Melihat Fanny menangis, Riri langsung diam. Ketegangan di wajahnya mengendur dan ia memungut pakaian yang tadi dicampakkan adiknya. “Udah…udah. Jangan nangis.” Riri maju memeluk Fanny. Mengusap dan menepuk-nepuk punggung adiknya sebentar. “Sebaik apa pun kita menutupi kebenaran, kebenaran akan selalu menemukan caranya untuk muncul. Cepat atau lambat. Dan solusi dari semua ini cuma berkata jujur, Fan. Kalau Arsya sayang ke kamu, dia pasti bakal tetap menerima.”“Apa harus jujur sementara aku sendiri nggak yakin apa yang dilakukan Om Tio dulu? Kayaknya nggak sampai sebegitunya.” Suara Fanny lirih meyakinkan kakak kembarnya.Riri melepaskan pelukannya. “Kalau kamu yakin, ayo periksa ke dokter. Bakal lebih nggak baik kalau kamu bohong. Andai dulu kamu nggak terlalu ramah meladeni Om Tio sebagai ayah sebenarnya.” Riri terduduk lemas. “Kalau kamu nggak bisa ngomong ke Arsya, biar aku yang ngomong. Dia laki-laki baik yang berhak tahu kebenaran.”“Kamu benar-benar mau ngomong ke Arsya? Apa ngg
Sesaat sebelum Fanny diserempet mobil sampai menghantam aspal hujan memang tidak henti dari sore. Gerimis, lalu deras, lalu kembali gerimis yang cukup deras saat malam hari. Panca dan Mayang baru saja keluar dari night club selesai menjamu tamu atasan Panca dari luar negeri. Karena Panca setengah mabuk, Mayang menyeretnya masuk ke mobil dan memintanya untuk beristirahat sebentar sebelum mereka pulang. “Yang … kita ke hotel aja. Aku mau ini. Kamu yang nyetir. Ayo, kita switch kursi.” Tangan kiri Panca menyusup ke dalam rok pendek yang dikenakan Mayang. Dengan mata terpejam dan kepala bersandar ke jok, jemarinya dengan mudah menemukan celah kenikmatan yang dicarinya. Tertutup dengan selembar pakaian dalam dari lace yang tipis. “Kamu mabuk, aku juga masih pusing meski minum dikit. Lain kali kalau mau nyenengin atasan kamu, aku enggak mau ikut, Ca. Capek,” omel Mayang, ikut menyandarkan punggungnya di jok dan memejamkan mata. “Tapi aku mau …,” lirih Panca, telunjuknya sudah menekan tit
“Nggak usah gila, Yang! Udah berapa kali, sih, aku bilang kalau Indah itu perempuan nggak neko-neko. Aku nggak tahu apa yang dia rasain ke aku di malam pertama. Kaku kayak dipaksa. Kayak nggak tahu mau ngapain aja. Enggak ada inisiatif apa-apa. Udah, deh, nggak usah ngomongin itu. Dia nggak pernah kenal laki-laki lain selain aku. Malam ini kamu pulang ke rumah kamu aja.” Menceritakan soal malam pertama bersama Indah membuat hasrat kecil tiba-tiba memercik dalam diri Panca. Ia membayangkan Indah yang amat jarang disentuhnya sejak menikah karena bayangan hubungan ranjang bersama Mayang. Kuduknya meremang. Tiba-tiba ia menginginkan kepolosan Indah di ranjang. “Aku antar kamu,” tukas Panca. “Enggak! Aku mau ke rumah kamu. Aku nggak mau pulang!" teriak Mayang, memukul lengan Panca. “Mayang! Kita lagi di—” BRAKK “Apa itu? Apa itu? Kamu barusan nabrak orang, Ca. Nabrak!” pekik Mayang, menoleh ke belakang. “Kita dikejar…kita dikejar!” Mayang kini mencengkeram lengan Panca. “Kamu diam!” te
Memutuskan bekerja pagi itu dan meninggalkan Alif bukan dilakukan Indah dengan asal-asalan. Bukan juga kemaruk karena Arsya sudah mengizinkannya tidak masuk tapi ia sok-sokan tetap muncul di kantor. Sepanjang malam kemarin Indah tidak bisa tidur. Karena sempat tidur sebentar lalu makan bersama Arsya di jam yang cukup larut membuat kantuknya hilang. Setelah kepergian Arsya, Indah termangu-mangu. Pembicaraannya bersama pria itu kembali terngiang. Arsya terlihat sewot sekali saat ia menyebut Panca dengan ‘Mas’. Dua bagian hati Indah terasa tidak nyaman. Padahal tidak ada maksud apa-apa. Di satu sisi Indah tidak ingin membuat Arsya yang selama ini sudah begitu baik dan banyak membantu malah kecewa karena ia yang terlalu ‘mengasihi’ keluarga Panca. Di sisi lain, ia memang tidak tega melihat video mantan papa mertuanya digelandang polisi. Sudah tua. Kalau dipenjara pasti bisa sakit-sakitan, pikirnya. Indah lalu tertidur dan terbangun di pagi yang masih gelap. “Sesudah tidur pun masih
Ponsel di tangan Indah masih menampilkan pesan Panca. Beberapa saat lamanya ia tertegun, lalu membaca kembali pesan itu. Apa ia akan berubah menjadi orang yang tidak punya belas kasih demi membalaskan sakit hatinya untuk pengkhianatan Panca?Indah menutup pesan dan menyingkirkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan pekerjaan. Selesai merapikan notulen rapat dan mengarsipkannya, Indah menghela napas panjang dan berat. Waktu menunjukkan bahwa ia sudah bisa meninggalkan kantor. Tapi ia kembali mengingat pesan dari Panca.Indah kembali melirik jam di mejanya. “Sebenarnya aku bisa menjenguk. Tapi aku harus izin sama dia,” gumam Indah, mengeluarkan ponsel bermaksud menghubungi Arsya untuk meminta izin. “Minta izin … memang seharusnya aku minta izin ke dia. Bagaimana pun dia suamiku sekarang. Tapi … gimana kalau belum apa-apa malah diomelin?” Setelah berkasak-kusuk sendiri dari tadi, akhirnya Indah menyimpan ponsel dan meninggalkan lantai itu.‘Aku udah pulang dari kantor dan bisa jenguk Pa
Papa Panca yang biasa dipanggil Indah dengan sebutan Papa Fuad urung mendekat. Tangan Arsya terulur padanya namun pria tua itu malah terlihat sedikit mundur.“Ini suami Indah? Akhirnya saya bisa ketemu juga. PresDir SB Industrial, ya? Berarti anaknya Pak Ari Subianto. Indah sangat beruntung mendapat mertua yang bisa memberikan segala kecukupan buat dirinya dan Alif.” Pak Fuad bicara pada Arsya. Bermaksud ramah untuk menghibur dirinya sendiri dari sorot mata Arsya yang cukup mengintimidasi. Bukannya malah bertambah ramah, Arsya malah tertawa kecil ketika mendengar ucapan Pak Fuad. “Kenapa mertua yang bisa memberikan segalanya? Saya suaminya. Itu tugas suami, Pak. Bukan tugas mertua.”“Maaf kalau kata-kata saya tidak sesuai. Kadang apa yang terlihat memang tidak sama dengan apa yang kita pikirkan,” tambah Pak Fuad lagi.Sebelum melepaskan tangan Pak Fuad, Arsya membalas ucapan itu dengan, “Tapi yang terjadi pada Indah dan semua yang disebabkan putra Bapak malah tidak perlu dipikir lagi
“Sebaiknya Abang tunggu di sana,” Arsya menunjuk satu set sofa yang menghadap sebuah televisi besar.“Sebaiknya memang begitu,” sahut Indah dengan sangat cepat. Ia melirik Alif yang menyusu dengan mata terpejam. Terbukti kalau bayi mungil itu memang sudah mengantuk. Arsya kembali memandang Alif. Yah, setidaknya itu yang ingin ia percayai. Arsya hanya memandang wajah Alif, bukan dadanya yang sedang tumpah ruah.“Oke.” Arsya berbalik, lalu iateringat sesuatu. “Oh, ini ada tirainya.” Arsya berjalan ke dekat nakas dan menarik tirai yang mengelilingi ranjang dengan senyum tertahan. Arsya baru tersadar dari kebodohan beberapa saat yang lalu. “Kita makan malam sama-sama,” ujarnya lagi. Saat duduk menghempaskan tubuh di sofa, ia meraba jantungnya yang berdebar tak nyaman. Dasar gila, pikirnya. Hal sepele seperti itu harusnya tidak membuatnya salah tingkah. “Alif mulai nyenyak. Kita makan malam sebentar lagi,” sahut Indah. Tak ada yang bisa dilakukannya Indah selain bersikap seperti biasa. M
Kurang jelas apa yang terlintas di benaknya soal hubungan dengan Arsya. Indah tidak mau menjadikannya salah satu hal penambah beban pikiran. Belakangan ia merasa hidup sudah terlampau sulit. Hingga ajakan makan siang bersama membuatnya cukup bahagia. Rasanya sudah lama sekali. Ia hampir lupa kapan terakhir kali duduk di restoran untuk memenuhi ajakan makan siang dari seorang pria.Indah mengenakan satu setel pakaian kantor abu-abu dengan bagian dalam kemeja sutra krem yang bagian lehernya bisa dijalin membentuk pita. Setelah selesai memoles lipstiknya, Indah tersenyum ke cermin kamar mandi. Tiga detik tersenyum, wajahnya kembali datar.Tidak seharusnya ia bisa tersenyum di saat bercermin di kamar mandi bayinya yang sedang sakit. Beberapa lantai dari tempatnya berdiri pun papanya juga sedang terbaring. Kenapa ia malah seperti bersenang-senang? Senyum di wajahnya sirna. Sepertinya dandanan bagus hari itu akan tetap bagus tanpa tersenyum. Ia tidak perlu tersenyum. Bu Anum memujinya sepert
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”