“Sayang..,” Aira terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba, ia sangat ingin makan rujak. Alhasil, di hari yang sudah gelap ia membangunkan Rian yang baru saja terlelap.
“Hmmmm?” Rian menggeliat, matanya terbuka setengah. Ia melihat wajah imut Aira tengah menatapnya dengan raut memohon. “Kenapa sayang?”
“Pengin rujak,” tutur Aira dengan perasaan tidak enak. Ia kasihan pada Rian yang baru beberapa menit lalu memejamkan mata, tapi mau bagaimana lagi, keinginan jabang bayi tak bisa diajak kompromi.
“Sayang...,” Aira menggoyang-goyang tubuh Rian karena lelaki itu mengacuhkan dirinya. Cukup lama Aira menunggu, namun Rian tak kunjung merespon. Dengan perasaan sedih, Aira memunggungi Rian, matanya sudah berkaca-kaca.
Sebuah tangan besar melingkari pinggang Aira. Rian berbisik di telinga Aira dengan suara serak khas bangun tidur, suar
Langit pergi dengan motor besarnya, meninggalkan Green yang menurutnya sulit diajak kerjasama. Ditemani langit sore, ia membelah jalanan ibukota. Sebenarnya, Langit tak punya tujuan akan pergi kemana. Tapi yang jelas, ia harus menenangkan diri dan meredam emosi lebih dulu. Sebelum bertemu dan berbicara dengan Green lagi nanti.Langit sudah sangat jauh dari rumahnya. Saat tengah mengemudi, seseorang dari arah tak terduga tiba-tiba melintas begitu saja. Ban motor Langit nyaris menyentuh kaki orang tersebut, tapi untungnya semua masih bisa dikendalikan.Langit turun dari motornya dengan emosi yang meluap-luap, ini saat yang tepat untuk menumpahkan amarah yang sedari tadi ia tahan.“Anda punya mata yang masih berfungsi, kan? Mengapa tidak digunakan dengan baik?” cecar Langit.Sosok yang nyaris tertabrak oleh Langit adalah wanita. Wanita itu menutupi wajah sedihnya dengan rambut. Bukan, bukan karena cecaran Langit ia menangis. Melainkan, ada sesuat
“Jadi, kamu difitnah sama Kakak ipar kamu?” tanya Langit saat Regita selesai bercerita. Regita mengangguk, hidungnya merah, matanya tak henti mengeluarkan cairan bening. “Rasanya sakit aja gak dipercaya sama kakak sendiri,” lirihnya. “Saya paham perasaan kamu. Tapi, kakak kamu juga ada di posisi yang sulit. Kamu pun harus pahami dia. Satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan supaya dipercaya ya cari bukti. Buktiin kalau memang apa yang kamu bilang itu gak cuma omong kosong doang. Kamu harus selamatkan kakak kamu itu,” jelas Langit. “Iya Pak, saya akan cari bukti supaya si brengsek Rian itu gak bisa ngelak lagi!” ujar Regita bersemangat. “Nah gitu dong, kamu harus bantu kakak kamu supaya keluar dari masalahnya, bukan malah mau bunuh diri.” Langit terkekeh pelan, kemudian tersenyum lembut. “Hidup terlalu berharga, jangan dibiarkan berakhir sia-sia,” sambungnya. Ucapan Langit membuat Regita semakin yakin untuk terus mendampingin Aira. Di dunia ini, hanya Aira lah yang ia punya. Regita
Langit mengejar Green yang berjalan sangat cepat. Saat Green hendak memberhentikan taksi yang lewat, Langit segera menarik tangan wanita itu kemudian meminta maaf pada sopir taksi lebih dulu.“Kamu apa-apaan, sih? Mau ke mana?” tanya Langit dengan tatapan tajam.“Apasih, Kak, lepasin!” ujar Green setengah berteriak.Dari kejauhan, Mang Ujang dan Pak Ardi yang tengah berada di pos satpam mengamati Langit dan Green. Mereka saling berpandangan, kemudian memutuskan untuk kembali sibuk dengan aktivitas bermain catur.“Masuk!” titah Langit. Green menggeleng. Ia berusaha melepas tangan Langit yang mencekal pergelangan tangannya. Namun, usahanya sia-sia. Langit semakin mempererat cekalannya, membuat Green meringis kesakitan.“Awwww, sakit, Kak,” rintih Green.“Masuk saya bilang.” Langit tak peduli pada Green yang merintih kesakitan, ia hanya in
“Gue sayang lo.”Alta diam selama beberapa saat, mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Sindi, orang yang selama ini hanya ia anggap sebagai teman.“Al, gue sayang lo!” ulang Sindi, kali ini nadanya lebih tegas. Seolah ingin meyakinkan pada Alta bahwa ia serius dengan ucapannya.“Sin…” lirih Alta. “Kenapa harus gue?” tanyanya bingung.Sindi menundukkan wajah, ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Sudah bisa dipastikan Alta akan menolak dirinya. “Gue gak tahu,” jawabnya dengan suara bergetar. “Gue sadar, gak seharusnya gue punya perasaan ini. Tapi, Al...” Sindi menjeda ucapannya, kemudian menatap Alta lekat. “Semua perasaan gue ke lo, datang gitu aja. Gue paham, sampai hari ini cuma nama Green yang ada di hati lo. Tapi paling enggak, sekarang gue lega. Karena seperti yang lo bilang, mendem semuanya cuma bikin dada gue makin sesak,” tutupnya seraya ter
“Ada apa, Kak? Siapa yang nelepon?”Green yang mendengar Langit berbicara dengan nada serius, bertanya pada lelaki itu. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada orang terdekatnya.“Regita minta tolong,” jawab Langit, ia menceritakan secara ringkas masalah yang tengah dialami Regita dan kakaknya.“Kenapa harus Kakak? Kenapa gak minta tolong keluarganya yang lain?”“Sayang, Regita gak punya siapa-siapa selain Kakaknya.” Langit berusaha memberikan pengertian pada Green, agar wanita itu mengerti mengapa ia harus membantu Regita malam ini.“Terus, Kakak sama Regita mau ke Bandung malam ini juga?”“Iya sayang.”“Berdua aja?”“Kamu mau ikut?”Green berpikir sejenak. Daripada di rumah overthingking tidak jelas, akan lebih baik jika ia ikut bersama Langit dan Regita. Toh, dengan pergi bersama mereka ia jadi tahu Regita bena
“Stop! Berhenti mengungkit soal masa lalu!”“Biarin aja, Ra, biar dia sadar kalau selama ini yang jahat itu dia!”Aira segera bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dengan sigap, Regita dan Rian mengejar Aira. Kini, di ruangan itu hanya tinggal Sindi, Green, Langit, Alta dan Reina.“Sebenarnya ada apa?” tanya Alta pada Sindi.Reina memilih pergi daripada melihat drama selanjutnya antara Alta, Green, Sindi dan Langit. Waktu satu tahun ternyata belum cukup membuat dirinya benar-benar berdamai dengan masa lalu. Lihat saja, hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat Alta sudah bersama wanita lain.“Tolong kamu jawab, Sindi. Karena saya pun penasaran!” tegas Langit.“Ceritain semuanya, kenapa lo bisa jadi wanita simpanan laki-laki tadi?” timpal Green.Sindi mati kutu, ia tak punya pilihan selain menjawab
Sebelum kembali ke Jakarta, Green dan Langit menyempatkan diri menyambangi kediaman Jerry dan Kalila. Kedatangan mereka disambut baik oleh keduanya. Jerry dan Kalila sedikit heran, mengapa Langit ataupun Green tak mengabari lebih dulu. Namun, karena malam sudah semakin larut, mereka meminta Green dan Langit beristirahat.Banyak hal yang mengganjal di hati dan pikiran Green. Ia tak bisa tidur karena merasa perlu menanyakan banyak hal pada Langit. Namun, melihat Langit yang sepertinya kelelahan, Green tak tega. Ia memilih menundanya sampai situasi dan suasananya mendukung.Suara kicauan burung dan cahaya matahari yang menerobos melalui jendela kamar, membangunkan Langit. Ia menggelit pelan, tangannya mencari keberadaan Green. Namun tak ada, sepertinya wanita itu sudah bangun.Benar saja dugaan Langit. Ia melihat Green dan Kalila tengah memasak sambil sesekali bercanda dan tertawa.“Selamat pagi, sayang,” sapa Langit seraya mencium pipi Green dan
Sepanjang jalan hingga tiba di rumah, Green tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulanya, Langit menduga Green hanya lelah, tapi gelagat wanita itu sangat berbeda, hingga membuat Langit sadar, ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran Green.Saat Green tengah membereskan pakaian, Langit menghampiri. Ia memeluk Green dari belakang seraya mencium ceruk leher wanita itu. “Kalau ada apa-apa cerita dong, jangan disimpen sendiri,” ujarnya di balik leher Green.Green tak langsung menjawab, karena ia yakin reaksi Langit tidak akan jauh berbeda dengan Kalila. Meraka tetap akan menyembunyikan semuanya rapat-rapat.“Gak ada apa-apa kok,” ucap Green singkat.“Sayang, saya kenal kamu. Kalau kamu diem begini cuma ada dua kemungkinan, laper sama lagi nyembunyiin sesuatu.”Green tersenyum simpul. Ia menatap Langit sebentar, setelahnya kembali melanjutkan aktivitas merapikan pakaian.“Kok natapnya gitu?” tanya L
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.