Kendaraan mewah milik Rayyanza, kini telah tiba di depan rumah orang tua Amanda. Seorang sekuriti berlari membuka pintu pagar tak lama setelah Rayyanza membunyikan klakson. Mobil berwarna merah itu kemudian melaju menuju carport. Luna segera turun dan berjalan menuju pintu rumah. Amanda menyambutnya di ambang pintu dengan sangat antusias. " Hai, Luna ...! akhirnya kamu datang juga kemari," sapa Amanda. Rayyanza yang mengikuti berjalan di belakang Luna langsung duduk di atas sofa ruang tamu. "Mana Mamamu?" tanya Luna. "Mama ada di kamarnya. Ayo, ikut aku!" ajak Amanda. Luna melangkahkan kaki menuju kamar Rima, menyusuri ruangan demi ruangan yang terlihat sangat eksklusif. Sedangkan, Rayyanza beranjak dari sofa berjalan menuju taman belakang. Amanda membuka pintu kamar Rima. "Hai, Luna ...," sapa Rima yang tengah terbaring di atas ranjang. "Hai, Tante. Bagaimana keadaan Tante? Mengapa bisa sampai jatuh di toilet, membuat khawatir saja!" "Tante tiba-tiba merasa pusing lalu terjatu
"Aku-, eum ...." Luna gagap seketika. Pandangannya mengarah pada pria yang berdiri di balik jendela kamar Rima yang terbuka. Pria tersebut mentap ke arahnya. Amanda menoleh pada objek yang di pandang oleh Luna. "Rayyan?" cetus Amanda. "Sudah, tidak usah pedulikan dia. Jarak dengannya cukup jauh, jadi pasti dia tidak akan mendengarnya!" Luna lekas merubah arah pandangnya. "Sebenarnya, aku sedang hamil tujuh bulan," terangnya. Kata-katanya terhenti, ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Amanda terus menatapnya dengan penuh telisik. "Ya, aku tau. Dokter di UGD yang memberitahuku. Tapi, bukan itu yang aku tanyakan. Melainkan, siapa ayah dari bayi yang sedang kamu kandung?" Luna menciptakan kebohongan agar keadaan tidak menjadi kacau. "Sebenarnya, aku sempat dekat dengan seorang pria. Tapi, aku tidak pernah bercerita padamu. Sekarang, pria itu sudah pergi ke jepang dan tidak ada kabar." Amanda melotot. "Apa? Tidak ada kabar? Apa maksudmu? Dia lari dari tanggung jawab?!" teria
Masih berada di taman belakang yang terdapat kolam renang dengan pohon rindang, juga terdengar suara gemericik air dari kolam ikan koi yang berkonsep natural membuat suasana terasa menenangkan. Luna, Amanda, dan Rayyanza duduk berbincang dengan santai. "Kira-kira, posisi apa yang sedang kamu butuhkan di perusahaan?" tanya Amanda. Pria tampan itu duduk dengan kaki bertumpu pada kaki lainnya, lengannya terentang di sandaran kursi. Menatap Luna dengan perasaan puas. "Kebetulan, asisten pribadiku akan resign bulan ini. Ia akan ikut dengan suaminya tinggal di German. Bagaimana jika kamu saja yang menggantikannya?" terang Rayyanza, menatap Luna. Luna yang sedari tadi menundukan wajah langsung menoleh pada Rayyanza. "Asisten pribadi? Tapi, aku belum mempunyai pengalaman di bidang itu," keluhnya. "Aku akan meminta asisten pribadiku yang sekarang untuk mengajarimu sebelum ia resign," tegas Rayyanza. Luna kembali menunduk, termenung beberapa saat. Sebenarnya, ia merasa dilema jika harus be
Sore itu, matahari mulai merosot di balik cakrawala. Langit berubah menjadi biru tua, lalu hitam pekat. Perlahan, bulan muncul dengan anggunnya, disusul oleh bintang yang tampak malu-malu. Lampu jalan mulai menyala satu per satu, menggantikan cahaya alami. Gemerlap lampu kota menciptakan pemandangan tersendiri, bagai ribuan kunang-kunang yang menari indah di malam hari. Mobil Amanda menerobos kemacetan kota Jakarta. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan, menceritakan tentang hari-hari Luna selama ia menghilang dari hidup Amanda. Ia juga bercerita tentang temannya yang bernama Windy, yang tega menusuknya dari bekalang."Kurang ajar sekali dia?! Perusahaan yang begitu bodoh, melepas berlian dan mempertahankan batu kali," celetuk Amanda seraya terkekeh. Luna mengadu. "Aku sama sekali tak menyangka ia akan berbuat seperti itu. Tapi tidak apa, aku percaya semua yang terjadi adalah yang terbaik.""Ya! Jika kamu tidak keluar dari perusahaan itu, mungkin aku tidak akan menemuka
Nikita mendadak gugup. "Ma-maksudku, bagaimana jika nanti Kak Luna kelelahan di jalan, karena jarak dari sini ke kantor Kak Rayyan cukup jauh. Dua kali lipat dari jarak tempat tinggal kami yang dulu." ucapnya terbata-bata. Amanda mengerutkan dahi. Ada benarnya juga perkataan Nikita. Pasalnya, Luna memang memilih tempat tinggal yang tidak terlewati oleh Rayyanza jika pergi ke kantor. Alhasil, jarak tempuh menjadi semakin jauh. "Tidak apa-apa, aku kuat, kok!" sanggah Luna. Nikita tersenyum tipis. "Oh, ya. Aku lupa kalau Kakakku ini adalah strong woman," katanya, mencoba mencairkan suasana. Sebelum berpamitan pulang, Amanda memegang gelas berisi teh manis hangat kemudian menyeruputnya dengan pelan. "Ahh ... enak sekali," ucapnya. "Ayo, Kak. Habiskan minumnya," sahut Nikita. Amanda beranjak dari duduknya. "Baiklah, aku pamit ya. Jangan Lupa, besok jam delapan pagi kamu harus sudah berada di kantor. Oke?" peringat Amanda. Luna mengangguk penuh semangat. "Baik, Manda!" Sahabat Luna
Ingatan itu menimbulkan dilema yang berat di hatinya. Anak yang dikandungnya pasti akan membutuhkan sosok ayah. Namun, bagaimana mungkin ia berbagi suami dengan sahabatnya sendiri. Luna terjebak dalam renungan. Memikirkan bagaimana masa depan akan berjalan. Ia menyadari bahwa keputusan apapun yang diambilnya akan membawa dampak besar, baik bagi dirinya maupun bagi orang-orang di sekelilingnya. Malam itu, akhirnya rasa lelah membawanya ke dalam lelap. Ia tertidur dalam keheningan malam.Pagi hari, sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah jendela, diiringi bunyi jam weker yang memecah keheningan. Luna membuka matanya secara perlahan, kemudian duduk di tepian ranjang. Perutnya yang kian membesar, mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan penuh semangat, ia mulai bersiap untuk bekerja. Beranjak dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Nikita sudah terlihat rapih dengan seragam sekolahnya. Rupanya, ia bangun lebih awal dan sudah menyiapkan sarapan untuk Luna
"Maaf, Pak Rayyan. Wanita ini mengaku sebagai karyawan baru. Ia seenaknya saja menerobos masuk tanpa memperlihatkan ID Cardnya. Kemungkinan, dia adalah penyusup!" terang sekuriti tersebut. Wajah Rayyanza langsung mengeras. "'Apa kamu bilang? Penyusup?! sekuriti itu mengangguk. "Betul, Pak.""Kamu tau dia itu siapa, hah?" tanyanya dengan wajah memerah menahan marah. "Dia adalah-." Rayyanza menghentikan kata-katanya lalu menoleh ke arah Luna. "Wanita yang sangat aku cintai" sambungnya dalam hati. Dari nada bicaranya, ia mengetahui bahwa sang CEO itu marah. Sekuriti langsung menundukkan wajah, tak berani menatap Rayyanza. "Maaf, Pak jika saya salah." "Ayo, masuk!" titah Rayyanza pada Luna. Sebenarnya, Rayyanza ingin sekali memarahi bahkan memecat sekuriti itu karena sudah memperlakukan Luna dengan kasar. Namun, sebagai CEO, tentu saja ia harus bersikap bijaksana. Ia tidak bisa seenaknya memecat sekuriti tersebut karena telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Hanya saja, itu men
Masih di dalam ruang khusus personal assistant yang tempatnya bersebelahan dengan ruangan Rayyanza. Sedari tadi, Luna sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Dessy.Tok. Tok. Tok.Suara pintu ruangan di ketuk oleh seseorang dari luar. Dessy beranjak dari duduk lalu membukanya. "Pak Rayyanza?" Wanita cantik itu beringsut mundur, merasa kaget, karena selama dirinya bekerja di sana lebih dari tiga tahun, Bosnya itu tidak pernah sekali pun masuk ke dalam ruangannya. "Eung ... a-ada yang bisa saya bantu, Pak?" gagap Dessy. Rayyanza tak menjawab. Ia mengedarkan pandang, menatap wanita yang ada di dalam ruangan. Wanita tersebut terlihat fokus menatap layar komputer. Jari-jemarinya sibuk menari di atas keyboard. Pria yang mengenakan jas silver tersebut melangkah masuk mendekati Luna. Ia berdehem pelan untuk menunjukan keberadaanya di sana. Luna menoleh, menatap Rayyanza dengan bingung. "Ada apa?" tanyanya dengan ketus. Dessy masih berdiri di ambang pintu, terpaku melihat Rayyanza yang
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka