Langit mengejar Green yang berjalan sangat cepat. Saat Green hendak memberhentikan taksi yang lewat, Langit segera menarik tangan wanita itu kemudian meminta maaf pada sopir taksi lebih dulu.“Kamu apa-apaan, sih? Mau ke mana?” tanya Langit dengan tatapan tajam.“Apasih, Kak, lepasin!” ujar Green setengah berteriak.Dari kejauhan, Mang Ujang dan Pak Ardi yang tengah berada di pos satpam mengamati Langit dan Green. Mereka saling berpandangan, kemudian memutuskan untuk kembali sibuk dengan aktivitas bermain catur.“Masuk!” titah Langit. Green menggeleng. Ia berusaha melepas tangan Langit yang mencekal pergelangan tangannya. Namun, usahanya sia-sia. Langit semakin mempererat cekalannya, membuat Green meringis kesakitan.“Awwww, sakit, Kak,” rintih Green.“Masuk saya bilang.” Langit tak peduli pada Green yang merintih kesakitan, ia hanya in
“Gue sayang lo.”Alta diam selama beberapa saat, mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Sindi, orang yang selama ini hanya ia anggap sebagai teman.“Al, gue sayang lo!” ulang Sindi, kali ini nadanya lebih tegas. Seolah ingin meyakinkan pada Alta bahwa ia serius dengan ucapannya.“Sin…” lirih Alta. “Kenapa harus gue?” tanyanya bingung.Sindi menundukkan wajah, ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Sudah bisa dipastikan Alta akan menolak dirinya. “Gue gak tahu,” jawabnya dengan suara bergetar. “Gue sadar, gak seharusnya gue punya perasaan ini. Tapi, Al...” Sindi menjeda ucapannya, kemudian menatap Alta lekat. “Semua perasaan gue ke lo, datang gitu aja. Gue paham, sampai hari ini cuma nama Green yang ada di hati lo. Tapi paling enggak, sekarang gue lega. Karena seperti yang lo bilang, mendem semuanya cuma bikin dada gue makin sesak,” tutupnya seraya ter
“Ada apa, Kak? Siapa yang nelepon?”Green yang mendengar Langit berbicara dengan nada serius, bertanya pada lelaki itu. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada orang terdekatnya.“Regita minta tolong,” jawab Langit, ia menceritakan secara ringkas masalah yang tengah dialami Regita dan kakaknya.“Kenapa harus Kakak? Kenapa gak minta tolong keluarganya yang lain?”“Sayang, Regita gak punya siapa-siapa selain Kakaknya.” Langit berusaha memberikan pengertian pada Green, agar wanita itu mengerti mengapa ia harus membantu Regita malam ini.“Terus, Kakak sama Regita mau ke Bandung malam ini juga?”“Iya sayang.”“Berdua aja?”“Kamu mau ikut?”Green berpikir sejenak. Daripada di rumah overthingking tidak jelas, akan lebih baik jika ia ikut bersama Langit dan Regita. Toh, dengan pergi bersama mereka ia jadi tahu Regita bena
“Stop! Berhenti mengungkit soal masa lalu!”“Biarin aja, Ra, biar dia sadar kalau selama ini yang jahat itu dia!”Aira segera bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dengan sigap, Regita dan Rian mengejar Aira. Kini, di ruangan itu hanya tinggal Sindi, Green, Langit, Alta dan Reina.“Sebenarnya ada apa?” tanya Alta pada Sindi.Reina memilih pergi daripada melihat drama selanjutnya antara Alta, Green, Sindi dan Langit. Waktu satu tahun ternyata belum cukup membuat dirinya benar-benar berdamai dengan masa lalu. Lihat saja, hatinya masih berdenyut nyeri ketika melihat Alta sudah bersama wanita lain.“Tolong kamu jawab, Sindi. Karena saya pun penasaran!” tegas Langit.“Ceritain semuanya, kenapa lo bisa jadi wanita simpanan laki-laki tadi?” timpal Green.Sindi mati kutu, ia tak punya pilihan selain menjawab
Sebelum kembali ke Jakarta, Green dan Langit menyempatkan diri menyambangi kediaman Jerry dan Kalila. Kedatangan mereka disambut baik oleh keduanya. Jerry dan Kalila sedikit heran, mengapa Langit ataupun Green tak mengabari lebih dulu. Namun, karena malam sudah semakin larut, mereka meminta Green dan Langit beristirahat.Banyak hal yang mengganjal di hati dan pikiran Green. Ia tak bisa tidur karena merasa perlu menanyakan banyak hal pada Langit. Namun, melihat Langit yang sepertinya kelelahan, Green tak tega. Ia memilih menundanya sampai situasi dan suasananya mendukung.Suara kicauan burung dan cahaya matahari yang menerobos melalui jendela kamar, membangunkan Langit. Ia menggelit pelan, tangannya mencari keberadaan Green. Namun tak ada, sepertinya wanita itu sudah bangun.Benar saja dugaan Langit. Ia melihat Green dan Kalila tengah memasak sambil sesekali bercanda dan tertawa.“Selamat pagi, sayang,” sapa Langit seraya mencium pipi Green dan
Sepanjang jalan hingga tiba di rumah, Green tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulanya, Langit menduga Green hanya lelah, tapi gelagat wanita itu sangat berbeda, hingga membuat Langit sadar, ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran Green.Saat Green tengah membereskan pakaian, Langit menghampiri. Ia memeluk Green dari belakang seraya mencium ceruk leher wanita itu. “Kalau ada apa-apa cerita dong, jangan disimpen sendiri,” ujarnya di balik leher Green.Green tak langsung menjawab, karena ia yakin reaksi Langit tidak akan jauh berbeda dengan Kalila. Meraka tetap akan menyembunyikan semuanya rapat-rapat.“Gak ada apa-apa kok,” ucap Green singkat.“Sayang, saya kenal kamu. Kalau kamu diem begini cuma ada dua kemungkinan, laper sama lagi nyembunyiin sesuatu.”Green tersenyum simpul. Ia menatap Langit sebentar, setelahnya kembali melanjutkan aktivitas merapikan pakaian.“Kok natapnya gitu?” tanya L
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K