamanan siap, mobil mulai meninggalkannya bandara dan di sini Vinza melihat pemandangan seperti bukan di dunia manusia. Gedung-gedung tinggi begitu mendominasi dengan jalanan lebar dan pemandangan ke laut. Inilah kota yang konon memiliki biaya hidup termahal di dunia. Tempat di mana tujuh puluh tujuh juta orang hidup dalam daratan yang kurang lebih seluas seribu kilo meter persegi. Tid
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu