“Kenapa diajeng begitu membencinya, hah!”Juragan Karta yang selama ini mengalah dengan sikap ketus Anjani, naik darah mendengar permintaan Anjani. Mbayang begitu rajin, gagah dan selalu penurut dan hampir tak pernah merepotkan sejak kecil. Tapi, semua itu sama sekali tak pernah terlihat di mata Anjani istrinya. Rasa sayang seorang bapak pada anak laki-laki muncul seketika. Terlebih, anak laki-lakinya dari Anjani tak lebih baik bila dibandingkan dengan Mbayang.“Karena dia anak haram!” jawab Anjani tak mau kalah.“Jangan sebut dia begitu!”Juragan Karta mengangkat tinggi tangannya mengambil ancang-ancang hendak menampar istrinya, tapi sekuatnya dia menahan amarah yang meluap-luap.“Tampar kang, tampar!” Anjani mendongakkan kepalanya dan memiringkan pipinya, menantang suaminya untuk menampar.Juragan Karta menarik tangannya dan membuang muka ke samping mengurungkan niatnya menampar Anjani.“Andaikan kakang tidak mengumbar napsu pada Lastri, keluarga kita akan baik-baik saja, sekarang.”
“Tidak, ini tidak boleh terjadi?” gumam Juragan Karta khawatir.Lelaki paruh baya itu terus mengintip dari kejauhan, mengamati Mbayang dan Candrawati yang berbincang hangat di dekat perapian. Gelap malam menghalangi pandangan Juragan Karta, dia hanya bisa melihat samar terbantu oleh cahaya di perapian. Pandangan yang samar itu makin membuat Juragan Karta gelisah menebak-nebak apa yang dibicarakan oleh Mbayang dan Candrawati. Meski belum terlalu malam, tak elok rasanya seorang laki-laki dan perempuan berduaan. Sebagai seorang bapak, Juragan Karta ingin mendatangi kedua anaknya itu, tapi dia tahan saja keinginan itu. dia ingin melihat apa yang akan terjadi.Mbayang sendiri sebenarnya merasa tak nyaman dengan keberadaan Candrawati. Bukannya dia tak senang ditemani oleh gadis cantik jelita seperti Candrawati, tapi dia takut kalau harus lagi-lagi kena marah Ndoro putri gara-gara Candrawati. bila sampai itu terjadi, Mbayang takut Ndoro Putri akan makin galak padanya.“Sudah malam, apa Ndoro
Mbayang berjalan ke dapur dengan langkah Gontai, dia memang ingin melatih diri agar bisa lebih kuat, agar bisa menjadi lelaki sejati yang mampu melindungi junjungannya. Tapi pergi secara tiba-tiba, tetap saja menimbulkan rasa sedih. Dia mulai sadar kalu dia harus berpisah dengan orang-orang yang dia sayangi selama ini, demi menimba ilmu kanuragan. “Kakang… kau mau makan?” Mbayang mengangkat kepalanya, lantas tersenyum begitu melihat Ningrum berdiri di depan pintu dapur menyambutnya. Gadis cilik berusia tiga belas tahun itu tersenyum ceria saat melihat Mbayang, senyuman yang sedikit mengobati rasa sedihnya. Mbayang pun mempercepat langkahnnya menuju dapur. “Jangan bilang ikan asinnya kau habiskan!” jawab Mbayang menowel pipi Ningrum. Gadis yang sudah dianggap Mbayang seperti adiknya itu langsung cemberut menepis tangan Mbayang. “Ihh, tanganmu kasar, Kang! pipiku bisa lecet nanti!” “Ha ha, Mbok Darmi masak apa hari ini? Aku lapar sekali!” tanya Mbayang, berjalan masuk diikuti Ningr
Si Hitam, kuda kesayangan Juragan Karta terus dilecut oleh Candrawati agar terus melaju kencang, membuat Candrawati yang berada di atas pelana terpental-pental, mulai kehilangan kendali. Dia sebenarnya juga tak pandai berkuda, tapi mendengar Mbayang akan pergi, dia nekat menunggang si hitam untuk menyusul.“Awaas!” teriak Candrawati mulai kehilangan kendali.“Hoy! Hay!” maki orang yang lalu lalang kalang kabutan.Orang-orang yang lalu lalang berhamburan menghindari terjangan kuda hitam yang melaju kencang, termasuk rombongan prajurit kota raja yang melintas di buat kocar kacir.“Cari mati!” maki seorang prajurit yang berhasil menghindar.Seorang berpakaian seperti perwira muda, menatap kesal pada bayangan kuda yang melintas cepat meninggalkan debu-debu yang beterbangan. Dia lantas menarik kudanya, berbalik mengejar kuda Candrawati.“Hiya! Hiya!” Candrawati terus melecut kudanya, sambil berusaha menjaga keseimbangan agar tak jatuh.Dari arah belakang, seekor kuda berwarna coklat yang m
“Besar sekali nyalimu!” bentak seorang perwira.Dua puluhan orang prajurit itu geram bukan main junjungannya di hina sedemikian rupa dan siap bertindak. Bukannya takut, Candrawati tetap berdiri mendongakkan kepala. Tentu saja hal itu makin membuat Juragan Karta berkeringat dingin. Beberapa Prajurit hendak menyergap, tapi pangeran mengangkat tangannya, membuat prajurit itu mundur beberapa langkah, menahan diri untuk tidak bertindak.“Sebenarnya, kau mau ke mana? hingga berkuda seperti orang kesetanan!” tanya Pangeran dengan senyum ramah.Candrawati yang sedang kalut takut tidak bisa menyusul Mbayang pun lagi-lagi menjawab ketus pertanyaan Pangeran itu.“Bukan urusanmu!” jawab Candrawati sambil bergegas melompat ke punggung si Hitam dan kembali melaju kencang.Hiya-hiya“Candrawati! Candrawati!” teriak Juragan Karta.“Hmm, ayo kita susul dia!” seru Pangeran bergegas melompat ke kudanya.Dua puluhan pasukan itu dengan sigap mengikuti sang Pangeran, meninggalkan Juragan Karta yang makin t
Candrawati kebingungan menyapu pandang ke semua tempat, mencari-cari tubuh Mbayang yang tiba-tiba lenyap. Tubuh pemuda yang selalu menemaninya sejak kecil itu penuh luka dan darah yang merembes, sesuatu yang membuat Candrawati makin khawatir, terjadi sesuatu pada Mbayang. Juragan Karta yang baru datang pun menghampiri Candrawati cemas, apalagi melihat pakaian putrinya yang terkoyak dan banyak mayat bergelimpangan dengan anak panah menancap di dada.“Oh, terima kasih Pangeran sudi menolong putri Hamba.” Juragan Karta kembali memberi hormat pada Pangeran beserta pasukannya yang berjalan mendekat.“hmm, tak perlu sungkan,” jawab sang Pangeran ramah, mulai mengamati sekitar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nduk?” tanya Juragan Karta dengan suara bergetar khawatir.“Mbayang, Romo…! Dia dikeroyok orang dan sekarang tubuhnya menghilang!” jerit Candrawati panik menjelaskan apa yang terjadi.“Mbayang!” Jerit Juragan Karta merasakan lututnya lemas mendengar penuturan Candrawati. Biar bagaimanp
Perlahan, Mbayang mulai siuman, mencium aroma tumbuhan yang ada di sekitar tubuhnya. Lamat lamat dia melihat sosok tua sedang terbatuk-batuk bersemedi tak jauh dari tempatnya. Kapala Mbayang masih terasa berat, saat dia coba bangun. Dia memegangi kepala, mencoba mengumpulkan kesadaran, sambil tertatih mencoba berdiri.“Uhuk! Uhuk!”Suara batuk itu mengagetkan Mbayang, dia mengamati sekeliling. Dia kini berada di dalam sebuah gua yang cukup dalam. Sekujur tubuhnya yang luka telah dibubuhi ramuan-ramuan obat. Mbayang mulai berjalan mendekati pendekar tua yang bersemedi.“Dimana aku? Ndoro Ayu bagaimana?” tanya Mbayang mengkhawatirkan Ndoro Ayunya, meski kondisinya juga masih lemah.Pendekar tua itu menarik nafas panjang, diam beberapa saat hingga perlahan membuka matanya. Menoleh ke arah Mbayang. Pendekar tua itu tersenyum melihat Mbayang sudah mulai membaik.“Beruntung orang-orang yang mengeroyokmu hanya orang-orang biasa yang tak memiliki tenaga dalam. Kalau tidak, mungkin kau sekaran
Pangeran Gardapati terus mengikuti jejak-jejak yang tercecer, untuk mencari Mbayang. Dengan sangat jeli, dia mengamati setiap petunjuk yang mengarah pada sebuah gua. Pangeran pun bersiap memasuki gua dengan penuh waspada, pukulan tangan berdarah pendekar tua itu sungguh luar biasa, Pangeran Gardapati tak berani sembarangan lagi. Melihat bekas jejak langkah di sekitar gua, Pangeran Gardapati bisa menduga kalau tenaga dalam pendekar tua itu cukup tinggi, dan bukan lawan yang enteng.Dari dalam gua, Mbayang mulai menggali tanah dengan alat seadanya untuk menguburkan mayat Ki Barada. Setelah di rasa cukup dalam, Mbayang mengubur Ki Barada sebagai bentuk penghormatan. Mbayang termenung cukup lama di depan pusara pendekar tua itu. sempat terpikir untuk menguburkan kitab pusaka yang di wasiatkan kepadanya, tapi dia urungkan karena takut arwah Ki Barada akan menghantuinya nanti.“Ki, aku tak tahu bisa atau tidak menjalankan wasiatmu. Tapi aku akan mencoba untuk menghentikan ilmumu, dipakai un
Tawa KI Bayu Seta perlahan mulai mereda, berubah jadi suara parau yang memilukan, membuat Mbayang makin bingung dan merasa takut kalau berada di jurang yang sepi, dan seorang diri dalam kurun waktu yang lama telah membuat kejiwaan Ki Bayu Seta terganggu.“Entah sudah berapa purnama aku berada di tempat sepi ini. Akhirnya aku menemukan cara untuk kembali ha ha. Mbayang, setelah kau pulih, aku akan melatihmu menjadi pendekar tak tertandingi!Di tempat lain, Permana sibuk menggembleng tujuh murid pilihan padepokan segaran. Dia mengajarkan jurus formasi pedang yang di mainkan oleh tujuh orang. Dengan formasi pedang itu, Permana bermaksud menantang pangeran Gardapati, saat sedang sibuk melatih, seorang murid padepokan tergopoh-gopoh menghampirinya.“Ampun ketua… Nyi Dewi menunggu di aula padepokan!”“Ada perlu apa Nyi Dewi mencariku?” tanya Permana merasa terganggu.“Hamba tidak tahu ketua, saya hanya menjalankan perintah, untuk memanggil ketua.”“Lanjutkan latihan!” perintah Permana yang
Ki Barada kembali murung, air muka kesedihan tidak lagi bisa dia sembunyikan, saat mendengar alasan kenapa Mbayang sampai jatuh ke dalam jurang yang tidak lain tidak bukan sebab tanpa sengaja melihat Permana dan NyI Dewi melakukan cinta terlarang. Berkali kali dia menarik napas panjang mencoba merelakan apa yang telah terjadi.“Guru...” panggil Mbayang yang melihat wajah duka dari Ki Bayu Seta.Ki Bayu Seta tersadar dan menoleh ke arah Mbayang dan berusaha tersenyum. Dia merasa suka sekali dengan pemuda yang terlihat gagah dan bertulang kuat itu. Bertahun-tahun dia berada dalam lembah curam seorang diri hingga muncul Mbayang. Ya, meski kemunculan Mbayang juga membuatnya harus kembali merasakan luka hati yang tak kunjung mengering.“Saya mohon maaf bila cerita saya membuat Guru, tidak berkenan,” Mbayang yang mulai bisa bergerak jadi merasa tidak enak hati menceritakan asmara terlarang Nyi Dewi dan Permana.“Ha ha, sudahlah. Dulu aku adalah pendekar pedang yang cukup di segani. Bertahun
Bab 80. Pelajaran Pertama sang GuruTok tok tokBunyi Kentongan terdengar bertalu-talu, sebuah pertanda ada peristiwa besar yang terjadi di padepokan Segaran. Seluruh murid padepokan langsung bergegas berkumpul di halaman. Kasak kusuk mulai terdengar riuh seperti tawon. Semua saling bertanya tentang apa yang terjadi hingga pagi buta mereka harus berkumul di halaman. Tidak lama berselang, Permana naik dia atas mimbar kehormatan. Dia di dampingi oleh Nyi Dewi dan Bimantara. Wajah Permana terlihat tegang dan penuh amarah. Dia menyapu pandang ke semua murid padepokan dengan tatapan tajam, yang membuat semua murid padepokan tidak lagi berani bersuara. Mereka diam menyimak, hal penting apa yang akan di sampaikan oleh pimpinan padepokan.“Murid-murid padepokan Segaran! kita tidak pernah berbuat onar, dan selalu setia pada kerajaan. Bila kerajaan memanggil, murid-murid padepokan selalu siap berlaga membela kerajaan. Bila kerajaan butuh, kita siap berjuang tanpa pamrih. Tapi Kerajaan malah men
Mbayang merasakan tubuhnya makin lemas, dadanya juga terasa sesak. Dalam hatinya dia membatin, kalau dia masih beruntung bisa hidup dan selamat, meski dia juga tidak tahu dia benar-benar selamat atau hanya menunda kematian, karena selain tidak bisa bergerak, dan merasakan nyeri di sekujur tubuh, dadanya juga panas dan sesak.Kakek tua itu berjalan makin mendekat, wajah tua, rambut putih dan rambut yang awut-awutan itu membuat Mbayang jerih. Dia mulai menduga-duga kalau kakek itu itu adalah malaikat maut yang akan mengakhiri hidupnya.“Mau apa kau! Uhuuk-uhuuuk!”Mbayang berusaha menggerakkan tubuhnya tapi tidak bisa, semakin dia mencoba, tubuhnya makin terasa panas dan perih di sekujur tubuh.“Simpan tenagamu, anak muda. Kau sudah pingsan seharian. Sungguh beruntung kau tidak menemui ajal!” ujar kakek tua itu sambil berjongkok memeriksa nadi Mbayang, mengalirinya dengan hawa murni.Mbayang merasakan tubuhnya mulai menghangat, aliran tenaga murni dari kakek tua itu mampu mengurangi nye
Mbayang melesat cepat menembus hutan, berusaha melarikan diri secepat mungkin. Dari belakang, nampak berkelebat bayangan mengejarnya. Mbayang mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauh, tapi bayangan itu selalu berhasil membayanginya. Mbayang yang terus berlari terjebak di sebuah tebing curam yang dalam, membuatnya tidak bisa lari kemana-mana lagi.“Ha ha,mau lari kemana lagi kau! ” sengit Permana tertawa geram berhasil menyusul Mbayang.Mbayang menoleh ke belakang, menatap tajam Permana tanpa rasa takut. Wajahnya kini terlihat jelas di terangi sinar rembulan.“Mbayang…!” Permana sendiri sedikit kaget mengetahui kalau yang mengintipnya adalah Mbayang, meski sebenarnya Permana punya rencana menjadikan Mbayang sapi perah, mau tak mau dia harus membungkam mulut Mbayang untuk selamanya agar rahasianya tidak terbongkar."Aku benar-benar tidak menyangka kau selancang itu!"“Aku juga tidak menyangka, paman berbuat serendah itu!” saut Mbayang tak kalah sengit.“Ku robek mulutmu! Hiatt!”Perman
Juragan Karta merasa lega, Mbayang tidak memiliki rasa apa-apa pada Candrawati. dalam hati dia merasa bangga, kelak anak laki-lakinya itu akan menjadi seorang pendekar tangguh sekaligus seorang Senopati dibawah bimbingan Pangeran Gardapati. “Aku akan segera kembali untuk menepati janjiku!” ucap Juragan Karta saat berpamitan pada Mbayang. “Mbayang… sapi dan kudamu kurus kering sejak kau tinggal. Cepat pulang,” Candrawati terbata-bata berat kembali berpisah dengan Mbayang, dia sama sekali tidak tahu menahu soal janji Juragan Karta akan kembali untuk melamar Sukesih dan melepaskan Mbayang untuk pergi mengabdi di kota raja. Mbayang hanya menunduk tidak menjawab perkataan Candrawati. Dia merasa berat untuk berkata kalau dia mungkin tidak akan kembali ke rumah Juragan Karta setelah menikahi Sukesih. Dia melirik Juragan Karta, berharap junjungannya itu nanti akan menjelaskan pada Candrawati. “Kita harus berangkat!” Juragan Karta menarik pelan tangan Candrawati, yang membuat gadis itu mau
“siapa dia kang?” tanya Sukesih dengan nada ketus, mencegat Mbayang yang mengambil makanan di dapur umum.Mbayang tersenyum dan terus saja masuk ke dapur, mengambil jagung dan ketela rebus.“Siapa yang kau maksud?”tanya Mbayang sambil menata jagung dan ketela rebus di sebuah nampan.“Hah, jangan pura-pura tidak tahu, kang. Tentu saja wanita yang bersikap manja padamu itu, apa hubungan kalian sebenarnya?” cecar Sukesih dengan wajah manyun.“Ha ha Ndoro ayu itu junjungan sekaligus teman masa kecilku, Kesih.”“Tapi sikap kalian bukan seperti hamba dan junjungan!” sengit Sukesih masih cemburu.“Kesih... malam ini aku akan bicara pada juragan Karta, meminta izin padanya untuk melamarmu dan pergi ke kota raja, mengabdi pada pangeran Gardapati. Berdoalah, agar semua berlancar baik,” terang Mbayang sambil melangkah keluar membawa makanan untuk dihidangkan pada Juragan Karta.Sukesih yang tadinya kesal dan uring-uringan langsung terdiam mendengar ucapan Mbayang.Mbayang terus berjalan, tekadny
Wajah Jalasanda langsung berseri cerah saat melihat Permana berjalan ke arahnya. Dia pun langsung berjalan menyambut sang ketua padepokan. Dia sudah menunggu cukup lama untuk menagih perkataan sang ketua padepokan.“Kang…”“Hmmm,” Permana berdehem sambil mangangkat telapak tangan. “Bersabarlah, bila kau ingin membahas soal Sukesih, percaya padaku, dia akan jadi milikmu. Bahkan aku akan memberimu hadiah kejutan, tunggu saja!” ucap Permana sambil berlalu.“Tapi kang...,”"Bersabarlah, aku tidak akan lupa pada janjiku!" Permana menoleh sejenak lalu kembali berjalan pergiJalasanda sebenarnya tidak puas dengan jawaban dari Permana, tapi tidak berani membantah, meski begitu, dia sudah bertekad akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Sukesih dengan atau tanpa bantuan Permana.Hubungan antara Mbayang dan Sukesih sendiri memang makin terlihat mesra. Kini, seluruh padepokan seakan tahu, kalau Mbayang dan Sukesih saling menyukai. Hal itu membuat Jalasanda makin terbakar cemburu. Jalasanda
“Teja… kau lawan Mbayang!” putus Jalasanda saat sedang melakukan latihan bersama. Semua murid langsung duduk bersila membentuk lingkaran begitu Jalasanda memutuskan Teja yang akan menjadi lawan tanding Mbayang. Jalasanda tersenyum licik membayangkan Mbayang akan babak belur dihajar Teja, murid padepokan yang lebih lama belajar silat. Dia sebenarnya ingin langsung menghajar Mbayang dengan tangannya sendiri, kerana cemburu pada keakraban Mbayang dan Sukesih. Hubungan Mbayang dan Sukesih memang sudah terendus olehnya. Tapi, dia harus menahan diri karena Permana mencegahnya untuk berbuat sesuatu pada Mbayang yang merupakan kenalan dari pangeran Gardapati. Jalasanda pun memanfaatkan tangan orang lain untuk memberi pelajaran ada Mbayang. “Ha ha, bersiaplah Mbayang, aku tidak akan sungkan!” Teja tersenyum berjalan mendekati Mbayang. Murid-murid yang menonton bersorak-sorai. Hampir semua menjagokan Teja yang memang terkenal kuat dan sulit di kalahkan. Beberapa tombak dari tempat Mbayang dan