Akhirnya mereka tiba di rumah Bu Ifa. David meminta penjaganya melakukan penyisiran agar tak ada yang mencelakai mereka. David turun dari mobil setelah yakin semua aman, pun dengan Vinza dan Rufy. David mengetuk rumah Bu Ifa. Tak lama pintu rumah itu terbuka. Ini hari libur, jadi Bu Ifa tak pergi ke sekolah. “David, ada apa kamu ke sini? Ibu bahkan belum beres-beres, kenapa enggak bilang?” tanya Bu Ifa yang tak curiga apa-apa. “Maaf, Bu. Aku ke sini pun dadakan dengan Vinza dan anakku,” jawab David. Bu Ifa mempersilakan mereka masuk. David mengangguk dan lekas masuk ke dalam rumah. Ia duduk di ruang tamu. “Ibu apa kabar?” tanya Vinza basa-basi. Dia tahu suaminya pasti akan langsung menuju ke permasalahan. Hal yang Vinza pikir kurang sopan. “Baik, Vin. Alhamdulillah kalau kamu sudah baikan sama David. Jadi Rufy punya ayah sekarang,” jawab Bu Ifa. “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kami sudah lumayan lama juga enggak ke sini. Terakhir kami buru-buru datang dan buru-buru pulang,” tambah Vinza
David harus menemukan takdirnya sendiri. Ia harus menghadapi kenyataan tentang hidupnya di masa lalu. Bu Ifa mengantar David menuju rumah sepupunya di Sindang Barang. Mereka menepuh perjalanan selama beberapa jam. Sedang Vinza menunggu di rumahnya di Cibeber. Ada banyak penjaga yang memastikan keamanan. Karena itu, David bisa pergi dengan tenang. Melewati beberapa kali kecamatan, sawah, kebun hingga hutan, akhirnya mereka tiba di daerah pesisir. Mobil David menepi tepat di depan sebuah rumah yang bagian depannya ada kolam ikan. Bu Ifa dan David turun lalu diikuti para penjaga. Rumah itu punya dua lantai dengan setengah dinding dihiasi keramik. Dan ada bunga mawar pagar tumbuh di depannya. “Ini rumahnya, Bu?” tanya David. “Iya, ini rumahnya Atit,” jawab Bu Ifa. Mereka berjalan di jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya kolam lalu tiba di depan teras. Bu Ifa membuka sepatu dan mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Tak ada yang membuka pintu dan Bu Ifa masih terus menge
“Pulanglah, Papa akan jelaskan. Termasuk soal Zhou.”“Papa tahu dia terlibat?”Ethan menarik napas. “Zhou itu adik ibumu, Damier.”“Tapi dia yang membuat hidupku menderita, Pa. Dia buat hidupku hancur! Dia buat kita terpisah! Kenapa, Pa? Kenapa Papa biarkan dia? Bahkan Papa akan menikahkanku dengan putrinya? Kenapa?” bentak David. Air matanya tak bisa ditahan untuk tidak mengalir. “Pulanglah.” Hanya itu jawaban yang bisa diberikan Ethan. David mematikan telpon. Ia usap air mata yang mengalir. “Dengar! Papa kamu bilang? Dia bilang kalau meminjam rahimku untuk mengandung kamu?” tanya Atit dengan nada sombong. Wajah David memerah. “Anak tidak tahu diri. Sudah kukandung dan aku lahirkan, sekarang malah mau masukan aku dalam penjara?”David tersenyum sinis. Dia melihat sekeliling ruangan di rumah itu yang terlihat mewah. “Ibu? Apa kamu pikir kamu itu seorang ibu?” tanya David. Dia mendekati Atit. “Sejak kapan orang yang mengontrak bisa mengklaim jika rumah itu adalah rumahnya? Apa yang
Mendengarnya, Bu Hamid memberikan jempol pada Vinza. “Ibu-ibu, kalau mau belanja ya belanja saja. Ngobrolnya nanti. Kasian yang lain sudah nunggu lama,” saran Bu Hamid. Satu per satu ibu-ibu itu membayar belanjaan mereka. Sambil mendelik, mereka tinggalkan warung Bu Hamid. “Makin lama mereka makin sering ngurusin hidup orang,” komentar Bu Hamid.“Mereka yang nyumpahin hidupku belangsak dulu. Pasti mereka kecewa banget doa mereka tak terkabul,” ucap Vinza.“Mau gimana lagi, Vin. Mungkin cuman itu hiburan buat mereka. Apalagi kemarin sempat gagal panen,” cerita Bu Hamid.“Kok bisa?” “Itu, Si Hadi sengaja cemarin air pakek cairan kimia. Jadinya padi pada rusak semua.”“Ya Allah, itu laki-laki enggak tobat juga. Maunya apa dia?” “Apalagi. Supaya petani ngerugi terus minjem uang sama dia yang bunganya besar. Apalagi sekarang ke bank susah ajuinnya lama.”“Jahat emang dia, tuh! Jangan-jangan dulu juga, orang tuaku gagal panen sampai ngehutang ke dia kayak gini!” komentar Vinza.“Bisa jadi
Tinggal di salah satu kota kecil di Taiwan, Vinza sama sekali tak pernah membayangkan jika ada tempat seperti Hongkong di dunia ini. Tiba di bandara dengan desain ruangan serba putih, Vinza berjalan dituntun David yang sedang menggendong Rufy. Bandara itu ramai dengan orang-orang berjalan ke berbagai arah. Banyak dari mereka memiliki wajah oriental dengan kulit sangat putih. Mereka menuruni eskalator dan berjalan menuju pintu keluar. Sudah ada mobil yang menjemput dan penjaga di sana. Salah satu penjaga membuka pintu mobil sedan hitam di mana David dan keluarganya masuk di jok belakang. Setelah semua keamanan siap, mobil mulai meninggalkannya bandara dan di sini Vinza melihat pemandangan seperti bukan di dunia manusia. Gedung-gedung tinggi begitu mendominasi dengan jalanan lebar dan pemandangan ke laut. Inilah kota yang konon memiliki biaya hidup termahal di dunia. Tempat di mana tujuh puluh tujuh juta orang hidup dalam daratan yang kurang lebih seluas seribu kilo meter persegi. Tid
Vinza masih mengikuti dari belakang. David membuka pintu salah satu kamar tidur. Ruangan itu sudah didesain layaknya kamar anak-anak. “Ini harusnya kamar tamu. Cuman karena jendelanya tinggi, aku mau pakai buat kamar Rufy. Kalau jendelanya pendek, takut Rufy manjat,” jelas David sambil menunjukkan rangka jendela.“Makanya kalau punya bocah, mendingan jangan tinggal di tempat tinggi-tinggi ginian. Lagian aku takut, loh!” protes Vinza sambil bergidik ngeri.“Kalau kamu punya uang buat beli rumah baru silakan,” tantang David.“Aku benci kamu! Awas enggak akan aku kasih jatah!” ancam Vinza sambil berjalan ke luar kamar. Ia melangkah dan duduk di sofa ruang tamu. Matanya melirik ke sekitar ruangan. Ada gorden besar di depannya. Iseng, Vinza berdiri dan membuka gorden itu. Matanya terbelalak. “Wah, gila! Laut!” serunya. Barisan gedung di Hongkong dengan lampu-lampunya yang terang kemudian hamparan air teluk yang terlihat seperti permata hitam di malam hari. Tak lupa angin yang meniup pepoh
Tak lama David masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon yang terbuat dari kaca. Gordennya tertutup sendiri ketika David menekan tombol di dinding. Vinza menyipitkan mata. “Buat apa tadi aku narik gorden berat itu kalau bisa ketutup sendiri. Sial!” pikirnya. David naik ke atas tempat tidur. Ia sempat melirik ke arah Vinza. “Kenapa belum tidur? Enggak capek?” “Capek, sih. Cuman khawatir sama kamu. Ada apa, sih? Enggak mau cerita?” tanya Vinza. “Biasa. Kamu tahu sendiri aku mau laporkan kasus penculikan ke kepolisian Hongkong. Tapi kayaknya memang agak sulit karena Martin Zhou salah satu orang berpengaruh. Cuman, Papaku lebih berpengaruh, sih. Aku mau minta Papaku yang mengajukan gugatan.”“Papa nolak?” tanya Vinza. “Aku belum bilang. Besok saja kita ke rumah Papa. Sekalian aku mau nengok.”***Vinza bangun karena alarm. Dia turun dari tempat tidur dan lekas mandi. Selesai berpakaian, Vinza bangunkan David. “Pa, mau salat enggak? Nanti kesiangan.”David membuka matanya perlahan.
“Upi tuh Abah dak cuka. Abah malah-malah Upi,” cerita Rufy. David harus menerjemahkan kalimat Rufy agar Ethan mengerti. “Kenapa Akong enggak suka?” tanya Ethan. “Upi nak halam. Dak Ayahan. Ni Ayah, ya?” tunjuk Rufy pada David. “Kamu anak yang tampan, baik dan pintar. Akong sayang sama kamu. Kamu mirip sekali dengan Akong,” ucap Ethan. Rufy memberikan jempol. “Iya, Akong juga Abah Rufy, ‘kan?” tanya Vinza. Rufy mengangguk. Anak itu terlihat senang bisa berbaring di samping kakeknya dan diberi rasa kasih sayang. Hal yang tak dulu dia dapatkan dari Rohanda. Pria itu sering menghardik setiap kali Rufy mendekat. Semua itu akibat rasa kecewa Rohanda akan putrinya. “Semarah apa pun seorang Ayah, dia tetap pria yang ingin anaknya mendapat yang terbaik,” ucap Ethan. “Aku juga ingin yang terbaik untuk Papa,” ucap David. Dengan manja dia berbaring di samping Ethan sambil memeluk Papanya. Rufy memukul lengan David. “Ni Akong Upi!” ucapnya kesal sambil melotot. “Akong ‘kan Papanya Ayah,” t