“Kayanya seru ngobrol sama Bu Sylvia,” kata Valerian, sambil senyum nakal. “Tapi saya lebih suka ngabisin waktu sama kelompok kimia saya... apalagi lihatin pasangan di depan kita beraksi biar tahu apa itu pemanas tangan.” Dia dan Luther langsung ketawa barengan. Alina langsung ngerasa panas banget di pipi. Ini sih udah bener-bener malu, apalagi Valerian dan Luther kayak nggak berhenti ketawa, sementara Arion tetep santai aja. Alina menunduk, berusaha nyembunyiin mukanya yang udah merah, dan tiba-tiba Alina menemukan tatapan tajam Clarissa di belakangnya. Dia nengok pelan, dan… jelas banget dia cemburu, matanya nyaris meledak. 'Mampus aja gue.' "Jadi apa sebenarnya penghangat tangan itu, Bu?" "Kimia termal, Arion," jawab Bu Sylvia datar sambil tetap fokus ke buku catatan. "Kita pakai buat menghangatkan tangan." Arion malah menyeringai, senyumnya lebar dan sombong banget. Dia sedikit menoleh ke Alina, ekspresinya udah ketebak bakal ngomong sesuatu yang ngeselin. "Tapi gue ya
Bu Sylvia dan Dr. Gustav berdiri di satu sisi kantor kepala sekolah dengan tatapan tajam seperti mau melubangi kepala murid-muridnya. Di sisi lain, ada Valerian, juga Arion yang berdiri disamping mantan pacarnya yang sok kecentilan. “Ada sedikit kecelakaan waktu makan siang tadi,” kata Arion, menunjuk ke celana jinsnya. “Ada minyak tumpah kena celana saya. Jadi daripada saya bolos, saya minta Valerian buat bantuin beli celana baru. Saya nggak suka bikin guru nunggu lama.” Arion melirik Valerian. “Semua ini gara-gara Valerian, Pak... Minyak itu kan minyak yang lo tumpahin ke meja gue?” Valerian yang berdiri di sebelahnya, nyengir sambil nyikut pelan Arion. “Minyaknya sih enggak, Bro. Tapi kalau celana lo basah, gue yakin itu gara-gara ada Alina di samping lo. Iya nggak, Lin?” Alina menatap Valerian tajam, wajahnya memerah campur marah. “Lo ngomong apa sih? Ngaco banget!” Sementara itu, Arion menghela napas panjang, lalu berkata dingin, “Val, gue nggak perlu lo buat tambah
Malam itu Alina berangkat kerja seperti biasa naik Go-Jek. Arion ngajak Clarissa makan malam bareng keluarganya dan kepala sekolah. 'Lagi-lagi dia janji bakal nemenin gue, tapi akhirnya malah sama cewek lain.' Walaupun Alina udah bilang sama diri sendiri kalau mereka cuma temenan, dia nggak bisa berhenti mikirin itu. Hujan nggak berhenti turun selama dua jam terakhir. Pas sampai kafe, suasananya jauh lebih ramai dari biasanya. Orang-orang saling desak-desakan, bikin kulit Alina merinding setiap kali ada yang nabrak. Alina tarik napas dalam-dalam, nyoba tetap fokus. Dia singkirin pikiran soal Arion dan jalan ke meja baru yang ada di pojok ruangan. Ada Darren dan Glen duduk di sana. Alina angkat alis sambil ngeluarin buku catatan dan pena. “Ngapain lo berdua di sini? Besok kan lo pada tanding. Arion bilang kalian harus tidur lebih awal.” Glen cengengesan. “Percaya nggak percaya, meskipun Arion itu kapten kita, dia bukan bos kita kali.” Alina ketawa kecil. “Tapi gue yak
Dengan tangan gemetaran, Alina keluarin ponsel dari kantong belakang. Awalnya, dia kepikiran buat telepon Arion. Tapi, Alina stop. Dia udah terlalu sering ganggu Arion kalau ada masalah, dan dia nggak kasih kabar sama sekali malam ini. Dia pasti lagi sama Clarissa. Alina nggak mau kelihatan lebih butuh di depan dia. Alina akhirnya buka kontak Darren. Dia dan Glen kan baru aja nongkrong di kafe, jadi kemungkinan besar mereka masih melek. Teleponnya langsung diangkat di dering pertama. “Alina? Lo nggak apa-apa?” tanya Darren, suaranya serius. Begitu denger suaranya, Alina langsung nggak tahan lagi. Dia terisak, terus bilang, “Kamar gue bocor dan kebanjiran.” Darren sempat diem sebentar, terus nanya, “Maksud lo kebanjiran? Gue denger ada suara musik, temen-temen lo lagi pada party, kan?” “Ada air setinggi mata kaki lebih di kamar gue. Gue nggak tau mesti gimana. Loly sama Vera lagi minum, dan gue nggak mau ganggu mereka. Tapi gue nggak bisa tinggal di sini,” jawab Alina, suaran
Emosinya terlalu berat buat ditahan. Alina nggak bisa nahan itu, tangisannya pecah lagi di kursi Jeep Darren.. Ketika mereka sampai di depan asramanya, Darren langsung turun dan bawa barang-barang Alina. Hujan udah reda, tapi udara masih dingin menusuk. Darren memapah Alina masuk ke dalam gedung. Di dalam, ada sofa kulit hitam, meja-meja kayu, sama beberapa cowok yang lagi main PS di pojok. Suasana sepi. Darren nggak berhenti, langsung masuk ke lift. Begitu sampai di lantai lima, Darren bawa Alina ke sebuah pintu dan langsung kebuka. Di dalam, Alina lihat sofa kulit, futon hitam di pojok, dan dapur kecil dengan kulkas mini. Tempatnya lebih bagus dari kontrakannya, meskipun nggak semewah rumah Arion. Glen, teman sekamar Darren, udah ngaturin bantal sama selimut di sofa. Dia tersenyum sedih pas lihat Alina. “Lo bisa mandi dulu. Gue udah taruh handuk sama baju ganti di kamar mandi,” katanya. “Gue pikir lo bakal butuh.” Alina ragu, tapi Glen lanjutin, “Kalau lo mau, lo bisa
Pintu ruang ganti kebuka, tapi Alina nggak langsung noleh. Biasanya, Darren selalu jadi orang terakhir yang keluar. Alina ngerasa ada sosok tinggi berdiri yang melewatinya, dan pas Alina mendongak, mata yang biasa dia kagumi sedang balas ngelihatin dia. Tapi kali ini beda, bintik-bintik emas di matanya nggak keliatan. Tandanya, dia lagi kesel. Alina lihatin ekspresinya—rahangnya kenceng, nggak nyantai sama sekali. "Arion?" bisik Alina. "Lo kenapa?" Arion diem berdiri di sana sambil ngerutin keningnya. Padahal, dia baru aja menang pertandingan. Alina bahkan sempet lihat cowok itu keluar lapangan bareng bokapnya, mukanya waktu itu keliatan seneng banget. "Jangan pura-pura nggak tahu." Kulit di sekitar matanya ikut tegang. "Lo tidur sama Glen, kan?" Alina langsung tersentak, yang jelas bikin semuanya makin salah. Darahnya naik ke kepala, tapi Alina tahan supaya nggak meledak. "Lo serius nanya kayak gitu ke gue? Setelah lo pergi semalaman sama Clarissa?" Mukanya langsu
Vera sama Loly tadi udah ngechat, nawarin dia buat tinggal sementara di kamar mereka sampai kamarnya selesai diperbaiki. Tapi masalahnya, tempat tidur mereka kecil, dan jadwal tidur mereka beda banget. “Kalau gitu, ayo kita ambil barang-barang lo biar semuanya bisa diberesin.” Arion maju, pegang pergelangan tangan Alina dengan lembut. “Semua barangnya udah gue cuci, jadi dia aman-aman aja,” potong Darren sambil pegang tangan Alina yang satunya lagi. Dia ngelihat ke arah Alina. “Gue bisa antar jemput lo ke kafe. Lo juga bisa tidur di sofa atau, kalau mau, di kamar gue.” Alina bengong. Ini serius banget, dan dia nggak tahu harus gimana meresponnya. Arion melirik Darren dengan tatapan tajam. “Lepasin tangannya. Gue bisa ngurus dia sendiri,” katanya dingin, masih memegang pergelangan tangan Alina dengan cengkeraman yang nggak terlalu kuat, tapi cukup untuk bikin Darren melirik ke bawah dengan sedikit senyum mengejek. “Tenang, Kapten. Gue nggak nyulik dia,” jawab Darren sambil
"Jadi itu alasan lo?" Suara Arion serak. Alina mengangguk, terus menunduk, takut ngeliat ekspresi di wajah Arion. "Kalau gitu, ayo kita ambil barang-barang lo." Arion menyambut tangan Alina, menariknya ke arah lain. "Karena alasan yang sama, gue juga nggak tahan mikirin lo tinggal di tempat lain." Hati Alina buyar. Ini gawat. Alina sama Arion balik ke yang lain, dan Arion langsung ngasih kode ke Valerian. "Kenapa nggak lo aja yang bawa Alina ke tempat gue? Sementara gue ambil barang-barangnya dari kamar Darren sama Glen?" "Biar Clarissa dan mata-matanya nggak ngeh kalau ada yang janggal.." Valerian menaikkan alisnya. "Oke, gue sih setuju. Tapi gue butuh kuncinya." Arion ngeluarin kunci dari kantongnya terus ngasih itu ke Alina. "Ini buat buka pintu depan." "Eh, kenapa dia yang dapet kunci, bukan gue?" "Soalnya gue percaya sama dia," Arion jawab sambil nunjuk Valerian, Valerian cemberut. "Sama lo? Nggak.. Gue tau lo bakal bikin duplikat. Dan tahu-tahu gue nemu
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu