Share

Duda Menyebalkan

Author: LinDaVin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Duda itu Mantan Pacarku

Part 3

Oleh : LinDaVin

"Mas Satria ada waktu? Aku mau bicara serius." Aku menoleh ke samping kiri, tempat dimana Mas Satria duduk.

"Nggak ada, aku sibuk," jawab pria berbadan tegap, berkaos putih itu sambil mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang ada di pangkuannya.

"Sibuk ngapain? Kan nggak ngapa-ngapain." Aku sedikit mencembik mendengar jawabannya.

"Apa?" tanyanya ketus sambil melihat ke arahku. "Aku sibuk, kurang jelas jawabanku."

Aku menelan saliva melihat wajah jutek pria yang pernah berbagi hari denganku dulu itu. Tidak ada yang berubah dari wajahnya tetap tampan. Hanya sikapnya yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Dulu jangankan marah bicara keras saja tidak pernah.

"Apa?" tanyanya lagi galak dengan alis yang hampir menyatu. "Ngapain liatin kayak gitu?"

"Ish …." Aku mengalihkan wajah dengan bibir manyun kesal. Aku sadar aku salah, tapi, aku juga kesal dia jutek seperti itu.

Untuk beberapa saat kami saling diam, Mas Satria terlihat sibuk dengan ponselnya. Aku memilih sibuk dengan minuman di tangan sambil menebar pandangan ke sekeliling yang cukup ramai. Sesekali melihat Rey dan juga Al yang masih asyik bermain.

Jiwa kepo yang ada dalam diriku mendorong untuk mencari tahu apa yang pria di sampingku sedang kerjakan. Aku memundurkan sedikit tubuh hingga aku bisa melihat layar ponselnya. Ya Tuhan 'Bubble Shoot' … jadi dia sibuk dan tak memberi waktu aku bicara karena sibuk main Bubble Shooter.

Aku merasa sangat kesal, bagaimana bisa dia lebih memilih bermain tembak bola itu daripada bicara denganku. Ah … sudahlah untuk apa aku memberi penjelasan. Lagian jelas-jelas dia sudah berubah, tidak ada gunanya juga. Belum tentu juga dia percaya dengan apa yang aku ceritakan.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Satria tiba-tiba sambil melihat ke arah genggaman tanganku. Aku sedang meremas ujung baju, kebiasaan yang aku lakukan saat aku begitu kesal.

"Nggak ada," jawabku ketus, tanpa melihat ke arah pria di sampingku.

"Kenapa kesal?" tanyanya langsung, karena dia memang sangat hafal dengan kelakuanku. "Dah tua juga masih kayak anak ABG aja."

"Siapa tua? Mas yang tua bukan aku. Dah tua main bubble shoot," balasku kesal.

"Kamu ngintip?" tanyanya kemudian, aku langsung menoleh dan menggeleng. 

"Nggak gimana? Tau darimana kalau nggak ngintip?" cecarnya lagi. 

"Udah ah … nggak penting juga dibahas. Katanya sibuk, ya udah. Ngapain peduliin aku." Entah kenapa aku yang menjadi kesal sekarang.

"Peduli? Siapa yang peduli. Jangan ge-er, cuma tanya dibilang peduli. Hah," kilah Mas Satria dengan senyum sinis.

Aku hanya diam menahan kesal dengan menyatukan gigi atas dan bawahku. Menahan untuk tidak bicara apa-apa lagi. Fix … dia sekarang berubah dan menjadi sangat menyebalkan. 

"Ayok ngomong! Malah diam." Aku kembali menoleh saat pria itu menyuruhku bicara.

"Apa?" tanyaku tidak paham dengan maksudnya memintaku bicara.

"Kamu bilang tadi mau bicara serius, gimana sih." Masih dengan wajah jutek dan dagu terangkat pria itu bicara padaku.

"Nggak jadi," jawabku kesal.

"Lah … kenapa kamu yang jadinya kesal?" Masih dengan nada sinis pertanyaan itu keluar dari mulut Mas Satria.

Apakah ada bendera putih disini, sepertinya aku menyerah sebelum berperang. Hatiku sangat kesal, teramat sangat kesal sekali. Kalau ada ungkapan yang lebih dari itu, itulah penggambaran rasa kesalku sekarang.

"Ran …." Suara Kak Sisil terdengar memanggil namaku. Aku langsung menoleh dan mendapati kedua kakak perempuanku itu berjalan mendekat.

"Dah selesai?" tanyaku sambil berdiri menyambut keduanya.

"Sudah, anak-anak mana?" tanya Kak Regina sambil menoleh ke area bermain.

"Itu." Aku menunjuk ke arah Al dan Rey yang bermain di dekat perosotan. 

"Siapa?" tanya Kak Sisil setengah berbisik sambil mengangkat alisnya. Setengah berbisik karena jarak yang dekat sepertinya Mas Satria mendengar suara Kak Sisil.

"Nggak kenal," jawabku sambil melihat ke Mas Satria yang langsung melotot mendengar jawabanku.

"Ya udah, panggil anak-anak," suruh Kak Sesil kemudian aku mengangguk dan segera beranjak.

Beruntung kedua kakak perempuanku itu cepat selesai dengan belanjanya. Tidak seperti biasanya yang betah berlama-lama. Mungkin karena masih pertengahan bulan, mungkin. Apa peduliku, yang penting aku bebas dari pria menyebalkan itu.

"Yakin nggak kenal?" tanya Kak Regina disela waktu menunggu pesanan makanan di sebuah gerai fast food.

"Kayaknya kalian sudah saling kenal." Kak Sisil menambahkan.

Meskipun aku lama berhubungan dengan Mas Satria aku memang belum pernah mengenalkan dia pada keluargaku. Aku dilarang pacaran sebelum selesai kuliah. Jadilah aku tidak pernah bercerita pada siapapun termasuk kedua kakak perempuanku ini.

"Ngapain dibahas sih?" tanyaku merasa risih dan tidak nyaman.

"Yah … gimana yah. Dah waktunya loh, umur kamu dah waktunya nikah." Kak Sisil beralasan.

"Masih dua lima juga, di kantor banyak yang di atas aku belum nikah," balasku, sama-sama beralasan.

"Roni gimana?" tanya Kak Sisil lagi dengan senyum usil dan alis terangkat.

Roni teman satu kantor, dia bekerja dengan posisi  marketing head. Beberapa kali mengantarku pulang, dan kedua kakakku ini sudah cukup mengenalnya dengan baik.

"Apaan cuma teman," jawabku manyun.

Kedua kakakku itu malah tertawa melihat respon yang aku berikan. 

"Ehh … tapi, Kakak lihat sepintas kalian mirip loh," ucap Kak Regina tiba-tiba.

"Mirip siapa?" tanyaku bingung.

"Pria yang tadi, yang duduk di samping kamu," jelas Kak Regina.

"Oh … duda jutek itu? Mirip dari mananya," protesku.

"Kok tau kalau duda?" tanya Kak Sisil kemudian, kedua kakak perempuanku itu saling berpandangan.

Ampun aku keceplosan, lagian kenapa juga pria itu berada disana. Apa yang dia lakukan disana tadi? Apa menunggu anaknya? Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. 

Related chapters

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Dia Lagi

    "Nomor pesanan 129." Panggilan di pengeras suara sementara menyelamatkanku. Karena pesanan kami beberapa kosong tadi sehingga tidak bisa langsung kami bawa ke meja."Tuh … bentar." Aku langsung berdiri sambil menunjukkan struk pesanan kepada kedua kakak perempuanku itu."Silahkan Kakak, mohon maaf dan terima kasih sudah menunggu," sambut pegawai resto dengan seragam berwarna kuning ketika aku sampai di meja pemesanan."Makasih," balasku dengan senyum dan langsung mengangkat nampan berisi pesananku dari meja kemudian beranjak. "Makan … makan," ucapku pada kedua keponakanku yang pandangannya sudah mengarah padaku."Nasinya dulu baru es krim," ucap Kak Sisil menjauhkan tiga cup es krim dari anak-anak."Dikit aja, Bunda." Rey terdengar merayu Kak Sisil yang langsung dijawab dengan gelengan."Cuci tangan dulu yuk," ajakku kepada kedua ponakanku itu. Keduanya langsung turun dari kursi dan aku mengiring mereka ke wastafel yang berada di bagian samping."Aunty es klimnya," rengek Rey sambi

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Berubah

    "Ya enggak bisa dong, Mas." Kembali aku membantah perintah yang bagiku tidak berdasar itu."Pak, panggil aku Pak. Bukankah aku atasanmu di kantor ini." Mas Satria meninggikan intonasi suaranya."Astaga kesambet apaan, sih. Salah makan palingan, makanya sarapan itu pake nasi bukan petasan cabe." Sengaja suaraku aku pelankan sehingga yang terdengar hanya seperti ngedumel saja."Apa? Bicara yang jelas. Jangan kayak orang kumur-kumur," bentaknya padaku.Tanpa sadar kertas yang berada di tangan aku remas-remas hingga tak berbentuk lagi. Aku bukanlah orang yang pandai mengontrol emosi. Bukan dengan kata-kata atau makian. Aku terbiasa melampiaskan dengan cara meremas apa saja."Hei … kamu, ya." Pria itu mengambil kertas yang sudah menyerupai bola tanpa bentuk itu dari tanganku.Aku hanya melihatnya dengan tatapan malas dan kesal. Masih terlalu pagi untuk merusak mood seseorang. Aku merasa dia ingin membuatku tidak betah dan hengkang dari kantor ini. Oh … tidak bisa, aku yang lebih dulu berad

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Jurus Sabar

    Jawaban yang sama aku peroleh dari Bu Fitri dan Pak Agus, keduanya sudah menyetujui rotasiku ke divisi marketing. Meski kesal, tapi, aku bisa apa selain menerima. Orang aku juga hanya staf biasa tanpa power apapun. Seperti yang Tika duga, karena aku dari divisi marketing sebelum di pindah ke finance.Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan di mana saja aku ditempatkan. Hanya semua terkesan mendadak, sama sekali tidak ada pemberitahuan. Dan lagi kenapa harus duda menyebalkan itu yang menyuruhku."Kalau boleh digantikan aku mau loh," ucap Wina disela makan dan istirahat siang kami. Tika sepertinya sudah bercerita lebih dulu sebelum aku menceritakan pada Wina."Kamu mah modus," celetuk Tika, yang disambut Tawa oleh Wina."Kan lumayan sering ketemu sama si Bapak ganteng." Wina menambahkan, kedua sahabatku itu kembali tertawa. Aku hanya nyengir malas melihat keduanya.Andai saja mereka tau apa yang terjadi sebenarnya antara aku dan sesebapak yang mereka bicarakan itu. Tapi, aku malas berceri

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Masih Cinta

    Aku memejamkan mata menikmati sensasi rasa yang tercipta. Aku tidak tau apa ini namanya, dan seperti apa aku menguraikannya. Rasa yang pernah ada dalam dada, dulu. Apakah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah pergi."Kamu sudah baikan?" tanyanya kemudian. Aku masih belum bisa bicara hanya mengangguk pelan. Tapi, aku yakin dia bisa mengartikannya."Mbak Rania …."Dari luar ruangan aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. Itu suara Ahmad security yang berjaga malam ini. Pijar cahaya juga nampak dari arah pintu, bergerak mendekat. Bersamaan dengan itu aku merasakan tubuh Mas Satria yang menjauh."Mbak … oh, Pak." Ahmad terlihat berhenti di dekat pintu saat melihat Mas Satria bersamaku."Kenapa gensetnya tidak dinyalakan?" tanya Mas Satria sambil berjalan ke arah depan mejaku."Iya, Pak Satria. Rudi sedang menyalakannya, mesinnya agak ngadat lama tidak digunakan," jelas Ahmad kemudian."Tapi, bisa kan?" tanya Mas Satria lagi."Biasanya bisa, Pak. Saya permisi tadi saya kepiki

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Fakta yang Terkuak

    "Eh … nyangkut, dasar motor nakal, nggak ada akhlak," celetukku sambil meringis dan memukul pelan ke badan motor. Wajahku terasa panas karena malu. Dasar motor tidak ada akhlak, bisa-bisanya ngerjain dan membuat aku malu seperti ini. Terlihat Mas Satria hanya menghela napas dan bergeleng samar. Buru-buru aku kembali berbalik dan kemudian berjalan cepat ke arah motorku. Daripada semakin panjang urusannya nanti.Baru saja aku naik ke atas motor, saat terasa ponselku bergetar. Terdengar suara panggilan ponsel dari dalam tas selempang yang aku kenakan. Paling mama yang menelepon, menanyakan keberadaanku.Ternyata dugaanku salah, Kak Regina yang menelepon. "Assalamualaikum," salamku setelah menggeser ke atas tombol hijau di layar."Waalaikumsalam, kamu dimana?" tanya kak Regina di ujung telepon."Masih di parkiran kantor, ini dah mau pulang. Titip apa?" tanyaku tanpa basa-basi karena sudah tau kebiasaan kakak perempuanku itu. Mendengarku Kak Regina langsung tertawa."Rey mau terang bulan

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Kacau

    "Itu yang ingin aku jelaskan," ucapku kemudian. Akan lebih baik bila semua aku jelaskan secepatnya. Untuk apa, yang jelas untuk ketenangan hatiku. Rasa bersalah masih mendekapku, lebih-lebih saat kami kembali dipertemukan. "Kak …." Pembicaraan terhenti saat Arya datang. Adik laki-lakiku itu datang bersama dengan temannya. Terlihat sebuah botol berisi bensin berada di tangannya."Malam," sapa Arya kepada Mas Satria yang dibalas dengan anggukan.Arya membuka jok motorku dan menuangkan bensin ke dalam tangki. Mas Satria masih berdiri dan hanya melihat ke arah Arya. Aku masih bingung harus mulai cerita dari mana. Dan tidak mungkin kami mengobrol disini."Besok saja dilanjutkan. Sekarang sudah malam," ucapku lirih pada Mas Satria. "Terima kasih bantuannya.""Terima kasih," ucap Arya menimpali. Kembali Mas Satria hanya mengangguk samar. Pria itu kemudian beranjak dan kembali ke mobilnya. Tidak berapa lama mobil itu menyala dan bergerak menjauh.•Dari ponsel Arya aku mendapatkan nomor te

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Salah Paham

    "Pak Satrianya dimana?" tanyaku kemudian. Pak Agus mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaanku. "Pak Satria ijin tidak ke kantor, ibunya yang baru datang dari Bengkulu tiba-tiba pingsan tadi pagi. Sepertinya ini di rumah sakit, belum kasih kabar lagi soalnya," cerita Pak Agus."Oh." Aku hanya mengangguk pelan."Ada apa memangnya? Kamu naksir juga," goda Pak Agus. Sebagai kepala cabang Pak Agus memang cukup dekat dengan semua karyawan. "Nggak, Pak. Permisi …." Aku menggeleng kemudian beranjak keluar dari ruangan kepala cabang.Setelah tau keberadaan Mas Satria, pikiranku bukannya semakin tenang, tapi, sebaliknya. Pikiranku malah semakin kacau. Ada denganku sebenarnya, tapi, aku merasa ada hal yang belum selesai antara aku dan Mas Satria.•Jam tujuh malam aku masih duduk di depan komputer. Bukan karena laporanku belum selesai. Hari ini sistem berjalan cukup bersahabat. Semua laporan sudah aku emailkan sedari tadi. Tidak seperti yang lain, yang di tunggu oleh anak atau suaminya di

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Harus Bicara

    "Kok pacar?" tanyaku bingung."Kan kamu sendiri yang bilang," jawab Mas Satria. Aku masih melihatnya dengan tatapan bingung."Kapan?" tanyaku sambil mencoba mengingat, apa aku ada salah bicara. Aku rasa tidak ada."Barusan," jawab Mas Satria yang membuatku semakin bingung."Mana ada," bantahku kemudian."Ada." Pria itu bersikeras."Terserah Mas, sajalah." "Kok jadi aku," ketusnya kemudian. Aku terdiam tidak menimpali apapun lagi."Mas nggak capek apa, marah-marah terus?" tanyaku kemudian. "Apa pedulimu?" Mas Satria balik bertanya padaku."Ya iyalah, marahnya ke aku doang." Akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk bicara. "Kamu pantas dimarahi," balas Mas Satria lagi."Aku minta maaf," ucapku kemudian. Rasanya seperti anak kecil kalau dimarahi seperti ini, seperti bocah yang baru saja memecahkan gelas atau apalah."Kamu berhutang banyak penjelasan padaku." Suara Mas Satria terdengar kesal."Aku antar kamu pulang," lanjut Mas Satria kemudian."Ta-tapi aku dijemput Arya," jawabku.Mas

Latest chapter

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 105 END

    Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 104

    “Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 103

    “Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 102

    Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 101

    “Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 100

    “Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 99

    “Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 98

    “Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 97

    “Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk

DMCA.com Protection Status