Sinar matahari pagi menyusup melalui celah tirai. Luna membuka matanya dengan perlahan. Menikmati momen langka saat ia bisa tidur lebih lama karena hari ini adalah akhir pekan, dan ia tidak perlu pergi bekerja. Setelah menghabiskan beberapa menit menikmati ketenangan pagi, Luna bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar dan membuka kotak kecil berwarna merah muda yang terletak di atasnya. Kotak tabungan itu sudah lama menjadi tempat ia menyimpan uang untuk keperluan mendesak.Dengan hati-hati, Luna mengeluarkan uang dari dalam kotak dan mulai menghitungnya. Jemarinya yang ramping bergerak cepat, menumpuk lembaran uang dengan cermat. "Ternyata lumayan banyak. Ada berapa ini?" gumamnya pada diri sendiri.Ketika semua uang sudah dihitung, Luna menghela napas panjang. Uang yang ada di kotak tersebut cukup untuk membeli beberapa helai pakaian untuk menutupi kehamilannya yang mulai terlihat membesar.Ia berdiri sambil menatap cermin. "Aku harus menyembunyika
Ditengah suasana rumah yang terlihat tenang, datang seorang pria masuk ke teras rumah Luna. Ia menenteng bungkusan besar yang berisi bahan makanan pokok seperti telur, gula, minyak dan karung beras. Pria tak dikenal itu mengetuk pintu. "Permisi ...." ucapnya dengan lantang. Gadis yang tengah bermain ponsel sembari merebahkan tubuhnya itu terkesiap. Ia segera mengintip di balik jendela. Walau tak mengenalinya, Nikita membukakan pintu lalu bertanya, "Ya, Pak. Anda mencari siapa?" Pria paruh baya itu melempar senyum. "Saya ingin mengantarkan ini," ucapnya seraya meletakkan bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari di hadapan Nikita. Nikita melihat barang yang di letakkan di hadapannya dengan raut bingung. "Sebentar, saya panggil kakak saya dulu," katanya, lalu bergegas menuju kamar Luna. "Kak, ada pria di depan yang mengantarkan beras dan kebutuhan pokok."Luna keluar dari kamarnya dengan wajah heran. "Beras dan kebutuhan pokok? Tapi aku tidak memesan apa-apa!"Mereka kembali ke pintu de
Luna tengah duduk santai di ruang tamu. Ketika ia melihat Nikita membuka bungkusan snack yang sudah beberapa hari berada di atas meja. Dahinya langsung mengernyit."Apa yang kamu lakukan, Nik?" tanya Luna protes."Makanan ini sudah berhari-hari berada di sini tapi aman-aman saja. Sebaiknya kita memakannya," jawab Nikita tanpa ragu, tangannya sibuk merobek plastik pembungkus snack.Luna menggelengkan kepala, menatap sang adik dengan serius. "Jangan, Nik! Kita kan tidak tahu siapa yang mengirimnya.""Tidak akan ada apa-apa. Lagipula, makanan ini sudah ada di sini selama beberapa hari dan tidak ada tanda-tanda buruk. Aku yakin ini aman."Melihat Luna masih ragu, Nikita mulai membujuk dengan lebih lembut. "Ayo, Kak. Makanan ini bisa jadi rezeki yang tidak boleh kita tolak. Kakak kan sedang hamil, pasti Kakak membutuhkan banyak nutrisi."Wanita berambut panjang itu menatap Nikita dengan kebingungan. "Tunggu, tunggu. Bukankah kamu yang sebelumnya melarang aku untuk memakan makanan ini, tap
Masih berada di dalam ruangan yang tidak terlalu luas, dengan tembok yang terlihat sedikit usang dan pudar, Rayyanza menatap Luna yang diam membatu selama beberapa saat. Pria tampan itu melayangkan tatapan penuh intimidasi. Meminta penjelasan atas kebohongan yang Luna ciptakan. "Mengapa kamu diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku, hah? Rayyanza tersenyum sinis. Luna menautkan kedua alisnya. Jarinya meremas dan menarik-narik ujung piyama yang ia kenakan. Pikirannya seolah buntu, tak dapat menjawab pertanyaan dari Rayyanza. "Sudahlah Rayyan, tidak usah membahas hal yang tidak perlu kita bahas. Bukankah kamu kesini hanya untuk mengambil jas milikmu! Sekarang jas itu sudah ada. Kamu bisa segera pergi dari rumahku!" ucapnya dengan ketus. "Tidak, Luna! Jawab pertanyaanku! Ayo, jawab!" desak Rayyanza dengan nada meninggi. Luna menundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia berani menatap Rayyanza dengan tatapan tajam. "Kamu pikir, istrimu itu mengetahui semua tentangku, hah? Tentu saja
Wanita yang mengenakan kemeja putih longgar itu melangkah kembali menuju meja kerjanya dengan penuh semangat. Seolah ada energi baru yang mengalir di dalam dirinya. Raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Sesampainya di sana, ia kembali duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Namun, Windy yang tengah sibuk dengan dokumen di tangannya tiba-tiba melirik ke arah Luna. Ia merasa penasaran mengapa Merry memanggilnya ke ruangannya. Windy meletakkan pena di atas meja lalu mendekatkan tubuhnya pada Luna. "Hei ... ada apa Bu Merry memanggilmu?" bisiknya. "Ssssttt .... Tapi kamu jangan berkata pada siapapun sebelum Bu Merry yang mengumumkannya secara langsung, ya!" Kedua wanita itu berbincang sambil berbisik pelan. Windy mengangguk penuh antusias. "Iya. Memangnya kenapa? Apa katanya?!" "Bu Merry baru saja memberitahukanku bahwa aku dipromosikan menjadi manager di kantor cabang baru," jawab Luna dengan mata yang berbinar-binar. Mendengar perkataan Luna, Windy
Langakah kaki kedua wanita cantik itu terhenti di depan rumah bercat dinding kuning cerah. Rumah yang tampak sederhana namun terlihat kokoh dan nyaman. Tok. Tok. Tok. Luna mengetuk pintu rumah tersebut. Wanita paruh baya membuka pintu kemudian menyambut dengan hangat. "Dengan Luna?" sapanya seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Luna dan Nikita menyambut uluran tangan Astuti dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Astuti. Perkenalkan, saya Luna dan ini adik saya, Nikita," jawab Luna sopan. "Silakan masuk, saya akan menunjukkan rumah ini pada kalian."Luna dan Nikita melangkah masuk untuk melihat seisi rumah. Terdapat dua kamar tidur dan satu ruang tamu juga ruang keluarga. Dapurnya terlihat lebih luas dari rumah kontrakan yang sebelumnya. Juga terdapat halaman yang cukup luas. "Rumah ini baru selesai di renovasi. Bagaimana, apakah kalian cocok?" tanya Astuti setelah mereka selesai melihat-lihat.Luna dan Nikita saling berpandangan dan tersenyum. "Bagaimana, apakah kamu men
Luna termangu menatap layar ponsel di genggaman tangannya. Dilema antara menjawab atau mengabaikannya. Namun, di samping kesibukannya berpindah tempat, ia juga takut Amanda tiba-tiba akan mengunjunginya. Ia pun memilih untuk tidak menjawab dan mematikan ponselnya. Luna bergegas mengenakan alas kakinya dan berpamitan pada Ibu Sinta, pemilik rumah kontrakan yang kediamannya terhalang oleh tiga rumah saja. "Permisi, Bu!" seru Luna dari depan pintu. Wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa. "Ya, Luna," sahut Sinta, matanya menoleh ke arah mobil pickup yang dipenuhi oleh barang-barang perabotan milik Luna. "Kamu pindahan sekarang?" Luna mengangguk lalu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. "Saya permisi, ya, Bu. Saya mohon maaf apabila selama saya tinggal disini, saya pernah berbuat salah." "Tidak, Luna. Kamu tidak pernah berbuat salah apapun. Saya juga minta maaf, ya, apabila saya ada salah," jawab Sinta. "Kamu pindah kemana, Lun?" tanya Sinta penasaran. Luna menjawab deng
Masih berada di dalam bus yang berjalan pelan. Ingatannya tertuju pada sahabatnya, Amanda. "Maafkan aku, Manda. Aku benar-benar terpaksa melakukannya. Ini semua demi kebaikanmu juga," ucapnya dalam hati dengan mata yang terlihat sendu. Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit saja, kini ia telah sampai di halte bus yang menjadi tujuannya. Luna turun dari bus, melangkah dengan penuh semangat dan keyakinan. Setelah berjalan kaki sejauh seratus meter, ia sampai di depan pintu gerbang kantor barunya. Wanita berparas cantik itu menghela napas panjang, kemudian melangkah masuk ke dalam gedung yang masih harum dengan aroma cat baru dan perabotan kayu.Terlihat kantor yang masih lengang karena para karyawan belum tiba. Dengan perasaan senang bercampur gugup, ia duduk di area lobi. Pandangan matannya menebar ke seluruh bagian ruangan.Tak sampai menunggu lama, Merry tiba dengan menjinjing tas kerjanya. "Luna ... mari kita pergi ke kantor lama untuk membawa semua barang-barangmu dan berp
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka