Apartemen yang terletak di lantai 10 itu terlihat sangat mewah di mata Luna. Ruang tamu yang luas dan megah, dengan background pemandangan kota yang dapat dilihat melalui dinding kaca dari lantai hingga langit-langit, terlihat sangat menakjubkan. Cahaya lampu-lampu kota yang mulai berpendar menyatu dengan langit senja menciptakan suasana yang memukau. Rayyanza tersenyum, menikmati reaksi Luna yang terkesima dengan keindahan. "Apa kamu menyukainya?" tanyanya. Luna mengangguk. Raut kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Ya, Rayyan. Aku sangat menyukainya!" "Tapi, itu belum semuanya. Kamu harus melihat kamar tidur utama," katanya, kemudian mengarahkan Luna masuk ke dalam kamar tidurnya. Luna melangkah ke dalam kamar dengan mata terbelalak. "Waw, ini sangat luar biasa, Rayyan. Ini terlalu mewah untukku!" katanya, takjub. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang ditata dengan sempurna.Sebuah ranjang ala hotel bintang lima yang dilengkapi dengan meja rias minimalis namun mewah. Juga, te
Satu jam telah berlalu, mobil yang di kemudikan Rayyanza telah sampai di area parkir rumah sakit khusus ibu dan anak. Luna masih tertidur dengan pulas. Rayyanza melepas sabuk pengaman miliknya.Pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga Luna. "Sayang ... kita sudah sampai," ucapnya, berbisik lembut. Luna menggeliat manja, membalikkan wajahnya menghadap Rayyanza. Pria itu tersenyum kala melihat Luna tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat sangat imut dan menggemaskan. Rayyanza mendekatkan bibirnya pada kening Luna, mengecupnya dengan lembut. "I love you, Luna." Luna, terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka secara perlahan setelah merasakan sedikit lembab di keningnya. Pria tampan bersetelan jas itu langsung mendaratkan bibirnya di bibir Luna. Tangannya melingkar di pinggang, dan indera pengcapnya bermain liar di mulut Luna. Masih di antara sadar dan tidak. Luna terdiam, tak bereaksi apapun. Sedangkan Rayyanza terus melancarkan aksinya. Setelah beberapa saat, Luna tersadar, ia
Masih berada di sebuah kafe. Di ujung ruangan, Luna dan Rayyanza duduk saling berhadapan. Aroma rempah-rempah yang menguar di udara membuat perutnya semakin lapar. Luna menghirup aroma dari uap nasi goreng yang mengepul panas di hadapannya. Kemumdian, memakannya dengan perlahan namun lahap. "Tambah lagi?" Rayyanza menawari Luna saat melihat piringnya telah kosong. Luna menggeleng. "Tidak, Rayyan. Terima kasih." Pria tampan di hadapan Luna itu terus memandanginya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang bertahun-tahun ia nantikan. Makan berdua bersama wanita pujaan hatinya walau bukan di tempat yang mewah. Luna menjadi salah tingkah. "Rayyan, aku merasa tak nyaman jika terus dipandangi seperti itu," cetus Luna. Rayyanza tersenyum dan langsung mengalihkan pandang. Mulai saat ini, ia tidak ingin membuat Luna merasa tidak nyaman, sekalipun itu hal kecil. Sebaliknya, ia akan berusaha membuat Luna merasa nyaman dengan kehadirannya.Setelah makanan mereka habis, wanita berambut p
Amanda melangkah mendekati Rayyanza. Melirik kantong plastik yang ada di dalam genggaman tangannya. "Apa itu?" "Oh ..., euh ..., ini-." Belum sempat Rayyanza menjawab, Amanda langsung merebut bungkusan plastik tersebut. Wanita yang berstatus sebagai istri Rayyanza itu membukanya. "Obat-obatan siapa ini?" Luna yang sedari tadi bengong langsung menjawabnya. "Aku, Manda. Itu vitamin untuk kehamilanku. Tadi Rayyanza mengantarku ke rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku karena tadi sudah tidak ada bus yang lewat." "Oh ... kalian mampir ke rumah sakit dulu. Aku kira suamiku sudah berada di rumah sedari tadi," tutur Amanda. Luna mengerutkan dahi. "Hah? Aku tidak mengerti maksudmu, Manda." "Satu jam yang lalu aku-" Baru saja Amanda akan menjelaskan, Luna langsung memangkasnya. "Bagaimana kalau kita bicara di dalam saja," ajak Luna masuk ke dalam rumah. Amanda mengangguk. "Baiklah."Mereka kemudian masuk ke dalam rumah Luna. Nikita segera beranjak dari duduknya setelah mendengar su
Pagi itu, Matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur. Udara terasa sangat dingin, Luna membuka matanya dengan enggan, menarik selimut yang menutupi setengah tubuhnya, kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Matanya membelalak, waktu telah menunjukkan pukul enam pagi. Ia beranjak dan segera bersiap untuk pergi bekerja. "Kak, aku duluan ya!" seru Nikita dari balik pintu."Oke, hati-hati, Nik!" jawab Luna seraya sibuk membubuhkan bedak di wajah cantiknya. Setelah selesai, Luna keluar dari rumah berjalan dengan tergesa menuju halte bus. Ia menunggu bus dengan sabar, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran akan datang terlambat seperti kemarin. Beruntung, kali ini bus yang di tunggu pun tiba dengan cepat. Luna segera naik dan mencari tempat duduk yang nyaman. Setelah hampir satu jam bus melaju, Luna mulai terlihat gelisah. Ia yakin kali ini ia akan terlambat lagi seperti kemarin. Namun, tiba-tiba saja ia ingat dengan perkataan Rayy
Pria berpostur tinggi tegap itu hanya diam menunduk. Ia terlambat menyadari jika keputusan yang ia ambil pada tiga tahun yang lalu itu adalah keputusan yang keliru. Rasa sakit atas penolakan Luna yang bertubi-tubi tak hanya membawanya jauh hingga ke Negeri Paman Sam, tapi juga berakhir pada keputusannya untuk menikahi Amanda yang justru membuat keadaan semakin pelik. "Dengar Rayyan ..., sampai kapanpun, aku tidak mungkin menerima cintamu. Aku dan kamu sangat jauh berbeda. Kita tidak sederajat. Keluargamu pasti tidak akan menerima kehadiranku, bahkan mungkin akan menentangnya. Dan yang paling sulit saat ini, kamu adalah suami sahabatku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya!" terang Luna dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi, Luna. Aku sudah berusaha untuk melupakanmu, merelakanmu. Tapi ternyata, aku tidak mampu membunuh perasaan ini. Aku sangat mencintaimu lebih dari apapun, Luna.""Maaf, Rayyan. Jika kamu terus bersikap seperti ini, sebaiknya aku berhenti saja dari pekerjaan ini, dan a
Gadis berparas cantik itu melepaskan genggaman tangannya dari gagang koper. Ia segera berlindung, melingkarkan lengannya di lengan Luna. "Kak Rayyan?" panggilnya dengan ragu. Pria yang duduk membelakangi itu menghela napas, menoleh dengan perlahan ke arah Nikita dan Luna. "Rupanya kalian sudah datang." Luna berdiri mematung. Mengetahui pria itu adalah Rayyanza, Nikita langsung melepaskan tangannya dari Luna dan berjalan mendekati Rayyanza. "Loh ... kak Rayyan menunggu kami?"Rayyanza melempar senyum. "Ya, aku menunggu kalian. Bagaimana, apakah kamu menyukainya?" tanyanya. Nikita mengangguk cepat, lalu mengedarkan pandang. "Bukan lagi menyukainya, tapi ini terlalu mewah untuk kami," katanya, dengan mata yang berbinar-binar. "Aku senang mendengarnya. Semoga kalian nyaman tinggal di sini." Pria bertubuh tinggi tegap itu kemudian menoleh pada Luna. Namun Luna hanya berdiri, diam mematung di tempatnya semula. Matanya saling bertautan dengan tatapan Rayyanza. Keheningan yang terjadi s
"Mengapa tidak dijawab? Siapa yang memanggilmu?" Luna beringsut mendekat, menatap layar ponsel di genggaman tangan Rayyanza. "Manda?!" Keduanya saling pandang dan mendadak kebingungan. Bagaimana tidak, Amanda menghubunginya dengan melakukan panggilan video. Jika Rayyanza menerimanya dan terlihat pemandangan apartemen, tentu saja Amanda akan menaruh curiga padanya. "Pergilah Rayyan. Jawab panggilan dari Manda. Setelah itu, kamu boleh kembali ke sini." Rayyanza mengangguk. "Baiklah, aku pergi sebentar. Setelah itu aku akan kembali."Dering di ponselnya sudah berhenti. Namun, Luna tetap menyuruhnya untuk pergi dan segera menghubungi kembali Amanda. Ia tidak ingin sahabatnya itu merasa khawatir dan curiga kepada suaminya. Pria tampan itu beranjak dari duduknya, berjalan keluar dari apartemen, mencari tempat untuk melakukan panggilan video. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam mobil dan berpura-pura sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya. Luna menghela napas. Serumit ini kah
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka