Share

Jurus Sabar

Penulis: LinDaVin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jawaban yang sama aku peroleh dari Bu Fitri dan Pak Agus, keduanya sudah menyetujui rotasiku ke divisi marketing. Meski kesal, tapi, aku bisa apa selain menerima. Orang aku juga hanya staf biasa tanpa power apapun. Seperti yang Tika duga, karena aku dari divisi marketing sebelum di pindah ke finance.

Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan di mana saja aku ditempatkan. Hanya semua terkesan mendadak, sama sekali tidak ada pemberitahuan. Dan lagi kenapa harus duda menyebalkan itu yang menyuruhku.

"Kalau boleh digantikan aku mau loh," ucap Wina disela makan dan istirahat siang kami. Tika sepertinya sudah bercerita lebih dulu sebelum aku menceritakan pada Wina.

"Kamu mah modus," celetuk Tika, yang disambut Tawa oleh Wina.

"Kan lumayan sering ketemu sama si Bapak ganteng." Wina menambahkan, kedua sahabatku itu kembali tertawa. Aku hanya nyengir malas melihat keduanya.

Andai saja mereka tau apa yang terjadi sebenarnya antara aku dan sesebapak yang mereka bicarakan itu. Tapi, aku malas bercerita tentang masalah yang terlalu pribadi pada orang lain. Bukan tidak percaya hanya kurang nyaman saja.

Sepanjang istirahat siang pembicaraan tidak jauh dari seputar Mas Satria. Yah … pria itu memang terlihat mencolok dibanding karyawan lainnya. Kalau boleh jujur dia terlihat semakin tampan dan stylish. Tapi, tidak dengan kelakuannya yang sudah seperti pemilik perusahaan saja.

"Kamu dibayar buat kerja bukan melamun." Aku langsung mendongak ke arah suara pria yang baru saja menegurku. Aku tidak sedang melamun hanya sedang memikirkan sebuah format di lembar kerja excel di komputer.

"Aku email tadi, kamu buka. Aku mau laporannya segera kamu buat dan kirim ke aku." Tanpa menjawab aku langsung membuka box email di layar monitor.

"Sistem sedang down, Pak. Jadi saya belum bisa menarik data. Info dari IT setelah jam dua, baru sistem normal." Aku berusaha menjawab dengan tenang dan selembut mungkin.

"Aku butuh cepat," tegas Mas Satria lagi.

"Iya, saya akan kerjakan setelah bisa menarik data," jawabku lagi dan berusaha tersenyum.

Selepas salat tadi siang aku mulai berpikir. Kalau aku menghadapi dengan keras juga, itu akan membuatku merasa semakin kesal. Aku belum menikah, jelas aku tidak mau kena stroke di usia muda karena stress memikirkan ulahnya. Aku hanya sedang  berusaha karena limit sabarku juga terbatas.

"Aku butuh sekarang." Suara Mas Satria meninggi.

"Baik." Aku menjawab singkat.

"Bisa?" tanyanya terlihat tidak yakin dengan jawabanku.

"Bisa." Aku menjawab cepat dengan memaksakan senyumku ke arahnya. Pria itu terlihat mengernyitkan dahinya.

"Kan sistem down, gimana kamu bisa ngerjain. Awas kamu ngarang, kasih data yang salah." 

"Ya … Bapak lucu, sudah tau sistem down maksa." Kali ini aku menahan tawaku, dia masuk dalam jebakanku.

"Kamu, ya." Pria itu terlihat kesal.

"Ya udah, saya mau kerja lagi. Nanti saya email kalau sudah selesai laporannya," ucapku sambil menegakkan badan melihat ke arah pria itu berdiri.

"Kok kamu yang ngatur aku?" bentaknya kemudian, hanya saja aku sudah mulai terbiasa. Dan lagi, ruangan sedang kosong karena para penghuninya sedang di lapangan. Jadi tidak ada yang mendengar selain aku.

"Kan saya dibayar buat kerja, bukan buat ngobrol sama Bapak," balasku kemudian. Hmm dua kosong, senang sekali aku bisa membalikkan kata-katanya.

"Kamu, ya." Mas Satria terlihat sangat kesal. Dia langsung beranjak tanpa kata-kata lagi. Mataku mengikuti gerak tubuh pemilik badan tegap itu sampai hilang di balik pintu.

Aku baru saja akan mengalihkan pandangan saat dari arah pintu Roni muncul. Dagunya terangkat saat pandangan mata kami bertemu. Sepertinya dia menanyakan tentang Mas Satria yang baru saja keluar.

"Seneng banget kayaknya, senyum-senyum gitu." Roni menarik kursi dan duduk di depan mejaku.

"Nggak," jawabku sambil mengalihkan fokusku kembali ke layar monitor.

"Eh, tapi, aku seneng loh kamu balik ke sini lagi. Tambah semangat kerja jadinya." Roni mengangkat alisnya berulang saat aku melirik ke arahnya.

"Gombalin aja terus," celetukku kemudian, sudah sangat hafal sekali dengan kelakuan pria berkulit putih yang duduk di depanku ini.

Bukannya tidak peka akan perhatian lebih dari Roni. Hanya saja aku memang tidak memiliki perasaan lebih. Hanya dekat sebagai teman, tidak ada perasaan lain lagi. 

"Haduh … Mbak Ran jangan percaya apapun, modus tok anak itu." Pak Khambali yang baru akan masuk berhenti di depan pintu sambil menggelengkan kepala.

Aku hanya tertawa menanggapi keduanya. Di divisi marketing aku bertanggung jawab kepada beberapa orang. Ada empat orang atasanku langsung, selain aku ke kepala cabang dan wakilnya.

Berbeda dengan divisi finance yang satu ruangan berisi perempuan semua. Dan di finance aku hanya bertanggung jawab kepada finance head dan juga kepala cabang.

Jam digital di layar monitor menunjukkan pukul sembilan belas, atau jam tujuh malam. Aku masih berkutat dengan pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi.  Setelah sistem down tadi siang, ada beberapa data yang sulit untuk ditarik. Memerlukan waktu yang lebih lama dari biasanya.

"Iya, Mbak Yanti. Bentar lagi saya email ke area ya," jawabku pada admin area yang berkali-kali menghubungiku.

Aku memijat kening sambil melihat ke arah angka-angka di layar monitor. Laporan harian memang sering menahanku berlama-lama saat sistem sedang tidak lancar seperti hari ini. Belum lagi omelan admin area yang selalu minta cepat.

"Report daily belum aku terima." Aku mendongak ke arah suara, Mas Satria berdiri di ambang pintu.

"Sebentar lagi selesai," jawabku kembali fokus pada layar monitor di depanku.

"Kenapa jawabannya selalu sebentar lagi, sebentar lagi." Mas Satria berjalan ke arahku, nada suaranya terdengar tidak nyaman di hatiku. Di hati bukan di telinga.

Aku mengabaikan pria itu dan kembali fokus pada pekerjaan yang sudah hampir selesai. 

"Kamu nggak denger aku ngomong." Pria itu sudah berada di depan mejaku. Sesaat aku memejamkan mata, mengumpulkan sisa-sisa sabar yang masih tersisa.

"Iya, Pak." Aku hanya mengiyakan tanpa melihat ke arah Mas Satria.

"Iya … iya, iya apa?" tanyanya lagi terdengar ketus.

"Done." Akhirnya selesai, aku bergumam sendiri setelah semua laporan selesai aku kirim melalui email.

"Iya apa?" tanyanya lagi dengan suara meninggi. Sepertinya dia kesal aku tidak memperhatikannya dari tadi.

"Iya sudah ...ahh mati lampu." 

Suaraku yang semula pelan langsung berubah jadi pekikkan saat tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Aku tidak suka gelap, aku takut gelap.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Mas Satria kemudian. "Tenang … tenang."

Aku tak bisa melihat apapun dan aku hanya terdiam dengan tubuh seperti kaku. Entahlah, dari kecil aku takut gelap, tidak suka dengan gelap dan dadaku akan menjadi sesak.

"Tenang … tenang, jangan takut. Nyalakan ponselmu, dimana hp-mu?" Dadaku sesak dan aku tidak bisa menjawab. Meski aku ingin bicara tapi, entah kenapa tidak bisa.

Aku merasakan Mas Satria bergerak dan merasakan dia semakin dekat. 

"Jangan takut." 

Aku merasakan sentuhan di punggungku, dan sepertinya Mas Satria sedang mencari ponselku. 

"Ini." Kembali aku mendengar suaranya bersamaan dengan cahaya yang berasal dari ponselku.

"Kamu masih takut gelap?" tanyanya kemudian, aku masih terdiam belum bisa menjawab. 

"Dasar penakut," ucapnya lagi, aku merasakan kepalaku ditarik ke arah belakang dan bersandar di perutnya.

Perasaan apa ini? Perasaan yang lama tidak pernah aku rasakan dan kenapa aku seperti merasakannya

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rose Magdalena Kasambow
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Masih Cinta

    Aku memejamkan mata menikmati sensasi rasa yang tercipta. Aku tidak tau apa ini namanya, dan seperti apa aku menguraikannya. Rasa yang pernah ada dalam dada, dulu. Apakah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah pergi."Kamu sudah baikan?" tanyanya kemudian. Aku masih belum bisa bicara hanya mengangguk pelan. Tapi, aku yakin dia bisa mengartikannya."Mbak Rania …."Dari luar ruangan aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. Itu suara Ahmad security yang berjaga malam ini. Pijar cahaya juga nampak dari arah pintu, bergerak mendekat. Bersamaan dengan itu aku merasakan tubuh Mas Satria yang menjauh."Mbak … oh, Pak." Ahmad terlihat berhenti di dekat pintu saat melihat Mas Satria bersamaku."Kenapa gensetnya tidak dinyalakan?" tanya Mas Satria sambil berjalan ke arah depan mejaku."Iya, Pak Satria. Rudi sedang menyalakannya, mesinnya agak ngadat lama tidak digunakan," jelas Ahmad kemudian."Tapi, bisa kan?" tanya Mas Satria lagi."Biasanya bisa, Pak. Saya permisi tadi saya kepiki

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Fakta yang Terkuak

    "Eh … nyangkut, dasar motor nakal, nggak ada akhlak," celetukku sambil meringis dan memukul pelan ke badan motor. Wajahku terasa panas karena malu. Dasar motor tidak ada akhlak, bisa-bisanya ngerjain dan membuat aku malu seperti ini. Terlihat Mas Satria hanya menghela napas dan bergeleng samar. Buru-buru aku kembali berbalik dan kemudian berjalan cepat ke arah motorku. Daripada semakin panjang urusannya nanti.Baru saja aku naik ke atas motor, saat terasa ponselku bergetar. Terdengar suara panggilan ponsel dari dalam tas selempang yang aku kenakan. Paling mama yang menelepon, menanyakan keberadaanku.Ternyata dugaanku salah, Kak Regina yang menelepon. "Assalamualaikum," salamku setelah menggeser ke atas tombol hijau di layar."Waalaikumsalam, kamu dimana?" tanya kak Regina di ujung telepon."Masih di parkiran kantor, ini dah mau pulang. Titip apa?" tanyaku tanpa basa-basi karena sudah tau kebiasaan kakak perempuanku itu. Mendengarku Kak Regina langsung tertawa."Rey mau terang bulan

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Kacau

    "Itu yang ingin aku jelaskan," ucapku kemudian. Akan lebih baik bila semua aku jelaskan secepatnya. Untuk apa, yang jelas untuk ketenangan hatiku. Rasa bersalah masih mendekapku, lebih-lebih saat kami kembali dipertemukan. "Kak …." Pembicaraan terhenti saat Arya datang. Adik laki-lakiku itu datang bersama dengan temannya. Terlihat sebuah botol berisi bensin berada di tangannya."Malam," sapa Arya kepada Mas Satria yang dibalas dengan anggukan.Arya membuka jok motorku dan menuangkan bensin ke dalam tangki. Mas Satria masih berdiri dan hanya melihat ke arah Arya. Aku masih bingung harus mulai cerita dari mana. Dan tidak mungkin kami mengobrol disini."Besok saja dilanjutkan. Sekarang sudah malam," ucapku lirih pada Mas Satria. "Terima kasih bantuannya.""Terima kasih," ucap Arya menimpali. Kembali Mas Satria hanya mengangguk samar. Pria itu kemudian beranjak dan kembali ke mobilnya. Tidak berapa lama mobil itu menyala dan bergerak menjauh.•Dari ponsel Arya aku mendapatkan nomor te

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Salah Paham

    "Pak Satrianya dimana?" tanyaku kemudian. Pak Agus mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaanku. "Pak Satria ijin tidak ke kantor, ibunya yang baru datang dari Bengkulu tiba-tiba pingsan tadi pagi. Sepertinya ini di rumah sakit, belum kasih kabar lagi soalnya," cerita Pak Agus."Oh." Aku hanya mengangguk pelan."Ada apa memangnya? Kamu naksir juga," goda Pak Agus. Sebagai kepala cabang Pak Agus memang cukup dekat dengan semua karyawan. "Nggak, Pak. Permisi …." Aku menggeleng kemudian beranjak keluar dari ruangan kepala cabang.Setelah tau keberadaan Mas Satria, pikiranku bukannya semakin tenang, tapi, sebaliknya. Pikiranku malah semakin kacau. Ada denganku sebenarnya, tapi, aku merasa ada hal yang belum selesai antara aku dan Mas Satria.•Jam tujuh malam aku masih duduk di depan komputer. Bukan karena laporanku belum selesai. Hari ini sistem berjalan cukup bersahabat. Semua laporan sudah aku emailkan sedari tadi. Tidak seperti yang lain, yang di tunggu oleh anak atau suaminya di

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Harus Bicara

    "Kok pacar?" tanyaku bingung."Kan kamu sendiri yang bilang," jawab Mas Satria. Aku masih melihatnya dengan tatapan bingung."Kapan?" tanyaku sambil mencoba mengingat, apa aku ada salah bicara. Aku rasa tidak ada."Barusan," jawab Mas Satria yang membuatku semakin bingung."Mana ada," bantahku kemudian."Ada." Pria itu bersikeras."Terserah Mas, sajalah." "Kok jadi aku," ketusnya kemudian. Aku terdiam tidak menimpali apapun lagi."Mas nggak capek apa, marah-marah terus?" tanyaku kemudian. "Apa pedulimu?" Mas Satria balik bertanya padaku."Ya iyalah, marahnya ke aku doang." Akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk bicara. "Kamu pantas dimarahi," balas Mas Satria lagi."Aku minta maaf," ucapku kemudian. Rasanya seperti anak kecil kalau dimarahi seperti ini, seperti bocah yang baru saja memecahkan gelas atau apalah."Kamu berhutang banyak penjelasan padaku." Suara Mas Satria terdengar kesal."Aku antar kamu pulang," lanjut Mas Satria kemudian."Ta-tapi aku dijemput Arya," jawabku.Mas

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Pengakuan

    Pertanyaan macam apa itu, apa yang terjadi dengan otakku. Seharusnya tidak aku tanyakan pertanyaan yang konyol, benar-benar konyol. Aku tak berani melihat ke arah Mas Satria dan menjatuhkan pandanganku di atas meja."Maaf, tak perlu dijawab," imbuhku kemudian.Sejenak aku terdiam dan kembali mengatur perasaanku. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memberi jalan oksigen ke dalam otak agar tidak tercetus pertanyaan konyol seperti tadi."Semua sudah disiapkan oleh seluruh keluarga. Pernikahan itu hanya menunggu hitungan hari saja. Bahkan undangan pernikahan sudah disebar." Aku tersenyum miris. Menatap kosong ke arah gelas di depanku."Rupanya dia seorang pejuang cinta, demi menolak pernikahan dia menghamili pacarnya." Aku tertawa hambar, "Seperti karma, yang dengan cepat aku dapatkan. Semua berbalik padaku. Di sisi lain aku senang, tapi, di sisi lainnya aku hancur."Rasa malu yang ditanggung oleh keluarga besar dan aku sendiri masih bisa aku rasakan. Dua rasa yang bertentangan

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Masa Lalu

    "Aku di blok H," lanjut Mas Satria kemudian."Lah , deket dong, aku blok C," balasku pada Mas Satria.Untuk ke blok H maupun C semua melewati blok A yang terletak di urutan paling depan. Kalau ke tempatku belok kanan di simpang pertama. Sedangkan kalau blok H dari blok A lurus, kemudian masuk melalui blok E terlebih dahulu. Ada jalan pintas dari blom C ke H, tapi, hanya untuk pejalan kaki dan roda dua."Berarti tetanggaan," gumamku kemudian. "Mas turunin aku di depan situ aja, biar aku jalan kaki. Kan rumahku paling ujung, depanku jalan buntu harus mundur nanti Mas malah repot." Sebenarnya aku beralasan saja, memang benar buntu tapi, untuk berputar mobil masih bisa."Lagian Mas kan juga buru-buru, Ibu kan sakit." Kembali aku menambahkan. "Terserah aku," jawab Mas Satria. Tanpa mengindahkan permintaanku.Benar saja pria itu membelokkan mobilnya dan tidak menurunkan aku sesuai permintaanku. Dadaku sudah berdebar, bagaimana aku memberi penjelasan pada Ibu atau kakak-kakakku. "Rumahmu y

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   Cerita Terpendam

    "Done," gumamku setelah semua laporan terkirim. Hari Sabtu hanya setengah hari kerja, secara jam kantor karyawan pulang jam dua belas siang. Setengah satu aku sudah menyelesaikan semua laporan dan sudah mengirimkannya melalui email.Tidak terlalu banyak interaksiku hari ini dengan Mas Satria. Hanya tadi pagi saat dia meminta beberapa berkas itu pun saat dia di ruangan Pak Agus. Selebihnya aku tidak melihatnya, sepertinya ada pekerjaan di luar kantor. Pak Agus juga tidak terlihat setelah tadi pagi."Langsung pulang?" tanya Tika saat kami keluar dari ruang absen. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini kami bisa pulang bersamaan. "Huum, mama minta dianterin belanja," jawabku sambil mengenakan jaket yang sedari tadi aku pegang."Ya udah hati-hati, salam buat mama. Aku duluan … tuh dah dijemput." Tika menepuk lenganku pelan sebelum beranjak. Sahabatku itu kembali melambaikan tangannya ketika akan memasuki mobil.Aku beranjak dengan langkah pelan menuju tempat parkir. Kenapa merasa a

Bab terbaru

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 105 END

    Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 104

    “Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 103

    “Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 102

    Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 101

    “Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 100

    “Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 99

    “Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 98

    “Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk

  • Atasan Duda Itu Mantan Pacarku   DIMP 97

    “Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk

DMCA.com Protection Status